Sumberdaya wilayah pesisir dan laut, merupakan sumberdaya yang bersifat open
access dan common property, sehingga setiap orang/stakeholder berhak memanfaatkannya
dengan tujuan memperoleh economic rent. Pola pemanfaatan yang demikian cenderung
mengarah kepada deplesi sumberdaya, sehingga jika tidak ada upaya untuk menjaga
kelestariannya seperti konservasi dikhawatirkan terjadi scarcity sumberdaya yang
mengarah kepada kepunahan.
Selain itu dampak utama dari sifat yang “open access dan common property”
terhadap pemanfaatan dan pengelolaannya adalah :
1 Kesulitan dalam pengontrolan dan estimasi jumlah stok dari ikan pada setiap
musim/periode karena dipengaruhi oleh faktor biologi dan ekologi dari sumberdaya
perikanan sebagai faktor alami (makanan, mangsa dan habitatnya), serta berbagai upaya
eksploitasi yang dilakukan manusia (bertujuan memaksimumkan resource rent untuk
meningkatkan kesejahteraan) sebagai faktor non alami.
2 Usaha penangkapan ikan di wilayah perairan mengandung risiko dan ketidakpastian
(uncertainty) yang relatif besar. Dalam hal ini sumberdaya perikanan bersifat
mobile/fugitive, sehingga risikonya adalah kehilangan sejumlah penangkapan dan
risiko-risiko penyerta lainnya.
3 Timbulnya pemanfaatan sumberdaya yang economic overfishing dan biology
overfishing. Economic overfishing terjadi jika input (effort) yang digunakan dalam
pemanfaatan sumberdaya ikan (fishing), melebihi kapasitas produksi, dengan kata lain
untuk menangkap ikan dengan jumlah kecil dalam suatu usaha dibutuhkan input yang
besar (effort). Implikasinya adalah hasil tangkapan (catch) yang diperoleh, dan dinilai
dengan uang (total revenue) < biaya input yang dikeluarkan (TC). Sedangkan biology
overfishing terjadi jika hasil tangkapan telah melebihi potensi lestarinya, sehingga
kemampuan ikan bertahan pada keseimbangan produksinya terancam, yang akan
mengarah pada kelangkaan (scarcity) sumberdaya perikanan, serta kepunahan beberapa
spesies tertentu.
Usaha penangkapan oleh nelayan di perairan Delta Mahakam dan sekitarnya,
merupakan usaha yang bersifat komersial (profit oriented) yang lebih menekankan pada
besarnya benefit/keuntungan yang akan diperoleh dari operasionalisasi usaha tersebut.
Telaah aspek finansial untuk melihat tingkat keuntungan sangat memegang peranan
19
penting, apakah usaha yang dijalankan nelayan dengan mengandalkan komoditas utama,
yaitu udang dan berbagai jenis ikan lainnya layak diteruskan baik dimasa kini maupun
mendatang.
Menurut Dwiponggo (1982) dalam Parerung (1996), tingkat pemanfaatan atau
pengusahaan sumberdaya perikanan dibagi menjadi empat macam, yaitu :
1 Pengusahaan yang rendah, dimana hasil tangkapan hanya merupakan sebagian kecil
dari potensinya
2 Pengusahaan yang moderat (sedang), dimana hasil tangkapan merupakan sebagian
yang nyata dari potensi, namun penambahan upaya penangkapan masih
memungkinkan
3 Pengusahaan yang tinggi, dimana hasil tangkapan sudah mencapai sebesar
potensinya, penambahan upaya penangkapan tidak akan menambah hasil tangkapan
4 Pengusahaan yang berlebih (overfishing), dimana terjadi pengurangan dari stok
udang/ikan, karena penangkapan yang tinggi, sehingga hasil tangkapan per satuan
upaya penangkapan akan jauh berkurang.
Ditegaskan pula oleh Purwanto (1986) dalam Parerung (1996), bahwa untuk
mengusahakan agar sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan terus-menerus secara
maksimal, dalam waktu yang tak terbatas, maka laju kematian karena penangkapan (tingkat
pemanfaatan), perlu dibatasi sampai pada suatu tingkat tertentu. Induk-induk udang dalam
jumlah tertentu harus disisakan dan diberi kesempatan untuk berkembang biak, sehingga
mampu menghasilkan anakan dalam jumlah cukup untuk kelestarian. Tingkat eksploitasi
atau pemanfaatan yang optimal adalah tingkat pemanfaatan dimana jumlah yang ditangkap,
sebanding dengan tambahan jumlah/kepadatan karena perkembangbiakan dan pertumbuhan
serta penyusutan karena kematian alami.
Dari uraian tersebut di atas dalam penelitian ini dilakukan analisa distribusi spasial
temporal, luas sapuan trawl (swept area) dan hasil tangkapan per satuan luas (CPUA) yang
dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan guna pengelolaan upaya penangkapan
udang. Sistem Informasi Geografis (SIG) atau analisa spasial merupakan suatu
pengelolaan basis data (data base)) spasial yang dikomputerisasi dan merupakan alat
analisis sistem (Bartlett 1999 dalam Prihatini 2003). Suatu SIG dapat digunakan untuk
menyimpan, mengorganisasikan, memanipulasi dan menganalisa data spasial serta segala
atributnya dalam suatu sistem perangkat keras dan lunak komputer. SIG dapat
mengakomodasi berbagai jenis format dan sistem data secara mudah untuk proses
20
pengambilan keputusan (Burrough 1986; Tomlinson 1987 dalam Prihatini 2003). Dengan
demikian SIG dapat menjadi jawaban bagi penyediaan dukungan pengambilan keputusan.
Dasar acuan lainnya yaitu luas sapuan dan hasil tangkapan per satuan luas (catch
per unit area/CPUA), dimana rata-rata hasil tangkapan (dalam bobot atau jumlah) per
satuan upaya atau luas adalah indeks kepadatan stok udang (yakni dianggap proporsional
dengan kepadatan). Indeks ini dapat dikonversi ke dalam ukuran absolut biomassa dengan
menggunakan metode swept area (luas sapuan). Analisa CPUA berdasarkan strata
kedalaman dilakukan atas dasar distribusi kepadatan stok udang, sehingga dapat
memisahkan perairan dengan kepadatan tinggi, sedang atau rendah. Informasi tentang
kepadatan stok udang dari hasil dugaan dapat dijadikan dasar untuk penentuan tingkat
eksploitasi dalam rangka pengelolaan upaya penangkapan udang yang optimum (Sparre &
Venema 1999).
Menurut Dahuri et al. (2001), dalam pemanfaatan sumberdaya yang bersifat milik
bersama (common property), keseimbangan jangka panjang dalam usaha perikanan tidak
dapat dipertahankan, karena adanya peluang untuk meningkatkan keuntungan (access
profit) bagi usaha penangkapan ikan, sehingga terjadi ekstensifikasi usaha secara besar-
besaran, dibarengi masuknya pengusaha baru yang tergiur dengan nilai rent yang cukup
besar tersebut. Pemanfaatan sumberdaya perikanan harus memperhatikan aspek
sustainability, agar dapat memberikan manfaat yang sama, dimasa yang akan datang yang
tidak hanya terfokus pada masalah ekonomi, tetapi juga masalah lain seperti teknis, sosial
dam budaya. Tingkat pemanfaatan sumberdaya optimal melalui pendekatan Maximum
Sustainable Yield (MSY) dan Maximum Economic Yield (MEY). Pendekatan MSY akan
memberikan hasil lestari secara fisik, namun demikian dalam praktek pengelolaan
sumberdaya perikanan, tingkat tangkapan MEY akan lebih baik, karena selain memberikan
keuntungan secara ekonomi juga memberikan keuntungan secara ekologi, yang dapat
mempertahankan diversitas yang besar.
Menurut Monintja (2000) dalam Nurani (2002), kriteria yang digunakan untuk
teknologi penangkapan yang secara teknis, ekonomis, mutu dan pemasaran menguntungkan
adalah hemat biaya dan energi, meningkatkan produksi dan produktivitas, memperhatikan
mutu produk, produk yang dihasilkan sesuai dengan permintaan pasar, meningkatkan
21
Sustainable Fisheries
Potensi
Spesifikasi Tingkat
Fishing sumberdaya
unit eksploitasi
effort ikan
penangkapan