Anda di halaman 1dari 11

SEBAB-SEBAB TERJADINYA

PERBEDAAN PENDAPAT DALAM HUKUM ISLAM

PENDAHULUAN

Di antara ayat-ayat Quran ada yang disebut ayat Muhkamat dan


ayat Mutasyabihat. Ayat Muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas arti dan
maksudnya serta mudah dipahami. Ayat ini disebut juga Qot’iy al-Dalalah, yaitu ayat
yang artinya satu dan jelas serta bersifat absolut. Sedangkan ayat Mutasyabihat adalah
ayat-ayat yang belum jelas pengertiannya dan mengandung arti lebih dari satu.
Sehingga untuk menentukan mana arti yang dimaksudkan ayat tersebut perlu diadakan
penelitian dan pengkajian yang lebih mendalam. Ayat ini disebut juga Zonny al-Dalalah,
yaitu ayat yang artinya tidak jelas dan boleh mengandung arti lebih dari satu.

Dari kedua macam ayat Quran tersebut di atas, ayat Mutasyabihatlah yang
menyebabkan timbulnya pertentangan antara para ulama, karena dalam memahami
ayat tersebut mereka berbeda pendapat. Perbedaan dalam memahami dan
menginterpre-tasikan ayat Mutasyabihat inilah (di samping perbedaan dalam
memahami isi Sunah yang tidak bersifat absolut) yang kemudian melahirkan aliran-
aliran (mazhab) dalam Islam. Dalam teologi (ilmu kalam) lahir lima mazhab, yaitu:
Khawarij, Murji’ah, Muktazilah, Asy’ariah, dan Maturidiah. Sedangkan dalam hukum
(ilmu fikih) lahir beberapa mazhab, di antaranya, mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hanbali (keempat mazhab ini adalah mazhab besar), serta mazhab-mazhab lainnya
yang termasuk mazhab kecil, yaitu mazhab at-Tauri, an-Nakha’i, at-Tabari, al-Auza’i
dan az-Zahiri.

Khusus dalam bidang hukum Islam (fikih), hal tersebut di atas merupakan salah satu
faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat. Masih banyak faktor lain yang menjadi
penyebab terjadinya perbedaan pendapat dalam fikih. Faktor-faktor lain inilah yang
penulis ingin bahas dalam makalah ini.

PEMBAHASAN

Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan Pendapat dalam Hukum Islam

Jika kita memasuki kawasan hukum Islam (fikih), maka kita tidak akan lepas dari
terjadinya perbedaan pendapat dalam suatu masalah. Hal ini disebabkan obyek
bahasan fikih biasanya adalah masalah-masalah ijtihadiyah, yaitu masalah yang untuk
menen-tukan hukumnya harus dilakukan ijtihad lebih dahulu.

Sebagai contoh, dalam masalah hukum membaca Quran bagi orang yang sedang haid,
terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ada yang mengatakan hukumnya
tidak boleh, dengan alasan bahwa pada saat sedang haid, manusia dalam keadaan
tidak suci dan ada Hadis yang melarangnya. Ada pula yang membolehkannya, dengan
alasan tidak ada dalil yang menunjukkan ketidakbolehannya. Contoh lainnya adalah
seorang istri yang ditalak tiga oleh suaminya. Istri yang dalam keadaan seperti ini tidak
boleh dirujuk oleh suaminya kecuali jika ia telah menikah dengan suami baru dan
suaminya yang baru itu telah menceraikannya. Inilah hukum yang telah ditetapkan oleh
Allah dalam Quran surat al-Baqarah (2): 230. Yang diperselisihkan adalah apakah istri
dan suaminya yang baru itu harus melakukan persetubuhan terlebih dahulu sebelum
mereka bercerai. Sebagian besar ulama berpen-dapat bahwa sebelum diceraikan, istri
harus disetubuhi dahulu oleh suaminya yang baru. Akan tetapi Sa’ied ibn Musyayyab
berpendapat bahwa suami pertama boleh menikah kembali dengan istrinya itu setelah
diceraikan oleh suami barunya, walaupun belum disetubuhi. Kedua contoh ini
merupakan masalah yang masuk dalam wilayah fikih. Oleh karena itu, dalam
menetapkan hukumnya, keduanya tidak luput dari terjadinya perbedaan pendapat.

Faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat dalam fikih sangat banyak, sehingga
di antara para ulama terjadi perbedaan argumentasi tentang faktor apa saja yang
menjadi penyebab terjadinya perbedaan-perbedaan itu dalam fikih. Dalam makalah ini
penulis mencoba menggabung argumentasi-argumentasi para ulama tersebut.

Di antara faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat itu adalah:

1. Perbedaan mengenai sahih dan tidaknya nash.

Kesahihan suatu nash (dalam hal ini Hadis) kadang-kadang diperdebatkan. Ada ulama
yang mau menerima kesahihan suatu nash dan ada pula yang menolaknya. Hal ini
terjadi karena mereka berbeda pendapat dalam menilai tsiqat(terpercaya) tidaknya
seorang perawi, lemah tidaknya matan dan sanad suatu Hadis jika dibandingkan
dengan matan dan sanad lain. Ada seorang mujtahid yang menggunakan suatu Hadis
sebagai hujjah karena perawinya ia anggap dapat dipercaya, tetapi oleh mujtahid
lainnya Hadis tersebut ditolak, karena, menurutnya, perawi Hadis itu tidak dapat
dipercaya.

2. Perbedaan dalam memahami nash.

Dalam suatu nash, baik Quran maupun Hadis, kadang-kadang terdapat kata yang
mengandung makna ganda (musytarak), dan kata majazi (kiasan), sehingga arti yang
terkandung dalam nash itu tidak jelas. Terhadap nash yang demikian ini, para ulama
berbeda-beda dalam memahaminya. Misalnya kata ٍ‫قُر ُْوء‬ (qur’) dalam surah al-Baqarah
(2): 228 mempunyai 2 arti, “suci” dan “haid”, sehingga dalam menafsirkan ayat tersebut
para mujtahid berbeda pendapat. Di samping itu, perbedaan pemahaman ini juga
disebabkan perbedaan kemampuan mereka satu sama lain.

3. Perbedaan dalam menggabungkan dan mengunggulkan nash-nash yang saling


bertentangan.

Dalam suatu masalah kadang-kadang terdapat dua atau lebih nash yang bertentangan,
sehingga hukum yang sebenarnya dari masalah tersebut sulit diputuskan. Untuk
memutuskannya biasanya para ulama memilih mana nash yang lebih kuat (arja¥) di
antara nash-nash itu, atau mencari titik temu di antara nash-nash tersebut. Dalam
mengambil keputusan dan mencari titik temu inilah biasanya para ulama berbeda
pendapat.

4. Perbedaan dalam kaidah-kaidah ushul sebagai sumber intinbath.

Para mujtahid, dalam memilih suatu Hadis atau mencari suatu dalil, mempunyai cara
pandang dan metode yang berbeda-beda. Suatu Hadis, yang oleh seorang mujtahid
dijadikan sebagai dalil dalam suatu masalah, mungkin saja ditolak oleh mujtahid lain
dalam masalah yang sama. Hal ini disebabkan sudut pandang mereka terhadap Hadis
itu tidak sama. Ada mujtahid yang mengambil perkataan atau fatwa seorang sahabat
Nabi dalam memecahkan suatu masalah, tetapi ada pula mujtahid yang menolaknya,
tidak mau mengambil fatwa sahabat tersebut. Begitu pula ada mujtahid yang
menjadikan amaliah penduduk Medinah sebagai hujjah, tetapi oleh mujtahid lainnya
ditolak. Hal ini karena mereka mempunyai metode yang berbeda dalam menentukan
suatu hukum.

5. Perbedaan dalam perbendaharaan Hadis

Di antara para sahabat, kemungkinan besar, banyak yang koleksi Hadisnya tidak sama
dengan sahabat lainnya. Hal ini karena tidak mungkin mereka selalu bersama-sama
berkumpul atau mendampingi Nabi. Mungkin saja pada saat sahabat yang satu sedang
bersama Nabi sedangkan sahabat yang lain tidak hadir, sehingga pada saat Nabi
mengemukakan suatu masalah ia tidak tahu. Oleh karena di antara para sahabat
sendiri koleksi Hadisnya tidak sama, maka sudah barang tentu di antara para mujtahid
pun akan terjadi hal yang sama. Perbedaan koleksi Hadis yang dimiliki para mujtahid ini
pada gilirannya akan menyebabkan mereka berbeda pendapat.

6. Perselisihan tentang ilat dari suatu hukum

Perselisihan para mujtahid mengenai ilat (`illah=sebab) dari suatu hukum juga
merupakan salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat dalam fikih. Sebagai
contoh, dalam Islam kita diperintahkan untuk berdiri jika bertemu dengan usungan
jenazah. Para mujtahid berbeda pendapat tentang siapa jenazah itu, orang Islam, orang
Kafir, atau kedua-duanya. Sebagian besar mujtahid berpendapat bahwa yang
dimaksudkan adalah kedua-duanya, jenazah orang Islam dan Kafir. Jadi, umat Islam
diperintahkan untuk berdiri jika bertemu dengan usungan jenazah, baik jenazah orang
Islam maupun orang Kafir. Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa perintah untuk
berdiri itu hanya terhadap jenazah orang Kafir. Hal ini karena di dalam sebuah Hadis
diterangkan bahwa pada suatu hari, ketika sedang berjalan, Rasulullah saw. bertemu
dengan jenazah orang Yahudi, lalu beliau berhenti dan berdiri.

Sikap Kita Dalam Menghadapi Perbedaan Pendapat Dalam Hukum Islam

Perbedaan pendapat mengenai masalah-masalah yang ada dalam fikih harus disikapi
dengan arif dan bijaksana. Kita tidak boleh bersikap apriori dengan langsung menyalah-
kan satu pendapat dan membenarkan pendapat lainnya. Sikap apriori yang semacam
ini dapat memicu terjadinya perpecahan di kalangan umat. Masalah yang biasanya
menimbulkan perbedaan pendapat dalam fikih adalah masalah furu’iyah (cabang),
bukan masalah pokok. Oleh karena itu, mempertajam pertentangan atau perbedaan
pendapat dalam maslah cabang ini hanyalah membuang-buang waktu dan energi.

Sebenarnya di antara para imam mazhab sendiri tidak ada satu pun yang merasa
pendapatnya paling benar. Mereka tidak saling menyalahkan, apalagi menjatuhkan.
Bahkan di antara mereka tidak ada yang menyuruh orang untuk hanya mengikuti
pendapat mazhabnya, karena mereka menyadari bahwa mereka hanyalah manusia
biasa yang tidak luput dari salah dan lupa. Imam Malik pernah berkata :

“Saya ini tidak lain, melainkan manusia biasa. Saya boleh jadi salah dan boleh jadi
benar. Maka oleh sebab itu, lihatlah dan pikirlah baik-baik pendapat saya. Apabila
sesuai dengan Kitab (Al Qur’an) dan Sunnah, maka ambillah ia dan jika tidak sesuai
dengan Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah ia.”

Imam Syafi’i pernah berkata kepada Imam Ar-Rabi’:

“Apa saja yang telah berlaku menurut sunnah Rasulullah s.a.w. padahal bersalahan
dengan mazhabku, maka tinggalkanlah mazhabku itu karena sunnah itulah mazhab
yang sebenarnya.”

Jadi jelaslah bahwa di kalangan imam mazhab sendiri tidak terjadi perselisihan, apalagi
perpecahan. Mereka sebenarnya telah benar-benar memahami Hadis Rasulullah saw.
yang berbunyi:

‫اختالف أمتي رحمة‬

“Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah suatu rahmat.”

Di sini Rasulullah memberikan isyarat kepada umatnya bahwa perbedaan pendapat itu
pasti terjadi di antara sesama umat Islam. Dalam Hadis itu pula beliau mengajarkan
umatnya bagaimana menyikapi perbedaan pendapat tersebut. Di sini tam-pak bahwa
beliau ingin agar perbedaan pendapat itu justru mempersatukan umat, bu-kan masalah
memecah-belah mereka. Carilah hikmah di balik perbedaan-perbedaan itu.

 
Usaha dan pelayanan sosial kemanusiaan sangat mulia dalam pandangan umat
manusia secara universal dan terpuji dalam pandangan agama, termasuk dalam hal
ini adalah kegiatan dan misi kemanusiaan Palang Merah Indonesia. Rasulullah saw
menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaat
(jasanya) bagi umat manusia. Hal itu tentunya terlepas dari makna filosofis dan
religius simbolis dari pemakaian nama organisasi. Memang pemakaian lambang
palang merah atau salib merah (red cross) untuk organisasi ini adalah meniru Barat
yang pada mulanya sangat erat hubungannya dengan semangat religiusitas
Nasrani/Kristiani dan menggunakannya sebagai simbol misi kemanusiaan sekaligus
misi Salib yaitu penyebaran agama Nasrani.

Memang sangat disayangkan umat Islam Indonesia yang merupakan mayoritas


bangsa Indonesia kehilangan identitas keislamannya sampai dalam masalah simbol
dan lambang sosial, dan cenderung meniru dan mengambil simbol Barat yang
notabene sarat dengan semangat misi kristiani. Padahal Islam memiliki simbol religi
sosial tersendiri yakni bulan sabit yang menandakan siklus bulan hijriyah sebagai
perjalanan syiar Islam dan oleh karenanya Dunia Arab dan Negara-Negara Islam
lebih cenderung menggunakan lambang Bulan Sabit Merah (Hilal Ahmar/ Red
Crescent) untuk organisasi sosial kemanusiaan semacam Palang Merah. Nabi saw
selalu menganjurkan kepada umatnya untuk memiliki identitas independen dan
menghindari mental imitator yang suka meniru dan taklid buta kepada simbol umat
lain apalagi yang berbau ritual dan syiar keagamaan. Sabda Nabi saw.: “Berbedalah
kalian dari umat Yahudi dan Nasrani” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Al-
Nasa’I dan Ibnu Majah) dan sabdanya: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum
(umat lain) maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud dan At-Tabrani)

Dengan demikian kewajiban umat Islam baik pemerintah maupun masyakat pada
umumnya adalah menyadari hal ini dan berusaha untuk mendekatkan lembaga dan
simbol sosial sesuai dengan aspirasi akidah dan syiar Islam sebagai agama
mayoritas di Indonesia. Adapun hukum bekerja padanya selama membawa misi
kemanusiaan adalah merupakan amal yang terpuji sebagai ibadah sosial apalagi
dibarengi dengan nilai-nilai dakwah Islam yang menjadi kewajiban setiap muslim.

Masalah transfusi darah yaitu memindahkan darah dari seseorang kepada orang
lain untuk menyelamatkan jiwanya. Islam tidak melarang seorang muslim atau
muslimah menyumbangkan darahnya untuk tujuan kemanusiaan, bukan
komersialisasi, baik darahnya disumbangkan secara langsung kepada orang yang
memerlukannya, misalnya untuk anggota keluarga sendiri, maupun diserahkan
pada palang merah atau bank darah untuk disimpan sewaktu-waktu untuk
menolong orang yang memerlukan.

Penerima sumbangan darah tidak disyariatkan harus sama dengan donornya


mengenai agama/kepercayaan, suku bangsa, dsb. Karena menyumbangkan darah
dengan ikhlas adalah termasuk amal kemanusiaan yang sangat dihargai dan
dianjurkan (mandub) oleh Islam, sebab dapat menyelamatkan jiwa manusia, sesuai
dengan firman Allah: “dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al-
Maidah:32).

Jadi boleh saja mentransfusikan darah seorang muslim untuk orang non muslim
dan sebaliknya, demi menolong dan saling menghargai harkat sesama umat
manusia. Sebab Allah sebagai Khalik alam semesta termasuk manusia berkenan
memuliakan manusia, sebagaimana firman-Nya: “dan sesungguhnya Kami
memuliakan anak cucu Adam (manusia).” (QS. Al-Isra:70). Maka sudah seharusnya
manusia bisa saling menolong dan menghormati sesamanya.

Adapun dalil syar’i yang menjadi dasar untuk membolehkan transfusi darah tanpa
mengenal batas agama dan sebagainya, berdasarkan kaidah hukum fiqih Islam
yang berbunyi: “Al-Ashlu Fil Asyya’ al-Ibahah Hatta Yadullad Dalil ‘Ala Tahrimihi”
(bahwasanya pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh hukumnya, kecuali ada dalil
yang mengharamkannya). Padahal tidak ada satu ayat dan hadits pun yang secara
eksplisit atau dengan nash yang sahih, melarang transfusi darah, maka berarti
transfusi darah diperbolehkan, bahkan donor darah itu ibadah, jika dilakukan
dengan niat mencari keridhaan Allah dengan jalan menolong jiwa sesama manusia.

Namun untuk memperoleh maslahah (efektifitas positif) dan menghindari mafsadah


(bahaya/risiko), baik bagi donor darah maupun bagi penerima sumbangan darah,
sudah tentu transfusi darah itu harus dilakukan setelah melalui pemeriksaan yang
teliti terhadap kesehatan keduanya, terutama kesehatan pendonor darah; harus
benar-benar bebas dari penyakit menular, seperti AIDS dan HIV. Penyakit ini bisa
menular melalui transfusi darah, suntikan narkoba, dll.

Jelas bahwa persyaratan dibolehkannya transfusi darah itu berkaitan dengan


masalah medis, bukan masalah agama. Persyaratan medis ini harus dipenuhi,
karena adanya kaidah-kaidah fiqih seperti: “Adh-Dhararu Yuzal” (Bahaya itu harus
dihilangkan/ dicegah). Misalnya bahaya penularan penyakit harus dihindari dengan
sterilisasi, dsb., “Ad-Dhararu La Yuzalu Bidharari Mitslihi” (Bahaya itu tidak boleh
dihilangkan dengan bahaya lain). Misalnya seorang yang memerlukan transfusi
darah karena kecelakaan lalu lintas atau operasi, tidak boleh menerima darah
orang yang menderita AIDS, sebab bisa mendatangkan bahaya lainnya yang lebih
fatal. Dan Kaedah “La Dharara wa La Dhirar” (Tidak boleh membuat mudarat
kepada dirinya sendiri dan tidak pula membuat mudarat kepada orang lain).
Misalnya seorang pria yang terkena AIDS tidak boleh kawin sebelum sembuh.
Demikian pula seorang yang masih hidup tidak boleh menyumbangkan ginjalnya
kepada orang lain karena dapat membahayakan hidupnya sendiri. Kaidah terakhir
ini berasal dari hadits riwayat Malik, Hakim, Baihaqi, Daruquthni dan Abu Said al-
Khudri. Dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dan Ubadah bin Shamit.

Adapun hubungan antara donor dan resipien, adalah bahwa transfusi darah itu
tidak membawa akibat hukum adanya hubungan kemahraman antara donor dan
resipien. Sebab faktor-faktor yang dapat menyebabkan kemahraman sudah
ditentukan oleh Islam sebagaimana tersebut dalam An-Nisa:23, yaitu: Mahram
karena adanya hubungan nasab. Misalnya hubungan antara anak dengan ibunya
atau saudaranya sekandung, dsb, karena adanya hubungan perkawinan misalnya
hubungan antara seorang dengan mertuanya atau anak tiri dan istrinya yang telah
disetubuhi dan sebagainya, dan mahram karena adanya hubungan persusuan,
misalnya hubungan antara seorang dengan wanita yang pernah menyusuinya atau
dengan orang yang sesusuan dan sebagainya.

Kemudian pada ayat berikutnya, (an-Nisa:24) ditegaskan bahwa selain wanita-


wanita yang tersebut pada An-Nisa:23 di atas adalah halal dinikahi. Sebab tidak
ada hubungan kemahraman. Maka jelaslah bahwa transfusi darah tidak
mengakibatkan hubungan kemahraman antara pendonor dengan resipien. Karena
itu perkawinan antara pendonor dengan resipien itu diizinkan oleh hukum Islam.

Masalah transfusi darah tidak dapat dipisahkan dari hukum menjualbelikan darah
sebagaimana sering terjadi dalam parkteknya di lapangan. Mengingat semua jenis
darah termasuk darah manusia itu najis berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan
Muslim dari Jabir, kecuali barang najis yang ada manfaatnya bagi manusia, seperti
kotoran hewan untuk keperluan rabuk. Menurut madzhab Hanafi dan Dzahiri, Islam
membolehkan jual beli barang najis yang ada manfaatnya seperti kotoran hewan.
Maka secara analogi (qiyas) madzhab ini membolehkan jual beli darah manusia
karena besar sekali manfaatnya untuk menolong jiwa sesama manusia, yang
memerlukan transfusi darah. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/109, Sayyid Sabiq,
Fiqh As-Sunnah, III/130)

Namun pendapat yang paling kuat adalah bahwa jual beli darah manusia itu tidak
etis disamping bukan termasuk barang yang diboelhkan untuk diperjual belikan
karena termasuk bagian manusia yang Allah muliakan dan tidak pantas untuk
diperjual belikan, karena bertentangan dengan tujuan dan misi semula yang luhur,
yaitu amal kemanusiaan semata, guna menyelamatkan jiwa sesama manusia.
Karena itu, seharusnya jual beli darah manusia itu dilarang, karena bertentangan
dengan moral agama dan norma kemanusiaan.

Apabila praktik transfusi darah itu memberikan imbalan sukarela kepada donor atau
penghargaan apapun baik materi maupun non materi tanpa ikatan dan transaksi,
maka hal itu diperbolehkan sebagai hadiah dan sekedar pengganti makanan
ataupun minuman untuk membantu memulihkan tenaga. Ada baiknya bila
pemerintah memikirkan dan merumuskan kebijakan dalam hal ini seperti
memberikan sertifikat setiap donor yang dapat dipergunakannya sebagai kartu
diskon atau servis ekstra dalam pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bilamana
orang yang berdonor darah memerlukan pelayanan kesehatan, atau bahkan
mendapatkan pelayanan gratis bilamana ia memerlukan bantuan darah sehingga
masyarakat akan rajin menyumbangkan darahnya sebagai bentuk tolong-menolong
dan benar-benar menjadi tabungan darah baik untuk dirinya maupun orang lain
sehingga terjalin hubungan yang simbiosis mutualis. 
Dengan demikian praktik

Menjual belikan darah baik secara langsung maupun melalui rumah sakit dapat
dihindarkan karena sebenarnya transfusi darah terlaksana berkat kerjasama sosial
yang murni subsidi silang melalui koordinasi pemerintah dan bukan menjadi objek
komersial sebagaiman dilarang Syariat Islam dan bertentangan dengan
perikemanusiaan, sehingga setiap individu tanpa dibatasi status ekonomi dan
sosialnya berkesempatan untuk mendapatkan bantuan darah setiap saat bilamana
membutuhkannya sebab di sini harus berlaku hukum barang siapa menamam
kebaikan maka ia berhak mengetam pahala dan ganjaran kebaikannya.

Transfusi darah yaitu memindahkan darah dari seseorang kepada orang lain untuk
menyelamatkan jiwanya.
Macam-macam donor :
Donor anggota badan yang bisa pulih kembali (darah, kulit, sumsum tulang)
Donor anggota badan yang dapat menyebabkan kematian
Donor angota badan yang hanya satu satunya (meskipun tdk mengakibatkan kematian
(lidah, pankreas)
Donor anggota badan yang ada pasangannya (mata, ginjal)
Donor alat reproduksi manusia (sperma, ovum, ovarium, testis)
Donor anggota badan dari mayat yang berwasiat
Hakekat Darah
Darah adalah bagian dari badan (anggota badan)
Memindahkan darah berarti memindahkan anggota badan
Pandangan Ulama terdahulu
Memanfaatkan anggota badan adalah haram baik dengan cara jual beli ataupun dengan
cara lainnya
Memanfaatkan anggota badan manusia tidak diperbolehkan. Ada yang beralasan karena
(1)najis, (2)merendahkan. Alasan kedua adalah alasan yang benar (Al-Fatwa Al-Hidayah)
Penerima sumbangan darah tidak disyariatkan harus sama dengan donornya mengenai
agama/kepercayaan, suku bangsa, dsb. Karena menyumbangkan darah dengan ikhlas
adalah termasuk amal kemanusiaan yang sangat dihargai dan dianjurkan (mandub) oleh
Islam, sebab dapat menyelamatkan jiwa manusia, sesuai dengan firman Allah: “dan barang
siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara
kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al-Maidah:32).
Namun untuk memperoleh maslahah (efektifitas positif) dan menghindari mafsadah
(bahaya/risiko), baik bagi donor darah maupun bagi penerima sumbangan darah, sudah
tentu transfusi darah itu harus dilakukan setelah melalui pemeriksaan yang teliti terhadap
kesehatan keduanya, terutama kesehatan pendonor darah; harus benar-benar bebas dari
penyakit menular, seperti AIDS dan HIV. Penyakit ini bisa menular melalui transfusi darah,
suntikan narkoba, dll.
Adapun hubungan antara donor dan resipien, adalah bahwa transfusi darah itu tidak
membawa akibat hukum adanya hubungan kemahraman antara donor dan resipien. Sebab
faktor-faktor yang dapat menyebabkan kemahraman sudah ditentukan oleh Islam
sebagaimana tersebut dalam An-Nisa:23, yaitu: Mahram karena adanya hubungan nasab.
Misalnya hubungan antara anak dengan ibunya atau saudaranya sekandung, dsb, karena
adanya hubungan perkawinan misalnya hubungan antara seorang dengan mertuanya atau
anak tiri dan istrinya yang telah disetubuhi dan sebagainya, dan mahram karena adanya
hubungan persusuan, misalnya hubungan antara seorang dengan wanita yang pernah
menyusuinya atau dengan orang yang sesusuan dan sebagainya.
Kemudian pada ayat berikutnya, (an-Nisa:24) ditegaskan bahwa selain wanita-wanita yang
tersebut pada An-Nisa:23 di atas adalah halal dinikahi. Sebab tidak ada hubungan
kemahraman. Maka jelaslah bahwa transfusi darah tidak mengakibatkan hubungan
kemahraman antara pendonor dengan resipien. Karena itu perkawinan antara pendonor
dengan resipien itu diizinkan oleh hukum Islam.
Masalah transfusi darah tidak dapat dipisahkan dari hukum menjualbelikan darah
sebagaimana sering terjadi dalam parkteknya di lapangan. Mengingat semua jenis darah
termasuk darah manusia itu najis berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Jabir,
kecuali barang najis yang ada manfaatnya bagi manusia, seperti kotoran hewan untuk
keperluan rabuk. Menurut madzhab Hanafi dan Dzahiri, Islam membolehkan jual beli barang
najis yang ada manfaatnya seperti kotoran hewan. Maka secara analogi (qiyas) madzhab ini
membolehkan jual beli darah manusia karena besar sekali manfaatnya untuk menolong jiwa
sesama manusia, yang memerlukan transfusi darah. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,
I/109, Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, III/130)
Namun pendapat yang paling kuat adalah bahwa jual beli darah manusia itu tidak etis
disamping bukan termasuk barang yang diboelhkan untuk diperjual belikan karena
termasuk bagian manusia yang Allah muliakan dan tidak pantas untuk diperjual belikan,
karena bertentangan dengan tujuan dan misi semula yang luhur, yaitu amal kemanusiaan
semata, guna menyelamatkan jiwa sesama manusia. Karena itu, seharusnya jual beli darah
manusia itu dilarang, karena bertentangan dengan moral agama dan norma kemanusiaan.
Apabila praktik transfusi darah itu memberikan imbalan sukarela kepada donor atau
penghargaan apapun baik materi maupun non materi tanpa ikatan dan transaksi, maka hal
itu diperbolehkan sebagai hadiah dan sekedar pengganti makanan ataupun minuman untuk
membantu memulihkan tenaga.

Definisi Transfusi Darah


Dr. Ahmad Sofyan mengartikan transfusi darah dengan istilah “pindah-tuang darah”, sebagaimana
dikemukakannya dalam rumusan definisinya yang berbunyi:
“Pengertian pindah-tuang darah adalah memasukan darah orang lain kedalam pembuluh darah orang yang
akan ditolong.”
Sedangkan Asy-Syekh Husnain Muhammad Makhluf merumuskan definisinya sebagai berikut: “Transfusi
darah adalah memanfaatkan darah manusia dengan cara memindahkannya dari tubuh orang yang sehat
kepada tubuh orang yang membutuhkannya, untuk mempertahankan hidupnya”..
Hukum Mempergunakan Darah (Transfusi Darah)
Pada dasarnya, darah yang dikeluarkan dari tubuh manusia termasuk najis mutawasittah menurut hukum
islam. Maka agama islam melarang mempergunakannya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan
keterangan tentang haramnya mempergunakan darah, terdapat pada beberapa ayat yang dhalalahnya shahih.
Antara lain berbunyi: “Diharamkan bagimu (mempergunakannay) bangkai, darah, daging babi, daging hewan
yang disembelih bukan atas nama Allah”(Q.S. Al Maidah :3).
Tetapi bila berhadapan dengan hajat manusia untuk mempergunakannya dalam keadaan darurat, sedangkan
sama sekali tidak ada bahan lagi yang dapat dipergunakaanya untuk menyelamatkan nyawa seseorang maka
najis itu boleh dipergunakannya hanya sekedar kebutuhan untuk mempertahankan kehidupan; misalnya
seseorang menderita  kekerungan darah karena kecelakaan, maka hal itu debolehkan dalam islam untuk
menerima darah dari orang lain, yang disebutnya “Transfusi Darah”. Hal tersebut, sangat dibutuhkan
(dihajatkan) untuk menolong seseorang dalam keadaan darurat, sebagaiman keterangan Qaidah fiqhiyah yang
berbunyi: “Perkara hajat (kebutuhan) menempati posisi darurat (dalam menetapkan hukum islam), baik
bersifat umum maupun khusus”. Dan dalam kaidah Fiqhiyah selanjutnya yang berbunyi : Tidak ada yang
haram bila berhadapan dengan yang hajat(kebutuhan).

Maksud yang terkandung dalam kedua Qaidah Fiqhiyah tersebut diatas adalah menunujukan bahwa islam
membolehkan hal-hal yang bersifat makruh dan yang haram bila berhadapan dengan yang hajat dan darurat.
Dan membolehkan transfusi darah untuk menyelamatkan pasien karena keadaan darurat yang tertentu. Akan
tetapi kebolehannya hanya sebatas pada transfusi darah saja.

Bila dalam keadaan darurat yang dialami oleh seseorang maka Agama islam membolehkan, tetapi bila
digunakan untuk hal-hal yang lain maka agama islam melarangnya. Karena dibutuhkannya hanya untuk
ditransfer kepada pasien saja. Hal ini sesuai dengan maksud Qaidah Fiqhiyah yang berbunyi :”Sesuatu yang
dibolehkan karena keadaan darurat, (hanya diberlakukan) untuk mengatasi kesulitan tertentu”.
Hukum Jual Beli Darah
Imam Abu Hanifah dan Zahiri membolehkan menjual-belikan benda najis yang ada manfaatnya, seperti
kotoran hewan seperti serbuk. Secara analogis mazhab ini membolehkan jual beli darah karena besar
manfaatnya bagi manusia untuk keperluan transfusi darah untuk keperluan operasi dan sebagainya.

Namun Imam Syafi’i mengharamkan jual beli benda najis termasuk darah . Ayat Al-Qur’an menyatakan secara
tegas bahwa darah termasuk benda yang diharamkan. Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3 yang artinya:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai darah, daging babi (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah”. (QS. Al-Maidah ayat 3).

Dalam dua buku yang saya baca teradapat silang pendapat mengenai jual beli darah. Silang tersebut dari
pendapat Prof.. Drs. H. Marzuki Zuhdi dan Drs. H. Mahyudin, M.Pd.I. menurut pendapat Prof. Drs. H. Marzuki
Zuhdi mengatakan bahwa jual beli darah manusia itu tidak etis disamping bukan termasuk barang yang
dibolehkan untuk diperjualbelikan karena termasuk bagian manusia yang Allah muliakan dan tidak pantas
untuk diperjualbelikan, karena bertentangan dengan tujuan dan misi semula yang luhur, yaitu amal
kemanusiaan semata, guna menyelamatkan jiwa sesama manusia. Karena itu seharusnya jual beli darah
manusi itu dilarang, karena bertentangan dengan moral agam dan Norma kemanusiaan.
Menurut Drs. H. Mahyudin, M..Pd.I juga berpendapat tentang jual beli darag yang dilakukan oleh Tim medis
itu bahwa dibolehkan oleh islam bila seseorang menerima bantuan darah dibebani biaya untuk administrasi
dan imbalan jasa kepada dokter. Dengan cara pengumpulan dana dari pasien, berarti Yayasan atau Badan yang
bergerak dalam pengumpulan darah dari para donor dapat menjalankan tugasnya dengan lancer. Sebab dana-
dana tersebut dapat digunakan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam tugas-tugas operasional yayasan atau
badan tersebut termasuk gaji perawat, biaya peralatan medis dan perlengkapan lainnya. Tentu saja dana yang
dipergunakan untuk biaya hidup para pegawai dan karyawan atau badan yang mengelolanya.
Hukum Menerima/Memberikan Darah Kepada Non Muslim
Bagi kalian atau saudara kalian yang pernah dirawat di Rumah Sakit yang mendapatkan bantuan darah,
pernahkah kalian bertanya dalam benak kalian “Darimana asal usul darah tersebut? Jika darah tersebut darah
dari non muslim, Apakah kita boleh menerimanya? Ataupun kasus sebaliknya.

Penerima sumbangan darah tidak disyaratkan harus sama dengan donornya mengenai agama/kepercayaan,
suku/bangsa tertentu, dan lain sebagainya. Karena menyumbangkan darah dengan ikhlas adalah termasuk
amal kemanusiaan yang dapat dihargai dan dianjurkan oleh Islam sebab dapat menyelamatkan jiwa manusia.
Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 32 yang berbunyi :Barang siapa yang memelihara
kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya.

Adapun dalil syar’i yang biasa menjadi pegangan untuk membolehkan transfusi darah tanpa mengenal batas
agama dan lain sebagainya, berdasarkan kaidah hukum Fiqh Islam yang berbunyi: Bahwasanya pada
prinsipnya segala sesuatu boleh hukumnya kecuali kalau ada dali yang mengaramkannya.

Jadi, boleh saja mentransfusi darah seseorang untuk orang non muslim dan sebagainya demi menolong dan
memuliakan/menhormati harkat dan martabat manusia (human dignity).

Anda mungkin juga menyukai