Anda di halaman 1dari 20

PENCURIAN DALAM HUKUM ISLAM 

Pengertian Pencuri menurut Islam:

Menurut bahasa pencurian adalah:

‫السرقة هي اخذ المال المتقو ملك للغير فى حرز مثله خفية‬                        


Artinya: Pencurian adalah mengambil harta orang lain yang bernilai secara diam-diam dari tempatnya
yang tersimpan”.

Sedangkan menurut syara’, pencurian adalah:

‫ بال شبهة‬ ‫السرقة هي أخذ المكلف خفية قدر عشرة دراهم فضروبة محرزة أو خافظ‬.
Artinya: Pencurian adalah mengambil harta orang lain yang oleh mukallaf secara sembunyi-sembunyi
dengan nisab 10 dirham yang dicetak, disimpan pada tempat penyimpanan yang biasa digunakan
atau dijaga oleh seorang penjaga dan tidak ada syubhat.

Adapun maksud dari pengertian tersebut adalah sebagai berikut;

1.    Kalimat diambil oleh orang mukallaf yaitu orang dewasa yang waras, jika seandainya yang mengambil harta
mencapai satu nisab tapi dilakukan oleh anak dibawah umur atau orang gila, maka tidak berhak diberikan
hukuman potong tangan.

2.      Secara sembunyi-sembunyi, sekalipun yang mengambil harta orang lain adalah orang dewasa dan waras tapi
dilakukan secara terang-terangan, maka tidak disebut dengan pencurian.

3.      Nisab (jumlah) 10 dirham yang dicetak. Barangsiapa yang mencuri sebatang perak yang tidak dicetak menjadi
uang yang beratnya 10 dirham yang dicetak, maka ia tidak dianggap seorang pencuri menurut syara’, karena
tidak dikenakan potong tangan.

4.      Disimpan di suatu tempat. Maksudnya, barang yang dicuri itu diambil dari tempat yang disiapkan untuk
menyimpan barang-barang tersebut yang biasa disebut dengan hitzan. Seprti; rumah-rumah, flat-flat atau
hotel-hotel, laci-laci dan lain sebagainya yang biasa digunakan untuk menyimpan barang berharga dengan
aman.

5.      Disimpan dengan penjagaan seorang penjaga. Maksudnya, barang yang diambil itu dijaga oleh penjaga.
Dalam hal ini barang tersebut diletakkan disuatu tempat yang tidak biasanya disiapkan untuk penyimpanan
barang, tetapi ditentukan penjaganya, misalnya satpam dan sebagainya dengan maksud agar barang tersebut
tidak dicuri atau hilang. Sebagai contoh, orang-orang yang hendak membangun rumah atau bangunan yang
meletakkan besi-besi, semen, balok-balok dan sebagainya di tempat-tempat umum dan menunjuk seseorang
untuk menjaganya dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Jika seandainya seseorang mengambil
sesuatu dari barang-barang tersebut walaupun dalam kelalaian penjaganya dan barang yang diambil itu
mencapai satu nisab (10 dirham), maka ia dianggap pencuridan akan dijatuhkan hukuman potong tangan.

6.      Tidak ada syubhat. Maksudnya, tidak dipotong tangan orang yang mengambil harta yang disimpan ditempat
penyimpanannya, kecuali apabila harta yang diambilnya itu luput dari syubhat. Misalnya, seorang suami
mengambil harta istrinya di tempat penyimpanannya maka suami tersebut tidak dihukum potong tangan
karena pencampuran keduanya dalam mu’asyarah zaujiyyah merupakan suatu syubhat yang dapat

1
menggurkan hukuman. Sedangkan hukuman menjadi gugur karena adanya syubhat. Demikian pula tidak
dipotong tangannya orang yang mencuri harta kerabatnya. Dan tidak dihukum potong tangan karena syubhat
memungkinkan harta yang dicuri adalah harta rampasan.

Hukuman Tindak Pidana Pencurian Menurut Hadis

Para fuqaha telah sepakan bahwa pencuria haram hukumnya, serta hukuman potong tangan pada
pelakunya adalah wajib dilaksanakan dan tidak boleh bagi hakim atau dengan perantaan seseorang untuk
menggugurkannya bila telah memenuhi syarat pencurian. Pendapat mereka berdasarkan hadis Nabi saw;

‫ إنما هلك من كان قبلكم أنهم كانوا‬:‫ أن أسامة كلم النبي صلى هللا عليه و سلم في امرأة فقال‬: ‫عن عائشة‬
. ‫يقيمون الحد على الوضيع ويتركون على الشريف والذي نفسي بيده لو فاطمة فعلت ذلك لقطعت يدها‬
Artinya: Dari Aisyah ra; sesungguhnya Usamah meminta pengampunan kepada Rasulullah saw. tentang
seseorang yang mencuri, lalu Rasulullah bersabda; bahwasanya binasa orang-orang sebelum kamu disebabkan
karena mereka melaksanakan hukuman hanya kepada orang-orang yang hina dan mereka tidak melaksanakannya
kepada orang-orang bangsawan. Demi yang jiwaku dalam kekuasaanNya, jika seandainya Fatimah yang
melakukannya, pasti aku potong tangannya. (HR. Bukhari)

A. Pengertian Pidana dan Pencuri

Hukum pidana Islam adalah adalah merupakan terjemahan dari fiqh jinayah, fiqh jinayah adalah
segala ketentuan hukum mengenai tindakan pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan orang-
orang Mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban).

Hukum pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung kemaslahatan bagi kehidupan
manusia baik didunia dan akhirat.

Pencuri adalah orang yang mengambil harta atau benda orang lain dengan jalan diam – diam dan
diambil dari tempat penyimpanannya. Pengertian yang dimaksud ada beberapa perilaku yang serupa
tetapi tidak sama dengan pencuri. Hal ini tidak ada salahnya bila dikemukakan yaitu

1. Menipu. Menipu adalah mengambil hak orang lain secara licik sehingga orang lain menderita
kerugian.
2. Korupsi. Korupsi adalah mengambil hak orang lain baik perorangan atau masyarakat dengan
menggunakan kewenangan atar jabatan dan kekuasaannya.
3. Menyuap.Menyuap yaitu seseorang memberi sesuatu baik dalam bentuk barang atau uang
maupun lainnya kepada orang lain agar pemberi memperoleh keuntungan baik material atau moril
sedangkan pemberiannya itu ada pihak lain yang dirugikan.

Mencuri adalah sebagian dari dosa besar. Orang yang mencuri wajib dihukum yaitu dipotong
tangannya. Apabila ia mencuri untuk yang pertama kalinya maka dipotong tangannya yang kanan (dari
pergelangan tangan sampai telapak tangan) bila mencuri kedua kalinya di potong kaki kirinya (dari ruas
tumit), mencuri yang ketiga dipotong tangannya yang kiri, dan yang keempat, dipotong kakinya yang
kanan, kalau ia masih juga mencuri maka ia harus dipenjarakan sampai tobat.

2
a. Ruang Lingkup Hukum Pidana Islam

Ruang lingkup hukum pidana Islam meliputi pencurian , perzinahan, meminum khamar, membunuh
dan melukai orang lain, merusak harta orang lain, dan kekacauan dan semacamnya berkaitan dengan
hukum kepidanaan.

Hukum kepidanaan dimaksud disebut jarimah.Jarimah terbagi dua: Jarimah Hudud dan jarimah
ta’zir. Kata hudud berasal dari bahasa arab adalah jamak dari kata had .Had secara harfiah ada beberapa
kemungkinan arti antara lain batasan atau definisi, siksaan, ketentuan atau hukum. Had dalam
pembahasan fiqih (hukum Islam) terbagi beberapa jenis dalam syariat Islam , yaitu rajam, jilid, atau dera,
potong tangan, penjara atau kurungan seumur hidup, eksekusi bunuh, pengasingan atau deportasi, dan
salib.

Namun ta’zir dalam pengertian istilah dalam hukum Islam adalah hukuman yang bersifat mendidik
yang tidak mengharuskan pelakunya dikenai had dan tidak pula harus membayar kaffah atau diat. Jenis
hukuman yang termasuk jarimah ta’zir adalah penjara, skorsing atau pemecatan, ganti rugi, pukulan,
ganti rugi, teguran dengan kata-kata, dan jenis hukuman lain yang dipandang sesuai dengan pelanggaran
dari pelakunya.

b. Dasar Sanksi Hukum Bagi Pencuri Dalam Al-Qur’an 

Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 38

Artinya: “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Dasar Sanksi Hukum Bagi Pencuri Dalam Al-Hadist

Selain dasar hukum yang bersumber dari Al-qur’an yang diungkapkan diatas juga dapat dilihat dari
hadist Nabi Muhammad Saw. Diantaranya sebagai berikut.

Diriwayatkan dari Sayyidatina Aisyah ra. Katanya: Rasulullah saw memotong tangan seseorang yang
mencuri harta yang senilai satu perempat dinar keatas.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. Katanya: Sesungguhnya Rasulullah saw pernah memotong tangan
seorang pencuri yang mencuri sebuah perisai yang bernila sebanyak tiga dirham.

Garis hukum yang dapat dipahami dari ayat Al-Qur’an dan hadist diatas adalah sebagai berikut.

1. Sanksi hukum bagi laki–laki dan perempuan yang mencuri adalah potong tangan sebagai
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
2. Umat-umat terdahulu kalau ada orang mulia yang mencuri, mereka membiarkannya, tetapi
apabila mereka dapati orang yang lemah diantara mereka yang mencuri, mereka akan dijatuhi
hukuman ke atasnya. Demi Allah sekiranya Sayyidatina Fatimah binti Muhammad yang mencuri,
niscaya aku yang akan memotong tangannya.
3. Seorang pencuri tidak akan mencuri jika dia berada dalam keimanan yaitu iman yang sempurna.

3
4. Rasulullah saw memotong tangan seorang yang mencuri harta senilai satu perempat dinar
keatas.
5. Rasulullah saw pernah memotong tangan seorang yang mencuri sebuah perisai yang bernilai
sebanyak tiga dirham.

Persyaratan Hukum Potong Tangan Bagi Pencuri

Dalam QS. Al- Maidah ayat 38, Allah berfirman;

ِ ‫ُوا أَ ْي ِديَهُ َما َج َزاء بِ َما َك َسبَا نَ َكاالً ِّمنَ هّللا ِ َوهّللا ُ ع‬
‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬ ْ ‫َّارقَةُ فَا ْقطَع‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوالس‬ ِ ‫ َوالس‬.
Artinya; laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan kedua (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaaan dari allah  dan allah maha perkasa lagi
maha bijaksa.(QS Al-Ma’idah[5]:38).

Berdasarkan ayat Al-qur’an dan alhadist yang secara tegas mengungkapkan bahwa sanksi hukum
terhadap pelanggaran pidana pencurian yaitu potong tangan denagn syarat sebagai berikut.

1. Nilai harta yang dicuri jumlahnya mencapai satu nishab, yaitu kadar harta tertentu yang
diterapkan sesuai dengan undang-undang.
2. Barang curian itu dapat diperjual belikan.
3. Barang atau uang yang dicuri bukan milik baitul mal.
4. Pencuri usianya sudah dewasa.
5. Perbuatan dilakukan atas kehendaknya bukan atas paksaan orang lain.
6. Tidak dalam kondisi dilanda krisis ekonomi.
7. Pencuri melakukan perbuatannya bukan karena untuk memenuhi kebutuhan pokok.
8. Korban pencurian bukan orang tua dan bukan pula keluarga dekatnya(muhrim).
9. Pencuri bukan pembantu korbannya. Jika pembantu rumah tangga mencuri perhiasan.
10. Ketentuan potong tangan Apabila ia mencuri untuk yang pertama kalinya maka dipotong
tangannya yang kanan (dari pergelangan tangan sampai telapak tangan) bila mencuri kedua
kalinya di potong kaki kirinya (dari ruas tumit), mencuri yang ketiga dipotong tangannya yang kiri,
dan yang keempat, dipotong kakinya yang kanan, kalau ia masih juga mencuri untuk kelima
kalinya maka ia harus dipenjarakan sampai tobat dan dihukum mati.
11. Ketentuan diatas tidak berlaku apabila orang yang mencuri harta bapaknya sendiri tidak
dipotong tangannya begitu juga sebaliknya. Demikian pula bila salah seorang suami istri mencuri
harta yang lain, orang miskin yang mencuri dari baitul mal dan sebagainya tidak dipotong.

c. Hikmah Atau Tujuan Hukuman Bagi Pencuri.

Salah satu yang dibanggakan oleh manusia adalah harta. Ajaran Islam bukan materialisme,
melainkan Islam mengajarkan kepada umat Islam untuk berusaha sekuat tenaga sesuai kemampuan
untuk mencari harta. Syariat Islam yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Muhammad Rasulullah
SAW memuat seperangkat aturan dalam hal memperoleh harta. Memperoleh harta dengan cara yang
haram seperti berbuat curang, merugikan orang lain, mencari keuntungan yang berlebihan,dan lain-lain
harus dihindari oleh umat Islam.

4
Mengambil hak orang lain berarti merugikan sepihak. Ketentuan potong tangan bagi para pencuri,
menunjukkan bahwa pencuri yang dikenai sanksi hukum potong tangan adalah pencuri yang
professional, bukan pencuri iseng, atau bukan karena keterpaksaan. Sanksi potong tangan atas hukuman
bagi pencuri bertujuan antara lain sebagai berikut.

1. Tindakan preventif yaitu menakut-nakuti, agar tidak terjadi pencurian mengingat hukumannya
yang berat.
2. Membuat para pencuri timbul rasa jera, sehingga ia tidak melakukan untuk kali berikutnya.
3. Menumbuhkan kesadaran kepada setiap orang agar menghargai dan menghormati hasil jerih
payah orang lain.
4. Menumbuhkan semangat produktivitas melalui persaingan sehat.
5. Tidak berlaku hukum potong tangan terhadap pencuri yang melakukan tindak pidana pada
musim paceklik, memberikan arahan agar para orang kaya melihat kondisi masyarakat, sehingga
tidak hanya memikirkan diri sendiri. Dengan demikian kecemburuan sosial, yaitu penumpukan
harta pada orang-orang tertentu dapat dihindari.

Selain ketentuan diatas tujuan hukum pada umumnya adalah menegakkan keadilan berdasarkan
kemauan pencipta manusia sehingga terwujud ketertiban dan ketentraman masyarakat.

d. Unsur-unsur Hukum Pidana Islam

Untuk menentukan suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam hukum Islam, diperlukan
unsur normatifdan moral sebagai berikut.

1. Secara yuridis normative di satu aspek harus didasari oleh dalil. Aspek lainnya secara yuridis
normative mempunyai unsure materil, yaitu sikap yang dinilai sebagai suatu pelanggaran terhadap
sesuatu yang diperintah oleh Allah SWT.
2. Unsur moral, yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima sesuatu yang secara nyata
mempunyai nilai yang dapat dipertanggung jawabkan.

Selain unsur-unsur pidana yang telah disebutkan perlu diungkapkan bahwa hukum pidana Islam
dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu:

1. Dari segi berat atau ringannya hukuman, maka hukum pidana Islam dapat dibedakan menjadi,
(a) jarimah hudud, (b) jarimah qishash, dan (c) jarimah ta’zir.
2. Dari segi unsure niat, ada dua jarimah yaitu, (a) yang disengaja, (b) dan yang tidak disengaja.
3. Dari segi cara mengerjakan, ada dua jarimah yaitu, (a) yang positif, (b) dan yang negatif.
4. Dri segi si korban, jarimah ada dua yaitu, (a) yang bersifat perorangan, (b) kelompok.

e. Ciri-ciri Hukum Islam

Berdasarkan ruang lingkup hukum Islam yang telah diuraikan dapat ditentukan ciri-cirinya sebagai
berikut.

1. Hukum Islam adalah bagian dan bersumber dari ajaran agama Islam.
2. Hukum Islam mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dengan iman dan
kesuliaan atau akhlak.

5
3. Hukum Islam mempunyai istilah kunci, yaitu syariat.

B. Penanggulangan Tindak Pidana Pencurian Dalam Perspektif Islam 

Penanggulangan tindak pidana pencurian dalam perspektif Islam dapat diwujudkan dengan tujuan
yang terarah dan dapat memberikan kontribusi yang sesuai dalam ajaran agama dan aturan yang ada
misalnya :

1. Mengurangi pengangguran agar fikiran dari pada tuna karya ini tidak kebabblasan sampai pada
akhirnya memutuskan untuk mencuri.
2. Menambah lapangan pekerjaan yang layak sehingga dapat mengasilkan sesuatu misalnya uang
atau yang lainya.
3. Menumbuhkan semangat produktivitas melalui persaingan sehat.
4. Menumbuhkan kesadaran kepada setiap orang agar menghargai dan menghormati hasil jerih
payah orang lain.
5. Memberikan arahan agar para orang kaya melihat kondisi masyarakat, sehingga tidak hanya
memikirkan diri sendiri. Dengan demikian kecemburuan sosial, yaitu penumpukan harta pada
orang-orang tertentu dapat dihindari.

6
PERZINAHAN DALAM HUKUM ISLAM DAN BEBERAPA ASPEKNYA

Perzinahan sudah menjadi permasalahan yang melekat pada diri manusia sejak awal
penciptaannya. Dimulai pada penciptaan Nabi Adam as yang disusul oleh kehadiran Siti Hawa. Ketika
pertama kali tercipta, hal mendasar yang mereka lakukan adalah mencari dedaunan untuk menutupu
aurat mereka masing – masing. Sehingga memperkecil kemungkinan untuk terjadi perzinahan, walaupun
tujuan utama mereka melakukan itu adalah guna menutupi kemaluan atau aurat mereka. Akan tetapi,
esensi dari penutupan aurat tersebut adalah menghindari terjadinya nafsu seksual yang dilarang oleh
Allah SWT. Hal tersebut membuktikan bahwa secara naluriah atau kodrati, manusia memiliki rasa etika
dan estetika dalam menyikapi anugerah yang telah diberikan Allah SWT dalam wujud nafsu birahi
maupun bentuk fisik anatomi tubuh manusia itu sendiri.

Namun demikian, yang terjadi pada dasawarsa terakhir di Indonesia maupun dunia internasional
dalam menyikapi nafsu seksual tersebut berbalik 180 0 dari peristiwa empiris pada Nabi Adam as dan Siti
Hawa seperti yang tersebut diatas. Para wanita tidak merasa malu lagi ketika berpakaian minim dan para
pria tidak lagi merasa ragu – ragu atas menggunakan jasa prostitusi. Bahkan, apa yang terjadi pada kaum
Sodom ( umat Nabi Luth as) yakni homoseksualitas ( baik gay maupun lesbian ), sudah menjadi hal yang
biasa. Luar biasa anehnya lagi, dinegara Belanda, Homoseksual sudah menjadi budaya mereka dengan
dikeluarkannya hokum politik atas perkawinan antara para kaum gay atau lesbian. 1

Dinamika perzinahan tersebut, secara garis besar ( mainstream ) akan penulis uraikan dari
beberapa aspek, yakni agama, kejiwaan / psikis, akal/ daya pikiran, keturunan / regenerasi dan harta.
Aspek – aspek tersebut adalah bagian yang melekat kepada setiap individu. Sehingga akibat apa yang
mungkin ditimbulkan dari perzinahan yang dilakukan individu terhadap aspek – aspek tersebut.

I. Aspek Agama

Landasan yuridis

Dalam setiap agama, perzinahan merupakan sesuatu yang paling dibenci dan dilarang. Konteksnya
pada agama Islam, hal tersebut dapat dibuktikan pada surat – surat Al qur’an tentang perzinahan atau
melakukan hubungan seksual diluar nikah.

a. Surat Yusuf ayat 24

“ Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud ( melakukan perbuatan itu ) dengan Yusuf, dan yusuf
pun bermaksud (melakukan pula ) dengan wanita itu andai kata dia tidak melihat tanda ( dari )
Tuhannya. Demikanlah, agar kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan Kekejian.”

b. Surat An Nur ayat 2 :

“ Perempuan yang berzina dan laki – laki yang berzina, maka deralah tiap – tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
( menjalankan ) agama Allah.”
1

7
Selain itu pula, Allah SWT mengajarkan agar menjaga “kemaluan “. Kemaluan dalam dan arti luas,
termasuk dalam arti “kemaluan” adalah organ sex :

c. Surat Al Ma’aarif ayat 29

“ Dan orang – orang yang memelihara kemaluannya.” (criteria orang – orang yang dianjurkan oleh
Allah SWT).

Demikan halnya atas larangan Al Qur’an mengenai homoseksualitas :

d. Surat A’raf ayat 81 :

“ Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka ), bukan
kepada wanita, malah kamu ini adalah kamu yang melampaui batas.”

e. Surat An Naml ayat 58

“ Dan kami turunkan atas mereka ( hujan batu), maka amat beratkah hujan yang ditimpakan atas
orang – orang yang diberi peringatan itu.”

Jelaslah secara yuridis bahwa pandangan Islam, terang – terangan mengutuk perbuatan zinah,
berhubungan sex diluar perkawinan dan homo seksual.

II. Aspek Kejiwaan / Psikis

Keterkaitan antara aspek psikis pelaku perzinahan adalah factor yang saling mendukung dan saling
mempengaruhi otak untuk melakukan perbuatan. Berikut adalah deskripsi kejiwaan pelaku perzinahan :

- Psikis “ Hewani” mendominasi

Maksudnya adalah kejiwaan manusia pelaku sudah tidak manusiawi lagi. Kondisi yang ada ketika
melakukan perzinahan baik bagi hetero seksual maupun homo seksual, adalah psikis hewani yang
mementingkan pemuas nafsu birahi belaka. Sedangkan manusia, adalah makhluk yang beradab dengan
dilengkapi naluri manusiawi dan akal yang ( seharusnya ) sehat.

- Psikis yang adktif akan perzinahan.

Apabila seseorang melakukan perzinahan, secara statistic 2pasti akan mengulanginya lagi (adiktif).
Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya penderita HIV / AIDS baik dalam skala nasional maupun
internasional. Sedangkan cara penularan virus HIV / AIDS yang paling banyak dijumpai adalah dengan
gonta ganti pasangan seksual (baik hetero seksual maupun homoseksual). Cara penularan yang kedua
adalah dengan penggunaan jarum suntik yang tidak bersih secara klinis. Dengan demikian, akibat
kejiwaan adiktif terhadap perzinahan tersebut, mengakibatkan pada kesehatan fisik si pelaku zinah.

8
- Psikis yang ekstra posesif

Hal ini terjadi pada umumnya, didominasi oleh gay/ lesbian. Contoh kasus yang tengah menjadi
sorotan public saat ini adalah kasus pembunuhan berantai yang dilakukan oleh tersangka Ryan atau Very
Idham Afriansyah. Setelah dilakukan uji psikologis oleh Tim Dokter Polri, tersangka Ryan divonis
menderita kelainan kejiwaan yang dalam bahasa Ilmu psikologi disebut psikopat, yakni kondisi kejiwaan
yang sangat labil dan tidak dapat membedakan perbuatan yang baik atau buruk. Hal tersebut dapat
terjadi pada setiap orang yang salah satu pemicunya adalah sifat yang extra posesif ( rasa memiliki
terhadap sesuatu yang berlebihan ). Dalam konteks kasus Ryan, extra posesifnya terhadap kekasih gey
nya adalah pemicu ia melakukan pembunuhan mutilasi terhadap korban almarhumk Ir. Hery.

Dapat disimpulkan, kondisi kejiwaan pelaku perzinahan, terdeteksi bersifat negative dan
berdampak pada kesehatan tubuh dan kesehatan psikis itu sendiri.

III. Aspek Akal / Daya Pikiran

Tidak jauh berbeda dengan kondisi kejiwaan pelaku perzinahan, kondisi akal atau daya pikiran
pelaku perzinahan pasti akan berakibat tondensius negative. Logikanya, apabila situasi psikis seorang
labil, maka akan mempengaruhi daya pikir otak si manusia itu sendiri dalam mengambil keputusan. Hal
ini disebabkan oleh manusia terdiri dari jasmani dan rohani yang satu sama lain saling mempengaruhi.

IV. Aspek Keturunan / Regenerasi

Aspek inilah yang menurut penulis aspek krusial dan berdampak sangat kuat dan bersifat
mendatang ( in the future ). Mengapa demikian ? dalam menghasilkan suatu generasi yang berprestasi
dan bermutu, diperlukan banyak factor, dan factor penentu adalah orang tua dari calon generasi
tersebut. Apabila orang tua dari si anak penerus tersebut menjalani gangguan psikis dan gangguan daya
pikiran, akan berdampak sangat menakutkan bagi kondisi anak yang dilahirkan tersebut.

Gangguan yang dimaksud adalah kondisi psikis dan akal pelaku perzinahan yang tersebut
diatas.mengenyampingkan siapa pelaku perzinahan tersebut,apakah dari pihak ayah atau ibu.
Yang kedua, dalam homoseksual kehidupan seperti apa yang mereka harapkan? Apabila
masyarakat dijangkitoleh para pasangan gay dan lesbian yang kini kehadiranya makin marak,maka
bagaimana kelanjutan generasi akan terjadi?
Fase ini, mungkin mereka (kaum gay/lesbian & status guo homo seksual) sadari atau bahkan tidak
menutup kemungkinan menyadari namun menutup mata atas konsekuensi yang dapat timbul dari
disorientasi seksual yang mereka miliki.

V. Harta

Salah satu dari beberapa konsekuensi bagi para pelaku zinah adalah membelanjakan harta mereka
‘diluar rencana’ & secara ekonomis, hal ini merugikan. Bagaimana tidak? Si pelaku zinah harus
mengeluarkan uang atau harta lainya diluar rencana untuk meluluskan atau melampiaskan keinginan
birahinya, sebab perzinahan adalah kegiatan yang diluar kebiasaan manusia pada umumnya.Belum lagi,
apabila dideteksi secara medis terkena penyakit yang diakibatkan gonta-ganti pasangan seksual,
pastinya akan mengeluarkan dana untuk upaya pemulihan. Apakah hal tersebut (terkena peyakit
kelamin) masuk dalam rencana kehidupan?

9
HUKUM ISLAM ATAS BERSEKUTU DAN BERSERIKAT DALAM PEMBUNUHAN

Pada dasarnya, Islam telah melarang kaum Muslim melakukan pembunuhan tanpa ada alasan yang
dibenarkan oleh syariat. Keharaman pembunuhan telah ditetapkan berdasarkan al-Quran dan sunnah.
Allah swt berfirman;

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang
yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan
wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang
mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat)
kepada yang memberi ma`af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan
dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya
siksa yang sangat pedih”. [TQS Al Baqarah (2):178]

Di ayat lain, al-Quran juga menyatakan dengan sangat jelas;

“Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain), kecuali karena
tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh)
dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mu’min, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan
hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai)
antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak
memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara
taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.[TQS An Nisaa' (6):92]

Ayat-ayat di atas dilalahnya qath’iy menunjukkan bahwa pembunuhan adalah perbuatan haram,
kecuali pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan karena alasan-alasan yang dibenarkan oleh syariat.

Adapun sunnah, dituturkan bahwasanya Nabi saw ditanya tentang dosa besar, kemudian beliau
menjawab :

‫شعْ َب َة‬ َّ ‫ور َتا َب َع ُه ُغ ْن َد ٌر َوأَبُو َعام ٍِر َو َب ْه ٌز َو َع ْب ُد ال‬


ُ ْ‫ص َم ِد َعن‬ ِ ‫ْن َو َق ْت ُل ال َّن ْف‬
ُّ ُ‫س َو َش َهادَ ة‬
ِ ‫الز‬ ُ ُ‫ك ِباهَّلل ِ َو ُعق‬
ِ ‫وق ْال َوالِدَ ي‬ ُ ‫اإْل ِ ْش َرا‬

“Menyekutukan Allah, durhaka kepada dua orang tua, membunuh jiwa, serta kesaksian
palsu..”[HR. Imam Bukhari]

ِ ‫الزانِي َو ْال َم‬


ِ ‫ار ُق مِنْ ال ِّد‬
‫ين‬ َّ ‫س َو‬
َّ ُ‫الثيِّب‬ ٍ ‫ئ مُسْ ل ٍِم َي ْش َه ُد أَنْ اَل إِلَ َه إِاَّل هَّللا ُ َوأَ ِّني َرسُو ُل هَّللا ِ إِاَّل ِبإِحْ دَى ثَاَل‬
ِ ‫ث ال َّن ْفسُ ِبال َّن ْف‬ ٍ ‫اَل َي ِح ُّل دَ ُم ا ْم ِر‬
ْ
‫ك لِل َج َما َع ِة‬
ُ ‫ار‬ ِ َّ
‫ت‬ ‫ال‬

“Telah bersabda Rasulullah saw, “Tidaklah halal darah seorang muslim yang telah bersaksi tidak
ada Tuhan selain Allah dan Aku [Mohammad] adalah utusan Allah, kecuali karena salah satu dari tiga
hal ini, “Lelaki yang telah beristeri yang berzina, jiwa dengan jiwa (qishash atas pembunuhan), murtad
dari agamanya sehingga memisahkan diri dari jama’ah.” [HR. Imam Bukhari dan Muslim].

10
Dari nash-nash di atas dapatlah disimpulkan bahwasanya al-Quran dan Sunnah telah
mengharamkan tindakan pembunuhan. Keharamannya merupakan perkara yang telah ma’lum min al-
diin bi al-dlarurah.

Adapun sanksi bagi orang yang melakukan pembunuhan adalah qishash, atau membayar diyat.
Sanksi qishash dijatuhkan pada kasus pembunuhan sengaja, dan pelaku pembunuhan tidak
mendapatkan pemaafan dari pihak keluarga yang dibunuh. Jika pelaku pembunuhan mendapatkan
pemaafan dari keluarga korban, maka pelaku pembunuhan tersebut harus menyerahkan diyat syar’iy
kepada keluarga korban. Sedangkan untuk kasus-kasus pembunuhan selain pembunuhan sengaja, maka
pelaku hanya diwajibkan membayar diyat.

Berserikat Dalam Pembunuhan

Jika pembunuhan dilakukan secara berkelompok, maka orang-orang yang terlibat dalam
pembunuhan tersebut wajib dikenai sanksi qishash (bunuh balik). Alasannya, hadits-hadits yang
berbicara tentang sanksi pembunuhan, mencakup pelaku pembunuhan tunggal maupun berkelompok.
Misalnya, di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudziy disebutkan;

‫ْن إِمَّا أَنْ َيعْ فُ َو َوإِمَّا أَنْ َي ْق ُت َل‬


ِ ‫َو َمنْ قُ ِت َل لَ ُه َقتِي ٌل َفه َُو ِب َخي ِْر ال َّن َظ َري‬
“Barangsiapa terbunuh, maka walinya memiliki dua hak; memberikan pengampunan, atau
membunuh pelakunya.” Hadits ini mencakup kasus pembunuhan yang dilakukan secara tunggal atau
berkelompok.

Dalil lain yang menunjukkan bahwasanya sekelompok orang harus dikenai sanksi yang sama jika
berserikat dalam sebuah pembunuhan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudziy dari Abu
Sa’id al-Khudriy dan Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;

‫ْن َواقِ ٍد َعنْ َي ِزيدَ الرَّ َقاشِ يِّ َح َّد َث َنا أَبُو‬ ِ ‫ث َح َّد َث َنا ْال َفضْ ُل بْنُ مُو َسى َعنْ ْال ُح َسي‬
ِ ‫ْن ب‬ ٍ ‫َح َّد َث َنا ْال ُح َسيْنُ بْنُ ح َُر ْي‬
َّ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َقا َل لَ ْو أَن‬َ ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ ‫ان َعنْ َرس‬ ِ ‫ت أَ َبا َسعِي ٍد ْال ُخ ْد ِريَّ َوأَ َبا ه َُري َْر َة َي ْذ ُك َر‬ ُ ْ‫ْال َح َك ِم ْال َب َجلِيُّ َقال َسمِع‬
‫ِيث َغ ِريبٌ َوأَبُو‬ ٌ ‫يسى َه َذا َحد‬ َ ِ‫ار َقا َل أَبُو ع‬ َ ٍ ‫ فِي دَم م ُْؤم‬H‫ض ا ْش َت َر ُكوا‬ ِ ْ‫أَهْ َل ال َّس َما ِء َوأَهْ َل اأْل َر‬
ِ ‫ِن أَل َك َّب ُه ْم هَّللا ُ فِي ال َّن‬ ِ
ُّ‫ْال َح َك ِم ْال َب َجلِيُّ ه َُو َع ْب ُد الرَّ حْ َم ِن بْنُ أَ ِبي ُنعْ ٍم ْال ُكوفِي‬
“Seandainya penduduk langit dan penduduki bumi berserikat dalam (menumpahkan) darah
seorang Mukmin, sungguh Allah swt akan membanting wajah mereka semua ke dalam neraka”.[ HR.
Imam Turmudziy]

Topik yang dibahas di dalam hadits ini adalah pembunuhan yang dilakukan secara berkelompok
atau perserikatan dalam sebuah pembunuhan. Semua pelakunya mendapatkan ganjaran yang sama.

11
Imam Malik menuturkan sebuah riwayat dari Sa’id bin Musayyab ra sebagai berikut:

‫مْس ًة‬ ِ ‫ب أَنَّ ُع َم َر ب َْن ْال َخ َّطا‬


َ ‫ب َق َت َل َن َفرً ا َخ‬ ِ ‫ْن ْال ُم َس َّي‬
ِ ‫ْن َسعِي ٍد َعنْ َسعِي ِد ب‬ ِ ‫و َح َّد َثنِي َيحْ َيى َعنْ َمالِك َعنْ َيحْ َيى ب‬
َ ‫أَ ْو َس ْب َع ًة ِب َرج ٍُل َوا ِح ٍد َق َتلُوهُ َق ْت َل غِ يلَ ٍة َو َقا َل ُع َم ُر لَ ْو َت َماأَل َ َعلَ ْي ِه أَهْ ُل‬
‫ص ْن َعا َء لَ َق َت ْل ُت ُه ْم َجمِيعًا‬
“Sesungguhnya Umar ra menjatuhkan sanksi bunuh kepada lima atau tujuh orang yang berserikat
dalam membunuh seseorang; yang mana mereka semua membunuh seorang laki-laki dengan tipu
daya”.[HR. Imam Malik]

Di dalam riwayat lain dituturkan bahwasanya ‘Umar pernah bertanya kepada ‘Ali ra tentang
pembunuhan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap seseorang. ‘Ali bertanya kepada ‘Umar,
apa pendapatmu seandainya ada sekelompok orang mencuri barang, apakah engkau akan memotong
tangan mereka? ‘Umar menjawab, “Ya.” Ali menukas, “Demikian pula pembunuhan.”

Riwayat-riwayat di atas menunjukkan; jika sekelompok orang bersekutu, dua orang, atau lebih
untuk membunuh seseorang, semuanya dikenai sanksi. Semuanya harus dikenai sanksi pembunuhan
meskipun pihak yang terbunuh hanya satu orang.

Adapun delik dan sanksi yang dijatuhkan kepada orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan
berkelompok itu tergantung dari keterlibatannya dalam pembunuhan tersebut. Jika seseorang terlibat
dalam pemukulan terhadap pihak yang terbunuh, maka ia terkategori sebagai orang yang terlibat dalam
pembunuhan secara pasti.

Adapun, jika seseorang tidak berlibat dalam pemukulan secara langsung, maka, hal ini perlu dilihat.
Jika ia berposisi sebagai orang yang memudahkan terjadinya pembunuhan, seperti menghentikan pihak
yang hendak dibunuh, lalu orang tersebut dibunuh oleh pelaku pembunuhan, atau menyerahkan korban
kepada pelaku pembunuhan, ataupun yang lain-lain, maka orang tersebut tidak dianggap sebagai pihak
yang turut bersekutu dalam pembunuhan, akan tetapi hanya disebut sebagai pihak yang turut
membantu pembunuhan. Oleh karena itu, orang semacam ini tidak dibunuh, akan tetapi hanya
dipenjara saja. Imam Daruquthniy mengeluarkan hadits dari Ibnu ‘Umar dari Nabi saw, beliau bersabda,
“Jika seorang laki-laki menghentikan seorang pria, kemudian pria tersebut dibunuh oleh laki-laki yang
lain, maka orang yang membunuh tadi harus dibunuh, sedangkan laki-laki yang menghentikannya tadi
dipenjara.” Hadits ini merupakan penjelasan, bahwa orang yang membantu dan menolong [pembunuh]
tidak dibunuh, akan tetapi hanya dipenjara. Namun demikian, ia bisa dipenjara dalam tempo yang
sangat lama, bisa sampai 30 tahun. ‘Ali bin Thalib berpendapat, agar orang tersebut dipenjara sampai
mati. Diriwayatkan oleh Imam Syafi’I dari ‘Ali bin Thalib, bahwa beliau ra telah menetapkan hukuman
bagi seorang laki-laki yang melakukan pembunuhan dengan sengaja, dan orang yang menghentikan
(mencegat korban). Ali berkata, “Pembunuhnya dibunuh, sedangkan yang lain dijebloskan di penjara
sampai mati.”

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, semua orang yang tidak bersekutu dalam
pembunuhan hukumnya dipenjara, bukan dibunuh. Sedangkan orang yang bersekutu dalam
pembunuhan maka ia harus dibunuh, apapun keterlibatannya. Oleh karena itu, orang yang bersekutu
secara langsung, bersekutu sebagai pihak otak pembunuhan, dan eksekutor lapangan, pengatur taktik
pembunuhan, dan lain sebagainya; maka, semuanya dianggap sebagai pihak yang bersekutu atau
terlibat dalam pembunuhan. Alasannya, mereka semua terlibat dalam pembunuhan secara langsung.

12
Dan semua orang yang perbuatannya dianggap bersekutu dalam pembunuhan, hukumnya dibunuh,
layaknya pembunuh langsung.

Sedangkan orang yang mempermudah pembunuhan, tidak dianggap sebagai pihak yang bersekutu
dalam pembunugan, baik dalam secara langsung maupun tidak langsung. [Syamsuddin Ramadhan An
Nawiy]

13
KORUPSI DALAM PANDANGAN DAN SIKAP ISLAM
Korupsi

Sebelum mengkajinya lebih jauh, harus clear dulu makna dan tipologi korupsi. Kata “korupsi”
berasal dari bahasa Latin corruptio (Fockema Andreae: 1951) atau corruptus (Webster Student
Dictionary: 1960). Secara harfiah, korupsi berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran,
dapat disuap, tidak bermoral, dan penyimpangan dari kesucian. Meskipun kurang tepat, korupsi
seringkali disamakan sengan suap (risywah), yakni sebagai “perangsang (seorang pejabat pemerintah)
berdasarkan itikad buruk (seperti suapan) agar ia melakukan pelanggaran kewajibannya (abuse of
power).” Suapan sendiri diartikan sebagai “hadiah, penghargaan, pemberian atau keistimewaan yang
dianugerahkan atau dijanjikan dengan tujuan merusak pertimbangan atau tingkah laku, terutama dari
seorang dalam kedudukan terpercaya (sebagai pejabat pemerintah).” Dalam kitab Hâsyiah Ibn 'Abidin,
suapan (risywah) dipahami sebagai sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim, pejabat
pemerintah atau lainnya supaya orang itu mendapatkan kepastian hukum atau memperoleh
keinginannya.

Dalam konteks untuk memperoleh kebebasan politik, prakarsa perorangan, transparansi, dan
perlindungan hak-hak warga negara terhadap otoritas negara yang otoriter, Syed Hussein Alatas dalam
Corruption Its Nature, Causes and Functions membedakan tujuh tipologi korupsi yang berkembang
selama ini. Pertama, transactive corruption, yakni korupsi yang menunjukkan adanya kesepakatan
timbal-balik antara pihak penyuap dan penerima suap demi keuntungan kedua belah pihak dan dengan
aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh kedua-duanya.

Tipologi ini umumnya melibatkan dunia usaha dan pemerintah atau masyarakat dan pemerintah.
Kedua, extortive corruption (korupsi yang memeras), yakni pihak pemberi dipaksa untuk menyuap agar
mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya, dan hal-hal yang dihargainya.
Ketiga, investive corruption, yakni korupsi dalam bentuk pemberian barang atau jasa tanpa ada
pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibanyangkan akan diperoleh
di masa yang akan datang. Tipe keempat adalah supportive corruption, korupsi yang secara tidak
langsung menyangkut uang atau imbalan langsung dalam bentuk lain untuk melindungi dan
memperkuat korupsi yang sudah ada. Kelima, nepostistic corruption, yakni korupsi yang menunjukkan
tidak sahnya teman atau sanak famili untuk memegang jabatan dalam pemerintahan atau perilaku yang
memberi tindakan yang mengutamakan dalam bentuk uang atau lainnya kepada teman atau sanak
famili secara bertentangan dengan norma dan aturan yang berlaku. Keenam, defensive corruption,
yakni perilaku korban korupsi dengan pemerasan untuk mempertahankan diri. George L. Yaney
menjelaskan bahwa pada abad 18 dan 19, para petani Rusia menyuap para pejabat untuk melindungi
kepentingan mereka. Tipe ini bukan pelaku korupsi, karena perbuatan orang yang diperas bukanlah
korupsi. Hanya perbuatan pelaku yang memeras sajalah yang disebut korupsi. Terakhir, autogenic
corruption adalah korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang diri.

Pada esensinya korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati
kepercayaan. Jika kita pegangi pengertian ini, maka tradisi korupsi telah merambah ke seluruh dimensi
kehidupan manusia secara sistematis, sehingga masalah korupsi merupakan masalah yang bersifat
lintas-sistemik dan melekat pada semua sistem sosial, baik sistem feodalisme, kapitalisme, komunisme,
maupun sosialisme.

14
Hadits mengenai perbuatan korupsi :
“Tidak ada penyebab ketidakadilan
dan kekejaman yang lebih besar daripada korupsi,
karena penyuapan menghancurkan baik iman maupun negara.”
Sari Mehmed Pasha
“Hai orang-orang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara batil,
kecuali dengan cara perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka di antara kamu…”
al-Qur'an, Surat an-Nisâ': 29

Salah satu kenyataan yang secara sadar dinilai buruk dan merusak, tetapi berulang kali dilakukan
oleh banyak orang di negeri ini adalah “ korupsi ”. Bukan tidak mau menghindar dan bertobat,
melainkan jika tidak melakukannya rasanya tidak wajar dan tidak memperoleh tambahan yang berarti
dari yang dilakukannya. Ini yang sering kali dijadikan alasan oleh “para koruptor” bahwa korupsi itu
bukan karena tindakan yang kotor melainkan sistem birokrasi dan sistem pemerintahan kita
mengkondisikan para birokrat, politisi, dan semua yang bersentuhan dengan sistem itu untuk korupsi.
Artinya “korupsi” di negeri ini bukan lagi soal moral dan hukum semata, melainkan adalah persoalan
sistemikstruktural yang telah mengakar sedemikian rupa.

Hal lain yang menyebabkan korupsi tumbuh-subur di negeri ini adalah lemahnya penegakan hukum
(law enforcement). Hingga hari ini, belum ada koruptor meskipun jelas diketahui khalayak dihukum
setimpal dengan perbuatannya. Kalaupun ada yang dihukum (masih bisa dihitung jari) dirasa oleh
masyarakat masih belum adil. Selain aturan hukum tentang korupsi tidak tegas, juga aparat penegak
hukumnya masih bisa dipermainkan dan ditukar-tukaruntuk tidak mengatakan “dibeli”.

Oleh karenanya bisa dipahami jika keterpurukan Indonesia ke dalam multikrisis ini dinilai oleh
banyak pihak akibat korupsi yang terus menerus dilakukan ke semua alokasi keuangan, termasuk ke
dalam alokasi dana bantuan presiden (banpres) dan dana-dana non-bugeter lainnya. Tetapi dengan
mencoba memahami ini, tidak berarti kita membiarkan korupsi sebagai sesuatu yang wajar. Tulisan
berikut tak bermaksud menawarkan “jalan keluar” atas kompleksitas soal korupsi, melainkan sekadar
ingin menyodorkan pandangan-tegas Islam atas korupsi. Pandangan ini rasanya penting dikemukakan ke
hadapan publik selain ingin menunjukkan ketegasan Islam anti korupsi, juga menyadarkan umat Islam
sendiri karena tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar koruptor-koruptor di negeri ini adalah
beragama Islam.

Pandangan dan Sikap Islam

Pandangan dan sikap Islam terhadap korupsi sangat tegas: haram dan melarang. Banyak argument
mengapa korupsi dilarang keras dalam Islam. Selain karena secara prinsip bertentangan dengan misi
sosial Islam yang ingin menegakkan keadilan sosial dan kemaslahatan semesta (iqâmat al-'adâlah
alijtimâ'iyyah wa al-mashlahat al-'âmmah), korupsi juga dinilai sebagai tindakan pengkhianatan dari
amanat yang diterima dan pengrusakan yang serius terhadap bangunan sistem yang akuntabel. Oleh
karena itu, baik al- Qur'an, al-Hadits maupun ijmâ' al- 'ulamâ menunjukkan pelarangannya secara tegas
(sharih).

15
Dalam al-Qur'an, misalnya, dinyatakan: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian
yang lain di antara kamu dengan cara batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (cara
berbuat) dosa padahal kamu mengetahui.” Dalam ayat yang lain disebutkan: “Hai orangorang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara batil, kecuali dengan cara perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…” Sedangkan dalam al-Hadits lebih konkret lagi,
dinyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Allah melaknati penyuap dan penerima suap dalam
proses hukum.” Dalam redaksi lain, dinyatakan: “Rasulullah SAW melaknati penyuap, penerima suap,
dan perantara dari keduanya.” Kemudian dalam kesempatan yang berbeda, Rasulullah SAW bersabda:
“penyuap dan penerima suap itu masuk ke neraka.”

Dalam sejarah, baik para sahabat Nabi, generasi sesudahnya (tabi'in), maupun para ulama periode
sesudahnya, semuanya bersepakat tanpa khilaf atas keharaman korupsi, baik bagi penyuap, penerima
suap maupun perantaranya. Meski ada perbedaan sedikit mengenai kriteria kecenderungan mendekati
korupsi sebab implikasi yang ditimbulkannya, tetapi prinsip dasar hukum korupsi adalah haram dan
dilarang.

Ini artinya, secara mendasar, Islam memang sangat anti korupsi. Yang dilarang dalam Islam bukan
saja perilaku korupnya, melainkan juga pada setiap pihak yang ikut terlibat dalam kerangka terjadinya
tindakan korupsi itu. Bahkan kasus manipulasi dan pemerasan juga dilarang secara tegas, dan masuk
dalam tindakan korupsi. Ibn Qudamah dalam al-Mughnî menjelaskan bahwa “memakan makanan
haram” itu identik dengan korupsi. Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasysyaf juga menyebut hal yang sama.
Umar Ibn Khaththab berkata: “menyuap seorang hakim” adalah tindakan korupsi.

Dalam sejarah Islam sering dikutip kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, salah seorang Khalifah Bani
Umayyah, sebagai prototipe Muslim anti korupsi. Umar bin Abdul Aziz adalah figur extra-ordernary,
suatu figur unik di tengah-tengah para pemimpin yang korup dalam komunitas istana. Ia sangat ketat
mempertimbangkan dan memilahmilah antara fasilitas negara dengan fasilitas pribadi dan keluarga.
Keduanya tidak pernah dan tidak boleh dipertukarkan (changeble). “Pada suatu malam, Khalifah Umar
bin Abdul Aziz berada di kamar istana melakukan sesuatu berkaitan dengan urusan negara. Tiba-tiba
salah seorang anaknya mengetuk pintu ingin menemui bapaknya. Sebeum masuk, ditanya oleh Khalifah,
“Ada apa Anda malam-malam ke sini?” “Ada yang ingin dibicarakan dengan bapak”, jawab anaknya.
“Urusan keluarga atau urusan negara?” tanya balik Khalifah. “Urusan keluarga,” tegas anaknya. Seketika
itu, Khalifah mematikan lampu kamarnya dan mempersilakan anaknya masuk. “Lho, kok lampunya
dimatikan,” tanya anaknya sambil keheranan. “Ini lampu negara, sementara kita mau membicarakan
urusan keluarga, karena itu tidak boleh menggunakan fasilitas negara,” demikian jawab Kh alifah. Sang
anakpun mengiyakannya.

Itulah sekelumit cerita tentang Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam upayanya untuk menegakkan
good qovernance, melalui sikap-sikap yang akuntabel dan menghindari pemanfaatan fasilitas negara
untuk kepentingan diri, kelompok, dan keluarganya.

16
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………………………………………………………..i

1. PENCURIAN DALAM HUKUM ISLAM……………………………………………………………………………………….1

2. PERZINAHAN DALAM HUKUM ISLAM DAN BEBERAPA ASPEKNYA…………………………………………..7

3. HUKUM ISLAM ATAS BERSEKUTU DAN BERSERIKAT DALAM PEMBUNUHAN…………………………10

4. KORUPSI DALAM PANDANGAN DAN SIKAP ISLAM………………………………………………………………..14


DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………………………………………………………….ii

17
DAFTAR PUSTAKA

Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam. PT. Sinar Baru Algensindo. Bandung : 1998

Ali, Zainudin. Hukum Pidana Islam. Sinar Grafika. Jakarta : 2007

Syarifudin, Amir. Fiqh Sunnah II. Logos Wacana Ilmu. Jakarta : 1999.

Sumber: Blakasuta Ed. 6 (2004)   

18
PENCURIAN, PERZINAAN, PEMBUNUHAN, KORUPSI BESERTA HADITS

DISUSUN OLEH :

NAMA : MUHAMMAD ILHAM NUR


STB : 102422
PAKET : L

19
20

Anda mungkin juga menyukai