PENDAHULUAN
Dalam dunia kedokteran timur maupun barat, pada umumnya diyakini bahwa setiap
penyakit ada obatnya. Ada penyakit yang dapat diobati dengan hanya pemberian obat yang
sederhana, tetapi ada juga yang memerlukan pengobatan yang relatif rumit, seperti transplantasi
organ. Seorang yang menderita penyakit gagal ginjal terminal misalnya, hanya punya 3 alternatif
pengobatan: yaitu menjalani hemodialisis (cuci darah) secara rutin, melakukan transplantasi
ginjal atau meninggal. Untuk pasien ini transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan yang
lebih baik dibandingkan melakukan hemodialisis terus menerus.
Pada saat ini jumlah pasien gagal ginjal yang membutuhkan transplantasi ginjal di Indonesia
mencapai 40.000 orang. Mereka yang menjalani perawatan medis sangat sedikit karena biaya
perawatan yang mahal dan jangka panjang. Di Indonesia, transplantasi ginjal pertama kali
dilakukan di RSCM pada tahun 1977. Sampai saat ini, hanya 500 pasien yang telah menjalani
cangkok ginjal di Indonesia, dimana 200 diantaranya dilakukan di RS PGI Cikini. Donor ginjal
di Indonesia semuanya adalah donor hidup dan jumlahnya amat sedikit dibandingkan kebutuhan.
Sebagian besar pasien lain ternyata menjalani cangkok ginjal di China, karena jumlah donor
yang banyak dan biayanya yang relatif murah. Dengan melakukan transplantasi ginjal, menurut
data Transplant Centre Directory sedunia tahun 1992, lama perpanjangan hidup pasien yang
menjalani transplantasi ginjal dapat mencapai 29,9 tahun.
Sebagai suatu tindakan medis, transplantasi organ memiliki potensi untuk disalahgunakan dan
menimbulkan sengketa, sehingga untuk pelaksanaannya dirasakan memerlukan pengaturan
bukan hanya dari segi etika, tetapi juga hukum. Pada makalah ini akan dibahas tentang
transplantasi, aspek etik dan medfikolegalnya.
PENGATURAN HUKUM TRANSPLANTASI
Sejarah transplantasi modern diawali oleh keberhasilan transplantasi kornea pada tahun
1905. Sejak saat itu berbagai organ mulai ditransplantasikan untuk menggantikan organ yang
rusak, meliputi transplantasi kornea, ginjal, paru, jantung, liver, muka, tangan, dan bahkan penis.
Tabel 1 dibawah ini menggambarkan perkembangan transplantasi organ dari waktu ke waktu.
Tabel 1. Sejarah perkembangan transplantasi organ dari waktu ke waktu
TUJUAN TRANSPLANTASI
Transplantasi organ merupakan suatu tindakan medis memindahkan sebagian tubuh atau
organ yang sehat untuk menggantikan fungsi organ sejenis yang tidak dapat berfungsi lagi.
Transplantasi dapat dilakukan pada diri orang yang sama (auto transplantasi), pada orang yang
berbeda (homotransplantasi) ataupun antar spesies yang berbeda (xeno-transplantasi).
Transplantasi organ biasanya dilakukan pada stadium terminal suatu penyakit, dimana organ
yang ada tidak dapat lagi menanggung beban karena fungsinya yang nyaris hilang karena suatu
penyakit. Pasal 33 UU No 23/1992 menyatakan bahwa transplantasi merupakan salah satu
pengobatan yang dapat dilakukan untuk penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.
Secara legal transplantasi hanya boleh dilakukan untuk tujuan kemanusiaan dan tidak boleh
dilakukan untuk tujuan komersial (pasal 33 ayat 2 UU 23/ 1992). Penjelasan pasal tersebut
menyatakan bahwa organ atau jaringan tubuh merupaka anugerah Tuhan YME sehingga dilarang
untuk dijadikan obyek untuk mencari keuntungan atau komersial.
TENAGA KESEHATAN YANG BERWENANG
Di Indonesia transplantasi hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki
kewenangan, yang melakukannya atas dasar adanya persetujuan dari donor maupun ahli
warisnya (pasal 34 ayat 1 UU No. 23/1992). Karena transplantasi organ merupakan tindakan
medis, maka yang berwenang melakukannya adalah dokter. Dalam UU ini sama sekali tidak
dijelaskan kualifikasi dokter apa saja yang berwenang. Dengan demikian, penentuan siapa saja
yang berwenang agaknya diserahkan kepada profesi medis sendiri untuk menentukannya.
Secara logika, transplantasi organ dalam pelaksanaannya akan melibatkan banyak dokter dari
berbagai bidang kedokteran seperti bedah, anestesi, penyakit dalam, dll sesuai dengan jenis
transplantasi organ yang akan dilakukan. Dokter yang melakukan transplantasi adalah dokter
yang bekerja di RS yang ditunjuk oleh Menkes (pasal 11 ayat 1 PP 18/1981). Untuk menghindari
adanya konflik kepentingan, maka dokter yang melakukan transplantasi tidak boleh dokter yang
mengobati pasien (pasal 11 ayat 2 PP 18/1981)
Pada transplantasi organ yang melibatkan donor organ hidup, pengambilan organ dari
donor harus memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan. Pengambilan organ baru dapat
dilakukan jika donor telah diberitahu tentang resiko operasi, dan atas dasar pemahaman yang
benar tadi donor dan ahli watis atau keluarganya secara sukarela menyatakan persetujuannya
(pasal 32 ayat 2 UU No. 23/1992)
Syarat dilaksanakannya transplantasi adalah:
1. Keamanan: tindakan operasi harus aman bagi donor maupun penerima organ. Secara umum
keamanan tergantung dari keahlian tenaga kesehatan, kelengkapan sarana dan alat kesehatan
2. Voluntarisme: transplantasi dari donor hidup maupun mati hanya bisa dilakukan jika telah ada
persetujuan dari donot dan ahli waris atau keluarganya (pasal 34 ayat 2 UU No. 23/1992).
Sebelum meminta persetujuan dari donor dan ahli waris atau keluarganya, dokter wajib
memberitahu resiko tindakan transplantasi tersebut kepada donor (pasal 15 PP 18/1981).
Dari segi etika, transplantasi dari donor jenazah tidak mempunyai masalah dari segi etika
dan moral. Paus Pius XII pada tahun 1956 menyatakan : ”Seorang mungkin berkehendak untuk
mendonorkan tubuhnnya dan memperuntukkannya bagi tujuan-tujuan yang berguna, yang secara
moral tidak tercela, bahkan luhur, diantaranya adalah keinginan untuk menolong orang yang
sakit dan menderita. Seseorang dapat membuat keputusan akan hal ini dengan hormat terhadap
tubuhnya sendiri dan dengan sepenuhnya sadar akan penghormatan yang pantas untuk tubuhnya.
Keputusan ini hendaknya tidak dikutuk, melainkan sungguh dibenarkan”.
Pada dasarnya berbagai organ tubuh dari seorang yang meninggal dunia dapat digunakan untuk
menolong menyelamatkan atau memperbaiki hidup orang lainnya yang masih hidup. Dengan
demikian transplantasi adalah baik secara moral dan bahkan patut dipuji. Donor wajib
memberikan persetujuannya dengan bebas dan penuh kesadaran sebelum wafatnya atau keluarga
terdekat wajib melakukannya pada saat kematiannya. Transplantasi organ tidak dapat diterima
secara moral kalau pemberi atau yang bertanggungjawab untuk dia TIDAK memberikan
persetujuan dengan penuh kesadaran.
Dalam hal pengambilan organ dari jenazah dikenal ada 2 sistem yang diberlakukan secara
nasional:
1. Sistem izin (toestemming system): sistem ini menyatakan bahwa transplantasi baru dapat
dilakukan jika ada persetujuan dari donor sebelum pengambilan organ. Indonesia menganut
sistem ini.
2. Sistem tidak berkeberatan (geen bezwaar system): dalam sistem ini transplantasi organ dapat
dilakukan sejauh tidak ada penolakan dari pihak donor. Tidak adanya penolakan dari donor,
dalam sistem ini, ditafsirkan sebagai ”donor tidak keberatan dilakukan pengambilan organ”
Pasal 14 PP No 18/1981 menyatakan bahwa pengambilan organ dari korban yang meninggal
dunia dilakukan atas dasar persetujuan dari keluarga terdekat. Dalam keluarga terdekat tidak ada,
maka keluarga jenazah harus diberitahu. Jika setelah lewat 2 x 24 jam keluarga tidak ditemukan,
maka dapat dilakukan pengambilan organ tanpa izin keluarga. Pengaturan ini tidak bermanfaat
banyak dalam praktek, karena setelah lewat waktu tersebut, organ sudah membusuk dan tidak
dapat digunakan lagi, kecuali jika kesegaran jaringan dipertahankan dengan tetap
mempertahankan sistem sirkulasi dan pernapasan dengan alat bantu penopang hidup.
Pada transplantasi organ dari jenazah, penentuan saat kematian merupakan isyu yang
sangat penting. Keberhasilan transplantasi jenis ini sangat tergantung pada kesegaran organ,
artinya operasi harus dilakukan sesegera mungkin setelah donor meninggal. Namun demikian,
donor tidak boleh dinyatakan meninggal secara dini atau kematiannya dipercepat agar organ
tubuhnya dapat segera dipergunakan.
Kriteria moral menuntut bahwa donor harus sudah meninggal dunia sebelum organ-organ
tubuhnya dipergunakan untuk transplantasi. Untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan,
saat kematian hendaknya ditetapkan oleh dokter yang mendampingi donor pada saat
kematiannya, atau jika tidak ada, dokter yang menyatakan kematiannya. Dokter tersebut tidak
diperkenankan ikut ambil bagian dalam prosedur pengambilan atau transplantasi organ.
Dalam kaitan dengan hal tersebut diatas, maka definisi mati menjadi penting. Pasal 1g PP
18/1981 menyatakan bahwa mati adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang
berwenang bahwa fungsi otak, pernapasan dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti.
Secara medis definisi tersebut sudah lama ditinggalkan karena kematian yang dianut saat ini
adalah mati batang otak. Mati batang otak merupakan kematian yang paling mudah dideteksi,
karena untuk mendeteksinya tidak diperlukan peralatan yang canggih. Adanya kematian batang
otak ditandai oleh adanya gangguan pada refleks pupil terhadap cahaya, refleks mata boneka,
refleks kornea, EEG, TCD (untuk mengecek adanya aliran darah ke otak).
Penentuan kematian harus dilakukan oleh dua orang dokter yang tidak ada sangkut
pautnya dengan dokter yang akan melakukan transplantasi (pasal 12 PP No 18/1981)
TRANSPLANTASI DARI DONOR HIDUP
Transplantasi organ dari donor hidup mendatangkan lebih banyak permasalahan dari segi
etika dan moral. Keberhasilan transplantasi ginjal yang pertama kali pada tahun 1954 telah
menimbulkan perdebatan sengit di kalangan para teolog. Debat tersebut berfokus pada prinsip
totalitas, yang menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu seseorang diperkenankan
mengorbankan salah satu bagian atau salah satu fungsi tubuhnya demi kepentingan seluruh
tubuh. Sebagai contoh, seseorang diperkenankan mengangkat rahimnya yang terserang kanker
demi memelihara kesehatan seluruh tubuhnya. Sebagian teolog berargumen, bahwa seseorang
tidak dibenarkan mengangkat suatu organ tubuhnya yang sehat dan mendatangkan resiko
masalah kesehatan di masa mendatang, dengan mendonorkan satu ginjalnya yang sehat untuk
orang yang membutuhkan. Operasi ytang demikian menurut mereka mendatangkan pengudungan
(amputasi) yang tidak perlu atas tubuh dan karenanya merupakan tindakan amoral.
Di pihal ada lain ada teolog yang pro transplantasi. Mereka berpendapat bahwa orang
sehat yang mendonorkan sebuah ginjalnya untuk orang lain yang membutuhkan, sebenarnya
melakukan tindakan pengorbanan yang sejati demi menyelamatkan nyawa orang lain. Bagi
mereka tindakan tersebut sesuai dengan ajaran yang menyatakan bahwa ”Inilah perintahKu, yaitu
supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih
besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya (Yoh 15:
12-13)”.
Menurut meraka pengorbanan yang demikian, secara moral dapat diterima apabila resiko
celaka pada donor, yang mungkin terjadi akibat operasi maupun akibat kehilangan organ tubuh,
proporsional dengan manfaatnya bagi si penerima. Dengan demikian, mereka berpendapat bahwa
meskipun transplantasi organ tubuh dari donor hidup tidak melindungi keutuhan anatomis atau
fisik (yakni adanya kehilangan suatu organ tubuh yang sehat), namun sungguh memenuhi
totalitas fungsional (yakni terpeliharanya fungsi dan sistem tubuh sebagai suatu kesatuan).
Dengan demikian, seorang yang mendonorkan satu ginjalnya yang sehat dan ia masih dapat
memelihara kesehatannya dan fungsi tubuhnya dengan satu ginjal yang tersisa, maka tindakan
donor yang demikian secara moral dapat diterima. Dengan alasan yang sama, maka seseorang
tidak dapat mengorbankan satu matanya untuk diberikan kepada seorang buta, sebab tindakan
tersebut mengganggu fungsi tubuhnya.
Gereja Katolik sendiri setuju dengan pemahaman belas kasihan dengan penafsiran prinsip
totalitas yang lebih diperluas. Paus Pius XII menggaris bawahi bahwa ”donor mempersembahkan
korban diri demi kebaikan orang lain. Paus Paulus II menyatakan bahwa setiap transplantasi
organ tubuh bersumber dari keputusan yang bernilai luhur, yakni keputusan untuk memberi satu
bagian dari tubuhnyha sendiri tanpa imbalan demi kesehatan dan kebaikan orang lain. Disinilah
tepatnya terletak keluhuran tindakan ini, suatu tindakan yang merupakan tindakan kasih sejati.
Bukan sekedar memberikan sesuatu yang adalah milik kita, melainkan memberikan sesuatu yang
adalah diri kita sendiri”. (Amanat kepada partisipan Kongres Transplantasi Organ, 20 Juni 1991,
No 3).
Pelanggaran terbanyak atas aturan internasional adalah jual beli organ dalam rangka
transplantasi organ. Jual beli organ terjadi akibat tidak seimbangnya kebutuhan (need) dan
penawaran (demand) organ untuk keperluan transplantasi. Dalam kaitan dengan isyu ini, China
dianggap sebagai negara pelanggar terbesar. Sejak beberapa dekade terakhir, transplantasi organ
merupakan penyumbang devisa negara China yang amat besar. Besarnya suplay organ, yang
kebanyakan diperoleh dari narapidana tereksekusi, menyebabkan banyak orang berbondong-
bondong mencari organ di China. Pencarian organ yang bisa memakan waktu berbelas tahun di
negara lain, dapat diperoleh di China hanya dalam waktu beberapa minggu. Banyaknya suplay,
tingginya ketrampilan dokter dan harganya yang relatif terjangkau membuat China menjadi
tujuan pertama pasien-pasien yang memerlukan donor organ. Ada kecurigaan, sejak tahun 2001
China telah melakukan pelanggaran Hak Azasi Manusia karena telah mengeksekusi secara
sengaja para pengikut Falun Gong yang dipenjara, untuk diambil organ tubuhnya. Organ-organ
ini lalu dijual kepada pasien yang membutuhkan dengan mengambil keuntungan besar (laporan
David Kilgour dan David Matas, 2007). Dalam beberapa tahun terakhir transplantasi ginljal di
China mencapay 41.500 kasus.
Berkaitan dengan hal ini, maka pada Istambul Summit yang diadakan pada pertengahan
tahun 2008, dan dihadiri oleh 150 orang perwakilan ilmiah dan dokter dari 78 negara, pegawai
pemerintah, ilmuwan sosial dan pakar etika, semua menyatakan ikrar untuk menentang organ
trafficking (penjualan organ manusia), komersialisasi transplantasi (pengobatan organ sebagai
komoditas) dan transplant tourisme (turisme dalam rangka penyediaan organ untuk pasien dari
negara lain)
Dalam hukum di Indonesia, pada prinsipnya ada beberapa larangan:
1. Larangan komersialisasi organ atau jaringan tubuh: Pasal 16 PP 18/1981 menyatrakan bahwa
donor dilarang menerima imbalan material dalam bentuk apapun. Pasal 80 ayat 3 UU No
23/1992 menyatakan bahwa barangsiapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan
komersial dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau tranfusi darah
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak 300 juta
rupiah.
2. Larangan pengiriman dan penerimaan organ jaringan dari dan keluar negeri (pasal 19 PP No.
18/1981)
PENUTUP
Pada prinsipnya transplantasi organ merupakan suatu tindakan mulia, dimana seorang
donor memberikan sebagian tubuh atau organ tubuhnya untuk menolong pasien yang mengalami
kegagalan fungsi organ tertentu. Transplantasi organ dari donor hidup pada prinsipnya hanya
boleh dilakukan jika ada informed consent dari donor, dengan memperhatikan resiko donor,
efektifitas pendonoran organ, kemungkinan keberhasilan pada penerima dan tidak adanya unsur
”jual beli” atau komersialisasi di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA