Anda di halaman 1dari 17

HIV/AIDS

 
 
2 Votes

Pengertian HIV/AIDS

AIDS dapat diartikan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya sistem
kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk
dalam famili retroviridae. Penyakit ini ditandai oleh infeksi oportunistik dan atau beberapa jenis
keganasan tertentu. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV (Zuccotti dan Smith, 2009).

HIV/AIDS dapat juga dapat berupa sindrom akibat defisiensi imunitas seluler tanpa penyebab
lain yang diketahui, ditandai dengan infeksi oportunistik dan keganasan berakibat fatal.
Munculnya sindrom ini erat hubungannya dengan berkurangnya zat kekebalan  tubuh di mana 
proses ini  tidak  terjadi seketika melainkan sekitar 5-10 tahun (Merson, 2006).

Epidemiologi AIDS

Infeksi AIDS  pertama kali dilaporkan di Amerika pada tahun 1981 pada orang dewasa
homoseksual sedangkan pada anak tahun 1983. Di Indonesia kasus AIDS pertama kali
dilaporkan pada 1987 yang menimpa seorang warga negara asing di Bali. Tahun berikutnya
mulai dilaporkan adanya kasus di beberapa provinsi.  Karena AIDS bukan penyakit maka AIDS
tidak menular, yang menular adalah HIV yaitu virus yang menyebabkan kekebalan tubuh
mencapai masa AIDS. Virus ini terdapat dalam larutan darah, cairan sperma dan cairan vagina,
dan bisa menular pula melaui kontak darah atau cairan tersebut. Pada cairan tubuh lain
konsentrasi HIV sangat rendah sehingga tidak bisa menjadi media atau saluran penularan
(Merson, 2006).

Secara epidemiologik yang penting sebagai media perantara virus HIV adalah semen, darah dan
cairan vagina atau serviks. Penularan virus HIV secara pasti diketahui melalui hubungan seksual
(homoseksual, biseksual dan hetero-seksual) yang tidak aman, yaitu berganti-ganti pasangan,
seperti pada promiskuitas. Penyebaran secara ini merupakan penyebab 90% infeksi baru di
seluruh dunia. Penderita penyakit menular seksual terutama ulkus genital, menularkan HIV 30
kali lebih mudah dibandingkan orang yang tidak menderitanya. Parenteral, yaitu melalui
suntikan yang tidak steril, misalnya pada pengguna narkotik suntik, pelayanan kesehatan yang
tidak memperhatikan sterilitas, mempergunakan produk darah yang tidak bebas HIV, serta
petugas kesehatan yang merawat penderita HIV/AIDS secara kurang hati-hati. Perinatal, yaitu
dari ibu yang mengidap HIV kepada janin yang dikandungnya. Transmisi HIV-I dari ibu ke janin
dapat mencapai 30%, sedangkan HIV-2 hanya 10%. Penularan secara ini biasanya terjadi pada
akhir kehamilan atau saat persalinan. Bila antigen p24 ibu jumlahnya banyak, dan/ atau jumlah
reseptor CD4 kurang dari 700/ml, maka penularan lebih mudah terjadi. Ternyata HIV masih
mungkin ditularkan melalui air susu ibu (Merson, 2006).
Berdasarkan cara penularan, insidensi tertinggi penularan AIDS melalui hubungan heteroseksual
diikuti pengguna narkotika (nafza). Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada
penularan suatu penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang
rentan, tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (port’d entree) (Harris dan Bolus, 2008).

Pada 10 tahun pertama sejak penderita AIDS pertama ditemukan di Indonesia, peningkatan
jumlah kasus  AIDS  masih rendah. Pada akhir 1997 jumlah kasus AIDS kumulatif 153 kasus
dan HIV positif baru 486 orang yang diperoleh dari serosurvei di daerah sentinel. Pada akhir
abad ke 20 terlihat kenaikan yang sangat berarti dari jumlah kasus AIDS dan di beberapa daerah
pada sub-populasi tertentu, angka prevalensi sudah mencapai 5%, sehingga sejak itu Indonesia
dimasukkan kedalam kelompok negara dengan epidemi terkonsentrasi (Martin-Carbonero and
Soriano, 2010).

Etiologi AIDS

Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus
ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan
nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada
tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan  internasional pada tahun 1986
nama virus dirubah menjadi HIV. HIV terdiri dari 2 tipe yaitu virus HIV-1 dan HIV-2. Keduanya
merupakan virus RNA (Ribonucleic Acid) yang termasuk retrovirus dan lentivirus. Karakteristik
HIV (Harris dan Bolus, 2008):

 Tidak dapat hidup di luar tubuh manusia


 Merupakan virus yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia
 Kerusakan sistem kekebalan tubuh menimbulkan kerentanan terhadap infeksi penyakit
 Semua orang dapat terinfeksi HIV
 Orang dengan HIV + terlihat sehat dan merasa sehat
 Orang dengan HIV + tidak tahu bahwa dirinya sudah terinfeksi HIV
 Seorang pengidap HIV yang belum menunjukkan gejala dapat menularkan kepada orang
lain. Satu-satunya cara untuk mendapatkan kepastian infeksi HIV yaitu dengan tes darah.

Virus HIV termasuk virus RNA positif yang berkapsul. Diameternya sekitar 100 nm dan
mengandung dua salinan genom RNA yang dilapisi oleh protein nukleokapsid. Pada permukaan
kapsul virus terdapat glikoprotein transmembran gp41 dan glikoprotein permukaan gp120. Di
antara nukleokapsid dan kapsul virus terdapat matriks protein. Selain itu juga terdapat tiga
protein spesifik untuk virus HIV, yaitu enzim reverse transkriptase (RT), protease (PR), dan
integrase (IN). Retrovirus juga memiliki sejumlah  gen spesifik sesuai dengan spesies virusnya,
antara lain gag (fungsi struktural virus), pol (fungsi struktural dan sintesis DNA), serta env
(untuk fusi kapsul virus dengan membran plasma sel pejamu) (Martin-Carbonero and Soriano,
2010).
Gambar 1. Struktur virus HIV

Patogenesis HIV/AIDS

Perkembangan penyakit AIDS tergantung dari kemampuan virus HIV untuk menghancurkan
sistem imun pejamu dan ketidakmampuan sistem imun untuk menghancurkan HIV. Penyakit
HIV/AIDS dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi sempurna oleh respons imun
adaptif dan berlanjut menjadi infeksi jaringan limfoid perifer yang kronik dan progresif.
Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti dengan memeriksa jumlah virus di plasma dan jumlah sel
CD4+ dalam darah (Bertozzi et al., 2006).

Setelah terjadi infeksi primer, sel dendrit di epitel akan  menangkap virus kemudian bermigrasi
ke kelenjar getah bening. Sel dendrit mengekspresikan protein yaitu CCR5 yang berperan dalam
pengikatan HIV, sehingga sel dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid.
Di jaringan limfoid, sel dendrit dapat menularkan HIV  ke sel CD4+ melalui kontak langsung
antar sel. Dari jaringan limfoid, HIV masuk ke dalam aliran darah dan kemudian menginfeksi
organ-organ tubuh. Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam
jumlah banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia
disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi virus lainnya).
Setelah  terjadi penyebaran infeksi HIV, terbentuk respons imun adaptif  baik humoral maupun
selular terhadap antigen virus. Respons imun ini dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan
produksi virus yang menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan
pertama (Dolin, 2008).

Setelah terjadi  infeksi akut dilanjutkan dengan fase kedua dimana kelenjar getah bening dan
limpa menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun masih
kompeten  mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum  muncul manifestasi klinis infeksi
HIV, sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis (clinical latency period). Pada fase ini
jumlah virus rendah dan sebagian besar sel tidak mengandung HIV. Kendati demikian,
penghancuran sel CD4+ dalam jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlah sel CD4+ yang
bersirkulasi semakin berkurang. Pada awal penyakit, tubuh dapat menggantikan sel CD4+  yang
hancur dengan yang baru. Namun setelah beberapa tahun siklus infeksi virus, kematian sel  dan
infeksi baru berjalan  terus sehingga akhirnya menyebabkan penurunan jumlah sel CD4+ di
jaringan limfoid dan sirkulasi (Martin-Carbonero and Soriano, 2010).
Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain dan r espons imun terhadap infeksi
tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid. Penyakit HIV berjalan
terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana terjadi destruksi seluruh jaringan limfoid
perifer, jumlah sel CD4+ dalam darah kurang dari 200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat
drastis. Pasien AIDS menderita infeksi oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting
syndrome), gagal ginjal dan degenerasi susunan saraf pusat (Bertozzi et al., 2006).

Diagnosis HIV/AIDS

Dalam menentukan diagnosis HIV positif  dapat ditegakkan  berdasarkan beberapa hal. Dalam
menentukan diagnosis awal dapat dilihat dari riwayat penyakit-penyakit yang  pernah diderita
yang menunjukkan  gejala HIV dan pada pemeriksaan fisik terdapat  tanda-tanda infeksi
opurtunistik. Selain itu riwayat  pergaulan dapat membantu dalam  menegakkan diagnosis AIDS
karena dapat menjadi sumber informasi awal penularan penyakit. Pemeriksaan laboratorium
dalam menentukan diagnosis infeksi HIV dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan
menunjukkan adanya antibodi spesifik. Berbeda dengan virus lain, antibodi tersebut tidak
mempunyai efek perlindungan. Pemeriksaan secara langsung dapat dilakukan, yaitu antara lain
dengan melakukan biakan virus, antigen virus (p24), asam nukleat virus (Branson, 2007).

Pemeriksaan adanya antibodi spesifik dapat dilakukan dengan Rapid Test, Enzime Linked
Sorbent Assay (ELISA) dan Western Blot. Sesuai dengan pedoman  nasional, diagnosis HIV
dapat ditegakkan dengan 3 jenis pemeriksaan Rapid Test yang berbeda atau 2 jenis pemeriksaan
Rapid Test yang berbeda dan 1 pemeriksaan ELISA. Pada pemeriksaan ELISA, hasil test ini
positif bila antibodi dalam serum mengikat antigen virus murni di dalam enzyme-linked
antihuman globulin. Pada minggu 23 masa sakit telah diperoleh basil positif, yang lama-lama
akan menjadi negatif oleh karena sebagian besar HIV telah masuk ke dalam tubuh .Interpretasi
pemeriksaan ELISA adalah pada fase pre AIDS basil masih negatif, fase AIDS basil telah positif.
Hasil yang semula positif menjadi negatif, menunjukkan prognosis yang tidak baik (Branson,
2007).

Pemeriksaan Western Bolt merupakan penentu diagnosis AIDS setelah test ELISA dinyatakan
positif. Bila terjadi serokonversi HIV pada test ELISA dalam keadaan infeksi HIV primer, harus
segera dikonfirmasikan dengan test WB ini. Hasil test yang positif akan menggambarkan garis
presipitasi pada proses elektroforesis antigen-antibodi HIV di sebuah kertas nitroselulosa yang
terdiri atas protein struktur utama virus. Setiap protein terletak pada posisi yang berbeda pada
garis, dan terlihatnya satu pita menandakan reaktivitas antibodi terhadap komponen tertentu virus
(Harris dan Bolus, 2008).

Berdasarkan kriteria WHO, serum dianggap positif antibodi HIV-1 bila 2 envelope pita
glikoprotein terlihat pada garis. Serum yang tidak menunjukkan pita-pita tetapi tidak termasuk 2
envelope pita glikoprotein disebut indeterminate. Hasil indeterminate harus dievaluasi dan
diperiksa secara serial selama 6 bulan sebelum dinyatakan negatif. Bila hanya dijumpai 1 pita
saja yaitu p24, dapat diartikan hasilnya fase positif atau fase dini AIDS atau infeksi HIV-1
(Dolin, 2008).
Waktu antara infeksi dan serokonversi yang berlangsung beberapa minggu disebut antibody
negative window period. Pada awal infeksi, antibodi terhadap glikoprotein envelope termasuk
gp41 muncul dan menetap seumur hidup. Sebaliknya antibodi antigen inti (p24) yang muncul
pada infeksi awal, jumlahnya menurun pada infeksi lanjut. Pada infeksi HIV yang menetap, titer
antigen p24 meningkat, dan ini menunjukkan prognosis yang buruk. Penurunan cepat dan
konsisten antibodi p24 juga menunjukkan prognasi yang buruk (Branson, 2007).

Penatalaksanaan HIV/AIDS

Secara umum penatalaksanaan HIV/AIDS terdiri atas beberapa jenis yaitu pengobatan untuk
menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV), pengobatan untuk mengatasi
berbagai penyakit infeksi opportunistik menyertai infeksi HIV/AIDS dan pengobatan suportif
(Bertozzi et al., 2006).

1. a. Terapi antiretroviral (ARV)

Terapi anti-HIV yang dianjurkan saat ini adalah HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy),
yang menggunakan kombinasi minimal tiga obat antiretroviral. Terapi ini terbukti efektif dalam
menekan replikasi virus (viral load) sampai dengan kadar di bawah ambang deteksi. Waktu
memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat ARV akan diberikan
dalam jangka panjang.  ARV dapat diberikan apabila infeksi HIV telah ditegakkan berdasarkan
hasil pemeriksaan fisik dan dibuktikan secara laboratories (Hammer et al., 2008).

Obat ARV direkomendasikan pada semua pasien yang telah menunjukkan gejala yang termasuk
dalam kriteria diagnosis AIDS atau menunjukkan gejala yang sangat berat tanpa melihat jumlah
CD4+. Obat ini juga direkomendasikan pada pasien asimptomatik dengan jumlah limfosit CD4
kurang dari 200 sel/mm3. Pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200-350 sel/mm3
dapatditawarkan untuk memulai terapi. Pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih
dari 350 sel/mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml terapi ARV dapat dimulai, namun
dapat pula ditunda. Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien dengan jumlah limfosit
CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000 kopi/ml (Dolin, 2008).

Terapi HIV/AIDS saat ini adalah terapi kimia yang menggunakan obat ARV yang berfungsi
menekan perkembangbiakan virus HIV. Obat ini adalah inhibitor dari enzim yang diperlukan
untuk replikasi virus seperti reverse transcriptase (RT) dan protease. Inhibitor RT ini terdiri dari
inhibitor dengan senyawa dasar nukleosid (nucleoside-based inhibitor) dan nonnukleosid
(nonnucleoside-based inhibitor). Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside
reverse transcriptase inhibitor (NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI),
protease inhibitor (PI) (Gatell, 2010).

Nucleoside Reverse Transcriptase Iinhibitor atau NRTI merupakan analog nukleosida. Obat
golongan ini bekerja dengan menghambat enzim reverse transkriptase selama proses transkripsi
RNA virus pada DNA host.  Analog NRTI akan mengalami fosforilasi menjadi bentuk trifosfat,
yang kemudian secara kompetitif mengganggu transkripsi nukleotida. Akibatnya rantai DNA
virus akan mengalami terminasi sedangkan analog NNRTI akan berikatan langsung dengan
enzim reverse transkriptase dan menginaktifkannya. Obat yang termasuk dalam golongan NRTI
antara lain Abacavir (ABC), Zidovudine (AZT), Emtricitabine (FTC), Didanosine (ddI),
Lamivudine (3TC) dan Stavudine (d4T), Tenofovir. Obat yang termasuk NNRTI antara lain
Efavirenz (EFV) Nevirapine (NVP), Delavirdine (Elzi et al., 2010).

Protese Inhibitor (PI) bekerja dengan cara menghambat protease HIV. Setelah sintesis mRNA
dan poliprotein HIV terjadi, tahap selanjutnya protease HIV akan memecah poliprotein HIV
menjadi sejumlah protein fungsional. Dengan pemberian PI, produksi virion dan perlekatan
dengan sel pejamu masih terjadi, namun virus gagal berfungsi dan tidak infeksius terhadap sel.
Yang termasuk golongan PI antara lain Ritonavir (RTV), Atazanavir (ATV), Fos-Amprenavir
(FPV), Indinavir (IDV), Lopinavir (LPV) and Saquinavir (SQV) (Maggiolo, 2009).

Terapi lini pertama yang direkomendasikan WHO adalah kombinasi dua obat golongan NRTI
dengan satu obat golongan NNRTI. Kombinasi ini mempunyai efek yang lebih baik
dibandingkan kombinasi obat yang lain dan membutuhkan biaya yang lebih sedikit karena
terdapat generiknya. Analog thiacytadine (3 TC atau FTC) merupakan obat pilihan dalam terapi
lini pertama. 3 TC atau FTC dapat dikombinasi dengan analog nukleosida atau nukleotida seperti
AZT, TDF, ABC atau d4T. Didanosine (ddI) merupakan analog adenosine direkomendasikan
untuk terapi lini kedua. Obat golongan NNRTI, baik EFV atau NVP dapat dipilih untuk
dikombanasikan dengan obat NRTI sebagai terapi lini pertama. Terapi lini pertama dapat juga
dengan mengkombinasikan 3 obat golongan NRTI apabila obat golongan NNRTI sulit untuk
diperoleh. Pemilihan regimen obat ARV sebagai lini pertama dapat dilihat pada gambar 2.7.2.
(Kitahata et al. 2009).

Evaluasi pengobatan dapat dilihat dari jumlah CD4+ di dalam darah dan dapat digunakan untuk
memantau beratnya kerusakan kekebalan tubuh akibat HIV. Kegagalan terapi dapat dilihat secara
klinis dengan menilai perkembangan penyakit secara imunologis dengan penghitungan CD4+
dan atau secara virologi dengan mengukur viral-load. Kegagalan terapi terjadi apabila terjadi
penurunan jumlah CD4+.  Selain itu terjadinya toksisitas terkait dengan ketidakmampuan untuk
menahan efek samping dari obat, sehingga terjadi disfungsi organ yang cukup berat. Hal tersebut
dapat dipantau secara klinis, baik dari keluhan atau dari hasil pemeriksaan fisik pasien, atau dari
hasil pemeriksaan laboratorium, tergantung dari macam kombinasi obat yang dipakai (Maggiolo,
2009).

Penilaian klinis toksisitas harus dibedakan dengan sindrom pemulihan kekebalan (immuno
reconstitution inflammatory syndrome / IRIS), yaitu keadaan yang dapat muncul pada awal
pengobatan ARV. Sindrom ini ditandai oleh timbulnya infeksi oportunistik beberapa minggu
setelah ART dimulai sebagai suatu respon inflamasi terhadap infeksi oportunistik yang semula
subklinik. Keadaan tersebut terjadi terutama pada pasien dengan gangguan kebalan tubuh yang
telah lanjut. Kembalinya fungsi imunologi dapat pula menimbulkan gejala atipik dari infeksi
oportunistik. Apabila terjadi penurunan jumlah CD4+ dalam masa pengobatan terapi lini pertama
dan didapat tanda terjadinya toksisitas dapat dipertimbangkan untuk mengganti terapi (Maggiolo,
2009)

1. b. Terapi Infeksi Opportunistik


Infeksi oportunistik adalah penyebab utama morbiditas dan  mortalitas AIDS, dengan angka
sekitar 90%. Terapi antibiotik atau kemoterapeutik disesuaikan dengan infeksi-infeksi yang
sebetulnya berasal dari mikroorganisme dengan virulensi rendah yang ada di sekitar kita,
sehingga jenis infeksi sangat tergantung dari lingkungan dan cara hidup penderita (Paterson et
al., 2000).

Hampir 65% penderita HIV/AIDS mengalami komplikasi pulmonologis dimana pneumonia


karena P.carinii merupakan infeksi oportunistik tersering, diikuti oleh infeksi M tuberculosis,
pneumonia bakterial dan jamur, sedangkan pneumonia viral lebih jarang terjadi.Alasan
terpenting mengapa sering terjadi komplikasi pulmonologis pada infeksi HIV adalah
konsekuensi anatomis paru sehingga terpapar secara kronis terhadap bahan-bahan infeksius
maupun noninfeksius dari luar (eksogen), di sisi lain juga terjadi paparan secara hematogen
terhadap virus HIV (endogen) yang melemahkan sistem imun. Komplikasi pulmonologis,
terutama akibat infeksi oportunistik merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas utama serta
bisa terjadi pada semua stadium dengan berbagai manifestasi (Paterson et al., 2000).

Manajemen PCP tergantung dari derajat berat-ringannya pneumonia yang terjadi. Pada
pneumonia yang sedang-berat atau berat, penderita harus di rawat di rumah sakit karena mungkin
memerlukan bantuan ventilator (sekitar 40% kasus). Obat pilihan adalah kotrimoksazol intravena
dosis tinggi. Terapi antibiotika ini diberikan selama 21 hari. Penderita yang berespon baik
dengan antibiotika intravena, dapat melanjutkan terapi dengan antibiotika per oral untuk jika
sudah memungkinkan. Hipoksemia yang signifikan (PaO2 < 70 mmHg atau gradien arterial-
alveoler > 35), memerlukan kortikosteroid dan diberikan sesegera mungkin (dalam 72 jam)
belum terapi antibiotika untuk menekan risiko komplikasi dan memperbaiki prognosis.16,18
Pada kasus-kasus ringan-sedang dapat diberikan kotrimoksazol oral dengan dosis 2 x 960 mg
selama 21 hari. Alternatif terapi lainnya untuk PCP berat adalah pentamidin intravena (pilihan
kedua) dan klindamisin plus primakuin (pilihan ketiga), sedangkan PCP ringan-sedang dapat
diberikan dapsone plus trimetoprim, klindamisin plus primakuin, atovaquone atau trimetrexate
plus leucovorin (Harris dan Bolus, 2008).

Tuberkulosis paru (TB paru) masih merupakan problem penting pada infeksi HIV/AIDS dan
menjadi penyebab kematian pada sekitar 11% penderita. Berdasarkan data World Health
Organization (WHO), pada akhir tahun 2000 kira-kira 11,5 juta orang penderita infeksi HIV di
dunia mengalami ko-infeksi M. tuberculosis dan meningkatkan risiko kematian sebesar 2 kali
lipat dibandingkan tanpa tuberkulosis, dan seiring dengan derajat beratnya imunosupresi yang
terjadi (Gatell, 2010).

Penatalaksanaan TB paru dengan infeksi HIV pada dasarnya sama dengan tanpa infeksi HIV.
Saat pemberian obat pada koinfeksi TBC-HIV harus memperhatikan jumlah CD4 dan sesuai
dengan rekomendasi yang ada. Namun pada beberapa atudi mendapatkan tingginya angka
kekambuhan pada penderita yang menerima Obat Anti Tuberkulosis (OAT) selama 6 bulan
dibandingkan dengan 9-12 bulan (Harris dan Bolus, 2008).

Terdapat interaksi antara obat ARV dengan OAT, terutama rifampicin karena rangsangannya
terhadap aktivitas sistem enzim liver sitokrom P450 yang memetabolisme PI dan NNRTI,
sehingga terjadi penurunan kadar PI dan NNRTI dalam darah sampai kadar sub-terapeutik yang
berakibat incomplete viral suppresion dan timbulnya resistensi obat. Protease inhibitor dan
NNRTI dapat pula mempertinggi atau menghambat sistem enzim ini dan berakibat terganggunya
kadar rifampicin dalam darah. Interaksi obat-obat ini akhirnya berakibat tidak efektifnya
sehingga terjadi penurunan kadar PI dan NNRTI dalam darah sampai kadar sub-terapeutik yang
berakibat incomplete viral suppresion dan timbulnya resistensi obat. Protease inhibitor dan
NNRTI dapat pula mempertinggi atau menghambat sistem enzim ini dan berakibat terganggunya
kadar rifampicin dalam darah. Interaksi obat-obat ini akhirnya berakibat tidak efektifnya obat
ARV dan terapi tuberkulosis serta meningkatnya risiko toksisitas obat, sehingga pemakaian
bersama obat-obat tersebut tidak direkomendasikan (Gatell, 2010).

Sarkoma Kaposi jenis endemik, merupakan manifestasi  keganasan yang paling sering dijumpai
pada penderita HIV/AIDS.  Penyakit yang disebabkan oleh Cytomegalovirus ini ditandai dengan
lesi-lesi tersebar di daerah mukokutan, batang tubuh, tungkai atas dan bawah, muka dan rongga
mulut. Bentuk lesi berupa makula eritematosa agak menimbul, berwarna hijau kekuningan
sampai violet. Cara penularannya melalui kontak seksual. Karsinoma sel skuamosa tipe in situ
maupun invasif di daerah anogenital; limfoma terutama neoplasma sel limfosit B; keganasan
kulit non melanoma serta nevus displastik dan melanoma, merupakan neoplasma lainnya yang
sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS. Seperti halnya keganasan lain, tetapi sarkoma Kaposi
akan lebih efektif bila dalam keadaan baru dan besarnya terbatas. Radiasi, kemoterapi dan
imunomodulator interferon telah dicoba, yang sebenarnya lebih ditujukan untuk memperpanjang
masa hidup, sehingga lama terapi sulit ditentukan (Sheng Wu et al., 2008).

Dalam keadaan tidak dapat mengurus dirinya sendiri atau dikhawatirkan sangat menular,
sebaiknya penderita dirawat di Rumah Sakit tipe A atau B yang mempunyai berbagai disiplin
keahlian dan fasilitas ICU. Perawatan dilakukan di Unit sesuai dengan gejala klinis yang
menonjol pada penderita. Harapan untuk sembuh memang sulit, sehingga perlu perawatan dan
perhatian penuh, termasuk memberikan dukungan moral sehingga rasa takut dan frustrasi
penderita dapat dikurangi. Guna mencegah penularan di rumah sakit terhadap penderita lain yang
dirawat maupun terhadap tenaga kesehatan dan keluarga penderita, perlu diberikan penjelasan-
penjelasan khusus. Perawatan khusus diperuntukkan dalam hal perlakuan spesimen yang
potensial sebagai sumber penularan. Petugas yang merawat perlu mempergunakan alat-alat
pelindung seperti masker, sarung tangan, yang jasa pelindung, pelindung mata, melindungi kulit
terluka dari kemungkinan kontak dengan cairan tubuh penderita dan mencegah supaya tidak
terkena bahan/sampah penderita (Martin-Carbonero and Soriano, 2010).

1. c. Pencegahan

Kegiatan pencegahan bagi kemungkinan penyebarluasan HIV/AIDS dapat dilakukan dengan


tujuan (Sheng Wu et al., 2008):

a) Mencegah tertular virus dari pengidap HIV/AIDS.

b) Mencegah agar virus HIV tidak tertularkan kepada orang lain

Cara penularan dan beberapa hal yang perlu diperhatikan agar tidak tertular oleh virus HIV ini
adalah (UNAIDS, 2002):
1)      Berperilaku seksual secara wajar

Risiko tinggi penularan secara seksual adalah para pelaku homoseksual, biseksual dan
heteroseksual yang promiskuitas. Penggunaan kondom pada hubungan seks merupakan usaha
yang berhasil untuk mencegah penularan; sedangkan spermisida atau vaginal sponge tidak
menghambat penularan HIV.

2)      Berperilaku mempergunakan peralatan suntik yang suci hama Penularan melalui peralatan
ini banyak terdapat pada golongan muda pengguna narkotik suntik, sehingga rantai penularan
harus diwaspadai. Juga penyaringan yang ketat terhadap calon donor darah dapat
mengurangipenyebaran HIV melalui transfusi darah(38).

3)      Penularan lainnya yang sangat mudah adalah melalui cara perinatal. Seorang wanita hamil
yang telah terinfeksi HIV, risiko penularan kepada janinnya sebesar 50%.

Untuk mencegah agar virus HIV tidak ditularkan ke orang lain dapat dilakukan dengan cara
bimbingan kepada penderita HIV yang berperilaku seksual tidak aman, supaya menjaga diri agar
tidak menjadi sumber penularan. Pengguna narkotik suntik yang seropositif agar tidak
memberikan peralatan suntiknya kepada orang lain untuk dipakai; donor darah tidak dilakukan
lagi oleh penderita seropositif dan wanita yang seropositif lebih aman bila tidak hamil lagi
(UNAIDS, 2002).

Kewaspadaan Universal

Kewaspadaan Universal yaitu tindakan pengendalian infeksi yang dilakukan oleh seluruh tenaga
kesehatan untuk mengurangi resiko penyebaran infeksi dan didasarkan pada prinsip bahwa darah
dan cairan tubuh dapat berpotensi menularkan penyakit, baik berasal dari pasien maupun petugas
kesehatan (Nursalam, 2007). Prinsip kewaspadaan universal (universal precaution) di pelayanan
kesehatan adalah menjaga hygiene sanitasi individu, hygiene sanitasi ruangan, serta sterilisasi
peralatan. Hal ini penting mengingat sebagian besar yang terinfeksi virus lewat darah seperti
HIV dan HIB tidak menunjukan gejala fisik. Kewaspadaan universal diterapkan untuk
melindungi setiap orang (pasien dan petugas kesehatan) apakah mereka terinfeksi atau tidak.
Kewaspadaan universal berlaku untuk darah, sekresi ekskresi (kecuali keringat), luka pada kulit,
dan selaput lendir. Penerapan standar ini penting untuk mengurangi risiko penularan
mikroorganisme yang berasal dari sumber infeksi yang diketahui atau tidak diketahui (misalnya
pasien, benda terkontaminasi, jarum suntik bekas pakai, dan spuit) di dalam system pelayanan
kesehatan. Ketiga prinsip tersebut di jabarkan menjadi lima kegiatan pokok yaitu mencuci tangan
guna mencegah infeksi silang, pemakaian alat pelindung diantaranya pemakaian sarung tangan
guna mencegah kontak dengan darah serta cairan infeksius lain, pengelolaan alat kesehatan,
pengelolaan alat tajam untuk mencegah perlukaan, dan pengelolaan limbah (Depkes RI, 2003).

Cuci Tangan

Mencuci tangan merupakan teknik dasar yang paling penting dalam pencegahan dan
pengontrolan infeksi (Potter & Perry, 2005). Tujuan mencuci tangan adalah untuk membuang
kotoran dan organisme yang menempel dari tangan dan untuk mengurangi jumlah mikroba total
pada saat itu. Mikroorganisme pada kulit manusia dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok
yaitu flora residen dan flora transien. Flora residen adalah mikrorganisme yang secara konsisten
dapat diisolasi dari tangan manusia, tidak mudah dihilangkan dengan gesekan mekanis yang
telah beradaptasi pada kehidupan tangan manusia. Flora transien yang flora transit atau flora
kontaminasi, yang jenisnya tergantung dari lingkungan tempat bekerja. Mikroorganisme ini
dengan mudah dapat dihilangkan dari permukaan dengan gesekan mekanis dan pencucian
dengan sabun atau detergen. Cuci tangan harus dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah
melakukan tindakan perawatan walupun memakai sarung tangan atau alat pelindung lain untuk
menghilangkan atau mengurangi mikrorganisme yang ada di tangan sehingga penyebaran
penyakit dapat di kurangi dan lingkungan terjaga dari infeksi. Tangan harus di cuci sebelum dan
sesudah memakai sarung tangan. Cuci tangan tidak dapat digantikan oleh pemakaian sarung
tangan. Mencuci tangan dilakukan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan
walaupun memakai sarung tangan dan alat pelindung lain. Tindakan ini untuk menghilangkan
atau mengurangi mikroorganisme yang ada di tangan sehingga penyebaran infeksi dapat
dikurangi dan lingkungan kerja tetap terjaga. Cuci tangan dilakukan pada saat sebelum;
memeriksa (kontak langsung dengan pasien), memakai sarung tangan ketika akan melakukan
menyuntik dan pemasangan infus. Cuci tangan harus dilakukan pada saat yang diantisipasi akan
terjadi perpindahan kuman

Cuci tangan higienik atau rutin yang berfungsi mengurangi kotoran dan flora yang ada di tangan
dengan menggunakan sabun atau detergen. Cuci tangan aseptic yaitu cuci tangan yang dilakukan
sebelum tindakan aseptik pada pasien dengan menggunakan antiseptik. Cuci tangan bedah yaitu
cuci tangan yang dilakukan sebelum melakukan tindakan bedah aseptik dengan antiseptik dan
sikat steril. Langkah mencuci tangan (Potter & Perry, 2005) adalah sebagai berikut:

1. Gunakan wastapel yang mudah digapai dengan air mengalir yang hangat, sabun biasa
atau sabun antimikrobial, lap tangan kertas atau pengering.
2. Lepaskan lap tangan dan gulung lengan panjang keatas pergelangan tangan.
3. Hindari memakai cincin, lepaskan selama mencuci tangan.
4. Jaga supaya kuku tetap pendek dan datar.
5. Inspeksi permukaan tangan dan jari akan adanya luka atau sayatan pada kulit dan
kutikula.
6. Berdiri didepan wastapel. Jaga agar tangan dan seragam tidak menyentuh wastapel.
7. Alirkan air. Tekan pedal dengan kaki untuk mengatur aliran dan suhu atau dorong pedal
lutut secara lateral untuk mengatur aliran dan suhu.
8. Hindari percikan air mengenai seragam.
9. Atur aliran air sehingga suhu hangat.

10.  Basahi tangan dan lengan bawah dengan seksama sebelum mengalirkan air hangat.
Pertahankan supaya tangan dan lengan bawah lebih rendah dari pada siku selama mencuci
tangan.

11.  Taruh sedikit sabun biasa atau sabun anti mikrobial cair pada tangan, sabuni dengan
seksama.
12.  Gosok kedua tangan dengan cepat paling sedikit 10 – 15 detik. Jalin jari-jari tangan dan
gosok telapak dan bagian punggung tangan dengan dengan gerakan sirkuler paling sedikit
masing-masing lima kali. Pertahankan supaya ujung jari berada dibawah untuk memungkinkan
pemusnahan mikroorganisme.

13.  Jika daerah di bawah kuku kotor, bersihkan dengan kuku jari tangan yang satunya, dan
tambah sabun atau stik orangewood yang bersih

14.  Bilas tangan dan pergelangan tangan dengan seksama, pertahankan supaya letak tangan
dibawah siku

15.  Keringkan tangan dengan seksama dan jari tangan ke pergelangan tangan dan lengan bawah
dengan handuk kertas (tisue) atau pengering.

16.  Jika digunakan, buang handuk kertas pada tempat yang tepat.

17.  Tutup air dengan kaki dan pedal lutut.

Cuci tangan harus dilakukan pada saat yang di antisipasi akan terjadi perpindahan kuman melalui
tangan yaitu sebelum malakukan suatu tindakan yang seharusnya dilakukan secara bersih dan
setelah melakukan tindakan yang memungkinkan terjadi pencemaran seperti: Sebelum
melakukan tindakan misalnya memulai pekerjaan, saat akan memeriksa, saat akan memakai
sarung tangan yang steril atau sarung tangan yang telah didesinfeksi tingkat tinggi untuk
melakukan tindakan, saat akan melakukan peralatan yang telah di DTT, saat akan injeksi , saat
hendak pulang ke rumah. Setelah melakukan tindakan yang memungkinkan terjadi pencemaran.
Misalnya setalah memeriksa pasien, setelah mamakai alat bekas pakai dan bahan lain yang
beresiko terkontaminasi, setelah menyentuh selaput mukosa, darah atau cairan tubuh lain, setelah
membuka sarung tangan.

Sarana cuci tangan adalah ketersediaan air mengalir dengan saluran pembuangan atau bak
penampungan yang memadai. Dengan guyuran air mengalir tersebut diharapkan mikroorganisme
akan terlepas ditambah gesekan mekanis atau kimiawi saat mencuci tangan mikroorganisme
akan terhalau dan tidak menempel lagi di permukaan kulit. Air mengalir tersebut dapat berupa
kran atau dengan cara mengguyur dengan gayung. Penggunaan sabun tidak membunuh
mikroorganisme tetapi menghambat dan mengurangi jumlah mikroorganisme dengan jalan
mengurangi tegangan permukaan sehingga mikroorganisme mudah terlepas dari permukaan kulit
. Jumlah mikroorganisme akan berkurang dengan sering mencuci tangan.

Larutan antiseptik atau anti mikroba topikal yang dipakai pada kulit atau jaringan hidup lain
menghambat aktivitas atau membunuh mikroorganisme pada kulit. Kulit manusia tidak dapat
disterilkan. Tujuan yang ingin dicapai adalah penurunan jumlah mikroorganisme pada kulit
secara maksimal terutama pada kuman transien. Kriteria memilih antiseptik adalah sebagai
berikut:

1. Efektifitas
2. Kecepatan aktivitas awal
3. Efek residu, aksi yang lama setelah pemakaian untuk meredam pertumbuhan.
4. Tidak mengakibatkan iritasai kulit
5. Tidak menyebabkan alergi
6. Afektif sekali pakai, tidak perlu diulang-ulang.
7. Dapat diterima secara visual maupun estetik.

Alat Pelindung Diri

Alat pelindung diri digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lender petugas dari resiko
pajanan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret atau ekskreta, kulit yang tidak utuh dan selaput
lendir pasien. Jenis tindakan yang beresiko mencakup tindakan rutin. Jenis alat pelindung:
Sarung tangan, masker dan gaun pelindung. Tidak semua alat pelindung tubuh harus dipakai,
tetapi tergantung pada jenis tindakan yang akan dikerjakan.

a. Sarung Tangan

Pemakaian sarung tangan bertujuan untuk melindungi tangan dari kontak dengan darah, semua
jenis cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh, selaput lendir pasien dan benda yang
terkontaminasi. Sarung tangan harus selalu dipakai oleh setiap petugas sebelum kontak dengan
darah atau semua jenis cairan tubuh. Jenis sarung tangan yang dipakai di sarana kesehatan,
yaitu :

-        Sarung tangan bersih adalah sarung tangan yang didesinfeksi tingkat tinggi dan digunakan
sebelum tindakan rutin pada kulit dan selaput lendir. Misalnya tindakan medis pemeriksaaan
dalam, merawat luka terbuka.

-        Sarung tangan steril adalah sarung tangan yang disterilkan dan harus digunakan pada
tindakan bedah. Bila tidak ada sarung tangan steril baru dapat digunakan sarung tangan yang
didesinfeksi tingkat tinggi.

-        Sarung tangan rumah tangga adalah sarung tangan yang terbuat dari latex atau vinil yang
tebal. Sarung tangan ini dipakai pada waktu membersihkan alat kesehatan, sarung tangan ini bisa
dipakai lagi bila sudah dicuci dan dibilas bersih.

Sarung tangan ini harus selalu dipakai pada saat melakukan tindakan yang kontak atau
diperkirakan akan terjadi kontak dengan darah, cairan tubuh, sekret, kulit yang tidak utuh,
selaput lendir pasien dan benda terkontaminsi. Yang harus diperhatikan ketika menggunakan
sarung tangan yaitu gunakan sarung tangan yang berbeda untuk setiap pasien, segera lepas
sarung tangan apabila telah selesai dengan satu pasien dan ganti dengan sarung tangan yang lain
apabila menangani sarung tangan lain. Hindari jamahan pada benda lain selain yang
berhubungan dengan tindakan yang sedang dilakukan. Tidak dianjurkan menggunakan sarung
tangan rangkap karena akan menurunkan kepekaan. Kecuali dalam keadaan khusus seperti
tindakan yang menggunakan waktu lama lebih 60 menit., tindakan yang berhubungan dengan
darah atau cairan tubuh yang banyak, bila memakai sarung tangan ulang seharusnya sekali pakai.
Prosedur pemakaian sarung tangan steril (DepKes RI, 2003) adalah sebagai berikut:
1. Cuci tangan
2. Siapkan area yang cukup luas, bersih dan kering untuk membuka paket sarung tangan.
Perhatikan tempat menaruhnya (steril atau minimal DTT)
3. Buka pembungkus sarung tangan, minta bantuan petugas lain untuk membuka
pembungkus sarung tangan. Letakan sarung tangan dengan bagian telapak tangan
menghadap keatas
4. Ambil salah satu sarung tangan dengan memegang pada sisi sebelah dalam lipatannya,
yaitu bagian yang akan bersentuhan dengan kulit tangan saat dipakai
5. Posisikan sarung tangan setinggi pinggang dan menggantung ke lantai, sehingga bagian
lubang jari-jari tangannya terbuka. Masukan tangan (jaga sarung tangan supaya tidak
menyentuh permukaan)
6. Ambil sarung tangan kedua dengan cara menyelipkan jari-jari tangan yang sudah
memakai sarung tangan ke bagian lipatannya, yaitu bagian yang tidak akan bersentuhan
dengan kulit tangan saat dipakai
7. Pasang sarung tangan yang kedua dengan cara memasukan jari-jari tangan yang belum
memakai sarung tangan, kemudian luruskan lipatan, dan atur posisi sarung tangan
sehingga terasa pas dan enak ditangan

b. Pelindung Wajah (Masker)

Pemakaian pelindung wajah ini dimaksudkan untuk melindungi selaput lender hidung, mulut
selama melakukan perawatan pasien yang memungkinkan terjadi percikan darah dan cairan
tubuh lain. Masker tanpa kaca mata hanya digunakan pada saat tertentu misalnya merawat pasien
tuberkulosa terbuka tanpa luka bagian kulit atau perdarahan. Masker kaca mata dan pelindung
wajah secara bersamaan digunakan petugas yang melaksanakan atau membantu melaksanakan
tindakan beresiko tinggi terpajan lama oleh darah dan cairan tubuh lainnya antara lain
pembersihan luka, membalut luka, mengganti kateter atau dekontaminasi alat bekas pakai. Bila
ada indikasi untuk memakai ketiga macam alat pelindung tersebut, maka masker selalu dipasang
dahulu sebelum memakai gaun pelindung atau sarung tangan, bahkan sebelum melakukan cuci
tangan bedah. Langkah – langkah pemakaian masker (Potter & Perry, 2005) sebagai berikut:

1. Ambil bagian tepi atas masker (biasaanya sepanjang tepi tersebut / metal yang tipis).
2. Pegang masker pada dua tali atau ikatan bagian atas. Ikatan dua tali atas pada bagian atas
belakang kepala dengan tali melewati atas telinga.
3. Ikatkan dua tali bagian bawah pas eratnya sekeliling leher dengan masker sampai
kebawah dagu.
4. Dengan lembut jepitkan pita metal bagian atas pada batang hidung.

c. Gaun Pelindung

Gaun pelindung merupakan salah satu jenis pakaian kerja. Jenis bahan sedapat mungkin tidak
tembus cairan. Tujuan pemakaian gaun pelindung adalah untuk melindungi petugas dari
kemungkinan genangan atau percikan darah atau cairan tubuh lain. gaun pelindung harus dipakai
apabila ada indikasi seperti halnya pada saat membersihkan luka, melakukan irigasi, melakukan
tindakan drainase, menuangkan cairan terkontaminasi ke dalam lubang wc, mengganti pembalut,
menangani pasien dengan perdarahan masif. Sebaiknya setiap kali dinas selalu memakai pakaian
kerja yang bersih, termasuk gaun pelindung. Gaun pelindung harus segera diganti bila terkena
kotoran, darah atau cairan tubuh. Cara menggunakan gaun pelindung (Anita, D, A, 2004) sebagai
berikut:

1. Hanya bagian luar saja yang terkontaminasi, karena tujuan pemakaian gaun untuk
melindungi pemakai dari infeksi.
2. Gaun dapat dipakai sendiri oleh pemakai atau dipakaikan oleh orang lain.

Pengelolaan Alat-Alat Kesehatan

Pengelolaan alat kesehatan bertujuan untuk mencegah penyebaran infeksi melalui alat kesehatan
atau untuk menjamin alat tersebut dalam kondisi steril dan siap pakai. Semua alat, bahan dan
obat yang akan dimasukan ke dalam jaringan di bawah kulit harus dalam keadaan steril. Proses
penatalaksanaan peralatan dilakukan melalui 4 tahap kegiatan yaitu dekontaminasi, pencucian,
sterilisasi atau DDT dan penyimpanan. Pemilihan cara pengelolaan alat kesehatan tergantung
pada kegunaan alat tersebut dan berhubungan dengan tingkat resiko penyebaran infeksi.

a. Dekontaminasi

Dekontaminasi adalah menghilangkan mikroorganisme patogen dan kotoran dari suatu benda
sehingga aman untuk pengelolaan selanjutnya dan dilakukan sebagai langkah pertama bagi
pengelolaan pencemaran lingkungan, seperti misalnya tumpahan darah atau cairan tubuh, Juga
sebagai langakah pertama pengelolaan limbah yang tidak dimusnahan dengan cara insinerasi
atau pembakaran. Dekontaminasi bertujuan untuk mencegah penyebaran infeksi melalui alat
kesehatan atau suatu permukaan benda, sehingga dapat melindungi petugas atau pun pasien.
Dekontaminasi dilakukan dengan menggunakan bahan desinfektan yaitu suatu bahan atau larutan
kimia yang digunakan untuk membunuh mikroorganisme pada benda mati dan tidak digunakan
untuk kulit atau jaringan mukosa. Salah satu yang biasa dipakai terutama di negara berkembang
seperti Indonesia adalah larutan klorin 0,5% atau 0,05 % sesuai dengan intensitas cemaran dan
jenis alat atau permukaan yang akan didekontaminasi. Karena demikian banyak macam dan
bentuk alat kesehatan maka perlu dipilih cara dekontaminasi yang tepat. Ada tiga macam
pertimbangan dalam memilih cara dekontaminasi yaitu keamanan, efikasi atau efektifitas dan
efisien. Keamanan dan efektifitas merupakan pertimbangan utama sedang efisien dapat
dipertimbangkan kemudian setelah keamanan dan efektifitas terpenuhi. Yang dipertimbangkan
dalam keamanan adalah antisifasi terjadinya kecelakaan atau penyakit pada petugas kesehatan
yang mengelola benda-benda terkontaminasi dan melakukan proses dekontaminasi. Sedapat
mungkin pemilahan dilakukan oleh si pemakai ditempat segera setelah selesai pemakaian selagi
mereka masih menggunakan pelindung yang memadai sehingga pajanan pada petugas dapat
diminimalkan.

b. Pencucian alat

Setelah dekontaminasi dilakukan pembersihan yang merupakan langkah penting yang harus
dilakukan. Tanpa pembersihan yang memadai maka pada umumnya proses disenfeksi atau
selanjutnya menjadi tidak efektif. Kotoran yang tertinggal dapat mempengaruhi fungsinya atau
menyebabkan reaksi pirogen bila masuk ke dalam tubuh pasien. Pada alat kesehatan yang tidak
terkontaminasi dengan darah, misalnya kursi roda, alat pengukur tekanan darah, infus pump dsb.
Cukup dilap dengan larutan detergen, namun apabila jelas terkontaminasi dengan darah maka
diperlukan desinfektan.

Pembersihan dengan cara mencuci adalah menghilangkan segala kotoran yang kasat mata dari
benda dan permukaan benda dengan sabun atau detergen, air dan sikat. Kecuali menghilangkan
kotoran pencucian akan semakin menurunkan jumlah mikroorganisme yang potensial menjadi
penyebab infeksi melalui alat kesehatan atau suatu permukaan benda dan juga mempersiapkan
alat untuk kontak langsung dengan desinfektan atau bahan sterilisasi sehingga dapat berjalan
secara sempurna. Pada pencucian digunakan detergen dan air. Pencucian harus dilakukan dengan
teliti sehingga darah atau cairan tubuh lain betul-betul hilang dari permukaan tersebut. Pencucian
yang hanya mengandalkan air tidak dapat menghilangkan minyak, protein dan partikel-partikel.
Tidak dianjurkan mencuci dengan menggunakan sabun biasa untuk membersihkan peralatan,
karena sabun yang bereaksi dengan air akan menimbulkan residu yang sulit untuk dihilangkan.

c. Disinfeksi dan Sterilisasi

Seperti sudah dibicarakan sebelumnya bahwa faktor resiko infeksi disarana kesehatan adalah
pengelolaan alat kesehatan atau cara dekontaminasi dan desinfeksi yang kurang tepat.
Pengelolaan alat dikategorikan menjadi 3 yaitu:

1. Resiko tinggi

Suatu alat termasuk dalam kategori resiko tinggi karena penggunaan alat tersebut beresiko tinggi
untuk menyebabkan infeksi apabila alat tersebut terkontaminasi oleh mikroorganisme atau spora
bakterial. Alat tersebut mutlak perlu dalam keadaan steril karena penggunaannya menembus
jaringan atau sistem pembuluh darah yang steril. Dalam kategori ini meliputi alat kesehatan
bedah, kateter jantung dan alat yang ditanam. Alat-alat tersebut harus dalam keadaan steril pada
saat pembeliaannya atau bila mungkin disterilkan dengan otoklaf. Apabila alat itu tidak tahan
panas maka sterilisasi dilakukan dengan etilen oksida atau kalau terpaksa apabila cara lain tidak
memungkinkan dilakukan streilisasi kimiawi seperi dengan glutaraldehide 2% atau hidrogen
peroksida 6%. Cara tersebut harus tetap memperhatikan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu
pencucian yang cermat sebelumnya.

1. Resiko sedang

Alat yang digunakan untuk menyentuh lapisan mukosa atau kulit yang tidak utuh harus bebas
dari semua mikroorganisme kecuali spora. Lapisan mukosa yang utuh pada umumnya dapat
menahan infeksi spora tetapi tetap rentan terhadap infeksi basil TBC dan virus, yang termasuk
dalam kategori resiko sedang antara lain alat untuk terapi pernafasan, alat anestesi, endoskopi
dan ring diagfragma. Alat beresiko sedang memerlukan paling tidak desinfeksi tingkat tinggi,
baik secara pasteurisasi atau kimiawi. Pemilihan proses desinfeksi harus memperhatikan efek
sampingnya seperti klorin yang mempunyai sifat korosif. Laparascopi dan artroskopi yang
dipakai dengan menmbus jaringan steril secara ideal harus disterilkan terlebih dahulu, namun
biasanya hanya dilakukan disenfeksi tingkat tinggi saja. Disarankan agar semua alat dibilas
dengan air steril untuk menghindari kontaminasi dengan mikroorganisme yang berasal dari air
seperti mikrobakteria nontuberkulosa dan legionella. Bila tidak tersedia air steril dapat dengan
air biasa diikuti dengan bilasan air alkohol dan cepat dikeringkan dengan semprotan udara.
Semprotan udara ini dapat mengurangi cemaran mikroorganisme dan mengurangi kelembaban
yang dapat mempercepat pertumbuhan bakteri.

1. Resiko rendah

Alat yang masuk dalam kategori resiko rendah adalah yang digunakan pada kulit yang utuh dan
bukan untuk lapisan mukosa. Kulit utuh adalah pertahanan yang efektif terhadap infeksi semua
jenis mikroorganisme, oleh karena itu sterilisasi tidak begitu diperlukan. Contoh alat yang masuk
kategori resiko rendah adalah pispot, tensimeter, linen, tempat tidur, peralatan makan, perabotan,
lantai. Walaupun peralatan tersebut mempunyai resiko rendah untuk menyebabkan infeksi,
namun dapat menjadi perantara sekunder dengan jalan mengkontaminasi tangan petugas
kesehatan atau peralatan yang seharusnya steril oleh karena itu alat tersebut tetap perlu
didesinfeksi dengan disinfeksi tingkat rendah.

Pengelolaan Benda Tajam

Benda tajam sangat bereskio menyebabkan perlukaan sehingga meningkatkan terjadinya


penularan penyakit melalui kontak darah. Penularan infeksi HIV, hepatitis B dan C di sarana
pelayanan kesehatan, sebagian besar disebabkan kecelakaan yang dapat dicegah, yaitu tertusuk
jarum suntik dan perlukaan alat tajam lainnya. Untuk menghindari perlukaan atau kecelakaan
kerja maka semua benda tajam harus digunakan sekali pakai, dengan demikian jarum suntik
bekas tidak boleh digunakan lagi. Sterilitas jarum suntik dan alat kesehatan yang lain yang
menembus kulit atau mukosa harus dapat dijamin. Keadaan steril tidak dapat dijamin jika alat-
alat tersebut didaur ulang walaupun sudah di otoklaf. Tidak dianjurkan untuk melakukan daur
ulang atas pertimbangan penghematan karena 17% kecelakaan kerja disebabkan oleh luka
tusukan sebelum atau selama pemakaian, 70% terjadi sesudah pemakaian dan sebelum
pembuangan serta 13% sesudah pembuangan.hampir 40% kecelakaan ini dapat dicegah dan
kebanyakan kecelakaan kerja akibat melakukan penyarungan jarum suntik setelah
penggunaannya.

Perlu diperhatikan dengan cermat ketika menggunakan jarum suntik atau benda tajam lainnya.
Setiap petugas kesehatan bertanggung jawab atas jarum dan alat tajam yang digunakan sendiri,
yaitu sejak pembukaan paking, penggunaan, dekontaminasi hingga kepenampungan sementara
yang berupa wadah alat tusukan. Untuk menjamin ketaatan prosedur tersebut maka perlu
menyediakan alat limbah tajam atau tempat pembuangan alat tajam di setiap ruangan, misalnya
pada ruang tindakan atau perawatan yang mudah dijangkau oleh petugas. Seperti prosedur
pengelolaan alat kesehatan lainnya maka petugas harus selalu mengenakan sarung tangan tebal,
misalnya saat mencuci alat dan alat tajam. Risiko kecelakaan sering terjadi pada saat
memindahkan alat tajam dari satu orang ke orang lain, oleh karena itu tidak dianjurkan
menyerahkan alat tajan secara langsung, melainkan menggunakan technik tanpa sentuh (hands
free) yaitu menggunakan nampan atau alat perantara dan membiarkan petugas mengambil sendiri
dari tempatnya, terutama pada prosedur bedah. Risiko perlukaan dapat ditekan dengan
mengupayakan situasi kerja dimana petugas kesehatan mendapat pandangan bebas tanpa
halangan, dengan cara meletakkan pasien pada posisi yang mudah dilihat dan mengatur sumber
pencahayaan yang baik. Pada dasarnya adalah menjalankan prosedur kerja yang legeartis, seperti
pada penggunaan forsep atau pingset saat mengerjakan penjahitan.

Kecelakaan yang sering terjadi pada prosedur penyuntikan adalah pada saat petugas berusaha
memasukkan kembali jarum suntik bekas pakai kedalam tutupnya, oleh karena itu sangat tidak
dianjurkan untuk menutup kembali jarum suntik tersebut melainkan langsung buang ke
penampungan sementara, tanpa menyentuh atau memanipulasinya seperti membengkokkannya.
Jika jarum terpaksa ditutup kembali (recaping) gunakanlah dengan cara penutupan dengan satu
tangan untuk mencegah jari tertusuk jarum. Sebelum dibuang ketempat pembuangan akhir atau
tempat pemusnahan, maka diperlukan wadah penampungan sementara yang bersifat kedap air
dan tidak mudah bocor serta kedap tusukan. Wadah penampung jarum suntik bekas pakai harus
dapat digunakan dengan satu tangan agar pada saat memasukkan jarum tidak usah
memeganginya dengan tangan yang lain. Wadah tersebut ditutup dan diganti setelah ¾ bagian
terisi dengan limbah, dan setelah ditutup tidak dapat dibuka lagi sehingga tidak tumpah. Hal
tersebut dimaksudkan agar menghindari perlukaan pada pengelolaan yang selanjutnya. Idealnya
benda tajam dapat diinsinerasi, tetapi bila tidak mungkin dapat dikubur dan dikaporisasi bersama
limbah lainnya.

Pengeloaan Limbah

Limbah dari sarana kesehatan secara umum dibedakan atas:

1. Limbah rumah tangga atau limbah non medis, yaitu limbah yang tidak kontak dengan
darah atau cairan tubuh lainnya disebut sebagai resiko rendah. yakni sampah-sampah
yang dihasilkan dari kegiatan ruang tunggu pasien, administrasi.
2. 2. Limbah medis bagian dari sampah rumah sakit yang berasal dari bahan yang
mengalami kontak dengan darah atau cairan tubuh lainnya disebut sebagai limbah
beresiko tinggi. Beberapa limbah medis dapat berupa: limbah klinis, limbah
laboratorium, darah atau cairan tubuh yang lainnya, material yang mengandung darah
seperti perban, kassa dan benda-benda dari kamar bedah, sampah organik, misalnya
potongan tubuh, plasenta, benda-benda tajam bekas pakai misal jarum suntik.

Pemilahan dilakukan dengan menyediakan sampah yang sesuai dengan jenis sampah medis.
Wadah-wadah tersebut biasanya menggunakan kantong plastik berwarna misalnya kuning untuk
infeksius hitam untuk non medis atau wadah yang diberi label yang mudah dibaca. Pewadahan
sementara sangat diperlukan sebelum sampah dibuang. Syarat yang harus dipenuhi adalah :

-        Di tempatkan pada daerah yang mudah dijangkau petugas, pasien, dan pengunjung.

-        Harus tertutup dan kedap air.

-        Hanya bersifat sementara dan tidak boleh lebih dari satu hari.

Anda mungkin juga menyukai