Anda di halaman 1dari 16

PENGADAAN BARANG / JASA

PEMERINTAH
MENURUT PELAKU USAHA

Oleh :

Ir. H. Agus G. Kartasasmita MSc.MT


Ketua Umum BPP Gapensi

Hotel Nikko, Diamond Ballroom


Jakarta, 23 Agustus 2006

1
PENGADAAN BARANG / JASA PEMERINTAH
MENURUT PELAKU USAHA

Oleh : Ir. H. Agus G. Kartasasmita MSc.MT


Ketua Umum BPP Gapensi

Hotel Nikko, Diamond Ballroom


Jakarta, 23 Agustus 2006

Pendahuluan

Hari ini diselenggarakan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Seminar Nasional dengan Tema “Upaya
Perbaikan Sistim Penyelenggaraan Barang / Jasa Pemerintah”. Tema ini
mengangkat isu keberadaan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur
tentang Penyelenggaraan Pengadaan Barang / Jasa Instansi Pemerintah yang
terindikasi masih sarat dengan persengkongkolan baik secara horizontal maupun
vertikal yang berujung tidak hanya berupa pelanggaran azas persaingan usaha
yang sehat, tetapi juga mencuat sebagai fenomena korupsi yang merugikan
negara.

Dimintakan kepada saya selaku Ketua Umum BPP Gapensi, organisasi yang
merupakan wadah berhimpunnya para pengusaha yang bergerak di bidang jasa
konstruksi, dalam seminar ini dalam konteks tema tersebut diatas topik
“Pengadaan Barang dan Jasa menurut Pelaku Usaha”.

Dalam kaitan dengan topik ini, saya akan lebih menyoroti dari sisi pengadaan
yang terkait dengan jasa kontruksi, yang dihari-hari belakangan ini menjadi
sorotan berbagai pihak karena merupakan bidang yang tertinggi tingkat
penyelewengan dan korupsinya di Indonesia.

Untuk memahami usaha dibidang jasa konstruksi dan kaitannya dalam


pengadaan barang dan jasa pemerintah marilah kita tilik mengenai peran sektor
kontruksi dan permasalahan-permasalahan yang ada di seputar pengusaha sektor
konstruksi dan Keppres no. 80/2003 yang mengatur mengenai Pedoman
Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah yang melibatkan pengadaan
barang/jasa bernilai puluhan triliun rupiah, yang pelaksanaannya rawan akan
bentuk-bentuk KKN serta bagaimana seharusnya peraturan dilaksanakan dan
pengusaha jasa konstruksi bersikap dalam kewirausahaan yang bertanggung
jawab.

2
Peran Sektor Konstruksi dalam Pembangunan

Secara sederhana sektor konstruksi dapat dijelaskan sebagai sektor yang produk
akhirnya berupa sarana dan prasana dasar suatu negara untuk melangsungkan
kehidupannya. Dari sini dapat dipahami bahwa tanpa sektor konstruksi
kelangsungan kehidupan suatu negara akan terseok-seok. Sarana dan prasarana
itu pada hakekatnya adalah infrastruktur yang meliputi perumahan, jaringan
transportasi, air bersih dan sanitasi, telekomunikasi dan informasi, dan jaringan
kelistrikan.
Peran infrastruktur dalam perekonomian semakin penting ketika suatu negara
melakukan pembangunan. Infrastruktur merupakan prasarana tetap yang secara
simultan menjadi subyek dan obyek pembangunan. Sebagai subyek,
infrastruktur adalah penggerak pembangunan karena menciptakan kesempatan
kerja, sedangkan sebagai obyek, infrastruktur mengalami pembangunan terus
menerus baik dalam perluasan, peningkatan maupun perawatannya.

Dinegara-negara yang mengalami krisis ekonomi, pembangunan infrastruktur


menjadi andalan untuk keluar dari krisis ekonomi karena merupakan salah satu
sektor penggerak perekonomian dengan kemampuannya : (i) menyerap tenaga
kerja dalam jumlah besar dalam kurun waktu yang cukup lama, (ii) dan
karenanya membantu peningkatan distribusi pendapatan, (iii) menstimulasi
sektor produksi lain dengan dampak berganda (multiplier effect).

Pembangunan infrastruktur menjadi pemicu (trigger) yang memacu percepatan


pemulihan ekonomi : (i) daya serap tenaga kerjanya membantu mengatasi
masalah pengangguran, (ii) merangsang konsumsi pemerintah dan masyarakat
sehingga memutar roda perekonomian, (iii) efisiensi yang dihasilkan dari
infrastruktur yang baik akan mengefisienkan biaya dan pada gilirannya
meningkatkan daya saing perdagangan dan industri nasional, (iv)
kemampuannya menggerakan sektor riil yang lain akan membangkitkan kembali
sektor riil yang mengalami kelesuan.

Dari sejumlah studi menunjukan hubungan yang signifikan antara infrastruktur


dan pertumbuhan ekonomi. Bank dunia dalam studinya (1994) menunjukan
elastisitas pertumbuhan PDB perkapita terhadap naiknya satu persen
ketersediaan infrastruktur diberbagai Negara berkisar antara 0,07%-0,44%. Studi
dari Calderon dan Serven (2002) menyebutkan elastisitas infrastruktur terhadap
PDB pertenaga kerja di Amerika Latin untuk telepon sebesar 0.156, listrik 1,63
dan jalan 0,178.

3
Karena hubungan yang signifikan antara infrastruktur dan pertumbuhan
ekonomi, maka dapat disimpulkan bahwa keterbatasan ketersediaan infrastruktur
akan menjadi penghambat (constrain) bagi pertumbuhan ekonomi dan
berdampak besar pada kesejehteraan dan kualitas hidup masyarakat. Daya saing
nasional pada akhirnya juga akan mengalami penurunan, mengingat
infrastruktur merupakan salah satu barometer utama dalam indeks daya saing
(competitiveness index) suatu negara.

Usaha Jasa Konstruksi

Pekerjaan konstruksi dalam pembangunan infrastruktur adalah rangkaian


kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup
pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan
(ASMET). Karena menyangkut keselamatan masyarakat pengguna, maka
pekerjaan konstruksi hanya dapat dilaksanakan oleh pelaku jasa konstruksi yang
memiliki disiplin keilmuan, keahlian dan ketrampilan serta tanggung jawab
profesional.

Undang-undang Republik Indonesia no. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi


menetapkan persyaratan baik Badan Usaha, maupun tenaga ahli dan trampil
yang bekerja di bidang jasa konstruksi harus memiliki sertifikat dan tanggung
jawab profesional yang dilandasi prinsip-prinsip keahlian sesuai kaidah
keilmuan, kepatutan dan kejujuran intelektual dalam menjalankan profesinya
dengan tetap mengutamakan kepentingan umum (Pasal 8, 9,10 dan 11).

Isu Seputar Permasalahan Jasa Konstruksi di Indonesia

1. Internal :
a. mudahnya membuat perusahaan jasa konstruksi
b. jumlahnya yang besar dengan latar belakang keberadaan dan
kemampuannya yang sangat beragam dengan jumlah sekitar 90% adalah
golongan kecil yang masih membutuhkan waktu untuk dibina.
c. kemitraan yang sinergis antar penyedia jasa dalam berbagai klasifikasi
dan/atau kualifikasi dalam iklim usaha yang bersih dan sehat, tertib
hukum, beretika bisnis dan profesi belum terbangun
d. kemampuan manajemen, penguasaan teknologi dan permodalan relatif
lemah

4
e. lemahnya sumber daya manusia dibidang jasa konstruksi dengan
keterbatasan tenaga ahli dan tenaga trampil yang tersebar merata di
seluruh daerah
f. masih sangat menggantungkan diri pada proyek-proyek pemerintah
g. belum efektifnya asosiasi berperan dalam pembinaan pengembangan
badan usaha anggotanya

2. Eksternal :
a. kekurangansetaraan hubungan kerja antara pengguna jasa dan penyedia
jasa
b. belum mantapnya dukungan di berbagai sektor secara langsung maupun
tidak langsung yang mempengaruhi kinerja dan keandalan jasa konstruksi
nasional, antara lain akses kepada permodalan, pengembangan profesi
keahlian dan ketrampilan, ketersediaan bahan bangunan yang standar
c. belum tertatanya pembinaan jasa kontruksi secara nasional, masih bersifat
parsial dan sektoral
d. belum sepenuhnya tertata iklim usaha yang kondusif dalam :
1) kepranataan usaha,
2) pengembangan usaha
3) partisipasi masyarakat
4) pengaturan, pemberdayaan dan pengawasan
e. belum optimalnya Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi
menjalankan fungsinya sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-
undang no. 18 / 1999 tentang Jasa Konstruksi.

Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah

APBN merupakan sumber pembiayaan pembangunan yang paling dominan yang


dapat mencakup keseimbangan alokasi dan distribusi sumber daya yang langka
keseluruh wilayah negara.
Sejak tahun 1980 mulai dilakukan pengaturan mengenai pelaksanaan APBN
dengan suatu Keputusan Presiden dimulai dengan Keppres no. 14/1980 dan
kemudian disempurnakan beberapa kali hingga sampai Keppres no. 29/1984
yang merupakan Keppres yang paling lama bertahan dan disempurnakan
kembali dengan Keppres no. 16/1994, disempurnakan kembali dengan Keppres
no. 18/2000 dan terakhir Keppres no. 80/2003 yang diterbitkan tanggal 3
November 2003 dan selanjutnya diikuti dengan Keputusan Menteri Kimpraswil
no. 339/2003 yang diterbitkan tanggal 31 Desember 2003 sebagai Petunjuk
Pelaksanaannya dalam Jasa Konstruksi. Keppres no. 80/2003 sendiri hingga saat
5
ini telah di adendum sebanyak 4 kali, yang terakhir dengan peraturan perubahan
Keppres no. 8 tahun 2006.

Maksud dikeluarkannya Keppres tersebut adalah untuk mengatur pelaksanaan


pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dari
APBN/APBD sesuai dengan tugas, fungsi, hak dan kewajiban serta peranan
masing-masing pihak dalam pengadaan barang/jasa instansi pemerintah.
Tujuannya adalah agar pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau
seluruhnya dibiayai APBN/APBD diperoleh barang/jasa yang dibutuhkan
instansi pemerintah dalam jumlah yang cukup, dengan kualitas dan harga yang
dapat dipertanggungjawabkan dalam waktu dan tempat tertentu secara (i)
efisien, (ii) efektif, (iii) terbuka dan bersaing, (iv) transparan, (v) adil/tidak
diskriminatif, (vi) akuntabel.

Keppres juga mengatur dalam pasal tersendiri (pasal 5) tentang etika pengadaan
yang harus dipatuhi oleh pengguna barang /jasa, penyedia barang/jasa dan para
pihak yang terkait dalam pelaksanaan meliputi : (i) melaksanakan tugas secara
tertib disertai rasa tanggung jawab, (ii) bekerja secara profesional dan mandiri
atas dasar kejujuran, (iii) tidak saling mempengaruhi langsung / tidak langsung
untuk mencegah persaingan tidak sehat, (iv) menerima dan bertanggung jawab
atas segala keputusan sesuai kesepakatan para pihak, (v) menghindari dan
mencegah terjadinya kepentingan para pihak langsung/tidak langsung (conflict
of interest), (vi) menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan
kebocoran, (vii) menghindari dan mencegah penyalah gunaan wewenang dan /
atau kolusi yang secara langsung/tidak langsung merugikan negara, (viii) tidak
menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau
menerima hadiah, imbalan berupa apa saja kepada siapapun yang diketahui atau
patut dapat diduga berkaitan dengan pengadaan barang/jasa.

Ruang lingkup yang diatur dalam Keppres no. 80/2003 meliputi pengadaan
barang/jasa yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya : (i) dibebankan
kepada APBN/APBD, (ii) dibiayai dari Pinjaman / Hibah Luar Negeri (PHLN)
yang sesuai atau yang tidak bertentangan dengan pedoman dan ketentuan
pengadan barang/jasa dari pemberi pinjaman/hibah bersangkutan, (iii) untuk
investasi dilingkungan BI, BHMN, BUMN, BUMD dibebankan kepada APBN.

Keppres no. 80/2003 juga mengatur bahwa pengadaan barang/jasa pemerintah


yang dibiayai dari dana APBN, apabila ditindak lanjuti dengan Keputusan
Menteri / Pemimpin Lembaga / Panglima TNI / Kapolri / Direksi BI / Pemimpin
BHMN / Direksi BUMN dan Peraturan Daerah / Keputusan Kepala Daerah yang
mengatur pengadaan barang / pemerintah yang dibiayai dari dana APBD,
6
semuanya harus tetap berpedoman serta tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan Keppres.

Permasalahan Dalam Pelaksanaan Keppres no. 80/2003

Aplikasi Keppres no. 80/2003 menunjukan banyak permasalahan yang muncul


dan terkesan terjadinya penyimpangan-penyimpangan atas peraturan yang
ditetapkan dalam penerapan pelaksanaannya oleh pengguna jasa yang terjadi di
berbagai daerah seperti antara lain :
1. Pemahaman/persepsi yang keliru atas kedudukan Keppres no. 80/2003
terhadap undang-undang no. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi,
sehingga terkesan kedudukan Keppres no. 80/2003 diberlakukan
setingkat dengan undang-undang dan bahkan ada yang mengabaikan
ketentuan yang diatur dalam undang-undang, seperti tidak
mensyaratkan secara spesifik keharusan kepemilikan Sertifikat Badan
Usaha (SBU), Tenaga Ahli dan Tenaga Terampil serta ketentuan
tentang klasifikasi dan kualifikasi.
2. Penetapan pangsa pasar kecil dan non kecil secara keliru tanpa
memperhatikan undang-undang no. 18/1999 dan Peraturan Pemerintah
yang mengikutinya no. 28, 29 dan 30 tahun 2003.
3. Penambahan persyaratan pelelangan diluar ketentuan Keppres no.
80/2003.
4. Pelanggaran atas tata cara pelelangan dengan masih ditetapkannya
pelelangan umum dengan sistem prakualifikasi.
5. Pengkotakan pasar dan pemberlakuan diskriminatif kepada jenis
pekerjaan tertentu dengan memberlakukan hanya yang memiliki SBU
tertentu saja yang dapat ikut serta dalam pelelangan tanpa
mengkaitkannya kepada kompetensi badan usaha.
6. Tidak terlihat adanya sanksi yang tegas yang dikenakan kepada pelaku
pelanggaran, bahkan terkesan dibiarkan. Satu contoh yang ekstrim, ada
departemen yang mengeluarkan kebijaksanaan menetapkan
penanggung jawab pelaksana pembangunan tidak mengikuti ketentuan
yang dipersyaratkan dan departemen yang membina jasa konstruksi
seakan-akan tidak berdaya menghadapi departemen yang tidak
menggubris teguran yang disampaikan.
7. Pengumuman tender yang banyak ditemukan tidak transparan
8. Mandulnya sistim sanggahan (atas keputusan panitia lelang) maupun
sanggahan banding (kepada pengguna anggaran).
7
Dengan masih terjadinya berbagai pelanggaran dan penyimpangan atas pedoman
yang ditetapkan dalam Keppres no. 80/2003, mengindifikasikan bahwa
pedoman dalam Keppres no. 80/2003 memiliki celah-celah yang memugkinkan
pelaksanaan pengadaan barang/jasa di enterprestasikan berbeda oleh pengguna
jasa maupun penyedia jasa sehingga memungkinkan terjadinya penyimpangan
dan pelanggaran-pelanggaran yang muaranya membuka persekongkolan.

Banyaknya faktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan dan


pelanggaran-pelanggaran tersebut, seperti :
1. selain dari pemahaman yang keliru tentang kedudukan Keppres terhadap
undang-undang.
2. sosialisasi Keppres no. 80/2003 dan Kepmen Kimpraswil no. 339/2003
yang dilakukan selama ini oleh pemerintah tidak efektif dan tidak
memenuhi sasaran. Hal ini terjadi karena dilakukan secara tidak
terkoordinasi dan terpadu diantara jajaran pemerintah yang melibatkan
pimpinan proyek serta penyedia jasa dan instansi-instansi pemerintah di
daerah.
3. kendala waktu yang sempit antara peraturan perundangan tersebut
dikeluarkan dengan waktu pemberlakuannya.
4. adanya pandangan dari pemerintah daerah yang menganggap undang-
undang no. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, memberi
wewenang kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur sendiri pengadaan
barang dan jasa di daerahnya dilingkungan tanpa harus terikat pada
Keppres no. 80/2003.
5. Keppres no. 80/2003 sendiri belum menumbuhkan iklim usaha yang
kondusif yang mampu mendorong terjadinya persaingan yang sehat dalam
pengadaan barang / jasa yang mendorong peningkatan daya saing,
menghasilkan barang / jasa yang berkualitas dan tumbuh berkembangnya
para pengusaha yang baik dan berkompoten.

Dari uraian diatas faktor pelaksanaan sangat tergantung pada manusia pelakunya
menjadi kunci kelemahan Keppres no. 80/2003. Kelemahan ini membuka
peluang untuk terjadinya persengkokolan (kolusi) baik pada hubungan vertikal
maupun horizontal.

Bagi pengusaha, peluang usaha sekecil apapun biasanya dimanfaatkan secara


efektif, karena karakteristik pengusaha: (i) selalu mencari kesempatan
mendapatkan peluang usaha, (ii) menembus interface yang rumit sekalipun pada

8
hitungan untung/rugi yang dapat menguntungkan, (iii) tidak mudah menyerah
pada keadaan.

Pada dasarnya karakter tersebut berkonotasi positif yaitu menggambarkan sikap


dinamis pengusaha dalam mengembangkan usahanya.
Tetapi sikap dinamis pengusaha tersebut dalam langkah-langkahnya meraih
peluang usaha dapat menjadi negatif karena dapat memasuki wilayah larangan
yaitu memanfaatkan kelemahan atau celah yang ada dalam peraturan yang
membuka peluang untuk kolusi. Apalagi cara kerja pengusaha yang dinamis
memungkinkan menembus akses kesumber pemegang keputusan/pemilik
proyek.

Pada konteks seperti ini pandangan negatif di masyarakat atas banyaknya kasus
pelanggaran dan ataupun penyimpangan atas peraturan lebih banyak ditujukan
kepada pengusaha dari pada kepada kelemahan peraturannya sendiri dan
pengguna jasanya. Dalam pandangan negatif ini tampilan psikologis para
pengusaha mirip penjahat-penjahat kerah putih, yaitu pintar, cenderung mencari
jalan pintas dan melakukan kegiatan dilapangan permainan yang tidak seimbang
serta umumnya beroperasi diluar aturan yang berlaku.

Dalam kaitannya Keppres no. 80/2003 dengan Undang-Undang no. 18/1999 dan
Peraturan Pemerintah (PP) yang mengikutinya perlu pelurusan. Dalam hirarki
peraturan perundangan, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah berada
diatas Keppres, sehingga Peraturan Keppres tidak boleh bertentangan dengan
peraturan yang ditetapkan oleh Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah.
Jika terbukti Peraturan bertentangan, maka yang berlaku adalah Peraturan yang
ditetapkan oleh hirarki yang diatasnya.

Undang-Undang no. 18/1999 dan PP yang mengikutinya no. 28,29 dan 30 tahun
2000 telah mengatur secara jelas dan rinci ketentuan mengenai pengikatan para
pihak dalam hubungan kerja pengadaan jasa dalam bidang konstruksi, kewajiban
pengguna jasa dan pemilihan penyedia jasa, kontrak kerja konstruksi,
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi pada sampai dengan ketentuan tentang
kegagalan pembangunan dan sanksinya (bab IV, V dan VI UUJK), yang
selanjutnya diuraikan lebih rinci dalam PP no. 29/2000. Posisi UUJK adalah
Lex Specialis dalam peraturan perundangan yang terkait dengan jasa konstruksi.

Dengan demikian pengadaan barang/jasa instansi Pemerintah dibidang jasa


konstruksi (pemborongan dan konsultansi) sebenarnya sudah cukup mengacu
pada UUJK no.18/1999 dam PP no. 29/2000. Dengan adanya pengaturan lagi
dalam Keppres no. 80/2003, maka terjadi duplikasi pengaturan.
9
Dimana ada aturan yang mengatur suatu ketentuan berbeda atau pemahamannya
dapat berbeda, maka tidak jelas aturan mana yang menjadi acuan pengguna saja
maupu penyedia jasa. Celakanya banyak pengguna jasa lebih mengutamakan
menggunakan ketentuan Keppres no. 80/2003 daripada UUJK dengan alasan
ketentuan Keppres no. 80/2003 menyangkut hal yang harus dipertanggung
jawabkan dalam penggunaan APBN/APBD, sedangkan undang-undang tidak.
Kerancuan seperti ini harus dihentikan, karena membuka peluang atau celah
yang lebih banyak dimanfaatkan oleh pengguna jasa daripada penyedia jasa.

Dalam hubungannya Keppres no. 80/2003 dan UUJK dalam pengaturan tentang
jasa konstruksi, maka yang harusnya berlaku adalah ketentuan UUJK, karena
berlaku azas lex specialis derogat legi lex generali : ketentuan hukum khusus
mengenyampingkan ketentuan hukum umum.

Bagaimana Peraturan Seharusnya di Jalankan.

Suatu peraturan akan memiliki nilai apabila dalam implementasi pelaksanaannya


berjalan sesuai dengan yang ditetapkan. Sebaliknya sebaik-baiknya peraturan
tidak akan memiliki nilai apapun apabila dalam pelaksanaannya masyarakat
tidak menjalankannya terlebih-lebih lagi jika jajaran instansi pemerintah sendiri
bahkan yang tidak memberi contoh melaksanakannya dengan benar dan
sungguh-sungguh yang pada gilirannya membuat peraturan tidak “berdaya” dan
tidak ada gunanya.

Faktor yang mempengaruhi bagaimana peraturan dapat dilaksanakan dengan


baik adalah : (i) peraturannya sendiri memiliki pijakan yang membumi
dimasyarakat dengan keterkaitan yang komprehensif dengan peraturan-peraturan
lain yang telah ada, (ii) adanya dorongan berdisiplin dan taat hukum yang diikuti
dengan penerapan sanksi yang efektif bagi para pelanggarnya, (iii) mekanisme
sosialisasi yang efektif dalam cakupan pemahamannya dan waktu
pengimplementasiannya.

Jika ditinjau secara dalam pelanggaran terhadap Keppres no. 80/2003, bobot
pelanggarannya lebih berada pada pengguna jasa dari pada penyedia jasa. Kalau
saja pengguna jasa menegakkan rasa tanggung jawabnya dengan bersikap
sungguh-sungguh menerapkan peraturan secara benar, sikapnya tersebut sudah
dapat menghentikan hampir 90% (sembilan puluh persen) upaya mencari celah
atau kelemahan dari peraturan, seperti tidak akan ada pengumuman lelang tidak
transparan, tidak akan ada persyaratan-persyaratan tambahan diluar ketentuan,
tidak akan ada peluang untuk mengatur tender dan atau me-markup penawaran,
10
tidak mungkin ada Penunjukan Langsung (PL) atau pekerjaan diswakelolakan
yang tidak didasari hal-hal yang diatur dan dibenarkan dalam peraturan, tidak
akan ada pengambilan dokumen lelang dilakukan 1 (satu) hari atau beberapa
jam sebelum pemasukan lelang, tidak akan ada penentuan pemenang tender
yang keputusannya kontroversial, dan lain sebagainya.

Dengan pengguna jasa menerapkan dengan sungguh-sungguh peraturan secara


benar, maka penyedia jasa tidak akan mungkin atau menemukan celah untuk
melakukan penyimpangan sehingga tidak dapat berbuat lain selain akan
mengikuti ketentuan secara benar juga. Sebetulnya hal demikian lah yang
didambakan oleh para pengusaha. Kuncinya adalah transparan dan kepatuhan
yang sama kepada peraturan.

Bagaimana pengusaha bersikap dalam kewirausahaan yang


bertanggungjawab.

KKN adalah musuh nomor 1 (satu) dalam pembangunan perekonomian negara,


bukan hanya dilihat dari segi melawan hukum dan memperkaya diri sendiri atau
golongan / kelompoknya tapi lebih pada dasar menumbuhkan watak tidak
bermoral dalam tubuh sebagian bangsa Indonesia dan menghambat
pembangunan bidang ekonomi yang seharusnya diarahkan kepada terwujudnya
kesejahteraan rakyat.

Craig Hall, (pendiri Hall Financial Group, yang memulai bisnisnya pada tahun
1968 pada usia 18 tahun dengan bermodal US$ 4.000,00. Di usianya yang ke 21
tahun ia menjadi milyuner. Perusahaannya tersebar diseluruh dunia, mencakup
realestate, dana infestasi, pabrik minuman, softwear, hotel di Eropa dan lain
sebagainya) menulis dalam bukunya How To Make Money And Make Difference
(2001) tentang mitos tentang wirausaha dalam bisnis antara lain : (i) hanya
peduli uang, (ii) jika mau menang yang lain harus kalah, (iii) kuat, egois dan
siap melakukan apapun untuk mengalahkan lawan, (iv) jika lolos lakukan saja,
jika semua orang melakukannya lakukan juga, (v) makin besar resiko makin
besar keuntungan. Dia berpendapat mitos tersebut harus dirubah karena pada
hakekatnya mitos tersebut bahkan menjadi bumerang, hambatan dan kemajuan
bagi pengembangan wirausaha jangka panjang.

Dalam demokrasi di bidang ekonomi rakyat menghendaki adanya kesempatan


yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses
produksi dan pengadaan barang/jasa dalam iklim usaha yang sehat, efisien,
efektif yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan ekonomi dan

11
bergairahnya ekonomi pasar yang wajar dan dinikmati oleh seluruh lapisan
masyarakat.

Setiap pengusaha harus berada dalam situasi yang sehat dan wajar sehingga
tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku atau
kelompok usaha tertentu yang dapat menjadi pemicu kecemburuan dan gesekan-
gesekan sosial dimasyarakat.

Pengusaha adalah bagian dari rakyat Indonesia yang harus terikat pada
komitmen bersama seluruh bangsa untuk membangun bersama-sama Negara
Republik Indonesia. Karena itu dalam konteks kepentingan bersama ini, harus
ditumbuhkan perasaan bersalah jika seseorang lebih mengutamakan kepentingan
diri sendiri, golongan atau kelompoknya dari pada kepentingan bersama apalagi
jika dilakukan melalui langkah tidak terpuji dalam bentuk-bentuk KKN.
Kelompok masyarakat pada lingkungan pengusaha berada harus pula dapat
memagari sikap negatif pengusaha dengan melakukan kontrol dan pengawasan
terbuka.

Yang lebih penting dari segalanya adalah sikap keteladanan yang harus
ditunjukan oleh pemimpin dan pemegang kebijakan, sehingga menjadi rujukan
untuk diikuti. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, kesulitan yang terjadi dalam
penanganan pemberantasan KKN adalah karena sikap keteladanan dari
pimpinan dan pemegang kebijakan tidak nampak.

Adanya undang-undang no. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan


Persaingan Tidak Sehat harus dapat menjadi alat hukum yang efektif untuk
menghadang terjadinya persengkokolan dalam tender baik vertikal maupun
horizontal. Harus ada pengenaan hukuman yang melakukan persengkokolan
dalam tender yang diumumkan secara luas kepada masyarakat, sehingga
membuat seseorang menjadi takut.

Pemberantasan KKN harus dilakukan melalu kerja yang tertata, bertahap dan
melangkah maju : (i) masyarakat harus dilibatkan dari tahap awal hingga akhir
dalam setiap kegiatan pemberantasan KKN, dengan target tumbuhnya kesadaran
tentang keberadaan dan bahaya KKN, (ii) berjalannya mekanisme pengawasan
yang efektif, (iii) perbaikan postur dan kinerja birokrasi.

Sebagaimana diketahui citra dan kinerja birokrasi belum mengalami perubahan


yang signifikan dibanding masa sebelum reformasi : tambun, personal (bukan
inpersonal) in efisien, cenderung lamban, korup, dan menjadi sarang berbagai
penyelewengan kekuasaan.
12
Bagaimana pengusaha bersikap dalam kewirausahaan yang bertanggung jawab :
1. Tumbuhkan rasa tanggung jawab kepada masa depan bangsa dan negara.
2. Tumbuhkan rasa kewirausahaan yang bertanggung jawab, yaitu
kemampuan untuk melakukan yang baik dan melakukan dengan baik
secara bersamaan.
3. Mengubah cara pandang bahwa uang adalah segalanya. Uang harus
dipandang hanya sebagai satu cara untuk mempertahan transaksi yang
lebih besar dan membangun usahanya dengan lebih menyenangkan dan
dengan cara yang baik.
4. Mengubah cara pandang bahwa syarat kesuksesan adalah kuat, egois dan
siap melakukan apapun untuk mengalahkan orang lain. Sikap wirausaha
adalah berpandangan baik dan jujur, membangun relasi yang lebih baik
dengan cara selalu mengedepankan profesionalisme.
5. Mengubah cara pandang menghalalkan segala cara dengan berfilosofi
bisnis; jika bisa lolos, lakukan saja dan jika semua orang melakukannya
kita pun bisa melakukannya. Pengusaha harus menyadari bahwa
usahanya hanya dapat berkembang dan maju jika lingkungan
masyarakat, bangsa dan Negara juga maju dalam iklim usaha yang
kondusif.
6. Mengubah cara pandang bahwa hanya ada satu cara untuk sukses, yaitu
menang disatu sisi dan kalah disisi lain. Cara pandang seperti ini hasil
akhirnya adalah nol (zero – sum game). Tujuan wirausaha adalah harus
mencari cara agar kedua belah pihak menang (win win solution).
7. Mengubah cara pandang sempit bahwa makin besar resiko makin besar
keuntungan. Hubungan teoritis antara resiko yaitu konsep yang bersifat
relativ dan keuntungan adalah bersifat koinsidental dan dalam situasi
tertentu. Pada keadaan dimana-mana faktor lain bernilai setara, resiko riil
dimodifikasikan oleh pengetahuan, pengalaman, kerja keras, hasrat yang
besar dan keadaan yang tak terduga, sehingga tidak selalu besar resiko
berbanding lurus dengan besar keuntungan.

Keberhasilan mendorong pengusaha untuk bersikap bertanggung jawab


berjalan seiring dengan upaya-upaya :
1. Meningkatkan sistim hukum dan kepemimpinan yang meminimalisasikan
ketidakadilan birokrasi yang bertele-tele.
2. Membuka kesempatan berbisnis yang adil dan tidak berpihak yang
dijalankan oleh aturan hukum.

13
3. Menghentikan budaya sogokan memberi dan menerima, disertai dengan
meningkatkan gaji para birokrat untuk mencapai kompensasi yang layak
serta sistem penegakan hukum yang jujur.
4. Menjalankan keadilan dengan sistem peradilan yang baik.
5. Memberikan penghargaan untuk pengusaha yang sukses dan beretika
dalam menjalankan kegiatannya.
6. Dukungan masyarakat yang kondusif bagi berkembangnya kewirausahaan
yang bertanggung jawab.

Kesimpulan
1. Perlu dipertimbangkan pemisahan peraturan tentang pengadaan
barang/jasa sebagaimana yang ada didalam Keppres no. 80/2003 dengan
mengeluarkan Keppres sendiri yang mengatur pengadaan dibidang jasa
konstruksi yang mengacu kepada undang-undang jasa konstruksi, yang
sistimatikanya terdiri dari :
1.1. Prosedur (tata urut proses pengadaan)
1.2. Tata Cara pengadaan
1.3. Persyaratan / Term (hal-hal yang harus dipenuhi)
1.4. Ketentuan / Condition (hal-hal yang harus diikuti)
1.5. Kriteria (standard ukuran, patokan, norma)

2. Perlu dipertimbangkan dalam kepanitiaan lelang dimasukan unsur


independen yang tidak memiliki kepentingan atau keterkaitan dengan
materi yang dilelangkan yang terdiri dari tenaga-tenaga profesional (yang
memiliki sertifikat ahli dibidang pengadaan barang/jasa).

3. Evaluasi penawaran dan dasar-dasar penetapan pemenang lelang harus


transparan, dengan memperhatikan :
3.1. Dokumen proyek bersifat mengikat, sehingga misalnya tidak boleh
ada item pekerjaan dengan penawaran harga Rp. 0.
3.2. Penawaran yang tidak sesuai prosedur, tata cara, persyaratan,
ketentuan dan kriteria sejak awal dinyatakan gugur.

14
3.3. Dipenuhinya persyaratan memiliki sertifikat badan usaha maupun
sertifikat tenaga ahli dan tenaga trampil sebagaimana yang di
syaratkan oleh undang-undang no.18/1999.
3.4. Penetapan pemenang lelang adalah penawar terendah yang
menguntungkan negara harus memiliki pengertian penawar
terendah yang telah terevaluasi berdasarkan kriteria ketehnikan.

4. Kecuali untuk hal-hal darurat (seperti bencana alam), tidak ada pekerjaan
yang diberikan dengan penunjukan langsung/pemilihan langsung, tetapi
harus melalui pelelangan umum dengan metode pasca kualifikasi.

5. Golongan kecil dan menengah harus mendapat perlindungan untuk dapat


bersaing secara sehat dan tumbuh kuat digolongan usahanya.

6. Perlu dipertimbangkan adanya semacam clearing house yang merupakan


institusi independent sebagai perangkat yang dapat menyelesaikan
berbagai permasalahan yang terjadi dalam proses pengadaan barang/jasa
seperti misalnya penyelesaian sanggahan dan sanggahan banding.

7. Perlu dikembangkan sistim pengadaan yang menggunakan basic


computer atau yang disebut “Electronic Procurment” (e-proc) untuk
menghindari pertemuan secara fisik dalam proses pemilihan penyedia
barang/jasa antara sesama penyedia jasa atau dengan pengguna jasa

Penutup

Perlunya anggaran pembangunan negara dijaga untuk tidak terjadi kebocoran


disatu sisi dan disisi lain pengusaha harus dapat berkembang dalam suatu
tatanan persaingan usaha yang sehat dan memperoleh keuntungan sehingga
dapat membayar pajak bagi mendukung pembiayaan pembangunan negara
berkelanjutan
Karena itu harus dibangun pandangan baru bahwa keberhasilan dan sukses
pengusaha bukan dibangun dengan prinsip persengkokolan dengan antara lain
memberi secara timbal balik yang egois setiap kali bertransaksi, melainkan
dengan kepedulian yang besar bagi keadilan dan kepentingan masyarakat luas
yang jauh dari bentuk-bentuk KKN.

15
Pengusaha dan pimpinan atau pejabat pemegang kebijaksanaan yang diterima
masyarakat menjadi gravitasi terhadap pemahaman yang luas atas tanggung
jawab dan realisasi dari saling ketergantungan dalam berkomunitas yang pada
gilirannya mengangkat harkat dan martabat bangsa. Dalam pengertian yang
lebih luas, melakukan apa yang benar dan bukan semata-mata yang mudah.

Jakarta, 23 Agustus 2006

BADAN PIMPINAN PUSAT GAPENSI

IR.H.AGUS G. KARTASASMITA, MSc.,MT.


Ketua Umum

16

Anda mungkin juga menyukai