Anda di halaman 1dari 32

1

Mata KuLiah

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 INTERAKSI GEN (Modifikasi 9 :3:3:1)


Pada umumnya setiap gen itu memiliki pekerjaan sendiri-sendiri untuk
menumbuhkan karakter. Biasanya kita beranggapan bahwa suatu sifat keturunan
yang nampak pada suatu individu itu ditentukan oleh sebuah gen tunggal. Tapi
ada beberapa gen yang berinteraksi atau dipengaruhi oleh gen lain untuk
menumbuhkan karakter. Gen-gen itu mungkin pada kromosom sama (berangkai),
mungkin pula pada kromosom berbeda. Misalnya bunga merah oleh gen R, bunga
putih oleh gen r, buah bulat oleh gen B, buah oval (lonjong) oleh gen b, batang
tinggi oleh gen T, batang pendek oleh gen t.
Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita mengetahui bahwa
cara diwariskannya sifat keturunan tidak mungkin diterangkan dengan pedoman
di atas, karena sulit sekali disesuaikan dengan hukum-hukum Mendel. Karena ada
interaksi maka perbandingan fenotip keturunan hibrid menyimpang dari
penemuan Mendel, disebut juga penyimpangan Hukum Mendel. Kalau yang
berinteraksi itu 2 gen (dihibrid), menurut Mendel perbandingan fenotip F2 adalah
9 : 3 : 3 : 1, menjadi 9 : 3 : 4, 9 : 7 atau 12 : 3 : 1 umpamanya. Menurut Mendel
fenotip F2 itu ada 4 kelas, tapi karena ada interaksi susut menjadi 2 atau 3 kelas.
Hukum Mendel II menyatakan adanya pengelompokkan gen secara bebas.
Seperti telah diketahui, persilangan antara dua individu dengan satu sifat beda
( monohibrid) akan menghasilkan rasio genotipe 1:2:1 dan rasio fenotipe 3:1.
Sementara itu, persilangan dengan dua sifat beda ( dihibrid) menghasilkan rasio
fenotipe 9:3:3:1, hanya berlaku apabila kedua pasang gen yang mewarisi kedua
pasang sifat tersebut masing-masing terletak pada 2 kromosom yang berlainan,
dan masing-masing mengekspresikan sifatnya sendiri. Beberapa cara penurunan
tak mengikuti hukum ini, mengingat bahwa pengawasan suatu sifat kadang –
kadang tidak dilakukan oleh suatu pasang gen saja, tetapi oleh dua pasang atau
lebih gen yang mengadakan interaksi ( kerjasama ). Dan hal ini dapat disebabkan
oleh beberapa faktor.

3
Menurut (Suryo:1986) pada 1906, W.Batenson dan R.C Punnet
menemukan bahwa pada persilangan F2 dihasilkan rasio fenotipe 14 : 1 : 1 : 3.
Mereka menyilangkan kacang kapri berbunga ungu yang serbuk sarinya lonjong
dengan kacang kapri berbunga mearah yang serbuk sarinya bundar. Rasio fenotipe
dari keturunan ini menyimpang dari hukum mendel yang seharusnya pada
keturunan kedua (F2), perbandingan fenotipenya 9 : 3 : 3 : 1.
Pada 1910, seorang sarjana Amerika yang bernama T.H Morgan dapat
memecahkan misteri tersebut. Morgan menemukan bahwa kromosom
mengandung banyak gen dan mekanisme pewarisannya menyimpang dari hukum
Mendel. Hingga saat ini, telah diketahui bahwa lalat buah memiliki kira – kira
5000 gen,padahal lalat buah hanya memiliki 4 pasang kromosom saja. Sepasang
di antaranya memiliki ukuran kecil sekali, menyerupai dua buah titik. Jadi, dalam
sebuah kromosom tidak terdapat sebuah gen saja melainkan puluhan,bahkan
ratusan gen.
Pada umumnya gen memiliki pekerjaan sendiri – sendiri untuk
menumbuhkan karakter, tetapi ada beberapa gen yang berinteraksi atau
menumbuhkan karakter. Gen tersebut mengkin terdapat pada kromosom yang
sama atau pada kromosom yang berbeda.
Interaksi antar gen akan menimbulkan perbandingan fenotipe keturunan
yang menyimpang dari hukum Mendel, keadaan ini disebut penyimpangan hukum
Mendel. Menurut mendel, perbandingan fenotipe F2 pada persilangan dihibrid
adalah 9 : 3 : 3 : 1. Apabila terjadi penyimpangan hukum Mendel, perbandingan
fenotipe dapat menjadi 9 : 3 : 4, 9 : 7 atau 12 : 3 : 1. Perbandingan tersebut
merupakan modifikasi dari 9 : 3 : 3 :1.

BAB II
ISI

2.1 Interaksi Genetik

4
Selain terjadi interaksi antar alel, interaksi juga dapat terjadi secara
genetik. Selain mengalami berbagai modifikasi rasio fenotipe karena adanya
peristiwa aksi gen tertentu, terdapat pula penyimpangan semu terhadap hukum
Mendel yang tidak melibatkan modifikasi rasio fenotipe, tetapi menimbulkan
fenotipe-fenotipe yang merupakan hasil kerja sama atau interaksi dua pasang gen
nonalelik, peristiwa semacam ini dinamakan interaksi gen.
(Suryo: 1986)
Interaksi gen pun di masa Mendel belum dikenal. Adanya interaksi gen ini
ditemukan pertama kali oleh William Bateson (1861 – 1926) dan R.C. Punnet
tahun 1906. Mereka mengawinkan berbagai macam ayam negeri dengan
memperhatikan bentuk jengger (jawer) di atas kepala. Ayam wyandotte
mempunyai jengger tipe mawar (rose), sedang ayam brahma berjengger tipe ercis
(pea).
Penelitian mengenai interaksi gen diikuti oleh H. Nilsson-Ehle (1873-1949)
dan E.M. East tahun 1913. Ahli-ahli lain yang berjasa dalam bidang interaksi gen
adalah H.K. Hayes dan R.A. Emerson (1873 - 1947), yang bekerja dengan East
dalam genetika jagung. Kemudian G.H. Shull (1874 – 1954) tentang sifat genetik
biji capsella serta C.B. Davenport dan T. Dobzhansky tentang genetika pada
manusia.
Menurut William D. Stansfield ( 1991 : 56 ) fenotipe adalah hasil produk
gen yang dibawa untuk diekspresikan ke dalam lingkungan tertentu. Lingkungan
ini tidak hanya meliputi berbagai faktor eksternal seperti: temperatur dan
banyaknya suatu kualitas cahaya. Sedangkan faktor internalnya meliputi hormon
dan enzim.
Dan untuk memperkuat pendapat bahwa interaksi genetik dapat
menghasilkan varians pada jagung yang tahan terhadap penyakit Bulai, yang
disebabkan oleh Peronosclerospora maydis diperlukannya interaksi antara genotif
dengan lingkungan Muhammad Azrai dalam jurnal falasfah sains menyatakan:
Variabilitas genetik, fenotip dan interaksi antara genotip dengan lingkungan
karakter ketahanan genotip uji terhadap P. maydis adalah luas. Nilai heritabilitas
karakter ketahanan genotip uji terhadap P. maydis berdasarkan hasil analisis
gabungan yang tergolong sedang (0.45) menunjukkan bahwa pengaruh faktor

5
lingkungan masih besar terhadap genotip-genotip uji. Oleh karena genotip yangm
digunakan merupakan galur rekombinan, maka varians genotip didominasi oleh
varians aditif sehingga penurunan varians karakter ketahanan terhadap P. Maydis
dapat dipindahkan pada populasi tanaman generasi berikutnya. Nilai keragaman
genetik dan heritabilitas karakter ketahanan genotip uji terhadap P. maydis dapat
digunakan sebagai kriteria seleksi dan petunjuk untuk menetapkan metode seleksi
yang tepat dalam rangka perakitan varietas jagung unggul yang tahan bulai.
( Muhammad Azrai: 2004 )

Gen merinci struktur protein. Semua enzim yang diketahui adalah protein.
Enzim melakukan fungsi katalis, yang menyebabkanpemecahan atau
penggabungan berbagai molekul. Semua reaksi kimiawi yang terjadi di dalam sel
merupakan persoalan metabolisma. Reaksi – reaksi ini merupakan reaksi
pengubahan bertahap satu substansi menjadi substansi lain, setiap langkah ( tahap)
diperantarai oleh suatu enzim spesifik. Semua langkah yang mengubah substansi
g g2 g
pendahulu ( precursor )1 menjadi produk akhir menyusun 33 suatu jalur
biosintesis.Interaksi gen terjadi bila dua atau lebih gen mengekspresikan protein
enzim yang mengkatalis langkah – langkah dalam suatu jalur bersama. Dapat
P(prekursor) e A e2 B e3 C(produk)
dilihat Gambar 2.1 berikut1 ini.

g = gen,
g1 g2 g3
e = protein enzim

a
k
P(prekursor) e1 A e2 B e3
h
C(produk akhir) i
Keterangan: r
)
Gambar 2.1. Jalur metabolisme sederhana yang melibatkan enzim yang diekspresikan
g = gen,
dari gen. (Sumber:William D. Stansfield,1991 )
e =Dalam
protein enzim
jalur yang paling sederhana sekalipun biasanya diperlukan
beberapa gen untuk merinci enzim yang terlibat. Setiap metabolit (A,B,C)
dihasilkan oleh kerja katalis berbagai enzim (ex) yang menetukan oleh berbagai
gen tipe normal (gx).
Interaksi genetik menyebabkan terjadinya peristiwa:

6
1. Atavisme
2. Polimeri
3. Kriptomeri
4. Komplementer
5. Epistasis dan Hipostasis

2.1.1 Atavisme

Interaksi yang sifatnya menyembunyikan karakter yang terdapat pada


leluhur disebut juga atavisme, diistilahkan oleh Charles Darwin, ketika
mengamati karakter bulu pada merpati. Kriptomeri sesungguhnya baru
dipecahkan secara perhitungan genetis pertama kali oleh W. bateson dan R.C.
Punnet pada karakter jengger ayam. Dikatakan bahwa karakter jengger itu bukan
diatur oleh 1 gen tapi oleh 2 gen yang berinteraksi.

Atavisme sering dijumpai pada burung dara (Columba livia) ataupun pada
ayam. Burung dara India yang mempunyai ekor terbuka seperti kipas apabila
dikawinkan sesamanya untuk beberapa generasi, kadang-kadang sekonyong-
konyong menghasilkan anak berekor lurus menyerupai burung dara liar.
Berhubung dengan itu atavisme merupakan salah satu argumen dari Darwin untuk
menerangkan evolusi. Beberapa contoh atavisme adalah sebagai berikut :

a. Jenis Jengger/Pial Pada Ayam

Peristiwa interaksi gen berupa Avatisme pertama kali dilaporkan oleh W.


Bateson dan R.C. Punnet setelah mereka mengamati pola pewarisan bentuk
jengger ayam. Karakter jengger tidak hanya diatur oleh satu gen, tetapi oleh
duagen yang berinteraksi. Dalam hal ini terdapat empat macam bentuk jengger
ayam yaitu mawar, kacang, walnut, dan tunggal, seperti dapat dilihat pada
Gambar 2.2 sebagai berikut

7
Gambar 2.2. Bentuk jengger ayam dari galur yang berbeda ( Sumber:
http:///www.org.id /pola-pola-hereditas.html, 2009)

Persilangan ayam berjengger rose dengan ayam berjengger pea


menghasilkan keturunan dengan bentuk jengger yang sama sekali berbeda dengan
bentuk jengger kedua induknya. Ayam hibrid (hasil persilangan) ini memiliki
jengger berbentuk walnut. Selanjutnya, apabila ayam berjengger walnut
disilangkan dengan sesamanya, maka diperoleh generasi F2 dengan rasio fenotipe
walnut : rose : pea : single = 9 : 3 : 3 : 1.
Dari rasio fenotipe tersebut, terlihat adanya satu kelas fenotipe yang
sebelumnya tidak pernah dijumpai, yaitu bentuk jengger tunggal. Munculnya
fenotipe ini, dan juga fenotipe walnut, mengindikasikan adanya keterlibatan dua
pasang gen nonalelik yang berinteraksi untuk menghasilkan suatu fenotipe. Kedua
pasang gen tersebut masing-masing ditunjukkan oleh fenotipe rose dan fenotipe
pea.
Apabila gen yang bertanggung jawab atas munculnya fenotipe rose adalah
R, sedangkan gen untuk fenotipe pea adalah P, maka keempat macam fenotipe
tersebut masing-masing dapat dituliskan sebagai R-pp untuk rose, rrP- untuk pea,
R-P- untuk walnut, dan rrpp untuk single. Dengan demikian, diagram persilangan
untuk pewarisan jengger ayam dapat dijelaskan seperti pada Gambar 2.3sebagai
berikut:

8
Gambar 2.3. Pesilangan ayam berjengger rose dengan ayam berjengger pea (Sumber:
http://biologigonz.blogspot.com/ 2010/05.interaksi-gen .html..)

Rasio persilangan fenotipe F2 hasil persilangan ayam berjengger rose dan


pea sebagai berikut.
F2 : 9 R-P- walnut
3 R-pp mawar walnut : rose : pea : single
3 rrP- kacang = 9 : 3 : 3 : 1
1 rrpp tunggal

Pada contoh di atas ada 2 karakter baru muncul:

a. Walnut : muncul karena interaksi 2 gen dominan.


b. Singel : muncul karena interaksi 2 gen resesif.

Perbedaan antara penyilangan ini dengan penyilangan dihibrida adalah :


1. F1 tak menyerupai Parentalnya

9
2. Sifat – sifat baru timbul pada F2
Selain itu, biasanya kita beranggapan bahwa suatu sifat keturunan yang
nampak pada suatu individu itu ditentukan oleh sebuah gen tunggal, misalnya
bunga merah oleh gen R, bunga putih oleh gen r, buah bulat oleh gen B, buah oval
(lonjong) oleh gen b, batang tiggi oleh gen T, batang pendek oleh gen t dll.
Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita mengetahui bahwa
cara diwariskannya sifat keturunan tidak mungkin diterangkan dengan pedoman
tersebut di atas, karena sulit sekali disesuaikan dengan hukum-hukum Mendel.

Dalam Jurnal “Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik


Beberapa Sifat Produksi Puyuh Pada Seleksi Jangka Panjang”, dinyatakan bahwa
korelasi genetik antara sifat yang diukur juga bervariasi di antara kedua galur
puyuh maupun uunggas.
(Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2,2005)

Sebuah contoh klasik yang dapat dikemukakan di sini ialah hasil


percobaan Wiliam Bateson dan R.C Punnet yang telah di bicarakan sebelumnya
diatas. Mereka mengawinkan berbagai macam ayam negeri dengan
memperhatikan bentuk jengger di atas kepala. Ayam Wyandotte mempunyai
jenger tipe mawar (“rose“), sedang ayam Brahma berjengger tipe ercis (“pea“).
Pada waktu dikawinkan ayam berjengger rose didapatkan ayam-ayam F1 yang
kesemuanya mempunyai jengger bersifat walnut (“walnut“= nama semacam
buah). Mula-mula dikira bahwa jengger tipe walnut ini intermedier. Tetapi yang
mengherankan ialah bahwa pada waktu ayam-ayam walnut itu dibiarkan kawin
sesamanya dan dihasilkan banyak ayam-ayam F2 maka perbandingan 9:3:3:1
nampak dalam keturunan ini. Kira-kira 9/16 bagian dari ayam-ayam F2 ini
berjengger walnut. 3/16 rose, 3/16 pea dan 1/16 tunggal (single).

Jengger tipe walnut dan tunggal merupakan tipe jengger baru, yang sama
sekali tidak dijumpai pada kedua ayam induknya. Fenotip jengger yang baru ini
disebabkan karena adanya interaksi (saling pengaruh) antara gen-gen. Adanya 16
kombinasi dalam F2 memberikan petunjuk bahwa ada 2 pasang alel yang berbeda
ikut menentukan bentuk dari jengger ayam. Sepasang gen menentukan tipe

10
jengger mawar dan sepasang gen lainnya untuk tipe jengger ercis. Sebuah gen
untuk rose dan sebuh gen untuk pea mengadakan interaksi menghasilkan jengger
walnut, seperti terlihat pada ayam-ayam F1. Jengger rose ditentukan oleh gen
dominan R (berasal dari “rose”), jengger pea oleh gen dominan P (berasal dari
“pea”). Karena itu ayam berjengger rose homozigot mempunyai genotip RRpp,
sedangkan ayam berjengger pea homozigot mempunyai genotip rrPP. Perkawinan
dua ekor ayam ini menghasilkan F1 yang berjengger walnut (bergenotip RrPp) dan
F2 memperlihatkan perbandingan fenotip 9:3:3:1.

Tingkat kemiripan dari keturunan perkawinan antara ayam berjengger rose


dengan pea adalah:Ayam berjengger rose memiliki tingkat keseragaman genetik
sebesar 92,94% untuk sifat warna bulu (warna bulu, pola bulu primer, pola bulu
sekunder, dan kerlip bulu),dan memiliki tingkat keseragaman 100% untuk sifat
warna cakar dan bentuk jengger.Ayam berjengger walnut memiliki keseragaman
genetik 100% untuk sifat warna bulu, pola bulu sekunder, kerlip bulu, warna
cakar dan bentuk jengger, sedangkan untuk sifat pola bulu primer ayam
berjengger rose diduga hanya memiliki 50% tingkat keseragaman.Ayam SP-1
memiliki karakteristik kualitatif mendekati ayam single dengan tingkat kemiripan
tertinggi pada lokus E sebesar 83,72% mirip ayam pea yang memiliki gen ER.
Ayam PS-1 memiliki karakteristik kualitatif mendekati ayam walnut dengan
tingkat kemiripan tertinggi pada pola bulu sekunder lokus B sebesar 76,56% dari
total populasi memiliki gen b yang mirip pea.

(Hanif Saputra Afandi:2006)

Gen R dan gen P adalah bukan alel, tetapi masing-masing dominan


terhadap alelnya (R dominan terhadap r, P dominan terhadap p). Sebuah atau
sepasang gen yang menutupi (mengalahkan) ekspresi gen lain yang bukan alelnya
dinamakan gen yang epistasis. Gen yang dikalahkan ini tadi dinamakan gen yang
hipostasis. Peristiwanya disebut epistasis dan hipostasis.

b. Warna Bulu Mencit


Ada 2 gen berinteraksi mengatur pertumbuhan warna bulu pada mencit
yaitu A – a dan R – r.

11
A = kuning R = hitam
a = krem r = krem (cream)

Jika mencit kuning, harus hadir alel A, jika hitam harus hadir alel R. kalau
kedua alel dominan A dan R hadir dalam satu individu fenotip bukan kuning atau
hitam tapi kelabu. Jika kedua alel dominan tidak hadir maka fenotip berwarna
krem.
Jika dikawinkan mencit murni kuning Aarr dengan murni hitam aaRR. F 1
AaRr adalah kelabu. F2 terdiri dari 4 kelas dimana perbandingan fenotip antara
kelabu, kuning, hitam dan krem ialah 9 : 3 : 3 : 1 .
P : betina AArr (kuning) x jantan aaRR (hitam)
F1 : AaBb (kelabu)
F2 : 9 A-R- = kelabu
3 A-rr = kuning
3 aaR- = hitam
1 aarr = krem
Rasio fenotip F2 = 9 kelabu : 3 kuning : 3 hitam : 1 krem.

Gambar 2.4. Atavisme pada mencit. (Sumber: http:// I:\blog-Variasi-dan-


genetiks.php.html,2009)
2.1.2 Polimeri
Polimeri merupakan bentuk interaksi gen yang bersifat kumulatif (saling
menambah).Polimeri terjadi akibat adanya interaksi antara dua gen atau lebih,
sehingga disebut juga gen ganda.Gen ganda dapat menumbuhkan suatu sifat
akibat banyaknya gen yang bekerja sama secara kumulatif.

12
Contoh polimeri terdapat pada percobaan yang dilakukan oleh H. Nilsson
– Ehle ( 1913) terhadap biji gandum. Hasil persilangan gandum berbiji merah
dengan gandum berbiji putih akan menghasilkan F1 100% gandum berbiji merah,
tetapi warna merah yang dihasilkan tidak sama dengan warna pada induknya.
Hasil perkawinan sesama F1 akan menghasilkan keturunan f2 dengan
perbandingan fenotipe merah: putih = 15 : 1. Perhatikan diagram berikut:

Gambar 2.5 Diagram persilangan gandum berbiji merah dan putih ( Sumber :
http:///www.org.id /pola-pola-hereditas.html, 2009)

Warna merah gelap berarti mengandung semua alel dominan


( M1M1M2M2) dan warna putih tidak mengandung alel dominan (m1m1m2m2).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa gradasi mutu warna gandum itu disebabkan
oleh jumlah alel dominannya.

13
2.1.3. Kriptomeri
Gen dominan yang seolah-olah tersembunyi apabila berdiri sendiri2 dan
pengaruhnya baru terlihat bila berada bersama2 dengan gen dominan yang lain.
Kriptomeri adalah peristiwa dimana gen dominan yang karakternya akan muncul
jika bersama-sama dengan gen dominan lainnya. Jika gen dominan berdiri sendiri,
maka karakternya akan tersembunyi (kriptos).
Kriptomeri pertama kali ditemukan oleh Correns. Interaksi antar gen-gen
dominan akan menimbulkan karakter baru hasil temuan: Hasil persilangan antara
bunga Linnaria marocana merah dengan putih .dihasilkan F1 seluruhnya
berwarna ungu. Dapat dilihat di bawah ini:

Gambar 2.6 Diagram persilangan Linnaria marocana merah dan putih.


(Sumber:http:///www/GENETIKA-I/Biology-is-Best-Biologi
jurusannya-orang-0sukses.htm,2010)
Berdasarkan persilangan di atas, sifat yang tersembunyi (warna ungu)
muncul karena adanya gen dominan yang berinteraksi, sehingga diperoleh
perbandingan fenotip = ungu : merah : putih = 9 : 3 : 4.

2.1.4. Komplementer

14
Merupakan interaksi gen yang saling melengkapi. Jika satu gen tidak
muncul, maka sifat yang dimaksud juga tidak muncul atau tidak sempurna. Gen-
gen komplementer pertama kali ditemukan oleh W. bateson dan RC Punnet.Misal
Pada bunga Lathyrus odoratus terdapat dua gen yang saling berinteraksi dalam
memunculkan pigmen bunga. Pada bunga ini ada dua gen yang berkomlementer
pada, yaitu gen C dan P. Jika salah satu gen tidak ada maka, tidak akan terbentuk
pewarnaan bunga.

Gen C : membentuk pigmen warna


Gen c : tidak membentuk pigmen warna
Gen P : membentuk enzim pengaktif
Gen p : tidak membentuk enzim pengaktif

Dalam Jurnal “Pewarisan Ketahanan Terhadap Penyakit Lanas Pada


Tembakau Madura Prancak-95”. Kajian pewarisan ketahanan Prancak-95
terhadap penyakit lanas (Phytophthora nicotianae var. nicotianae) menggunakan
satu set genotipe terdiri atas Prancak-95, Ismir (tembakau oriental), F1, F2, BC11,
dan BC12. Penelitian dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat
pada tahun 2000. Pemanfaatan Prancak-95 sebagai sumber ketahanan akan lebih
optimal apabila diketahui pola pewarisan ketahanannya. Informasi tersebut
penting untuk memilih metode pemuliaan dan seleksi yang sesuai.Menurut
Mather & Jinks (1977) hasil tersebut menunjukkan bahwa faktor yang berperan
mengendalikan ketahanan terhadap penyakit lanas pada Prancak-95 adalah
interaksi gen-gen non-alelik.
(Jurnal Zuriat, Vol. 20, No. 1, 28,Hal 1 s/d 7)

Pigmen ungu akan keluar jika gen C berinteraksi dengan gen P.


Sebaliknya, jika gen C tidak bertemu gen dengan p, bunga akan bewarna putih.
Gen C dan gen P bekerjasama dalam menentukan warna bunga. Jika bunga
Lathyrus odoratus bewarna putih ( genotipe ccPP) akan menghasilkan keturunan
sebagai berikut. Persilangannya dapat dilihat pada diagram persilangan papan
catur sebagai berikut:

15
Gambar 2.7 Diagram persilangan Lathyrus odoratus putih dan merah (Sumber :
http:///www.org.id /pola-pola-hereditas.html, 2009)

Berdasarkan hasil persilangan di atas, rasio fenotip = ungu : putih = 9 : 7

2.1.5. Epistasis dan Hipostasis

Epistasis dan hipostasis merupakan interaksi yang berlangsung pada


fenotip yang dihasilkan oleh dua gen.Kedua gen memberikan expresi yang sama
pada satu organ , misal warna organ. Kedua gen bekerja menghasilkan fenotip
yang berbeda, tetapi fenotip dari salah satu gen yang dominan dapat menutupi
penampakan dari fenotip yang dihasilkan oleh gen dominan yang lain apabila
kedua gen hadir bersama.

Gen suatu alel jika epistasis (mengalahkan) gen lain pada alel yang lain
( hypostasis ) dipastikan akan terekspresi sifatnya ke fenotif. Dengan demikian
faktor warna tidak ditentukan oleh satu gen, melainkan oleh dua gen yang
lokusnya berbeda. Artinya, gen penentu warna hitam yang dominan berada
terpisah dari gen penentu warna kuning yang juga dominan. Tiap-tiap warna

16
memiliki alel tersendiri. Jika kedua gen yang tidak sealel itu hadir bersama dalam
satu individu, maka akan menampilkan fenotipe gen yang menutupi atau
menghalangi, yang dikenal sebagai gen epistasis. Jadi, jika faktor hitam dan
kuning hadir bersama, fenotipe yang muncul adalah fenotipe hitam. Maka, hitam
epistasis terhadap kuning, dan kuning hipostasis terhadap hitam.

Jika di dalam individu hanya gen yang ditutupi atau dihalangi, maka fenotipe
yang muncul adalah fenotipe dari gen yang dihalangi tersebut. Gen ini disebut gen
hipostasis. Tidak adanya gen dominan pada individu akan memunculkan sifat
baru, yaitu sifat putih.

Telaah menegenai epistasis dan hipostasis adalah sebagai berikut:

1. Ada dua gen sama- sama dominan dan terletak pada lokus yang berbeda.
Sifat yanng ditentukan itu adalah warna kulit biji gandum.
2. Gen yang satu bersifat menghalangi ( epistasis ), sedangkan yang lain
brsifat dihalangi ( hipostsis ).
3. Kehadiran keduan gen dominan tersebut akan memunculkan fenotipe dari
gen yang epistasis biasa ( fenotipe yang muncul adalah hitam).
4. Kehadiran gen yang hipostasis akan memunculkan fenotipe dari gen
hipostasis ( fenotipe yang muncul adalah kuning ).
5. Ketidakhadiran dari kedua gen dominan (jadi yang ada hanya alel resesif)
akan memunculkan fenotipe baru (fenotipenya putih). Untuk jelasnya,
perhatikan analisis pada contoh dibawah ini.

Contoh peristiwa epistasis dan hipostasis pada tumbuhan adalah pada warna
sekam gandum. Terdapat tiga warna sekam gandum, yaitu hitam, kuning, dan
putih. Pigmen hitam dan pigmen kuning dibentuk oleh dua gen yang berbeda yang
masing-masing dikendalikan oleh alel masing masing tetapi mempunyai pengaruh
ke organ yang sama . Misalnya, pigmen kuning dikendalikan oleh alel K dan k
pada suatu alela. Pigmen hitam dikendalikan oleh alel H dan h pada alel lain . Jika
gandum biji hitam dominan homozigot dikawinkan dengan gandum biji kuning
dominan homozigot, maka hasil F1 adalah 100% gandum berkulit hitam.
Sedangkan, pada F2 dihasilkan gandum biji hitam : biji kuning : biji putih = 12 : 3

17
: 1. Persilangannya dapat dilihat pada persilangan papan catur pada gandum
berbiji hitam dengan gandum berbiji kuning sebagai berikut:

Gambar 2.8 Diagram persilangan gandum berbiji hitam dengan gandum berbiji
putih(Sumber : http:///www.org.id /pola-pola-hereditas.html, 2009)

Dari persilangan di atas dapat diketahui bahwa semua kombinasi yang


mengandung faktor H, fenotipnya adalah hitam. Kombinasi yang mengandung
faktor K tanpa faktor H menampakkan warna kuning. Sedangkan, kombinasi dua
faktor resesif, yaitu genotip hhkk berfenotip putih.

Peristiwa Epistasis Hypostasis harus minimal dihibrid tidak mungkin


Monohobrid karena harus terjadi interaksi / kompetisi antar gen pada antar alel.

2.2 Modifikasi Rasio Mendel


Percobaan-percobaan persilangan sering kali memberikan hasil yang
seakan-akan menyimpang dari hukum Mendel. Dalam hal ini tampak bahwa
nisbah fenotipe yang diperoleh mengalami modifikasi dari nisbah yang
seharusnya sebagai akibat terjadinya aksi gen tertentu. Secara garis besar
modifikasi nisbah Mendel dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
modifikasi nisbah 3 : 1 dan modifikasi nisbah 9 : 3 : 3 : 1.

18
2.2.1 Modifikasi Rasio 3 : 1
Ada tiga peristiwa yang menyebabkan terjadinya modifikasi nisbah 3 : 1,
yaitu semi dominansi, kodominansi, dan gen letal.

2.2.1a Semi Dominansi


Peristiwa semi dominansi terjadi apabila suatu gen dominan tidak menutupi
pengaruh alel resesifnya dengan sempurna, sehingga pada individu heterozigot
akan muncul sifat antara (intermedier). Dengan demikian, individu heterozigot
akan memiliki fenotipe yang berbeda dengan fenotipe individu homozigot
dominan. Akibatnya, pada generasi F2 tidak didapatkan nisbah fenotipe 3 : 1,
tetapi menjadi 1 : 2 : 1 seperti halnya nisbah genotipe.
Contoh peristiwa semi dominansi dapat dilihat pada pewarisan warna bunga
pada tanaman bunga pukul empat (Mirabilis jalapa). Gen yang mengatur warna
bunga pada tanaman ini adalah M, yang menyebabkan bunga berwarna merah,
dan gen m, yang menyebabkan bunga berwarna putih. Gen M tidak dominan
sempurna terhadap gen m, sehingga warna bunga pada individu Mm bukannya
merah, melainkan merah muda. Oleh karena itu, hasil persilangan sesama
genotipe Mm akan menghasilkan generasi F2 dengan nisbah fenotipe merah :
merah muda : putih = 1 : 2 : 1.

2.2.1b Kodominansi
Seperti halnya semi dominansi, peristiwa kodominansi akan menghasilkan
nisbah fenotipe 1 : 2 : 1 pada generasi F2. Bedanya, kodominansi tidak
memunculkan sifat antara pada individu heterozigot, tetapi menghasilkan sifat
yang merupakan hasil ekspresi masing-masing alel. Dengan perkataan lain, kedua
alel akan sama-sama diekspresikan dan tidak saling menutupi.
Peristiwa kodominansi dapat dilihat misalnya pada pewarisan golongan
darah sistem ABO pada manusia (lihat juga bagian pada bab ini tentang beberapa
contoh alel ganda). Gen IA dan IB masing-masing menyebabkan terbentuknya
antigen A dan antigen B di dalam eritrosit individu yang memilikinya. Pada
individu dengan golongan darah AB (bergenotipe IAIB) akan terdapat baik antigen

19
A maupun antigen B di dalam eritrositnya. Artinya, gen IA dan IB sama-sama
diekspresikan pada individu heterozigot tersebut.
Perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing memiliki
golongan darah AB dapat digambarkan seperti pada diagram berikut ini.

IAIB x IAIB

1 IAIA (golongan darah A)
2 IAIB (golongan darah AB)
1 IBIB (golongan darah B)
Golongan darah A : AB : B = 1 : 2 : 1

Gambar 2.9 Diagram persilangan sesama individu bergolongan darah AB

2.2.1c Gen Letal


Gen letal ialah gen yang dapat mengakibatkan kematian pada individu
homozigot. Kematian ini dapat terjadi pada masa embrio atau beberapa saat
setelah kelahiran. Akan tetapi, adakalanya pula terdapat sifat subletal, yang
menyebabkan kematian pada waktu individu yang bersangkutan menjelang
dewasa.
Ada dua macam gen letal, yaitu gen letal dominan dan gen letal resesif. Gen
letal dominan dalam keadaan heterozigot dapat menimbulkan efek subletal atau
kelainan fenotipe, sedang gen letal resesif cenderung menghasilkan fenotipe
normal pada individu heterozigot.
Peristiwa letal dominan antara lain dapat dilihat pada ayam redep (creeper),
yaitu ayam dengan kaki dan sayap yang pendek serta mempunyai genotipe
heterozigot (Cpcp). Ayam dengan genotipe CpCp mengalami kematian pada masa
embrio. Apabila sesama ayam redep dikawinkan, akan diperoleh keturunan
dengan nisbah fenotipe ayam redep (Cpcp) : ayam normal (cpcp) = 2 : 1. Hal ini
karena ayam dengan genotipe CpCp tidak pernah ada.
Sementara itu, gen letal resesif misalnya adalah gen penyebab albino pada
tanaman jagung. Tanaman jagung dengan genotipe gg akan mengalami kematian

20
setelah cadangan makanan di dalam biji habis, karena tanaman ini tidak mampu
melakukan fotosintesis sehubungan dengan tidak adanya khlorofil. Tanaman Gg
memiliki warna hijau kekuningan, sedang tanaman GG adalah hijau normal.
Persilangan antara sesama tanaman Gg akan menghasilkan keturunan dengan
nisbah fenotipe normal (GG) : kekuningan (Gg) = 1 : 2.

2.2.2 Modifikasi Rasio 9 : 3 : 3 : 1


Modifikasi nisbah 9 : 3 : 3 : 1 disebabkan oleh peristiwa yang dinamakan
epistasis, yaitu penutupan ekspresi suatu gen nonalelik. Jadi, dalam hal ini suatu
gen bersifat dominan terhadap gen lain yang bukan alelnya. Ada beberapa macam
epistasis, masing-masing menghasilkan nisbah fenotipe yang berbeda pada
generasi F2.

2.2.2a Epistasis Resesif


Peristiwa epistasis resesif terjadi apabila suatu gen resesif menutupi ekspresi
gen lain yang bukan alelnya. Akibat peristiwa ini, pada generasi F 2 akan
diperoleh nisbah fenotipe 9 : 3 : 4.
Contoh epistasis resesif dapat dilihat pada pewarisan warna bulu mencit
(Mus musculus). Ada dua pasang gen nonalelik yang mengatur warna bulu pada
mencit, yaitu gen A menyebabkan bulu berwarna kelabu, gen a menyebabkan
bulu berwarna hitam, gen C menyebabkan pigmentasi normal, dan gen c
menyebabkan tidak ada pigmentasi. Persilangan antara mencit berbulu kelabu
(AACC) dan albino (aacc) dapat digambarkan seperti pada diagram berikut ini.

P : AACC x aacc
kelabu albino

F1 : AaCc
kelabu
F2 : 9 A-C- kelabu
3 A-cc albino kelabu : hitam : albino =
3 aaC- hitam 9 : 3 : 4
1 aacc albino

21
Gambar 2.10 Diagram persilangan epistasis resesif

Dalam jurnal “Analisis Rerata Generasi Hasil Persilangan Dua Varietas


Padi Tahan Terhadap Cekaman Kekeringan Sifat “ yang bertujuan untuk
mempelajari tindak gen ketahanan terhadap cekaman kekeringan dalam kaitan
dengan sifat akar dengan analisis rerata generasi. Padi varietas Selat dan Soba
adalah dua varietas tahan terhadap cekaman kekeringan, dan dari persilangannya
dihasilkan generasi F1, F2, BC1 dan BC2.
Sifat panjang akar dipengaruhi tindak gen aditif yang dibawa oleh Soba.
Pada sifat diameter akar menunjukkan interaksi gen duplikat. Sifat jumlah akar
dikendalikan oleh lebih dari dua gen, dan sifat berat akar kering terjadi tindak gen
resesif epistasis. Ini mengimplikasikan bahwa ketahanan tanaman terhadap
cekaman kekeringan dikendalikan oleh banyak gen yang berlainan, yang sebagian
bertanggung jawab untuk sifat yang berbeda, yang bersama-sama mendorong ke
arah ketahanan.panjang akar dipengaruhi gen aditif
yang dibawa oleh Soba. Pada sifat diameter akar menunjukkan interaksi gen
duplikat. Sifat jumlah akar dikendalikan oleh lebih dari dua gen, dan sifat berat
akar kering terjadi tindak gen resesif epistasis. Ini mengimplikasikan bahwa
ketahanan tanaman terhadap cekaman kekeringan dikendalikan oleh banyak gen
yang berlainan, yang sebagian bertanggung jawab untuk sifat yang berbeda, yang
bersama-sama mendorong ke arah ketahanan terhadap cekaman kekeringan.
(Jurnal Crop Agro,Vol., No.1, Hal 1 s/d 6: 2010)

2.2.2b Epistasis Dominan


Pada peristiwa epistasis dominan terjadi penutupan ekspresi gen oleh suatu
gen dominan yang bukan alelnya. Nisbah fenotipe pada generasi F2 dengan
adanya epistasis dominan adalah 12 : 3 : 1.
Peristiwa epistasis dominan dapat dilihat misalnya pada pewarisan warna
buah waluh besar (Cucurbita pepo). Dalam hal ini terdapat gen Y yang
menyebabkan buah berwarna kuning dan alelnya y yang menyebabkan buah
berwarna hijau. Selain itu, ada gen W yang menghalangi pigmentasi dan w yang

22
tidak menghalangi pigmentasi. Persilangan antara waluh putih (WWYY) dan
waluh hijau (wwyy) menghasilkan nisbah fenotipe generasi F2 sebagai berikut.

P : WWYY x wwyy
putih hijau

F1 : WwYy
putih
F2 : 9 W-Y- putih
3 W-yy putih putih : kuning : hijau =
3 wwY- kuning 12 : 3 : 1
1 wwyy hijau

Gambar 2.11 Diagram persilangan epistasis dominan

Untuk melihat analisis ekspresi dari interaksi gen dominan yang


mempengaruhi suatu tanaman yang varietasnya memiliki tehadap daya tahan
serangan hama,ini dilampirkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh E.
Sulistyowati, Sulistyowati, S. Rustini, S. Sumartini, Dan Abdurrakhman yang
berjudul Pewarisan Ketahanan Penyakit Blas (Pyricularia grisea Sacc.) pada
Persilangan Padi IR64 dengan Oryza rufipogon Griff sebagai berikut :
Aksi gen pengendali sifat ketahanan tanaman padi terhadap ras patogen
Blas berbeda-beda. Terhadap Ras 033 dan Ras 173, aksi gen aditif berperan dalam
penentuan tingkat ketahanan, sedangkan terhadap Ras 001 tidak terlihat peran
aksi gen aditif. Aksi gen aditif tidak ditemukan dengan analisis segregasi dengan
nisbah genetika menurut Mendel tetapi terlihat dengan analisis rataan generasi
yang menyertakan rataan enam populasi tanaman padi. Ras 033 dan Ras 173
adalah cendawan Blas yang termasuk ke dalam ras dengan tingkat virulensi
medium dan tinggi, sedangkan Ras 001 memiliki tingkat virulensi yang rendah.
Hasil penelitian Gee et al. (2001) menunjukkan bahwa peningkatan
virulensi dari patogen Blas dapat mengaktifkan pathogenesis related (PR) protein
gen famili (family genes) pada tanaman padi sebagai respons dari sistem
pertahanannya.Aksi gen aditif lebih terlihat pada ras yang virulen dibandingkan

23
dengan ras virulensi rendah karena terinduksinya gen famili dalam suatu lokus
kuantitatif yang efeknya aditif. Namun demikian, Menurut Paterson et al. (1991),
aksi gen pada lokus kuantitatif pada progeni yang mempunyai rataan fenotipe
yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedua tetuanya dapat disebabkan adanya
alel overdominan. Alel tersebut membawa satu kopi yang mempunyai efek lebih
besar dibandingkan dengan dua kopi.
Analisis rasio segregasi, rasio fenotipe tahan: media tahan: rentan pada
populasi padi generasi F2 (IR64 x O. rufipogon) terhadap cendawan Blas, Ras
001, dan 033 adalah 9:6:1. Jadi interaksi gen ketahanan tanaman padi terhadap
Ras 033 ini kemungkinan interaksi gen sama dengan interaksi gen ketahanan
tanaman padi terhadap Ras 001. Pada Ras 173 rasio fenotipe padi generasi F2
(IR64 x O. rufipogon) lebih mendekati model interaksi gen 10:3:3. Allard (1960)
dan Wagner et al. (1980) mengemukakan bahwa tipe ketahanan padi dengan rasio
fenotipe seperti terhadap Ras 001 dan 033 adalah tipe ketahanan dengan interaksi
gen duplikat, sedangkan terhadap Ras 173 adalah tipe ketahanan dengan interaksi
gen kompleks.
Berdasarkan rasio dominansi, aksi gen dominan sifat ketahanan pada
populasi ini terhadap cendawan Blas Ras 001 lebih besar dibandingkan dengan
dua ras cendawan Blas yang lainnya. Peranan gen dominan pada populasi ini lebih
besar terhadap cendawan Blas Ras 033 dan sebaliknya aksi gen aditif lebih besar
terhadap Ras 173. Nilai heritabilitas arti luas (H2 bs) yang tinggi untuk sifat
ketahanan padi terhadap cendawan Blas Ras 001 menunjukkan bahwa potensi
genetika untuk sifat ini cukup besar sehingga seleksi sifat ketahanan terhadap
cendawan Blas Ras 001 ini dapat dilakukan berdasarkan sifat ketahanan.
Berdasarkan nilai (H2 ns) yang terlihat, peranan aksi gen aditif dalam pewarisan
genetika sifat ketahanan padi yang paling besar yaitu terhadap cendawan Blas Ras
173. Adanya aksi gen aditif ini mengindikasikan bahwa kemajuan seleksi padi
dapat diharapkan untuk mendapatkan galur-galur padi yang potensial.
( Jurnal Hayati Vol 13 No.3.1 s/d 6 )

2.2.2c Epistasis Resesif Ganda


Apabila gen resesif dari suatu pasangan gen, katakanlah gen I, epistatis
terhadap pasangan gen lain, katakanlah gen II, yang bukan alelnya, sementara gen

24
resesif dari pasangan gen II ini juga epistatis terhadap pasangan gen I, maka
epistasis yang terjadi dinamakan epistasis resesif ganda. Epistasis ini
menghasilkan nisbah fenotipe 9 : 7 pada generasi F2.
Sebagai contoh peristiwa epistasis resesif ganda dapat dikemukakan
pewarisan kandungan HCN pada tanaman Trifolium repens. Terbentuknya HCN
pada tanaman ini dapat dilukiskan secara skema sebagai berikut:

gen L gen H
 
Bahan dasar enzim L glukosida sianogenik enzim H HCN

Gen L menyebabkan terbentuknya enzim L yang mengatalisis perubahan


bahan dasar menjadi bahan antara berupa glukosida sianogenik. Alelnya, l,
menghalangi pembentukan enzim L. Gen H menyebabkan terbentuknya enzim H
yang mengatalisis perubahan glukosida sianogenik menjadi HCN, sedangkan gen
h menghalangi pembentukan enzim H. Dengan demikian, l epistatis terhadap H
dan h, sementara h epistatis terhadap L dan l. Persilangan dua tanaman dengan
kandungan HCN sama-sama rendah tetapi genotipenya berbeda (LLhh dengan
llHH) dapat digambarkan sebagai berikut:

P: LLhh x llHH
HCN rendah HCN rendah

F1 : LlHh
HCN tinggi
F2 : 9 L-H- HCN tinggi
3 L-hh HCN rendah HCN tinggi : HCN rendah =
3 llH- HCN rendah 9 : 7
1 llhh HCN rendah

25
Gambar 2.12 Diagram persilangan epistasis resesif ganda

Untuk melihat analisis ekspresi dari interaksi gen epistasis ganda/duplikata


ini berikut dilampirkan hasil penelitian yang dilakukan oleh E. Sulistyowati,
Sulistyowati, S. Rustini, S. Sumartini, Dan Abdurrakhman yang berjudul
Pewarisan Ketahanan Penyakit Blas (Pyricularia grisea Sacc.) pada
Persilangan Padi IR64 dengan Oryza rufipogon Griff sebagai berikut :
Hasil analisis model genetika populasi F2 (IR64 x Orufipogon) untuk
ketahanan padi terhadap cendawan Blas Ras 033, menunjukkan bahwa karakter
ketahanan padi berdasarkan luasan daun terserang Ras 033, diperankan oleh aksi
gen dominan dengan pengaruh beberapa model interaksi non alelik (epistasis).
Model tersebut adalah: aditif x aditif, aditif x dominan, dan dominan x dominan.
Adanya pengaruh aksi gen dominan yang berlawanan tanda dengan komponen
interaksi dominan x dominan menunjukkan adanya interaksi gen yang bersifat
epistasis duplikat.
Jadi, hasil pengujian di atas menunjukkan bahwa kendali genetika untuk
sifat ketahanan padi terhadap cendawan Blas Ras 001 dan Ras 033 lebih
diperankan oleh aksi gen dominan dengan pengaruh interaksi nonalelik yang
bersifat epistasis duplikat. Adanya pengaruh aksi gen dominan dan interaksinya
ini dapat dimanfaatkan untuk membentuk padi hibrida tahan patogen Blas Ras
001 dan 033. Karakter ketahanan berdasarkan luasan daun padi terserang Ras 173,
diperankan oleh aksi gen aditif dengan pengaruh adanya interaksi nonalelik, yaitu:
dominan x dominan. Komponen aditif [d] bertanda sama dengan bentuk
interaksinya aditif x dominan [j], menunjukkan bahwa terdapat bentuk interaksi
gen epistasis komplementer. Adanya pengaruh aksi gen aditif dan interaksinya ini
dapat dimanfaatkan untuk pembentukan padi galur murni padi tahan patogen Blas
Ras 173, tetapi harus dilakukan dengan strategi seleksi yang dilakukan pada
generasi lanjut (Rao et al. 2004). Informasi genetika yang berperan dalam sifat
ketahanan terhadap petogen Blas sangat membantu dalam program perakitan
galur tahan Blas yang bersifat durable resistance (Lei et al. 2005).
( Jurnal Hayati Vol 13 No.3.1 s/d 6 )

2.2.2d Epistasis Dominan Ganda

26
Apabila gen dominan dari pasangan gen I epistatis terhadap pasangan gen II
yang bukan alelnya, sementara gen dominan dari pasangan gen II ini juga epistatis
terhadap pasangan gen I, maka epistasis yang terjadi dinamakan epistasis dominan
ganda. Epistasis ini menghasilkan nisbah fenotipe 15 : 1 pada generasi F2.
Contoh peristiwa epistasis dominan ganda dapat dilihat pada pewarisan
bentuk buah Capsella. Ada dua macam bentuk buah Capsella, yaitu segitiga dan
oval. Bentuk segitiga disebabkan oleh gen dominan C dan D, sedang bentuk oval
disebabkan oleh gen resesif c dan d. Dalam hal ini C dominan terhadap D dan d,
sedangkan D dominan terhadap C dan c.
P : CCDD x ccdd
segitiga oval

F1 : CcDd
segitiga

F2 : 9 C-D- segitiga
3 C-dd segitiga segitiga : oval = 15 :1
3 ccD- segitiga
1 ccdd oval

Gambar 2.13 Diagram persilangan epistasis dominan ganda

2.2.2e Epistasis Domian-Resesif


Epistasis dominan-resesif terjadi apabila gen dominan dari pasangan gen I
epistatis terhadap pasangan gen II yang bukan alelnya, sementara gen resesif dari
pasangan gen II ini juga epistatis terhadap pasangan gen I. Epistasis ini
menghasilkan nisbah fenotipe 13 : 3 pada generasi F2.
Contoh peristiwa epistasis dominan-resesif dapat dilihat pada pewarisan
warna bulu ayam ras. Dalam hal ini terdapat pasangan gen I, yang menghalangi
pigmentasi, dan alelnya, i, yang tidak menghalangi pigmentasi. Selain itu,
terdapat gen C, yang menimbulkan pigmentasi, dan alelnya, c, yang tidak
menimbulkan pigmentasi. Gen I dominan terhadap C dan c, sedangkan gen c
dominan terhadap I dan i.

27
P: IICC x iicc
putih putih

F1 : IiCc
( putih)

F2 : 9 I-C- putih
3 I-cc putih putih : berwarna = 13 : 3
3 iiC- berwarna
1 iicc putih

Gambar 2.14 Diagram persilangan epistasis dominan-resesif

2.2.2f Epistasis Gen Duplikat Dengan Efek Kumulatif


Pada Cucurbita pepo dikenal tiga macam bentuk buah, yaitu cakram,
bulat, dan lonjong. Gen yang mengatur pemunculan fenotipe tersebut ada dua
pasang, masing-masing B dan b serta L dan l. Apabila pada suatu individu
terdapat sebuah atau dua buah gen dominan dari salah satu pasangan gen tersebut,
maka fenotipe yang muncul adalah bentuk buah bulat (B-ll atau bbL-). Sementara
itu, apabila sebuah atau dua buah gen dominan dari kedua pasangan gen tersebut
berada pada suatu individu, maka fenotipe yang dihasilkan adalah bentuk buah
cakram (B-L-). Adapun fenotipe tanpa gen dominan (bbll) akan berupa buah
berbentuk lonjong. Pewarisan sifat semacam ini dinamakan epistasis gen duplikat
dengan efek kumulatif.
P : BBLL x bbll
cakram lonjong

F1 : BbLl
(cakram)

F2 : 9 B-L- cakram
3B-ll bulat cakram : bulat : lonjong = 9 : 6 : 1
3 bbL- bulat
1 bbll lonjong

28
Gambar 2.15 Diagram persilangan epistasis gen duplikat dengan efek kumulatif

Dalam jurnal yang berjudul “Sinergi Teknologi Marka Molekuler Dalam


Pemuliaan Tanaman Jagung” menyatakan bahwa interaksi gen spistasis
dominan dan resesif bermanfaat dalam pemuliaan tanaman dengan kegiatan
seleksi pada pemuliaan secara konvensional dapat dipercepat jika dapat
disinergikan dengan teknologi marka molekuler yang dikenal dengan nama
marker assisted selection (MAS). Dengan MAS, kegiatan seleksi menjadi lebih
efektif dan efisien karena seleksi hanya didasarkan pada sifat genetik tanaman,
tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Tulisan ini membahas secara ringkas
beberapa strategi sinergi teknologi marka molekuler dalam pemuliaan jagung.
Dalam konteks MAS, marka berbasis DNA dapat lebih efektif jika
digunakanuntuk tiga tujuan dasar, yaitu: 1) identifikasi galur-galur tetua untuk
perbaikan suatu karakter untuk tujuan khusus, 2) penelusuran alel-alel dominan
atau resesif pada tiap generasi persilangan, dan 3) identifikasi individu-individu
target sesuai dengan karakter yang diinginkan di antara turunan yang
bersegregasi, berdasarkan komposisi alel persilangan sebagian atau seluruh
genom.
( Jurnal Litbang Pertanian, Vol.25, No.3, Hal 81 s/d 89:2006 )

BAB III
PENUTUP

Persilangan dengan dua sifat beda ( dihibrid) menghasilkan rasio fenotipe


9:3:3:1, hanya berlaku apabila kedua pasang gen yang mewarisi kedua pasang
sifat tersebut masing-masing terletak pada 2 kromosom yang berlainan, dan
masing-masing mengekspresikan sifatnya sendiri, beberapa cara penurunan tak
mengikuti hukum ini, mengingat bahwa pengawasan suatu sifat kadang – kadang
tidak dilakukan oleh suatu pasang gen saja, tetapi oleh dua pasang atau lebih gen
yang mengadakan interaksi ( kerjasama ).Dan hal ini dapat disebabkan oleh

29
beberapa faktor.Interaksi gen ini terjadi karena adanya 2 pasang gen atau lebih
saling mempengaruhi dalam memberikan fenotip pada suatu individu, terdapat
pula penyimpangan semu terhadap hukum Mendel yang tidak melibatkan
modifikasi rasio fenotipe, tetapi menimbulkan fenotipe-fenotipe yang merupakan
hasil kerja sama atau interaksi dua pasang gen nonalelik.
Interaksi gen terjadi bila dua atau lebih gen mengekspresikan protein enzim yang
membawa sifat yang baru dari sifat induknya.
Contoh dari interaksi gen adalah Avatisme yang terjadi pada ayam
berjengger rose yang dikawinkan dengan ayam yang berjengger pea, akan
menghasilkan sifat baru yang tidak ada pada induknya, yaitu walnut : rose : pea :
single = 9 : 3 : 3 : 1.
Pada Drosophila, ayam dan merpati dikenal adanya gen rangkai kelamin
yang bersifat letal. Gen itu terletak pada fragmen non-homolog kromosom X.
Ada beberapa gen yang berinteraksi atau dipengaruhi oleh gen lain untuk
menumbuhkan karakter. Gen-gen itu mungkin pada kromosom sama (berangkai),
mungkin pula pada kromosom berbeda. Misalnya bunga merah oleh gen R, bunga
putih oleh gen r, buah bulat oleh gen B, buah oval (lonjong) oleh gen b, batang
tinggi oleh gen T, batang pendek oleh gen t. Karena ada interaksi maka
perbandingan fenotip keturunan hibrid menyimpang dari penemuan Mendel,
disebut juga penyimpangan Hukum Mendel. Kalau yang berinteraksi itu 2 gen
(dihibrid), menurut Mendel perbandingan fenotip F2 adalah 9 : 3 : 3 : 1, menjadi 9
: 3 : 4, 9 : 7 atau 12 : 3 : 1 umpamanya. Menurut Mendel fenotip F2 itu ada 4
kelas, tapi karena ada interaksi susut menjadi 2 atau 3 kelas.
Interaksi yang sifatnya menyembunyikan karakter yang terdapat pada
leluhur disebut juga atavisme, diistilahkan oleh Charles Darwin, ketika
mengamati karakter bulu pada merpati. Kriptomeri sesungguhnya baru
dipecahkan secara perhitungan genetis pertama kali oleh W. bateson dan R.C.
Punnet pada karakter jengger ayam. Dikatakan bahwa karakter jengger itu bukan
hanya diatur oleh 1 gen tapi oleh 2 gen yang berinteraksi.

30
DAFTAR PUSTAKA

Afandi, H. 2006. Karakteristik Ayam Fayoumi, Merawang dan Persilangannya


Umur 9-16 Minggu (Studi Kasus di BPTU Sapi Dwiguna dan Ayam
Sembawa, Sumatera Selatan). Skripsi. Departemen Ilmu Produksi
dan Tekonologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian
Bogor : Bogor

Anonimous.2009. Variasi Genetik. http:// I:\blog-Variasi-dan-genetiks.php. html


Diakses tanggal 27 Oktober 2010

Anonimous.2010. Genetika. http://wikipedia.com/genetika. Diakses tanggal 27


Oktober 2010

Azrai, M. 2006.Sinergi Teknologi Marka Molekuler Dalam Pemuliaan Tanaman


Jagung. Jurnal Litbang Pertanian, Vol.25, No.3, Hal 81 s/d 89

31
Azrai, M .2004. Analisis Varisans Dan Heritabilitas Ketahanan Galur-Galur
Jagung Rekombinan Terhadap Penyakit Bulai. Program Studi
Agronomi Minat Pemuliaan Tanaman IPB, Bogor

Bojonegoro,I.2010. Interaksi Gen .http://biologigonz.blogspot.com/ 2010/05


.interaksi-gen .html. Diakses tanggal 27 Oktober 2010

Hamdan. 2005.Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik Beberapa


Sifat Produksi Puyuh Pada Seleksi Jangka Panjang. Jurnal
Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Hal 36 s/d 47

Stansfield, D .1991., Genetika . Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama , Erlangga.

Suwarso. 2009. Pewarisan Ketahanan Terhadap Penyakit Lanas Pada Tembakau


Madura Prancak-95. Zuriat, Vol. 20, No. 1,Hal 1 s/d 7

Sudharmawan, A.2010. Analisis Rerata Generasi Hasil Persilangan Dua Varietas


Padi Tahan Terhadap Cekaman Kekeringan. Jurnal Crop Agro,Vol.,
No.1, Hal 1 s/d 6

Suryo . 1986 ., Genetika Manusia. Yogyakarta:Gadjahmada University Press.

Tim Dosen. 2010 . Genetika Dasar . Medan : Jurusan Biologi Fakultas


Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UNIMED.

Utami,D,Hajrial Aswidinnoor, Sugiono Moeljopawiro,Ida Hanarida,


Reflinur.2006.Pewarisan Ketahanan Penyakit Blas (Pyricularia
Grisea Sacc.) Pada Persilangan Padi Ir64 Dengan Oryza Rufipogon
Griff. Hayati,Vol 13, No 3 , Hal 107 s/d 112.

32

Anda mungkin juga menyukai