Anda di halaman 1dari 4

1

TOWARD TO REFORM ISLAMIC EDUCATION *1


(Menuju Reformasi Pendidikan Islam)
Oleh: Diki Hermawan

Pada umumnya pada setiap keluarga, organisasi, dan setiap komunitas Muslim di Barat
terdapat perhatian dan kekhawatiran khususnya para orang tua mengenai penyampaian nilai-
nilai Islami kepada anak-anak mereka. Hal ini dikarenakan mereka berada pada lingkungan, di
mana sistem pendidikannya hanya mengajarkan sedikit sekali tentang agama. Sehingga mereka
(orang tua) dihadapkan pada pertanyaan yang sulit, bagaimana bisa cahaya keimanan dan
kehidupan spritual serta keteguhan pada ajaran Islam dapat dipertahankan jika berada pada
lingkungan yang tidak lagi merujuk pada Tuhannya?
Komunitas Islam, terutama generasi pertama kaum pendatang pada level menengah
dalam tingkat keterbatasan ekonominya, biasanya mereka mewariskan ajaran agama (keimanan)
kepada anak-anak mereka hanya sekedar pengetahuan agama yang disampaikan berdasarkan
intuisi serta kepatuhan pada keyakinan mereka. Hal ini nampak, di mana tempat negara mereka
berasal, Tuhan merupakan Pengatur segalanya yang tercermin pada amal perbuatan mereka
sehari-hari. Ini juga didasari pada kesadaran mereka akan adanya Tuhan dalam menjaga
hubungan tersebut – dan terus ditanamkan pada kesadaran anak-anak mereka.
Sedangkan generasi kedua kaum pendatang merupakan kaum yang lebih berpendidikan
– yang menunjukan kebutuhan untuk lebih mengetahui perasaan perlunya dari merasa sendiri
menuju pengetahuan yang lebih riil (adaptasi). Mereka merasakan dan memahami perlunya
penyusunan struktur pendidikan Islami bagi generasi muda, yang secara alamiah terinspirasi dan
mereka alami di negara mereka berasal. Adapun yang diajarkannya adalah al-Qur’an, Hadits,
siroh dan undang-undang serta ilmu hukum yang berkaitan dengan peraturan agama (fikih
ibadah). Begitu juga dalam sistem pengajaran kelas-kelas bahasa Arab dan agama mulai
bermunculan dalam komunitas Muslim Barat, terutama di kalangan Indo-Pakistan. Hal ini juga
sebagai respon atas kebutuhan yang semakin mendesak, dimana telah banyak tersebar beberapa
sekolah swasta Islami dalam struktur yang lebih terperinci.
Namun demikian, terdapat sejumlah indikator bahwa pendidikan Islam di masyarakat
Barat masih memerlukan masukan yang lebih efektif, walaupun bagi sebagian minoritas dalam
komunitas Muslim kurang memuaskan dan kurang memenuhi respon dari kebutuhan sebagian
besar kaum Muslim. Sedangkan ketidakpuasan tersebut adalah: meskipun ajaran Islam adalah
universal dan komprehensif dan ajaran Islam memberikan metode yang dibutuhkan oleh setiap
orang dalam menghadapi tantangan lingkungan, ini terbatas pada hafalan ayat al-Qur’an dan

1
* Review diajukan dalam Take Home Exam/Final Test pada materi kuliah “ Studi Islam di Barat” Program Studi
SIAI, PPs UIN Maliki Malang, 2011
2

Hadits serta aturan yang mementingkan tehnik tanpa adanya dimensi spiritual yang nyata.
Sehingga pembelajaran agama tidak berwujud dengan realitas yang ada di masyarakat Amerika
dan Eropa.
Di satu sisi, sekolah umum mengajarkan anak-anak berekspresi, memberikan pendapat
mereka, mengutarakan keraguan dan harapan, sementara di beberapa organisasi keislaman dan
masjid, orang harus diam dan mendengarkan, tidak ada ruang ruang untuk diskusi, pertukaran
informasi/debat, dan faktanya pendidikan yang mereka sajikan (dalam organisasi keislaman
maupun masjid) kepada para generasi muda sekedar menguasai pengetahuan berdasarkan
prinsip-prinsip, aturan, kewajiban dan larangan sehingga bersifat rigid tanpa ada sentuhan
kemanusiaan. Sebagai contoh implementatif di kalangan kaum muda, ketika mereka hafal di
luar kepala ajaran dari beberapa surat al-Qur’an dan Hadits, mereka terpaku pada tekstualitasnya
saja, tidak pada konteks-nya. Mereka hanya menonjolkan keberbedaan melalui pembicaraan
yang kritis dan mencela saat berhadapan dengan yang lain (orang-orang Barat), dan nilai-nilai
tekstual inilah yang terus dihidupkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, sangat
dibutuhkan pendidikan agama dan spiritual menuju reformasi yang mendalam, terutama dalam
menghadapi tantangan realitas masyarakat di mana mereka tinggal (berada).
Adapun untuk mewujudkan pendidikan Islami di lingkungan mereka tinggal adalah
perlunya refleksi dari ajaran Islam yang terkandung dari al-Qur’an, Hadits, ritual ibadah, dan
hukum-hukum yang universal dan komprehensif. Begitu juga diperlukan pengetahuan tentang
lingkungan pergaulan yang diintegrasikan dalam konteks di mana seseorang secara konstan
mampu untuk memahami, memilih, mereformasi dan berinovasi guna membangun hubungan
yang penuh iman dan dinamis antara prinsip universal Islam yang menjadi tempat tinggal kaum
muslimin. Sedangkan tujuan dari pendidikan Islami adalah: Pertama, dengan pendidikan hati,
berupa hubungan kesadaran dengan Tuhan – yang bertanggung jawab secara keseluruhan.
Kedua, pendidikan pikiran, berupa pemahaman terhadap pesan al-Qur’an maupun Sunnah –
yang kemudian dikembangkan dalam lingkungan di mana manusia hidup di dalamnya. Ketiga,
mengintegrasikan pendidikan hati dengan pendidikan pikiran sebagai upaya menuntun
kesadaran mereka akan perlunya menjadi manusia yang benar-benar mandiri.
Jika refleksi ajaran Islam tersebut telah disajikan pada arahan pendidikan Islami, maka
muatan pendidikan seperti pembelajaran al-Qur’an, hadits, hukum, dan yurisprudensi harus
ditambahkan pengetahuan lingkungan yang mendalam yang disesuaikan dengan usia, bahasa,
sejarah negara, pengetahuan tentang lembaga, dinamika sosial-budaya, dan peta politik. Dengan
demikian, studi lingkungan dan manusia merupakan bagian penting dari proses pembelajaran
bagi kaum Muslim di Barat sebagai upaya mencari solusi pribadi dan kolektif.
3

Di beberapa negara seperti Amerika dan Eropa, bahwa bagi kaum Muslim di sana,
sekolah Islami merupakan solusi/obat mujarab. Hal ini dikarenakan ketidakpuasan mereka pada
sistem pendidikan di sekolah-sekolah umum, yang mereka anggap kurang moralitas dan sekuler
seperti sekolah-sekolah yang telah lama ada puluhan tahun di Inggris, AS, Kanada, Swedia, dan
Belanda serta sejumlah kecil negara lainnya. Namun pendidikan/sekolah Islami semacam itu
hanya bisa dinikmati oleh anak-anak dari orang tua yang mampu/sejahtera dan mampu untuk
mendaftar karena biayanya sangat tinggi, sehingga mereka yang sekolah sangat sulit dikatakan
sebagai solusi/obat mujarab bagi pendidikan Islam di Barat. Sementara, anak-anak yang lain dan
kurang mampu, sekolahnya tidak banyak disubsidi oleh negara. Hasilnya dari pendidikan yang
Islami ini hanya menyentuh program dan aktivitas pendidikannya secara internal, tertutup dari
lingkungan sekitar, dan pada prakteknya tidak mempunyai hubungan dengan lingkungan
disekitarnya, walaupun sekolah tersebut mengedepankan cara hidup, ruang dan realitas paralel.
Belum lagi staf pengajar yang tidak memiliki kecakapan pendidikan yang baik – yang hanya
sekedarnya mempraktekan sejumlah disiplin ilmu. Oleh karenanya, sekolah Islami seperti
contoh tersebut, tingkat keberhasilannya tidak dapat diukur dengan kesuksesan ujiannya ansich,
namun harus dievaluasi dalam merespon tujuan-tujuan komprehensif dan menyediakan silabus
yang koheren dengan lingkungannya.
Untuk mencapai pendidikan Islam di Barat secara komprehensif dan universal, maka
sangat dibutuhkan alternatif untuk meningkatkan keimanan dan membangun pemikiran secara
mendalam tentang lingkungan sosial dan budaya, sejarah, serta penguasaan ilmu pengetahuan
dan disiplin ilmu umum yang akan memberikan kaum Muslim sarana untuk hidup dalam
lingkungannya – yang tentunya dengan berbagai pertimbangan, termasuk sarana dalam
menjalankan program tersebut, sumber keuangan yang cukup, kompetensi dalam pendekatan
kontekstual dari sumber ajaran Islam, dan pemahaman mendalam tentang masyarakat Barat.
Adapun di antara alternatif tersebut adalah:
Pertama, melalui pendekatan pendidikan yang komplementer bukan paralel, yaitu
berupa sikap dan keterlibatan dalam kehidupan sekolah umum dalam beragam cara, termasuk
dengan mempelajari beragam program dan muatan yang terkandung di dalamnya (religius,
moral, bahkan kewarganegaraan) disesuaikan dengan tingkat pemahaman yang secara alami
ditentukan oleh pola yang dibentuk dalam sekolah. Begitu juga setiap proyek pendidikan di
Barat berusaha melakukan kontak dengan komite, guru dan melibatkan orang tua dengan
berbagai cara seperti pertemuan, kegiatan rutin, perkumpulan dan diskusi agar orang tua
termotivasi dan tertarik pada sekolah yang merupakan bagian nyata dalam pendidikan anak.
Di sisi lain juga, bagaimana berusaha mereformasi struktur program pendidikan dengan
menyesuaikan program untuk berevolusi dengan masyarakat. Ini pernah dicontohkan oleh
4

Shabbir Mansuri seorang pendiri Dewan Pendidikan Islami (CIE) di California, di mana ia
membawa kemajuan/perbaikan dengan menyarankan silabus-silabus alternatif sebagai bagian
dari tesisnya untuk merubah “paradigma” yang tidak hanya pada pengajaran Islam dan
peradabannya, namun juga merevisi melalui pendekatan yang berorientasi Barat. Jadi tidak
hanya mengendepankan program studi intelektual secara eksklusif, tetapi juga melengkapinya
dengan kegiatan sosial, budaya, dan olah raga. Dan yang terpenting adalah bahwa pendidikan
Islami diintegrasikan pada dimensi kehidupan nyata. Dari pengalaman inilah yang merupakan
prasyarat penting dalam pemikiran tentang pendidikan komplementer (pelengkap).
Kedua, melalui pembangunan hubungan seaktif mungkin antara pendidikan yang
diberikan Barat dan filosofi keseluruhan dari ajaran Islam. Yang menjadi kenyataan sebelumnya
adalah ketidaktahuan siswa menemukan antara obyek studi dan keterkaitan mereka pada Islam.
Akibatnya, terdapat kelemahan ganda pada komunitas Muslim, di satu sisi mereka tidak
mendapatkan keuntungan dari kemampuan yang menonjol dari para siswa dan kaum
profesionalnya, dan di sisi lain, sumber daya dan religiusitas yang mereka gunakan di tengah-
tengah masyarakat tidak memiliki hal yang orisinil untuk ditawarkan sebagaimana mereka
menggunakan pengetahuan dan bakatnya. Oleh karenanya, diperlukan penanaman pemikiran
yang filosofis dengan tiga pertanyaan mendasar yaitu, Apa Tujuannya? Apa batasan-batasan
yang dibebankan berkaitan dengan penggunaan pengetahuan? Dan Apa hasil dari pengetahuan
dan profesinya?. Kesadaran tersebut yang kemudian dipadukan oleh kerendahan hati dari
fundamental ajaran Islam, yaitu yang dapat membantu manusia lainnya.
Dengan demikian, prinsip tersebut apa yang pernah di ajarkan oleh Nabi “Sebaik-
baiknya kalian adalah yang bisa memberikan manfaat kepada manusia yang lain”. Beliau tidak
mengatakan untuk kaum Muslim ansich, namun juga seluruh umat manusia. Dari sinilah dasar
ajaran Islam yang universal mengenai bagaimana mendapatkan dan menggunakan pengetahuan,
yang membantu membentuk harmonisasi yang luhur antara pengetahuan, kompetensi, moralitas,
dan pemberian. Dangan cara ini (reformasi pendidikan Islam) keberadaan Muslim di Barat
menjadi normal tidak menjadi sepele dengan menawarkan prinsip-prinsip moral dan solidaritas,
berasimilasi dengan lingkungannya, dan pada akhirnya akan memberikan kontribusi yang nyata
dengan mengesampingkan pada berbedaan dalam dirinya.

Anda mungkin juga menyukai