Anda di halaman 1dari 3

JOHN PILGER DAN CAFTA

By Syarif Arifin | 19 Juni 2010

Kekhawatiran terhadap dampak buruk kesepakatan Indonesia dalam perjanjian


perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA) terus meluas. Para buruh merasa
“dibuntuti” ancaman PHK. Sementara para pengusaha, terutama pengusaha kecil
menengah dibayang-bayangi bangkrut akibat kalah bersaing.

“FTA akan menyebabkan PHK besar-besaran. Karena peranan pemerintah semakin


melemah dalam melindungi warga negara,” ungkap Revitriyoso Husodo, Program
Officer Jaringan dan Kampanye Institute Global Justice Jakarta. Menurut Revi,
panggilan Revitriyoso Husodo, FTA adalah bentuk nyata dari rejim globalisasi yang
hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan raksasa.

Ide perdagangan bebas dapat ditelusuri dalam pikiran-pikiran ekonom klasik Adam
Smith dan David Ricardo. Dua ekonom ini sama-sama meyakini bahwa kedaulatan
pasar dapat menyelesaikan permasalah di dunia fana ini. Ide tersebut mendapatkan
momentumnya, pada 1980, ketika Margareth Thatcher memegang kekuasaan di
Inggris.

Di Indonesia, ide pasar bebas disebarkan ketika ekonom-teknokrat keluaran di


Berkeley. Mafia Berkeley, begitu Kwik Kian Gie mencela para ekonom liberal, sangat
dominan karena menguasai pemegang keputusan pemerintahan. Hal ini dapat
terlihat dengan dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA)
Tahun 1967, yang kemudian disempurnakan dalam Undang-Undang Penanaman
Modal No. 25 Tahun 2007. Salah satu pasal UU PM menyatakan bahwa moda asing
dapat mengusasi tanah hingga 25 tahun, ada jaminan untuk tidak dinasionalisasi,
serta mengamanatkan pembentukan kawasan ekonomi khusus.

Kawasan Ekonomi Khusus atau Free Trade Zone merupakan kawasan yang
berfungsi sebagai tempat produksi, gudang dan tempat lalu lintas ekspor.

Arena pasar bebas mengandaikan kemitraan antara produsen dan konsumen.


Harga barang ditentukan dengan proses tawar-menawar selayaknya di pasar
tradisional dan akan ada persaingan sehat. Memang tidak dihitung bahwa
persaingan itu akan menghancurkan produsen yang lebih kecil. Bahkan, yang tidak
pernah diperhitungkan adalah keberadaan tenaga kerja di tubuh produsen.

Sebagaimana dikatakan Ketua Dewan Pimpinan Cabang Kimia Energi dan


Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KEP SPSI) Bekasi, FTA akan
membangkrutkan industri skala kecil dan menengah. ”Anak-anak kita akan menjadi
antrian pencari kerja,” tambah Abdullah seraya menambahkan bahwa tenaga kerja
Indonesia per harinya dihancurkan oleh kebijakan pemerintah dengan membuka diri
terhadap modal asing.

Perbincangan tersebut terungkap dalam acara diskusi dan pemutaran film di Jalan
Jenderal Ahmad Yani Nomor 1 Kompleks Pemda Kota Bekasi, kantor DPC KEP SPSI
Bekasi, Sabtu 19 Juli 2010. Diskusi tersebut diadakan oleh Koalisi Rakyat Tolak
ACFTA, berlangsung dari pukul 19.00 hingga pukul 22.00 WIB.

Sekitar 50 orang buruh hadir dalam acara tersebut. Mereka tampak antusias
menyaksikan film New Rulers of The World meskipun hanya duduk di atas tikar
dengan atap langit. Film dokumenter yang berdurasi 48 menit 22 detik itu
merupakan karya John Pilger yang dirilis pada 2002.

Film tersebut memaparkan miskinnya kehidupan buruh di Indonesia, meskipun


produk yang dibuatnya sangat mahal di pasaran. Juga, menyoroti muasal
kemunculan agenda globalisasi di Indonesia. ”Globalisasi di Indonesia dibangun di
atas korban lebih dari 1 juta orang...,” ungkap John Pilger dalam film tersebut.

Pilger menelusuri keterhubungan antara peristiwa 1965, terbentuknya


pemerintahan baru dan kehadiran modal asing. Menurut film itu, kehidupan di
Indonesia pasca-Soeharto menjadi bulanan-bulanan perusahaan-perusahaan
multinasional. Pemerintah membuka seluas-seluasnya sumber daya alam untuk
dieksploitasi oleh perusahaan internasional. Tapi, rakyatnya tetap miskin.

”Globalisasi melahirkan hutang, privatisasi dan kesengsaraan,” tambah John Pilger.


Pilger membuktikan bahwa format ekonomi-politik pasca-Soeharto membuktikan
tidak berubah sama sekali.

Jhon Pilger adalah jurnalis berkebangsaan Australia. Melalui film tersebut Pilger
menunjukkan bagaimana para penguasa dunia yang tergabung dalam Multinational
Corporations (MNC) dengan instrumen lembaga-lembaga multilateral, semisal Bank
Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), memiskinkan negara-negara
berkembang.

John Pilger mendasarkan filmnya dengan penelitian serius. Ia mewancarai aktivis


buruh, buruh, pengusaha, dan pelaku ekonomi dan pengambil keputusan. Pabrik
yang diteliti oleh John Pilger adalah GAP, Old Navy, Adidas dan Reebok. Salah
seorang buruh yang diwawancarai John Pilger menyatakan bahwa ia menerima
upah Rp 5000 per hari.
Sementara perusahaan bisa mendapatkan untung 38 miliar per hari.

Dengan ditemani makanan tradisional: bajigur, kacang, ubi dan singkong


pemutaran film berlangsung hangat dan menarik.
Memperkuat buruh dan serikat buruh

Revi menuturkan bahwa saat ini Indonesia telah menandatangani beberapa FTA, di
antaranya dengan New Zealand, dengan Korea Selatan, dengan Jepang. Dan, yang
paling mutakhir adalah Asean China Free Trade Area (ACFTA). ”ACFTA paling
berpengaruh dalam hal kuantitas. Produk garmen, metal dan alas kaki bisa
tersingkir,” ujar Revi.

Dengan disepakatinya FTA, Revi menuturkan bahwa tindakan pemerintah sangat


ambigu. Di satu pihak pemerintah berniat meningkatkan daya saing industri
nasional, tapi menaikkan tarif dasar listrik yang akan berlaku per Juli 2010.
Ditambah dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan gas elpiji.
Kenaikan tarif dasar listrik, menurut Revi, secara otomatis memaksa pengusaha
melakukan penghematan produksi. Penghematan produksi, biasanya berbentuk
penurunan kesejahteraan buruh dan PHK massal.

Abdullah menambahkan, ”Dengan FTA-FTA yang telah disepakati dan kebijakan


pemerintah (yang antiburuh) akan menurunkan kualitas hidup buruh.”

Dalam diskusi tersebut, salah seorang peserta menanyakan bagaimana


menghadapi situasi perburuhan yang semakin sulit. Menurutnya, buruh-buruh tetap
sekarang mudah di-PHK. Apalagi buruh kontrak, ”Meskipun punya surat keterangan
dokter karena sakit, buruh kontrak bisa di-PHK,” keluhnya.

Menjawab pertanyaan tersebut, Abdullah maupun Revi sama-sama meyakini bahwa


penguatan buruh dan serikat buruh adalah kuncinya. ”PUK (Pimpinan Unit Kerja)
tidak hanya (mengurus) PKB,” ungkap Abdullah seraya mengamini ungkapan Revi
bahwa gerakan serikat buruh tidak cukup memperjuangkan hal-hal normatif.
Menurut Revi, serikat buruh mesti memiliki perspektif politis dalam berjuang.

Anda mungkin juga menyukai