Anda di halaman 1dari 2

CSR, Antara Itikad dan Implementasi

Oleh : Ikhlas | 23-Aug-2008, 00:53:45 WIB

http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20080822194643

diakses:07032011

KabarIndonesia - Sejak tahun 2007 lalu, terdapat dua tonggak sejarah baru bagi Perseroan Terbatas
(PT). Pertama Corporate Social Responsibility atau CSR yang kini semakin kukuh karena masuk dalam
Pasal 74 UU Perseroan Terbatas (UUPT). Berikutnya, ada PP 35/2007 yang berisi dorongan kepada PT
untuk menggiatkan sektor R&D (Research & Development) dengan imbalan subsidi pajak.

Substansi CSR dan R&D tentu saja berbeda, namun memiliki kesamaan filosofis karena sama-sama
menjadi cost dan expense. Bagi PT dan industri umumnya, mengeluarkan biaya adalah hal yang harus
matang dipertimbangkan. Namun ketika konstitusi menghendaki lain, bagi PT adalah tantangan
tersendiri sebagai wujud hubungan prinsipal dan agen.

CSR menjadi menarik, karena mewajibkan korporasi turut serta dalam pembangunan sosial
kemasyarakatan, padahal sebelumnya hanya taraf partisipasi. Kepentingan stakeholders kini
diakomodasi oleh UUPT sehingga memiliki posisi tawar yang tidak bisa diremehkan. Tidak aneh karena
masyarakat seharusnya menjadi bagian tidak terpisahkan dari entitas bisnis yang berdiri dalam
komunitasnya. Seharusnya pula korporasi berfungsi sebagai trigger agar menjadi competitive
advantage sosial.

Harmonisasi ini, jika diimplementasikan berimbang memang menjadi pendulum kesetimbangan


sehingga tercipta simfoni yang merdu. Masyarakat memiliki sense of belonging terhadap industri,
sementara industri memiliki feeling yang kuat terhadap kondisi sekitarnya.

Penting artinya bagi pemerintah untuk meletakkan landasan konstitusional yang sama agar menjadi
rambu-rambu yang adil antar dunia usaha, karena sebelumnya CSR hanya dipedulikan sekelompok
kecil korporasi. Kerja pemerintah di sisi lain memang menjadi ringan, karena pengelolaan lingkungan
akhirnya terdesentralisasi pada cluster-cluster kecil yang lebih mudah dikendalikan.

Konflik yang mengemuka antara Nike Inc versus Nasa dan Hasi kendati bisa diselesaikan dengan
kompromi, pemerintah sebelumnya terkesan membiarkan dengan alasan karena murni dispute B2B
(business to bisiness). Seharusnya kalau konflik ini sudah menyangkut kepentingan publik, pemerintah
tidak perlu ragu-ragu bertindak tegas. Gagalnya akuisisi Unocal oleh CNOOC (China National Offshore
Oil Company) bisa terjadi karena campur tangan Presiden George W Bush, dan ini menunjukkan
otorisasi yang kuat di tangan pemerintah.

Kebijakan CSR dirasakan tidak adil apabila risiko pemerintah dialihkan ke pelaku usaha, sementara
pemerintah tetap menikmati pajak-pajak yang seharusnya kembali ke masyarakat. Menjadi sangat
wajar bagi pengusaha mempertanyakan, ke mana uang pajak yang mencapai 80 persen APBN itu.

Bukti menguapnya pajak-pajak yang dibayarkan oleh pelaku usaha Indonesia dapat kita saksikan di
daratan Kalimantan. Pulau "paru-paru" dunia itu kini tak ubahnya mengalami sakit paru-paru kronis
luar biasa. Hutan-hutan hanya berdiri tipis di seberang jalan yang sering dilalui pejabat, sesudahnya
kubangan raksasa terbentang, rusak parah sekali akibat penambangan batu bara.

Pengusaha pertambangan berkeluh kesah, karena kewajiban sudah dijalankan dengan membayar
biaya reklamasi yang ditetapkan pemerintah, namun ternyata tidak dipakai untuk pemulihan alam.
Pengusaha juga dibebani kewajiban membayar dana infrastruktur untuk pembangunan jalan, namun
infrastruktur tetap dibangun sendiri oleh pengusaha, karena menunggu kerja pemerintah tidak bisa
diharapkan.

Jika kondisi sudah demikian parah, sehingga terjadi kebakaran hutan, banjir, kecelakaan, maka
dengan mudah pengusaha menjadi sasaran tembak organisasi peduli lingkungan. Hampir tidak pernah
ada aktivis lingkungan mendemo birokrat soal kerusakan lingkungan, atau pers yang tajam mengkritisi
pemerintah karena lalai melakukan reklamasi. Ujung-ujungnya pasti kalangan pengusaha yang
disalahkan.

Implementasi PP 35/2007 cukup baik, karena menyertakan insentif berupa pengurangan pajak kepada
PT yang melakukan R&D. Ini adalah kebijakan take and give yang proporsional, karena itu tidak
mendapat resistensi dari kalangan pelaku usaha.

Kemudian perlu revisi UUPT agar memenuhi unsur keadilan kepada pelaku usaha. Untuk itu
pemerintah perlu menyiapkan apa konsesi yang akan dinikmati pengusaha jika menerapkan kebijakan
CSR. Tentunya tidak adil jika sebagian risiko yang ditanggung pemerintah berkurang, namun
mengakibatkan kewajiban pihak lain menjadi berat.

Pemerintah juga perlu mempertimbangkan bagaimana mengantisipasi benturan kepentingan dengan


UU 22/1999 tentang otonomi daerah yang kini direvisi menjadi UU 32/2004. Hal ini untuk menghindari
kewajiban ganda pengusaha dalam bentuk pajak terhadap objek yang sama, bukan mustahil CSR
diundangkan UUPT namun daerah menginginkannya pula.

Kita sering mendengar bahwa implementasi CSR overlapping dengan program-program pemerintah
daerah yang seharusnya didanai APBD. Atau bisa juga pemda memaksakan CSR pada wilayah tertentu
untuk kepentingan politik praktis. Petuntuk teknis implementasi CSR dalam peraturan pemerintah
sangat ditunggu, termasuk bagaimana mekanisme pengawasannya. Hal ini perlu diwaspadai karena
CSR bisa menjadi lahan korupsi baru di daerah yang sulit diendus.

Praktik CSR yang pura-pura (pseudo) ini potensial terjadi mengingat besarnya dana CSR yang harus
digelontorkan oleh kalangan PT pasca UUPT disahkan. PT Riau Andalan Pulp Paper (RAPP) setiap tahun
menganggarkan beberapa juta dolar AS, PT Kaltim Prima Coal (KPC) menganggarkan 5 juta dolar AS.
Begitu juga PT HM Sampoerna yang terkenal dengan program Anggarda Paramita dan Yayasan
Sampoerna tahun 2004 bahkan berpartisipasi Rp 40 miliar.

Sumbangan BUMN, jika dengan laba bersih 2007 sekitar Rp 64 triliun, maka paling sedikit dana CSR
akan terkumpul Rp 1,2 triliun. Lalu PT Semen Gresik, misalnya, menganggarkan 2 persen laba bersih
untuk CSR, diikuti oleh PT Pertamina yang menyiapkan Rp 150 miliar tahun lalu (Jakarta Post, 22 Juli
2007).

Siapakah yang tahan godaan untuk tidak korupsi melihat uang demikian besar? Bisa saja jawabannya,
hati orang siapa tahu. Tapi yang jelas, hal berikut ini perlu disikapi dengan bijak oleh pemerintah,
yakni kumpulan dana sebesar itu setidaknya perlu dikawal oleh peraturan pelaksana yang terperinci
hingga di tingkat daerah. Kemudian diaudit secara independen, agar keraguan wajib pajak bisa
berganti dengan dukungan atas kebijakan pemerintah. Semoga sukses untuk CSR.

Anda mungkin juga menyukai