Anda di halaman 1dari 14

KELEMAHAN SISTEM DEMOKRASI DALAM MELINDUNGI

ANAK
DARI PORNOGRAFI DAN SEKS BEBAS

Moment Hari Anak Indonesia pada tanggal 23 Juli, biasanya menjadi


kesempatan bagi bangsa ini untuk melihat bagaimana kondisi anak-anak
Indonesia. Mencermati kondisi mereka saat ini, maka kita akan sepakat
bahwa begitu banyak masalah yang menimpa mereka. Masalah yang tidak
kunjung selesai, bahkan semakin parah. Dekadensi moral khususnya terkait
dengan seks bebas, pornografi dan pornoaksi adalah salah satunya. Fakta
dan data anak-anak yang terlibat dalam seks bebas dan pornoaksi membuat
rasa pemistis yang luar biasa terhadap nasib generasi bangsa ke depan.
Betapa tidak! Lihat saja hasil survey Badan pemberdayaan Perempuan
dan Keluarga Berencana (BPPKB) Jawa Barat di enam kabupaten di Jawa
Barat tahun 2009 menunjukkan ada 29 % remaja yang pernah melakukan
seks pranikah. Artinya jika jumlah remaja Jawa Barat berjumlah 11 juta jiwa
maka 3 jutanya pernah melakukan seks bebas. Di Indonesia, berdasarkan
laporan Komnas Anak pada tahun 2007, jumlah remaja yang sudah tidak
perawan tercatat 62,7 %. Menurut Sekretaris BPPKB Jabar, Suryadi, salah
satu penyebab seks bebas di kalangan remaja adalah beredarnya media-
media pornografi yang mudah diakses oleh remaja.
Menyeruaknya kasus video mesum yang melibatkan sederetan artis
ternama akhir-akhir ini cukup menyentak kesadaran kita tentang begitu
bobroknya perilaku generasi muda di tanah air berikut sistem yang sedang
dijalankan. Betapa tidak? Kasus yang seharusnya cukup menjadi alarm untuk
sesegera mungkin menyelamatkan bangsa dari ancaman bahaya kerusakan,
malah menginspirasi sebagian kalangan untuk bertindak serupa atau
‘minimal’ menikmatinya. Di beberapa tempat, kasus ini bahkan menjadi
trigger (pemicu) terjadinya berbagai kasus kriminalitas, termasuk
pemerkosaan yang dilakukan anak-anak muda belia. Terbukti, dalam kasus
video mesum artis, selama 10-23 Juni 2010 telah jatuh korban pemerkosaan
sebanyak 30 orang yang dilakukan oleh anak usia 16-18 tahun, sementara
korbannya berusia antara 12-14 tahun. Para pelaku mengaku, mereka
melakukan pemerkosaan setelah mereka menonton video artis tersebut.
Tidak mengherankan, karena dalam kasus video ini dari 30 anak yang
ditanya, 24 anak menyatakan sudah menonton video tersebut
Melalui berbagai wacana, masyarakat pun dipaksa percaya bahwa
kasus semacam ini merupakan hal biasa, dimana hukum tak mungkin bisa
menyentuhnya. Berbagai debat kusir dilakukan menyusul desakan sebagian
masyarakat yang resah dan prihatin atas fenomena yang terjadi untuk
menyeret pelaku zina dan semua yang terlibat di dalamnya ke hadapan
hukum. Di pihak lain, ada pula sekelompok masyarakat yang terang-
terangan mendukung pelaku zina dan menuntut ‘pemutihan’ atas perbuatan
amoral yang mereka lakukan. Mereka berdalih, semua manusia pernah
melakukan dosa, dan urusan dosa adalah urusan individu dengan Tuhannya.
Negara atau siapapun tak berhak menghukumnya.
Secara umum Komnas Anak melaporkan 97% anak Indonesia pernah
nonton pornografi, 97% anak SD pernah mengakses pornografi (2009) dan
30% dari 2-2,6 juta kasus aborsi dilakukan remaja usia 15-24 tahun (2009).
Berdasarkan data Depkominfo pada tahun 2007, ada 25 juta pengakses
internet di Indonesia. Konsumen terbesar 90 persen adalah anak usia 8-16
tahun, 30 persen pelaku sekaligus korban pornografi adalah anak. Dua dari
lima korban kekerasan seks usia 15-17 tahun disebabkan internet, 76 persen
korban eksploitasi seksual karena internet berusia 13-17 tahun. Itu baru
penelitian terkait dengan pornografi melalui internet belum lagi melalui
media yang lain. Akibatnya suburlah praktek aborsi. Pada tahun 2008, Voice
of Human Rigths melansir aborsi di Indonesia menembus angka 2,5 juta
kasus, 700 ribu diantaranya dilakukan oleh remaja dibawah usia 20 tahun
(majalah Al-Wai’e No.112 Tahun X, 1-31 Desember 2009).
Berdasarkan hasil Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
yang dirilis awal Mei 2010 menyebutkan bahwa sebanyak 97 persen siswa
sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas pernah menonton
atau mengakses situs pornografi. Dampak mengakses situs porno, kata
Tifatul, sebanyak 92,7 persen responden siswa menengah mengakui pernah
melakukan aktivitas mengarah seksual berupa ciuman, bercumbu dan seks
oral. Sebanyak 62 persen dari 4.500 responden tersebut mengaku pernah
melakukan hubungan badan dan sisanya 21,2 persen yang merupakan siswi
SMA pernah melakukan pengguguran kandungan.
Tragisnya, meski dampak pornografi dan pornoaksi sudah sedemikian
rupa mencemari kepribadian generasi muda, mengalihkan orientasi hidup
mereka hanya semata demi memenuhi kebutuhan jasmani belaka, memupus
kepedulian mereka akan masa depan diri, keluarga maupun bangsa, namun
semua itu nampaknya masih belum cukup untuk menyadarkan bangsa ini
untuk sungguh-sungguh berupaya menghapuskannya.

Upaya Pemerintah, Efektifkah?

Dilihat dari sisi perangkat hukum yang ada, pelaku pornografi dan seks
bebas nampaknya memang akan sulit dikriminalisasi. Meski sebagian pakar
hukum dan advokad menyatakan bisa, namun pendapat yang kuat
menunjukkan bahwa undang-undang yang ada memang membuka celah
yang lebar bagi pelaku kemaksiatan untuk lolos dari jeratan hukum. KUHP,
UU Pornografi, UU Perlindungan Anak dan UU ITE yang umumnya dibuat
dengan menghabiskan uang rakyat, semuanya mandul tak berdaya. Tak ada
harapan bagi rakyat yang masih peduli dengan urusan akhlak untuk bisa
melindungi diri dan anak-anak mereka dari ancaman kerusakan moral.
Pelaku pornografi, pornoaksi, pergaulan bebas termasuk perzinahan,
semuanya bebas merdeka. Wajar jika negeri ini menjadi surga bagi penyuka
tindak asusila.
Menelaah KUHP pasal 284 yang bisa dikenakan sanksi hanyalah pelaku
seks bebas dari kalangan yang sudah memiliki pasangan saja, karena
definisi perzinaan di dalamnya hanya dapat dikenakan kepada lelaki beristri
atau perempuan bersuami yang berhubungan kelamin dengan perempuan
atau lelaki lain tanpa ikatan perkawinan yang sah. Perzinaan dalam pasal
284 ini adalah satu-satunya delik aduan yang bersifat absolut. Artinya, yang
mengadukan telah terjadinya perzinaan adalah istri dari suami atau suami
dari istri yang berhubungan kelamin dengan orang lain tanpa ikatan
perkawinan yang sah. Tegasnya, jika tanpa pengaduan dari istri atau suami,
tindak pidana perzinaan tidak mungkin diproses secara hukum. Secara jelas
pasal ini tidak akan pernah menjerat perzinaan yang dilakukan oleh remaja
lajang/bujang yang dilakukan suka sama suka. Hingga wajar - disaat
keimanan remaja lemah, apalagi tanpa didukung kontrol orang tua dan
masyarakat - jika seks bebas semakin merajalela.
Undang-undang pornografi no 4 tahun 2008 jelas-jelas tidak akan
mampu menghambat seks bebas. Karena undang-undang ini hanya
menjerat pelaku pornografi baik dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto,
tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak
tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi
dan/atau pertunjukkan di muka umum, yang memuat kecabulan atau
eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat
(lihat pasal 1). Artinya pelaku pornoaksi - termasuk yang dilakukan oleh
remaja, terlebih jika dilakukan di tempat privat - tidak akan pernah
tersentuh UU ini. Adapun kepornoan sebagaimana digambarkan pada pasal
4 UU No 4 tahun 2008 tentang Pornografi hanya berkisar pada aktivitas seks
dan ketelanjangan. Hingga wajar jika setiap hari para remaja disuguhi
tayangan-tayangan yang semakin menggelorakan hasrat seksualnya.
Intinya, UU Pornografi tidak mampu mengatasi masalah kepornoan di
tengah-tengah masyarakat termasuk remaja.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE) No 11 tahun
2008, terbukti belum mampu menghambat tersebarnya situs-situs porno.
Para remaja masih bebas mengunduh berbagai macam video porno dari
dunia maya. Wajar, sekalipun usia UU ITE memasuki usia dua tahun,
masalah pornografi masih jadi PR besar di negeri ini. Celakanya tidak ada
satupun aturan yang berlaku di negeri ini yang secara khusus mengatur
pergaulan antara laki-laki dan wanita. Hingga menghantarkan para remaja
pada derajat yang tidak lebih tinggi dari binatang melata. Nau’udzubillah!
Bagaimana dengan program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) yang
gencar ditujukan untuk remaja SMP hingga perguruan tinggi, mampukah
menghambat seks bebas di kalangan remaja? Pada faktanya KRR bertujuan
agar para remaja memperoleh informasi lengkap tentang seksualitas,
kespro, cara mengatasi masalah kespro. Para remaja berhak memperoleh
informasi yang tepat dan benar tentang kesehatan reproduksi remaja
sehingga dapat berperilaku sehat dan menjalani kehidupan seksual yang
bertanggungjawab. Para remajapun berhak memperoleh pelayanan KB yang
aman, efektif, terjangkau dan dapat diterima. Dalam program ini remaja
dilarang Menikah di Usia Muda. Padahal jika remaja terus menerus dipapari
informasi tentang seks, mereka juga diberi akses terhadap pelayanan KB (KB
premarital), sementara pintu untuk menikah di usia muda ditutup, sama saja
dengan menyuruh mereka melakukan seks bebas. Wajar, jika setelah lebih
dari satu dasawarsa dicanangkan program KRR ini, angka seks bebas
bukannya berkurang tetapi justru semakin meningkat.
Sebenarnya pihak yang memberi perhatian terhadap persoalan anak
sudah banyak. Di negeri ini ada beberapa lembaga pemerhati yang peduli
pada nasib anak-anak. Mereka berusaha memberikan perlindungan terhadap
anak agar terhindar dari perbuatan-perbuatan yang merugikan. Ada Komisi
Nasional Perlindungan Anak (KPAI), misalnya. KPAI merupakan lembaga
independen yang kedudukannya sejajar dengan komisi negara lainnya. KPAI
juga dibentuk sebagai konsekuensi dari Konvensi Hak Anak (KHA), yang
menyatakan bahwa setiap negara yang turut meratifikasi harus memiliki
komisi nasional.
Tetapi dalam pelaksanaannya KPAI kerap mengeluh kekurangan dana
sehingga kinerjanya menjadi kurang efektif. Wajar jika gaung KPAI hanya
terdengar sayup-sayup. Banyak pihak menilai kinerja KPAI kurang
memuaskan karena memang tidak menimbulkan pengaruh di masyarakat.
KPAI tidak ada ketika masyarakat justru membutuhkan adanya perhatian
serta perlindungan bagi anak-anak mereka maupun anak-anak dalam
lingkungan suatu masyarakat. Ini bukti bahwa sosialisasi yang menjadi salah
satu tugas KPAI tidak berjalan dengan baik.
Eksistensi KPAI pun dipertanyakan karena minimnya minat serta
pengetahuan masyarakat dalam menjadikan KPAI sebagai sarana untuk
menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan anak. Ada atau tidaknya
KPAI tidak menimbulkan dampak apa-apa terhadap kelangsungan
pemenuhan hak serta perlindungan pada anak-anak Indonesia. Karena itu,
pengaduan masyarakat terkait masalah-masalah perlindungan anak serta
masalah penyimpangan perlakuan terhadap anak lebih banyak disalurkan ke
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Komnas PA merupakan
LSM yang disahkan dengan Surat Akta Notaris. Komnas PA memperoleh dana
untuk membiayai operasional serta program-programnya dari hasil
kerjasama dengan para donor asing, semisal UNICEF. Tentu saja kinerja
Komnas PA, meski dinilai berbagai pihak lebih aktif daripada KPAI, tetap
bergantung pada adanya donor. Artinya, mereka akan bergerak jika ada
dana. Hal ini tentu tidak maksimal untuk memberikan perlindungan pada
anak, karena kinerjanya hanya bersifat reaktif.
Di sisi lain, Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Perlindungan
Anak (UUPA) No 23 Tahun 2002. Lahirnya regulasi ini merupakan salah satu
bentuk keseriusan Pemerintah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) tahun
1990. Sayang, UU yang berbau liberal ini tidak cukup mumpuni untuk
menjamin hak-hak anak. Menurut UUPA, yang dimaksud dengan anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak dalam kandungan. Jadi yang membedakan antara anak dan dewasa
hanyalah sebatas umur saja. Definisi ini menuai polemik karena berbenturan
dengan regulasi lain, seperti usia minimal menikah, yang akhirnya tidak
boleh di bawah usia 18 tahun. Akibatnya, banyak yang memilih berzina
karena khawatir terjerat UU jika menikah pada usia di bawah 18 tahun. Hak
untuk menikah pada usia di bawah 18 tahun menjadi hilang karena terbentur
regulasi ini.
Dengan demikian, aturan yang dikeluarkan pemerintah terkait
pengaturan hubungan lawan jenis, yang terkait dengan pemenuhan hak
anak, lembaga bentukannya maupun lembaga-lembaga independen lainnya
hingga kini belum mampu menuntaskan persoalan. Solusi terhadap
permasalahan anak pun cenderung bersifat reaktif, parsial dan tidak
menyentuh akar masalah.

Ada apa dengan negeri ini?

Seks bebas, pornografi dan pornoaksi yang merajalela di negeri ini


merupakan konsekuensi logis diterapkannya sistem demokrasi. Demokrasi
tidak menjadikan agama sebagai sumber hukum. Agama diakui sebagai
pegangan individu yang hanya mengurusi wilayah privat manusia. Adapun
dalam urusan publik, agama tidak boleh dibawa-bawa. Pengaturan urusan
publik diserahkan pada kendali manusia. Manusia secara penuh berhak
membuat dan menetapkan aturan. Mengapa demikian ? Karena sistem
demokrasi lahir dari pemikiran manusia sebagai ’win-win solution’ atas
persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Adapun Liberalisme yang
menjadi pilar demokrasi telah menjadikan pengaturan urusan manusia
mestilah menjamin kebebasan manusia. Akibatnya kebijakan politik yang
dikeluarkan tidak boleh melanggar kebebasan ini. Wajar jika ditemukan
kebijakan-kebijakan yang masih bersifat permisif.
Pornografi dan seks bebas adalah gambaran kebebasan perilaku yang
pasti diberi ruang dalam sistem demokrasi yang berpilar pada kebebasan itu.
Dalam pandangan liberal, naluri seksual pada manusia – saat menuntut
pemenuhan – harus dipenuhi dengan segera. Tidak peduli dengan siapa ia
melakukannya. Apakah terikat dengan aturan pernikahan ataukah tidak, itu
tidak penting. Sebab yang penting adalah tertunaikannya gejolak naluri seks
tersebut. Tentunya, inilah yang menyebabkan derajat manusia satu tingkat
dengan binatang, bahkan bisa lebih rendah dibawahnya. Mirip perilaku
hewan jantan yang menunaikan ’hajat’ seksnya dengan betina manapun,
kapanpun dan dimanapun.
Pandangan ini tentunya mewarnai kebijakan publik terkait pengaturan
hubungan laki-laki dan perempuan. Karena itu kita lihat maraknya tempat
prostitusi yang dilokalisasi, sehingga perzinahan menjadi resmi. Patut
diketahui bahwa sistem demokrasi erat kaitannya dengan kapitalisme.
Mengapa? Karena salah satu kebebasan yang menjadi pilar demokrasi
disamping kebebasan berperilaku, juga kebebasan kepemilikan. Siapapun
boleh menjarah kekayaan yang lain, siapapun boleh memiliki harta dengan
cara apa saja. Sementara itu dalam urusan pemenuhan naluri seks ada
peluang untuk mengkomersilkannya, sehingga urusan seks pun bisa
dikomoditisasi. Karena itu wajar bila isu seksual ini dijadikan industri yang
prospektif untuk mengumpulkan pundi-pundi uang. Karenanya tak heran
kita jumpai produksi film, sinetron, buku, majalah, tabloid, kalender hingga
pernak-pernik untuk peringatan valentine days, lagu-lagu bertema cinta -
yang semuanya notabene menjadi pencetus munculnya naluri seks –
menjadi hal yang legal dan marak. Ini semua menjadi sah-sah saja dalam
kehidupan masyarakat yang sekular-liberal-kapital yang menjadi ciri
demokrasi.
Celakanya lagi dalam sistem ini, ketika akhirnya terjadi kemaksiyatan,
tak ada satupun hukum yang mampu menjeratnya. Jika mampu, maka sanksi
yang ditetapkan tidak membuat para pelaku jera. sehingga wajar jika
kemaksiyatan tak dapat dibendung kemunculannya.
Inilah sekilas gambaran tentang betapa sistem yang selama ini
diagung-agungkan mengandung banyak kelemahan bahkan cacat yang
bersifat bawaan. Akibatnya aturan cabang yang dilahirkan pun memiliki
kelemahan dan kesalahan hingga tidak mampu menjadi solusi bagi setiap
permasalahan yang muncul.

Masyarakat Demokratis, Masyarakat Sakit

Jika mau jujur, masyarakat kita sebenarnya sedang menderita sakit


yang sangat parah, bukan cuma fisik tapi juga pikiran. Ibarat tubuh,
masyarakat sudah penuh dengan borok, namun sebagian dari mereka masih
berpikir bahwa keadaannya baik-baik saja. Alih-alih berupaya
menyembuhkan, mereka malah asyik dan merasa nyaman dengan kondisi
yang menjijikkan, termasuk hidup dengan borok yang berupa budaya
kepornoan dan kebebasan serta borok lain yang terus bermunculan bahkan
terus menyebar ke seluruh tubuh akibat lingkungan yang sudah sangat kotor
dan tercemar. Lingkungan itu tak lain bernama sistem sekularisme.
Tatkala bapak-bapak pendahulu kita dengan sadar mengenyahkan
agama Islam sebagai landasan berbangsa dan bernegara, lalu menenggak
racun sekulerisme yang ditawarkan penjajah, barangkali saat itu mereka
berpikir bahwa bangsa ini bisa maju dan berjaya. Namun apa yang terjadi
adalah kerusakan di berbagai aspek kehidupan; politik, ekonomi, sosial,
budaya, dan sebagainya. Walhasil, meski sudah 65 tahun ‘merdeka’ tapi
senyatanya bangsa ini belum pernah benar-benar merdeka, apalagi berjaya.
Sesungguhnya kondisi ini wajar jika mengingat sejatinya sekularisme
merupakan ide rusak sekaligus menjadi biang kerusakan. Sekularisme
mengajarkan keyakinan bahwa kebenaran dan kebaikan ada dalam akal
pikiran manusia dan bukan pada agama. Agama cuma boleh bicara tentang
Tuhan langit, ritual penyembahan, pernikahan dan kematian. Sementara
untuk urusan kehidupan, cukuplah manusia sebagai Tuhan bumi. Manusialah
yang boleh dan bebas mengatur urusan politik, ekonomi, sosial, budaya,
hukum dan urusan-urusan lainnya sesuai dengan keinginan mereka. Doktrin
mereka, manusia lahir untuk bebas. Karena itulah sekularisme tak bisa lepas
dari prinsip kebebasan (liberalisme). Bahkan liberalisme inilah yang menjadi
nyawanya.
Dalam konteks politik, sekularisme-liberalisme melahirkan sistem yang
mendudukkan manusia sebagai pemegang kedaulatan. Berdaulat untuk
membuat hukum dan perundang-undangan. Sistem ini kemudian dikenal
dengan sistem demokrasi yang dipercaya sebagai sistem politik terbaik
dan paling ideal. Bahkan hari ini hampir semua negara mencita-citakan
terwujudnya masyarakat demokratis sebagai tujuan nasionalnya.
Pertanyaannya benarkah sistem ini sistem terbaik dan ideal?
Secara etimologis, demokrasi berasal bahasa Yunani, yaitu demos
yang berarti rakyat atau penduduk dan cratein yang berarti kekuasaan atau
kedaulatan. Dengan demikian, secara bahasa demokrasi adalah keadaan
negara, di mana kedaulatan atau kekuasaan tertingginya berada di tangan
rakyat. Presiden Amerika Serikat ke-16, Abraham Lincoln mengatakan
demokrasi adalah government of the people, by the people and for the
people. Karenanya bisa dikatakan demokrasi sangat mengunggulkan
superioritas suara rakyat, bahkan hingga tahap menuhankan. Dalam
demokrasi dikenal slogan Vox populi vox dei. Suara rakyat adalah suara
Tuhan.
Namun pada praktiknya, ketika jutaan umat di negeri ini menghendaki
diberlakukannya UU antipornografi, suara umat yang terus mendesak para
pemegang kekuasaan, tidak pernah mampu membuahkan UU yang menjadi
aspirasi kaum mayoritas di negeri ini. Sementara lahirnya UU Pornografi
yang sejatinya hanya ‘meregulasi kepornoan’ justru bukanlah yang
dikehendaki oleh mayoritas umat. Demikian juga UUPA dan produk UU lain
yang berbau pesanan asing, tidak pernah merepresentasikan kehendak
mayoritas umat di negeri ini.
Realita di atas menunjukkan, bahwa dalam sistem demokrasi-sekuler
yang mengagungkan prinsip pluralitas, agama Islam yang bukan cuma
mengatur masalah aqidah dan ibadah tapi juga mengatur masalah
mu’amalah, tidak mendapat tempat untuk menjadi dasar berbangsa dan
bernegara. Artinya, agama Islam tidak boleh dan tidak bisa (diharapkan)
menjadi dasar perundang-udangan, karena hal ini bertentangan dengan
prinsip sekularisme yang menjadi asas sistem demokrasi. Yang menjadi
standar baik dan buruk dalam sistem ini adalah prinsip kemanfaatan, bukan
halal-haram. Sehingga apapun yang dipandang masyarakat bermanfaat,
maka hal itu baik (halal) dan apa yang dipandang tidak bermanfaat oleh
mayoritas, maka hal itu buruk (haram). Selama masih ada yang merasakan
dan membutuhkan manfaatnya, maka industri seksual dan kepornoan,
minuman keras, dan perjudian, akan terus dilegalkan. Maka produk undang-
undang hasil sistem demokrasi pun menjadi sangat elastis dan pragmatik
sesuai keadaan.
Begitu pun dengan prinsip liberalisme yang melekat pada sistem
demokrasi. Prinsip ini akan membawa konsekuensi berupa keharusan
adanya jaminan negara atas hak-hak individu, hak-hak minoritas dan
penjagaan atas keragaman di dalam masyarakat. Entitas (kelompok-
kelompok) lesbi, gay, biseks, waria yang minoritas, juga harus dilindungi
karena menyangkut hak asasi. Perzinahan, kepornoan dan pornoaksi juga
tak masalah sepanjang tak masuk definisi pornografi yang ‘terpaksa’ diatur
undang-undang. Di alam demokrasi, semuanya legal sepanjang tak
merugikan orang banyak dan tak membawa ‘dampak nyata’ bagi
masyarakat. Kalaupun ternyata dianggap ada ‘dampak nyata’ maka menurut
demokrasi, tinggal dibuatkan saja undang-undang atau kebijakan, akan
tetapi tetap tak boleh bertentangan dengan prinsip kebebasan. Di antara
contohnya adalah, gerakan kondomisasi dan legalisasi aborsi ketika seks
bebas memunculkan AIDS dan kehamilan ‘tak diinginkan’, dilegalkannya
penjualan narkoba jenis subutex di apotek-apotek ketika penggunaan jarum
suntik meningkatkan penderita HIV/AIDS.
Tetapi anehnya, demokrasi ternyata tidak menjamin dan menjaga
kebebasan individu muslim untuk melaksanakan hak-hak individunya.
Poligami dilarang padahal tidak berkorelasi dengan merugikan orang
banyak. Nikah dini pun dijadikan ilegal meskipun tak membawa dampak
nyata bagi masyarakat. Bahkan faktanya banyak pasangan yang menikah
dini yang berhasil membangun keluarga harmonis dan berkualitas.
Seharusnya, kalaupun ternyata ada kelemahan individu yang berdampak
merugikan pihak tertentu, penguasa tinggal membuat kebijakan untuk
mengatur pelaksanaannya. Namun, lagi-lagi tidak ada jaminan kebebasan
dalam sistem demokrasi bagi Islam.
Sementara bagi anak-anak, penguasa di dalam sistem demokrasi tidak
memberikan jaminan yang jelas terhadap hak-hak anak. Bahkan terbukti
pemerintah telah mengabaikan hak-hak anak ketika upaya-upaya riil untuk
melindungi hak anak diserahkan kepada lembaga-lembaga independen
bahkan LSM-LSM berbasis dana asing. Faktanya upaya yang dilakukan setiap
lembaga independen maupun LSM itu tidak mampu melindungi anak-anak
dari kerusakan moral, selama tidak ada peran nyata dari pemerintah serta
kebijakan yang komprehensif terkait pembinaan generasi. Ketika kebijakan
negara selalu berlandaskan hukum manfaat dan mengejar keuntungan
materi, maka moral dan akhlaq generasi pun selamanya akan tergadaikan.

Fakta-fakta di atas seharusnya cukup untuk menunjukkan, bahwa


sistem demokrasi memang tidak mendatangkan kebaikan. Alih-alih bisa
diharapkan menjaga moral masyarakat, demokrasi bahkan menjadi jalan
liberalisasi dan sekularisasi.
Oleh karena itu, sangatlah aneh jika masih ada orang yang berpikiran
sehat menganggap bahwa sistem demokrasi merupakan sistem terbaik
sehingga layak diperjuangkan dan dipertahankan. Karena secara konsep
demokrasi terbukti cacat sejak asasnya, hingga dipastikan, apa yang
tercabang darinya juga mengandung kecacatan. Sedangkan secara faktual,
masyarakat demokrasi pun terbukti penuh dengan kerusakan.
Dekadensi moral hanyalah satu dari sekian banyak produk sistem
demokrasi. Krisis politik ekonomi, sosial, hukum, dan berbagai krisis yang
menimpa negeri-negeri demokrasi termasuk kampiunnya Amerika
menunjukkan bahwa tak ada yang bisa diharapkan dari sistem ini. Walhasil,
demokrasi hanya menjanjikan ilusi bagi orang-orang yang mau hidup dalam
mimpi. Karenanya, masihkah kita berharap pada sistem yang telah jelas
kerusakannya ini ? Tentu saja tidak ! Sudah saatnya kita membuang jauh-
jauh sistem demokrasi ini dan kembali kepada sistem kehidupan yang
datang dari Allah SWT, yaitu Islam, sistem yang melahirkan ketentraman,
karena Islam sesuai dengan fitrah manusia dan memuaskan akal.

Islam Punya Solusi

Islam mempunyai model masyarakat yang khas dan unik. Jika kita
menengok sejarah, maka kita akan melihat, bahwa ketika sistem Islam
diterapkan secara sempurna dan konsisten, masyarakat Islam dikenal
sebagai masyarakat yang sangat ‘bersih’ dan maju. Ini adalah sebuah
keniscayaan, mengingat Islam saat itu benar-benar tampil dengan jati
dirinya yang asli sebagai sebuah IDEOLOGI (mabda’). Islam tegak di atas
asas yang kuat yakni aqidah yang keabsahannya dapat dibuktikan secara
akal. Dari aqidah itu pula terpancar aturan kehidupan (nidzham al-hayat)
yang mampu menjamin keadilan dan kebahagiaan hakiki karena berasal
dari Dzat Yang Maha Menciptakan dan Maha Adil, yakni Allah SWT.

Sebagai sebuah ideologi, Islam memiliki seperangkat aturan yang


mengatur seluruh bentuk interaksi yang terjadi di antara manusia, baik yang
berkaitan dengan aspek politik, hukum, ekonomi, sosial, hankam, dan
sebagainya. Aturan-aturan inilah yang sekaligus berfungsi sebagai metode
meraih tujuan tertinggi masyarakat berupa terjaganya jenis manusia, akal,
kehormatan, jiwa, pemilikan individu, agama, keamanan serta terjaganya
kewibawaan dan eksistensi negara. Aturan ini pula yang menjadi standar
baku baik-buruk, benci-ridha bagi seluruh masyarakatnya. Hanya saja,
tujuan-tujuan tersebut akan bisa diraih manakala seluruh aturan tadi
diterapkan, mengingat sifat aturan Islam yang sistemik dan holistik.

Dalam masalah pergaulan, sistem Islam telah terbukti mampu


menjamin ketenteraman hidup dan mengatur hubungan antara pria dan
wanita dengan pengaturan yang alamiah. Hal ini karena sistem pergaulan
Islam menjadikan aspek ruhani sebagai asas, dan hukum-hukum syariah
sebagai tolok ukur dengan hukum-hukum yang mampu menciptakan nilai-
nilai akhlak yang luhur. Sistem interaksi Islam memandang manusia, baik
pria maupun wanita, sebagai seorang manusia yang memiliki naluri,
perasaan, kecenderungan, dan akal. Islam membolehkan manusia
bersenang-senang menikmati kehidupan dan tidak melarang manusia untuk
memperoleh bagian kenikmatan hidup secara optimal, tetapi dengan tetap
memelihara komunitas dan masyarakat. Islam pun mendorong kukuhnya
manusia dalam menempuh jalan untuk memperoleh ketentraman hidupnya.
Sistem pergaulan pria-wanita dalam Islam menetapkan bahwa naluri
seksual pada manusia adalah semata-mata untuk melestarikan keturunan
umat manusia. Islam mengatur hubungan lawan jenis antara pria dan wanita
dengan peraturan yang rinci, dengan menjaga naluri ini agar hanya
disalurkan dengan cara yang dibenarkan, tidak diumbar semaunya. Dengan
begitu, akan tercapailah tujuan dari penciptaan naluri tersebut pada manusia
sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT.
Islam mengatur berbagai pergaulan antara pria dan wanita, serta
menjadikan hubungan lawan jenis yang bersifat seksual sebagai bagian dari
sistem interaksi di antara keduanya. Selain menjamin adanya kerjasama
antara pria dan wanita tatkala mereka saling berinteraksi, juga menjamin
terwujudnya nilai-nilai akhlak yang luhur. Di samping itu, Islam menjadikan
tujuan tertinggi yaitu keridhaan Allah SWT sebagai pengendali hubungan itu
sehingga kesucian dan ketakwaanlah yang dijadikan penentu bagi metode
interaksi antara pria dan wanita dalam kehidupan Islam.
Karena itulah, Islam melarang segala sesuatu yang dapat mendorong
terjadinya hubungan yang bersifat seksual yang tidak disyariatkan. Islam
melarang siapa pun, baik wanita maupun pria keluar dari sistem Islam yang
khas dalam mengatur hubungan lawan jenis. Larangan dalam persoalan ini
demikian tegas. Atas dasar itu, Islam menetapkan sifat ‘iffah (menjaga
kehormatan) sebagai suatu kewajiban. Islam pun menetapkan setiap
metode, cara, maupun sarana yang dapat menjaga kemuliaan dan akhlak
terpuji sebagai sesuatu yang juga wajib dilaksanakan.
Dalam sistem pergaulan Islam, ada beberapa prinsip yang harus
dipahami oleh setiap individu masyarakat, di antaranya:

Pertama, Islam telah memerintahkan kepada manusia baik pria maupun


wanita untuk menundukkan pandangan (QS. An-Nur: 30-31). Kedua, Islam
memerintahkan kepada wanita untuk mengenakan pakaian secara sempurna
yakni kerudung (QS. An-Nur: 31) dan jilbab (QS. Al-Ahzab: 59). Ketiga, tidak
diperbolehkan bagi seorang wanita ketika bepergian sendirian selama lebih
dari sehari semalam, jauh dari tempat yang aman tanpa disertai dengan
mahram. Rasulullah SAW bersabda: ”Tidak diperbolehkan bagi seorang
wanita yang melakukan perjalanan selama sehari semalam kecuali jika
disertai dengan mahram”. Keempat, larangan berkhalwat (berduaan antara
laki-laki dan perempuan). Rasulullah SW bersabda: “Janganlah sekali-kali
seorang pria dan wanita berkhalwat, kecuali jika wanita itu disertai mahram-
nya.” (HR Bukhari). Kelima, larangan bagi wanita keluar rumah tanpa seizin
dari suaminya. Keenam, mengharuskan jama’ah pria terpisah dari jama’ah
wanita. Ketujuh, mengharuskan kerja sama antara pria dengan wanita
dalam bentuk hubungan yang bersifat umum/ dalam mua’amalah, bukan
hubungan khusus seperti saling mengunjungi antara pria dan wanita atau
pergi bertamasya bersama antara pria dan wanita.
Dengan seperangkat prinsip tersebut, maka pergaulan pria dan wanita akan
terjaga. Jangankan untuk berbuat mesum, memamerkan aurat pun sudah
melanggar prinsip pergaulan dalam sistem Islam.

Adapun secara praktis, jaminan pelaksanaan aturan tersebut diatur


dengan diterapkannya sanksi (uqubat) yang tegas dan tidak pandang bulu
atas pelaku pelanggaran oleh pihak negara. Di mana dalam pandangan
Islam, sanksi tersebut berfungsi sebagai pencegah dan sekaligus penebus.
Sebagai pencegah, karena beratnya ancaman hukuman akan membuat
orang berpikir seribu kali sebelum melakukan kejahatan. Sebagai penebus,
karena seseorang yang bersalah dan kemudian dihukumi dengan hukum
Islam sesuai dengan jenis kesalahannya, maka hukumannya itu akan
menjadi penebus dosa bagi dirinya di akhirat kelak. Sebagai contoh,
perzinahan maupun faktor-faktor yang bisa mengarah pada terjadinya
praktek perzinahan (termasuk pornografi dan erotisme) di dalam Islam sama
sekali tidak diberi peluang untuk tumbuh subur, yakni dengan ditetapkannya
sanksi yang sangat berat bagi para pelakunya. Dalam kasus perzinahan ini
misalnya, pelaku yang belum pernah menikah akan dihukum dengan
hukuman jilid (dicambuk) dengan 100 kali cambukan, sementara pelaku
yang pernah menikah dihukum rajam hingga mati. Hal ini berdasarkan
Firman Allah SWT :

‫م‬ ُ ْ ‫وَل ت َأ‬


ْ ُ ‫خذْك‬ َ ‫ة‬ ٍ َ‫جل ْد‬َ ‫ة‬ َ َ ‫مائ‬
ِ ‫ما‬َ ‫ه‬ ُ ْ ‫من‬
ِ ‫د‬ ٍ ‫ح‬ ِ ‫وا‬ َ ‫ل‬ ّ ُ ‫دوا ك‬ ُ ِ ‫جل‬
ْ ‫فا‬َ ‫والّزاِني‬ َ ‫ة‬ ُ َ ‫الّزان ِي‬
ِ ‫وم ِ اْل‬ ْ
‫ر‬
ِ ‫خخ‬ ْ ‫وال ْي َخ‬َ ‫ه‬ ِ ّ ‫ن ب ِخخالل‬
َ ‫من ُخخو‬ِ ‫ؤ‬ ْ ُ‫م ت‬ ْ ‫ن ك ُن ْت ُخ‬ ْ ِ‫ه إ‬ِ ّ ‫ن الل‬ ِ ‫في ِدي‬ ِ ‫ة‬ ٌ ‫ف‬َ ‫ما َرأ‬ َ ‫ه‬ ِ ِ‫ب‬
‫ن‬َ ‫مِني‬ ِ ‫ؤ‬ْ ‫م‬ ُ ْ ‫ن ال‬ َ ‫م‬ِ ‫ة‬ ٌ ‫ف‬َ ِ ‫طائ‬ َ ‫ما‬ َ ‫ه‬ َ ‫ع‬
ُ َ ‫ذاب‬ َ ْ‫هد‬ َ ‫ش‬ ْ َ ‫ول ْي‬َ
“Pezina laki-laki dan pezina perempuan,deralah masing-masing dari keduanya
seratus kali, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sebagian orang-orang beriman” (Q.S. An-Nuur :2)

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:


“Seseorang didatangkan kepada Rasulullah SAW ketika beliau berada di
masjid maka dia memanggil beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata,
“Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sesungguhnya saya telah
berzina.” Maka beliau SAW berpaling darinya sehingga orang itu mendatangi
beliau hingga 4 kali. Maka tatkala dia telah mempersaksikan dirinya
sebanyak 4 kali Nabi memanggilnya dan bertanya, “Apakah kamu punya
penyakit gila?” dia menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya lagi, “Apakah kamu
telah menikah?” diam menjawab, “Iya.” Maka Nabi SAW berkata, “Bawalah
dia pergi dan rajamlah.” (Disepakati oleh Bukhari dan Muslim).
Sedangkan dalam kasus pornoaksi dan pornografi, dapat dilihat dalam
Nizham al Uqubat yang ditulis oleh Abdurahman al Maliki dalam Bab
pelanggaran terhadap kehormatan, Sub Bab perbuatan cabul, bahwa setiap
orang yang melakukan tarian atau gerakan erotis (merangsang) yang dapat
membangkitkan syahwat di tempat umum; seperti di jalan, warung, kafe dan
sebagainya, maka akan dikenakan sanksi penjara sampai 6 bulan lamanya,
Jika ia mengulangi lagi perbuatannya, maka sanksinya akan ditambah
menjadi hukuman penjara selama 2 tahun dan dijilid (dicambuk).
Beratnya ancaman hukum Islam seperti itulah yang akan menjadi
pencegah bagi merebaknya praktek perzinahan, pornoaksi ataupun seks
bebas di dalam masyarakat, sekaligus dipastikan akan menjadi penebus
dosa bagi para pelakunya. Sehingga wajar jika terjadi dalam sejarah Islam
pelaku perzinahan (seperti Al-Ghamidiyah dan Ma’iz) justru dengan suka rela
meminta diberlakukan hukuman rajam atas diri mereka sendiri oleh
Rasulullah SAW selaku qodli dan kepala negara pada saat itu. Padahal, jika
saja mereka tidak mengakui, maka mereka tidak akan dihukum, karena
dalam Islam hukuman zina akan diterapkan jika tuduhan yang disampaikan
dipersaksikan kebenarannya oleh empat orang saksi atau didasarkan pada
pengakuan si pelaku itu sendiri.

Keunggulan Islam dalam melindungi generasi

Negara dalam Islam memiliki peran yang sangat penting dalam


mewujudkan generasi yang bermoral. Negara memiliki kewajiban untuk
melindungi warga negaranya termasuk anak-anak dari semua kerusakan
(termasuk moral) dengan menerapkan aturan yang sesuai fitrah manusia.
Aturan tersebut tidak lain adalah Islam yang memiliki seperangkat aturan
pergaulan yang terbukti selama belasan abad anti dari segala krisis,
termasuk krisis moral. Dalam pandangan Islam, negara bertanggung jawab
untuk memelihara aqidah Islam dan terlaksananya hukum-hukum Allah SWT
secara sempurna di tengah-tengah kehidupan. Dalam hal ini dilakukan
dengan mengoptimalkan wewenang yang telah diberikan oleh syara’ kepada
Khalifah sebagai pemegang amanah kepemimpinan rakyat. Aparat negara
tidak perlu bersikap reaktif menunggu masyarakat marah dan kemudian
merusak sarana-sarana maksiat (termasuk arena pornoaksi atau tempat-
tempat penjualan pornografi). Aparatlah yang seharusnya proaktif
melakukan pencegahan.
Negara dalam sistem islam wajib menyelenggarakan sistem
pendidikan dengan kurikulum yang Islami, agar umat tidak mendewakan
kebebasan berekpresi dan berperilaku. Sebagai pelaksana hukum-hukum
Allah dan RasulNya, maka Negaralah yang memberlakukan sanksi bagi
pelaku tindakan pornografi dan pornoaksi secara sempurna. Lebih dari itu,
Negara adalah sebagai pengontrol dari materi atau isi media-media yang
ada, apakah tayangan televisi, materi siaran ataupun isi dari koran-koran
atau majalah-majalah, VCD dsb yang beredar di masyarakat. Sehingga tidak
memberikan dampak yang buruk bagi generasi umat.
Dengan demikian, nampak bahwa dalam konsepsi Islam, Negara
memiliki peran penting dalam menjaga masyarakat melalui penerapan
seluruh aturan Islam tanpa kecuali atas seluruh warga negaranya. Sehingga
negara merupakan pilar penting bagi tegaknya sistem Islam. Hanya saja,
negara bukanlah satu-satunya pilar penentu yang menjamin
(keberlangsungan) tegaknya sistem syari’at Islam, akan tetapi juga harus
ditopang oleh terwujudnya ketaqwaan pada individu-individu
masyarakat plus adanya kontrol yang kuat dari masyarakat tersebut
sebagai pilar penting lainnya.
Aturan Allah SWT, akan bisa diterapkan oleh setiap individunya bila di
dalam setiap individu tersebut ada ketaqwaan dan ke-Iman-an yang kokoh
terhadap Musyarri’ (Sang Pembuat Hukum), yaitu Allah Azza wa Jalla.
Ketaqwaan & ke-Iman-an yang kokoh didapat dengan cara pembinaan yang
intensif (tatsqif Murakkazah), yaitu dalam rangka membentuk kepribadian
Islam (Syakhshiyah Islamiyyah), dan dibekali setiap individunya dengan
Tsaqafah Islamiyyah (ilmu-ilmu ke-Islaman) yang memadai, sehingga tidak
akan dapat terkecoh dengan paham-paham Sekularisme yang berlindung
pada asas manfaat, HAM atau Demokrasi.
Keluarga sebagai basis pertahanan kaum Muslimin harus mampu
melahirkan generasi Muslim yang handal yang mampu menangkal segala
bentuk serangan terhadap mereka. Oleh karenanya, Islam telah menetapkan
bahwa orang tua memiliki peranan besar dalam mendidik dan mengarahkan
anak-anaknya. Sabda Rasulullah SAW, “Setiap anak dilahirkan atas
fitrahnya, maka kedua orangtuanya yang akan memajusikan,
menashranikan atau meyahudikannya”. (H.R.......) Dengan demikian orang
tua memiliki kewajiban untuk mendidik anak-anaknya baik dengan teladan
yang baik, pembiasaan dan pengajaran serta pemberikan sanksi dalam
waktu yang diperkenankan jika anak menyalahi aturan Allah. Pendidikan
terhadap anak, hendaknya dimulai dengan pengokohan akidah, pengajaran
akhlaq yang mulia, pengenalan aturan-aturan bergaul dalam kehidupan
sehari-hari seperti perintah menutup aurat, menjaga pandangan, larangan
berkholwat dan lain-lain.
Di samping pilar Negara dan individu atau keluarga, maka masyarakat
memiliki peran yang strategis dalam mengontrol perilaku anggota masyrakat
lainnya, termasuk mengontrol perilaku serta kebijakan yang dikeluarkan oleh
penguasa. Kontrol masyrakat dalam Islam tidak dipandang sebagai tindakan
oposisi namun merupakan wujud kepedulian terhadap sesama anggota
masyarakat. Bahkan ia menjadi bagian dari kewajiban yang wajib ditunaikan
serta menjadi hak yang layak diterima oleh anggota masyarakat lain
termasuk penguasa manakala terjadi penyimpangan. Lewat kontrol inilah
kondisi masyarakat diperbaiki dan menjadi tempat yang baik bagi tumbuh
kembang anak-anak setelah keluarganya.
Peran ulama, tokoh-tokoh masyarakat dan komponen-komponen
lainnya yang ada di masyarakat, hendaklah bersama-sama, bersinergis,
dalam mengontrol setiap kerusakan yang terjadi di tengah-tengah umat.
Mereka senantiasa mengingatkan, agar para penguasa tidak lalai dalam
menjalankan amanahnya. Mereka pun berkewajiban untuk mencerdaskan
umatnya, melalui pembinaan secara jama’iy (tatsqif jama’iy) dan pembinaan
secara intensif (tatsqif Murakkazah), agar umat juga berani mengingatkan
pemimpinnya. Karenanya Islam sangat memperhatikan kesehatan
masyarakat, dan sehatnya masyarakat hanya akan terwujud dengan
terlaksananya amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat oleh
seluruh komponen masyarakat.
Hanya saja, sekalipun diyakini bahwa sistem Islam adalah sistem yang
sempurna, maka aspek penerapannya akan menjadi tidak sederhana,
apalagi jika kita refleksikan pada konteks masyarakat sekarang, mengingat
lagi-lagi masalahnya tertumpu pada masalah minimnya kesadaran umat ini
akan ajaran Islam. Bahkan upaya perang pemikiran (ghazwu al-fikri) yang
dilancarkan Barat pasca Perang Salib telah menularkan virus Islamophobia di
kalangan umat Islam sendiri, sehingga membuat upaya-upaya penegakkan
syari’at Islam justru selalu kandas di kaki mereka.

Khotimah

Masalah anak, yang salah satunya adalah kerusakan moral bukanlah


masalah yang berdiri sendiri. Bukan juga sebatas masalah keluarga yang
mesti diselesaikan hanya oleh keluarga. Masalah anak merupakan masalah
yang kompleks yang melibatkan seluruh elemen baik keluarga, masyarakat
bahkan Negara. Oleh karena itu, bagi setiap keluarga Muslim, harus
memperkokoh perannya yang nyata-nyata memikul amanah mulia dalam
menghantarkan anak-anaknya menjadi generasi yang handal. Yaitu anak-
anak yang mampu menolak setiap racun yang membahayakannya. Begitu
pula masyarakat, budaya amar ma’ruf nahyi munkar harus terus diperkuat
agar bahaya apapun yang mengancam anggota masyarakat yang lain tidak
menjadi ancaman yang berarti. Tentu saja upaya ini tidak akan sia-sia jika
dilengkapi dengan adanya pergerakan politik menuntut negara untuk
menerapkan sistem yang menjamin keberlangsungan generasi.
Selanjutnya, negara sebagai institusi yang memiliki kekuatan paling
besar, harus menerapkan Islam dalam seluruh aspeknya, termasuk sistem
pergaulan dan sanksi. Hingga generasi Muslim terjaga dari kerusakan moral.
Sudah saatnya Negara melindungi masyarakat dari virus-virus yang merusak
moral dengan mengenyahkan sistem demokrasi liberal yang telah nyata-
nyata rusak dan merusak untuk kemudian diganti dengan sistem yang
terbukti mampu membawa umat manusia pada ketentraman dan kemuliaan
yaitu Sistem Islam dalam wujud Khilafah Islamiyyah.
Wallahu A’lam .

Anda mungkin juga menyukai