Anda di halaman 1dari 3

DILEMA KLASIK UJIAN NASIONAL

Tahun ini pemerintah tetap melaksanakan Ujian Nasional. Meskipun


menggunakan formula baru, yakni dengan memberi pembobotan 40% untuk nilai
sekolah dan 60% untuk nilai UN. Nilai sekolah diperoleh dari gabungan antara nilai
ujian sekolah dan nilai rata-rata rapor: semester 1, 2, 3, 4, dan 5 untuk SMP/MTs dan
SMPLB; serta semester 3, 4, dan 5 SMA/MA dan SMK. Pembobotannya: 60% untuk
nilai ujian sekolah dan 40% untuk nilai rata-rata rapor. Nilai gabungan ini selanjutnya
disebut nilai sekolah/ madrasah (NS/M), ikut diperhitungkan dalam penentuan
kelulusan UN. (ujiannasional.org). Secara perundang-undangan, jelas pelaksanaan UN
tahun ini tidak melanggar UU yang dibuat oleh pemerintah sendiri (PP No. 19 Tahun
2005).
Jika diperhatikan, pelaksanaan UN tetap saja memunculkan persoalan klasik.
Prediksi maraknya beban stress terhadap psikologis siswa yang menghadapi UN, carut-
marutnya distribusi materi UN akibat ketidakjelasan teknis UN (hingga sekarang),
hingga kemungkinan adanya pelanggaran prosedur seperti praktek kecurangan yang
dilakukan oleh peserta didik dan oknum pendidik sebelumnya tetap terjadi meskipun
diadakan tim pengawas independen (TPI) di setiap sekolah. Bagaimana dapat
menyelenggarakan UN secara kredibel dan akuntabel agar memperoleh hasil evaluasi
belajar yang benar-benar murni tanpa adanya kecurangan dan rekayasa.

Akar permasalahan
Ada dua hal yang menjadi pangkal utama kelemahan dari sistem pendidikan
kita. Pertama, paradigma pendidikan yang salah.dalam sistem sekularistik yang
berkembang sekarang, asas atau nilai dasar dari penyelenggaraan pendidikan adalah
juga sekularistik. Sehingga tidak dapat dihindari jika tujuan pendidikannya adalah buah
dari paham sekularistik tadi, sekadar membentuk generasi yang berpaham materialistik
dan individualistik.
Kedua, kelemahan fungsional pada tiga unsur pelaksanaan pendidikan, yaitu
kelemahan pada lembaga pendidikan yang tercermin dari kacaunya kurikulum, serta
tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah sesuai dengan kehendak Islam; faktor
keluarga yang tidak mendukung; faktor masyarakat yang tidak kondusif.
Penyelesaian problem pendidikan hanya dapat diwujudkan dengan melakukan
perbaikan secara menyeluruh dengan mengubah paradigma pendidikan sekuler menjadi
paradigma Islam. Sementara pada tiga unsur pelaksanaan pendidikan dapat diselesaikan
dengan cara memperbaiki strategi fungsionalnya sesuai dengan Islam.

Pendidikan dalam Islam


Pendidikan Islam berasal dari sebuah paradigma. Islam merupakan pemikiran
menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan dunia, sebelum dan sesudah
kehidupan dunia serta kaitannya (antara kehidupan dunia dengan sebelum kehidupan
dunia dan sesudahnya. Asas pendidikan Islam adalah aqidah Islam. Sebagai standar
penilaian, asas ini berpengaruh dalam penyusunan kurikulum pendidikan, sistem belajar
mengajar, kualifikasi guru, budaya yang dikembangkan dan interaksi diantara semua
komponen penyelenggara pendidikan. Tujuan pendidikan Islam adalah untuk
membentuk manusia yang berkarakter, yakni berkepribadian Islam; menguasai tsaqofah
Islam; menguasai ilmu kehidupan (sains, teknologi dan keahlian) memadai. Sebagai
satu kesatuan, kurikulum pendidikan Islam sangatlah khas. Kurikulum ini memiliki ciri-
ciri yang menonjol pada arah, asas, dan tujuan pendidikan, unsur-unsur pelaksana
pendidikan serta pada struktur kurikulumnya.
Perlu diketahui, satu kelompok belajar hanya terdiri atas 1 guru dan 5 siswa
(maksimal). Sehingga wajar saja jika masing-masing guru dapat mengenal dengan baik
siswanya. Pada penilaian hasil kemampuan siswa, secara garis besar terbagi dua, yaitu
penilaian formatif dan sumatif. Penilaian formatif dilakukan untuk mengetahui
sejauhmana proses pendidikan telah berjalan sebagaimana dirancanakan. Sedangkan
penilaian sumatif dilakukan untuk mengetahui sejauhmana peserta didik telah dapat
berpindah dari satu unit ke unit lainnya. Instrumen evaluasi yang digunakan dalam
penilaian hasil belajar dapat berupa tes (pre tes, pos tes serta tertulis, lisan atau
pendapat) maupun non tes seperti observasi atau skala rating dan lain-lain. Penilaian
adalah memberi nilai tentang kualitas hasil, belajar. Penilaian ini memperlihatkan
tingkat penguasaan dan pemahaman konsep, perwujudan sikap dan partisipasi dalam
interaksi sosial secara nyata. Penggunaan instrumen evaluasi tes dan non-tes menjadi
sama pentingnya dalam pendidikan, mengingat aspek pembentukan kepribadian Islam
tidak hanya dilakukan melalui tes tertulis, namun digarap melalui sejumlah pendekatan
yang ada.
Penyelesaian problem tersebut tidak dapat dilakukan oleh satu lembaga, tetapi
Negara. Dan inilah bentuk tanggungjawab pemerintah negeri ini yang sesungguhnya
terhadap umat, yaitu menerapkan aturan Islam secara kaffah di semua bidang (termasuk
pendidikan).

Erlida Amnie
Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia

Biodata Penulis

Nama : Erlida Amnie

Alamat : Perum Griya Gedong Meneng Blok C3 No.3 Bandar Lampung

No. HP : 085269202031

e-mail : early_da@yahoo.co.id

Anda mungkin juga menyukai