Anda di halaman 1dari 5

Peter Kasenda

Soekarno dan Marxisme

Kalau ada orang yang menyebut Soekarno itu seorang Marxis itu benar adanya. Hanya
saja identifikasi itu tidak mutlak, sebab pribadi Soekarno bisa ditafsirkan melebih itu. Untuk
mengetahui siapa sebenarnya Soekarno itu, ada baiknya kalau membaca tulisan “Soekarno oleh
Soekarno sendiri,: Pemandangan, 14 Juni 1941, Soekarno melukiskan dirinya lewat kata-kata:

“Ada orang yang menyatakan Soekarno itu nasionalis, ada orang yang mengatakan Soekarno bukan lagi
nasionalis, tetapi Islam, bukan marxis, tetapi seorang yang berpaham sendiri. Golongan tersebut
belakangan ini berkata mau disebut dia nasionalis, dia tidak setuju dengan apa yang biasanya disebut
nasionalisme, mau disebut Islam, dia mengeluarkan paham-paham yang tidak sesuai pahamnya banyak
orang Islam; mau disebut marxis…dia…sembahyang, mau disebut bukan marxis, dia “gila” kepada
marxisme itu?…..Apakah Soekarno itu? Nasionaliskah? Islamkah ? Marxiskah? Pembaca-pembaca
Soekarno adalah ….campuran dari semua isme-isme itu?”

Lewat pernyataan itu, sebenarnya Soekarno ingin menggunakan, kalau dirinya adalah
lambang persatuan, di mana aliran pokok identitas terpadu di dalam dirinya. Oleh karena itu,
identifikasi tunggal terhadap diri Soekarno, kalau ia adalah seorang marxis, tidak berlaku. Sebab
ia bisa disebut sebagai seorang nasionalis dan sekaligus sebagai orang Islam.

Melalui tulisan ini, saya mencoba menjawab sejauh mana Soekarno yang terpengaruh
Marxisme. Untuk itu ada baiknya kalau melihat proses sosialisasi Soekarno terlebih dahulu.
Awal mulanya Soekarno mengenal Marxisme itu didapat ketika ia berdiam di rumah H.O.S.
Tjokroaminoto, tokoh SI yang terkenal itu. Tempat itu dapat dikatakan merupakan “ apa dan
siapa “ awalnya nasionalisme Indonesia, kalau saya boleh meminjam istilah John D Legge, yang
ahli Soekarno itu, Di sanalah Soekarno mengenal marxisme lewat mulut Alimin dan Semaun,
tetap ia juga belajar tentang Marxisme lewat C Hartogh, seorang guru Hogere Burger School di
Surabaya, tempat Soekarno menuntut ilmu. Pribadi C Hartogh yang anggota Indische Sociaal
Democratische Vereeninging, kemudian menjadi anggota Indische Sociaal Democratische Partij
adalah seorang sosial demokrat. Hubungan Soekarno dengan C Hartogh, bukan hubungan yang
terbatas di dalam sekolah, tetapi ia mampu juga mempengaruhi Soekarno agar pemikirannya
lebih moderat. D.M.G Koch, yang merupakan juru bicara ISDP, adalah orang yang sering
meminjamkan buku-buku tentang marxisme kepada Soekarno, walaupun hubungan mereka
berdua hanya terbatas pada itu saja.

Tulisan Soekarno yang bernada marxisme, mungkin dapat ditelusuri lewat tulisannya
yang berjudul “Nasionalisme, Islam dan Marxisme,” sebuah tulisan yang diterbitkan oleh
Indonesia Moeda, milik Kelompok Studi Umum Bandung, yang dipimpin Soekarno, dimuat tiga
kali berturut-turut, November-Desember 1926 dan Januari 1927. Disanalah terlihat secara jelas
pengetahuan Soekarno tentang marxisme yang begitu luas, bagi anak muda seusianya. Tetapi
bukan berarti ia dogmatis melihat marxisme, seperti apa yang dikatakan dalam tulisannya.

“Adapun teori marxisme sudah berubah pula. Memang seharusnya begitu Marx dan
Engels bukanlah nabi-nabi yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai segala zaman.
Teori-teorinya haruslah dilakukan pada perubahan dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut.”

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Peter Kasenda

Begitu pula dengan pleidoi Soekarno yang diucapkan di depan Landraad Bandung,
memperlihatkan besar pengaruh marxisme dalam diri Soekarno, ketika ia menguraikan tentang
betapa kejamnya kapitalisme dan imperialisme itu yang terjadi di Nusantara itu.” Kapitalisme
adalah sistem pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi memisahkan kaum buruh dari alat-
alat produksi,’ kata Soekarno, kalau diperhatikan ungkapan itu jelas sekali mengingat kata-kata
yang diungkapkan kaum marxis. Bahkan ketika ia mengajukan argumentasi bahwa imperialisme
adalah konsekuensi dari ekspor modal guna mencegah merosotnya nilai modal di dalam negeri.
Sebenarnya ia sudah bergerak jauh, ia terpengaruh oleh analisis Lenin dalam bukunya
Imperialisme. Tingkat Tertinggi Kapitalisme.

Ada periode tertentu, dalam sejarah pemikiran Soekarno yang oleh Bernhard Dahm,
dianggap sebagai satu tahap marhaenis (marxis), tahun 1932-1933. Pada masa itu terlihat secara
jelas pengaruh marxis, ia membicarakan tentang Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi,
yang mana disebutkan kalau pembangunan politik hendaknya sejalan dengan pembangunan
ekonomi, di mana seorang yang mengecap kebebasan politik, seharusnya dapat pula mengecap
kesejahteran sosial. Untuk itulah ia tak menyetujui terjadinya demokrasi parlementer,”…
Kapitalisme subur dan merajalela, di semua negeri itu rakyat tidak selamat, bahkan sengsara
sesengsara-sesengsarnya…” Kata-kata yang diucapkan Soekarno itu, sering terdengar sebagai
ucapan seorang marxis, yang mana senatiasa menekankan perlunya keselarasan kedua demokrasi
itu.

Walaupun Soekarno seorang marxis, ia tidak sepenuhnya menjalankan doktrin marxis,


seperti yang terlihat dalam tulisannya.” Kapitalisme Bangsa Sendiri? “ Soekarno menyebutkan
bahwa kapitalisme bangsa Indonesia harus ditentang sebab menyengsarakan kaum Marhaen.
Pertanyaan yang muncul adalah, apa perlu menggunakan perjuangan kelas? Untuk itu, Soekarno
mempunyai jawaban.” Dan apakah prinsip kita itu berarti bahwa kita ini harus mementingkan
perjuangan kelas? Juga sama sekali tidak. Kita nasionalis mementingkan perjuangan nasional
perjuangan kebangsaan …” Pernyataan ini, jelas menunjukkan bahwa ia tak pernah
menginginkan adanya perjuangan kelas. Yang diinginkan adalah, terjadi revolusi nasional atau
tahap revolusi sosial perlu diadakan kemudian. Di sini Moh Hatta lebih radikal, menginginkan
revolusi nasional dan revolusi sosial berjalan seiring.

Tulisan Soekarno dalam Fikiran Ra”jat dengan judul “Marhaen dan Proletar “ disertai
komentar oleh Soekarno, dalam bulan Juli 1933. Tulisan ini merupakan kesembilan tesis yang
penting dari Partai Indonesia (Partindo) Dalam butir kedua, dikatakan.” Marhaen, yaitu kaum
proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-
lain.” Di sini kelihatan sikap kritis Soekarno terhadap marxisme. Soekarno lebih menyukai kata
atau istilah Marhaen daripada Proletar, sebab istilah Marhaen lebih mengenai untuk masyarakat
agraris seperti Indonesia. Walaupun gagasannya itu dianggap melebihi marxisme, tetapi ia masih
tetap percaya terhadap ramalan-ramalan marxisme. Seperti terlihat, ketika ia memberi komentar
pada butir kelima, kaum proletar harus memainkan peranan yang teramat penting dalam
perjuangan kaum Marhaen. Seperti halnya, Karl Marx senantiasa mendengung-dengungkan
tentang pentingnya peranan kaum proletar dalam revolusi sosial.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Peter Kasenda

Alasan yang dikemukakan oleh Soekarno adalah, sebab merekalah yang langsung
menderita. Soekarno juga melihat mereka mempunyai pandangan yang lebih modern dan cocok
untuk berjuang melawan kejayaan kaum kapitalis. Untuk membenarkan pendapatnya Soekarno
mengutip pendapat Karl Marx yang mengatakan proletariat merupakan sociale noodwendigheid
(Keniscayaan Sosial) dan setelah itu akan menjadi historische noodwendigheid (Keniscayaan
Sejarah ), di mana kaum kapitalis hancur.

Bagi Soekarno, Marxisme tidak hanya membuktikan kebobrokan kapitalisme dan


imperialisme, tetapi juga harapan bahwa mereka akan dapat dikalahkan. Karena itulah ia percaya
pada ramalan-ramalannya; ia percaya pada antitesis yang tidak bisa didamaikan antara modal dan
tenaga kerja. Yang nantinya menyebabkan hancurnya imperialisme.

Risalah Soekarno Mencapai Indonesia Merdeka yang ditulis pada tahun 1932. Ia
mencoba merumuskan secara tegas tentang perlunya sebuah partai yang mempunyai disiplin
ketat serta terdapat pucuk pimpinan yang diberi kekuasaan hampir diktaktoral untuk mendisiplin
para anggota partai. Bahkan sebegitu kuasanya pucuk pimpinan itu, yang dapat menentukan apa
yang marhaenis apa yang bukan. Kalau melihat secara sepintas, tampaknya partai ini merupakan
replika dari partai pelopor yang diperkenalkan oleh Lenin. Tetapi sebenarnya tidaklah tepat,
sebab tujuan partai pelopor yang diperkenalkan Soekarno dengan Lenin mempunyai tujuan yang
berbeda. Kalau Soekarno menyeruhkan demokrasi sentralisme agar supaya Partai Marhaenisnya
yang bisa dimasuki oleh setiap orang Indonesia yang menganggap dirinya Marhaenis - mampu
berfungsi. Sementara Lenin telah menggunakan sentralisme untuk membersihkan partainya dan
membebaskan dari semua unsur yang merintanginya. Usaha partai pelopor ini nantinya
diperkenalkan lagi sesudah Indonesia Merdeka dan mendapat tantangan berbagai pihak, karena
dianggap mencerminkan tidak demokratis.

Walapun Soekarno sangat terpesona dengan ajaran-ajaran Karl Marx dan Lenin. Tetapi
Soekarno cukup kritis melihat ajaran-ajaran Karl Marx, yang dianggap Karl Marx tidak
sepenuhnya tepat untuk diterapkan di Indonesia. Tetapi berbeda dengan Mao Zedong dan Ho Chi
Minh yang menyesuaikan ajaran Karl Marx dengan kondisi pertanian negaranya. Soekarno sama
sekali tidak sampai tingkat operasional dari ajaran Karl Marx. Yang diinginkan adalah jiwa
ajaran tersebut, tentang hubungan yang eksploitatif antara pemilik modal dan pekerja. Tipe
manusia Indonesia dilihatnya dalam diri Pak Marhaen, seorang petani yang ditemuinya di
Bandung Selatan.

Tetapi Soekarno tidak mau melangkah lebih daripada mengindentifikasi adanya Marhaen
tadi. Sebab, kalau dia melangkah maka akan harus terjadi penggolongan dalam masyarakat, yang
tentu tidak sesuai dengan upaya persatuan yang didambakannya, dengan menghindari kerangka
operasional dari teori Karl Marx, maka tepatlah jika dikatakan bahwa dia tidaklah secara utuh
menerapkan apa itu yang disebut marxisme. Ini tentu saja berbeda dengan cara Tan Malaka
maupun Sutan Sjahrir memperlakukan ajaran Karl Marx.

Dalam kaitan ini, dapat dikatakan terdapat ketergantungan pemikiran politik Soekarno
pada pemikir kaum sosialis Barat, kata Roger K Paget dalam bukunya, Indonesia Accuses :
Soekarno”s Defence Oration in the Political Trial of 1930 ( Kuala Lumpur : Oxford University
Press, 1975 ). Hanya saja menarik, kalau Soekarno jelas tampaknya tidak menggantungkan

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Peter Kasenda

konsep-konsep pemikirannya secara kuat pada salah seorang pemikir sosialis tertentu, seperti
Bauer, Brailsford, Engels, Jaures, Kaustky, Marx dan Troelstra, melainkan sesuai dengan
kebutuhannya buat mengemukakan atau mempertajam konsep-konsepnya sendiri. Seperti halnya,
ketika Soekarno menyatakan perlunya persatuan antara kaum marxis dengan kaum muslim.
Soekarno mengadakan pembedaan antara filsafat materialisme dan histors materialisme dalam
teori Marx, dan menunjukkan bahwa historis materialisme lebih tergantung pada filsafat
materialisme. Karena itu, tidak perlu bagi Marxisme, sebagai teori sosial untuk antiagama.
Selanjutnya Soekarno menegaskan, dalam kondisi di Indonesia, marxisme dan Islam berada
dibawah, dalam posisi berjuang melawan kapitalisme dan imperialisme.

Pidato Soekarno yang amat bersejarah itu, 1 Juni 1945, yang kemudian dikenal sebagai
hari lahirnya Pancasila. Jelas sekali terdapat nada-nada Marxisme. Pada uraian Soekarno tentang
proses meringkas dari lima sila menjadi tiga sila, yaitu Sosio-nasionalisme dan Sosio-demokrasi
dan Ketuhanan. Sebenarnya kata sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi adalah kata tidak lain
tidak bukan Marhaenisme. Marhaenisme jelas terpengaruh oleh Marxisme. Sehingga tidak usah
heran kalau kalau George McTurnan Kahin, melalui bukunya Nationalism and Revolution in
Indonesia – menilai Pancasila sebagai “ synthesis of western democratic, modernist Islamict,
Marxist, and Indegenous-village democratic and communalistic ideas.”

Dalam kursus tentang Pancasila, Soekarno menegaskan kalau ingin memahami


marhaenisme, terlebih dahulu harus memahami Marxisme dan keadaan di Indonesia. Sebab
marhaenisme, kata Soekarno, adalah marxisme yang diselenggarakan di Indonesia, yang
disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. “ het in Indonesia toegepaste marxisme.” Dan
Soekarno menolak kalau marxisme itu komunis, tetapi menolak juga kalau marxisme itu
sosialisme kanan. Marxisme itu, kata Soekarno, adalah satu ”denkmethode”, satu cara pemikiran.
Cara pemikiran untuk mengerti perkembangan bagaimana perjuangan harus dijalankan, agar
supaya bisa tercapai masyarakat yang adil.

Mungkin yang menarik, adalah kejadian pada Kongres Kesembilan di Solo tahun 1960.
Soekarno yang diakui sebagai Bapak Marhaenisme, menghendaki agar Marhaenisme yang
dijadikan ideologi PNI, disesuaikan dengan apa yang dimaksud – Marxisme yang diterapkan
sesuai dengan kondisi dan situasi di Indonesia. Keinginan Soekarno itu baru bisa tercapai pada
tahun 1964, dengan adanya doktrin Marhaenisme, atau Deklarasi Marhaenis. Sebenarnya
memperlihatkan bahwa di kalangan PNI sendiri sering terjadi penafsiran tidak tunggal terhadap
ajaran-ajaran Soekarno itu.

Ketika Soekarno mulai bergeser semakin ke kiri. Tentu saja, timbul pertanyaan, apakah
ada persamaan antara Soekarnoisme dengan Komunisme. Walaupun terdapat persamaan antara
kedua ideologi atau kepentingan dari Soekarno dan PKI – misalnya, antiimperialisme yang
radikal dan anti asing, yang dituangkan dalam kampanye-kampanye pembebasan Irian Barat dan
Konfrontasi dengan Malaysia sebagai suatu perang suci – tetapi sebenarnya ada konflik
terselubung antara keduanya dalam tujuan yang ingin dicapai masing-masing pihak kalau
Soekarno merupakan sumber kekuasaan dan perwujudan nilai-nilai priyayi, menginginkan agar
masyarakat Indonesia tergabung dalam suatu kesatuan yang secara total bersifat kolektif, tetapi
kaum komunis sebagai pihak yang haus kekuasaan dan juru bicara kelas rendah, mencoba

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Peter Kasenda

memobilisir massa untuk menumbangkan kekuatan sosial yang ingin dicapai Soekarno. Tetapi
dalam kenyataan keduanya gagal mencapai ambisinya.

Satu-satunya tema utama dalam pidato-pidato pada tahun 1960-an itu ialah tentang
revolusi. Meskipun dahulu ia menulis dan berbicara tentang revolusi. Pembagian tentang tahap
revolusi nasional dan revolusi sosialis telah diuraikan lebih lanjut dalam Sarinah. Pembagian ini
mempunyai kesamaannya dengan teori Karl Marx tentang tahap-tahap revolusi. Kesamaannya
ialah analisis Soekarno juga menunjukkan tanda-tanda pemikiran Karl Marx, yakni kesadaran
kelas yang menjadi sebagian dari persiapan setiap tingkat revolusi, sekurang-kurangnya ada
tahap-tahap yang berurutan, dalam pengertian bahwa revolusi sosial harus menunggu sampai
selesainya revolusi nasional. Apa iti revolusi ? Soekarno menjelaskan kalau revolusi itu adalah
suatu perjuangan yang terus menerus. Walaupun begitu, Soekarno secara sadar atau tidaknya –
pernyataan-pernyataan tentang revolusi itu – sebenarnya hanya bertujuan mempertahankan suatu
status quo sosial belaka.

Pada tanggal 30 September 1960, Soekarno di depan Sidang Umum ke-15, lewat
pidatonya – yang berjudul To Build the World Anew – dan dilanjutkan dengan pidatonya pada
Konperensi Negara Nonblok II (Era Konfrontasi) di Kairo, 6 Oktober 1964. Soekarno
menegaskan kolonialisme dan imperialisme muncul dengan menggunakan “baju baru” dan ia
justru lebih berbahaya, yang dimanifestasikan dengan dominasi kekuatan Orde Lama. Untuk itu,
Soekarno mempertentangkan antara New Emerging Forces melawan The Old Established
Forces. Secara sadar atau tidak Soekarno sebenarnya telah mengembangkan pendekatan marxis
dengan menggunakan proses dialektika. Seperti halnya, ketika ia mempertentangkan antara
Nasionalisme sebagai lawan dialektika Kolonialisme Belanda.

Lewat tulisan ini terlihat sekali pengaruh dari pemikiran marxis, tetapi jangan sekali-kali
kalau Soekarno itu disebut sebagai seorang marxis saja. Toh, sebab manusia yang dianggap
kontroversial itu sarat dengan pemikiran Islam maupun Nasionalisme. Mungkin ia adalah
campuran isme-isme. Setuju?

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com

Anda mungkin juga menyukai