Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan sempurna, yaitu


dilengkapi dengan seperangkat akal dan pikiran. Dengan akal dan pikiran inilah,
manusia mendapatkan ilmu. Akal dan pikiran memroses setiap pengetahuan yang
diserap oleh indera-indera yang dimiliki manusia.

Menuntut ilmu sebagai jalan yang lurus (ash shirathal mustaqim), untuk
memahami antara yang haq dan bathil, yang bermanfaat dengan yang mudaharat
(membahayakan), yang dapat mendatangkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Seorang muslim tidaklah cukup hanya menyatakan ke-Islamannya, tanpa memahami
Islam dan mengamalkannya. Pernyataannya itu harus dibuktikan dengan
melaksanakan konsekuensi dari Islam. Untuk itu, menuntut ilmu merupakan jalan
menuju kebahagiaan yang abadi. Seorang muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu
syar’i. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim. (HR Ibnu Majah No. 224 dari
shahabat Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, lihat Shahih Jamiush Shagir, No. 3913)

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas dapat kita ambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa definisi dan bagaimana keutamaan ilmu?
2. Apa pengertian filsafat?
3. Apa pengertian agama?

1
C. Landasan Teori

Istilah filsafat dan agama mengandung pengertian yang dipahami secara


berlawanan oleh banyak orang. Filsafat dalam cara kerjanya bertolak dari akal,
sedangkan agama bertolak dari wahyu. Oleh sebab itu, banyak kaitan dengan berfikir
sementara agama banyak terkait dengan pengalaman. Filsafat mebahas sesuatu dalam
rangka melihat kebenaran yang diukur, apakah sesuatu itu logis atau bukan. Agama
tidak selalu mengukur kebenaran dari segi logisnya karena agama kadang-kadang
tidak terlalu memperhatikan aspek logisnya.
Perbedaan tersebut menimbulkan konflik berkepan-jangan antara orang yang
cenderung berfikir filosofis dengan orang yang berfikir agamis, pada hal filsafat dan
agama mempunyai fungsi yang sama kuat untuk kemajuan, keduanya tidak bisa
dipisahkan dari kehidupan manusia. Untuk menelusuri seluk-beluk filsafat dan agama
secara mendalam perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan agama
dan filsafat itu.
Dari pengertian kebahasaan itu dapat dipahami bah-wa filsafat berarti cinta
kepada kebijaksanaan. Tetapi pengertian itu belum memberikan pemahaman yang cu-
kup, karena maksudnya belum dipahami dengan baik. Pemahaman yang mendasar
tentang filsafat diperoleh melalui pengertian. Karena berbagai pandangan dalam
melihat sesuatu menyebabkan pandangan pemikir tentang filsafat juga berbeda. Oleh
sebab itu, banyak orang mem-berikan pengertian yang berbeda pula tentang filsafat.

2
BAB II
Pembahasan
A. AGAMA

Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip
kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya
dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan
kepercayaan tersebut.

Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi".
Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari
bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat
kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. 7

Menurut Carl Jung (1955) Tuhan adalah sesuatu kekuatan yang berpengaruh
besar yang alami dan pengaruhnya tidak dapat di bendung: Very personal nature and
an irresistible influence, I call it God. Thomas Van Aquino mengemukakan bahwa
yang menjadi sumber kejiwaan agama itu ialah berfikir, manusia berTuhan karena
manusia menggunakan kemampuan berfikirnya. Kehidupan beragama merupakan
refleksi dari kehidupan berfikir manusia itu sendiri. Pandangan semacam ini masih
tetap mendapatkan tempatnya hingga sekarang ini dimana para ahli mendewakan ratio
sebagai satu-satunya motif yang menjadi sumber agama.

Fredrick Schleimacher berpendapat bahwa yang menjadi sumber keagamaan


itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense of depend). Dengan adanya rasa
ketergantungan yang mutlak ini manusia merasakan dirinya lemah, kelemahan ini
menyebabkan manusia selalu tergantung hidupnya dengan suatu kekuasaan yang
berada diluar dirinya, berdasarkan rasa ketergantungan ini timbullah konsep tentang
Tuhan.

3
Jika ditinjau dari segi asalnya, maka semua agama di Bumi ini di bagi 2, yaitu :

1. Agama Samawi (Tauhid)

Yaitu agama yang turun dari Allah SWT yang menjadikan alam semesta dan
diwahyukan kepada Rasul-Rasul-Nya untuk disampaikan kepada umat mereka
masing-masing. Yang termasuk dalam agama samawi antara lain adalah Agama
Yahudi, Agama Nasrani, dan Agama Islam.

2. Agama Thabi’y (A’rdhi)

Yaitu agama yang timbul dari angan-angan khayal manusia belaka, bukan
berasal dari wahyu Ilahi. Di antara agama ardhi adalah Agama Majusi, Agama
Shabi’ah.
Enam agama besar yang paling banyak dianut di Indonesia, yaitu: agama Islam,
Kristen (Protestan) dan Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sebelumnya,
pemerintah Indonesia pernah melarang pemeluk Konghucu melaksanakan agamanya
secara terbuka. Namun, melalui Keppress No. 6/2000.

Presiden Abdurrahman Wahid mencabut larangan tersebut. Tetapi sampai kini


masih banyak penganut ajaran agama Konghucu yang mengalami diskriminasi dari
pejabat-pejabat pemerintah. Ada juga penganut agama Yahudi, Saintologi,
Raelianisme dan lain-lainnya, meskipun jumlahnya termasuk sedikit.

Menurut Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-


undang No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama dalam
penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan bahwa Agama-agama yang dianut oleh
sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha,
dan Konghucu. Meskipun demikian bukan berarti agama-agama dan kepercayaan lain
tidak boleh tumbuh dan berkembang di Indonesia. Bahkan pemerintah berkewajiban
mendorong dan membantu perkembangan agama-agama tersebut.

4
Sebenarnya tidak ada istilah agama yang diakui dan tidak diakui atau agama
resmi dan tidak resmi di Indonesia, kesalahan persepsi ini terjadi karena adanya SK
(Surat Keputusan) Menteri dalam negeri pada tahun 1974 tentang pengisian kolom
agama pada KTP yang hanya menyatakan kelima agama tersebut. Tetapi SK (Surat
Keputusan) tersebut telah dianulir pada masa Presiden Abdurrahman Wahid karena
dianggap bertentangan dengan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tentang
Kebebasan beragama dan Hak Asasi Manusia.

Selain itu, pada masa pemerintahan Orde Baru juga dikenal Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang ditujukan kepada sebagian orang yang percaya
akan keberadaan Tuhan, tetapi bukan pemeluk salah satu dari agama mayoritas.

B. Metodologi Filsafat dan Teologi (Kalam)

Metodologi filsafat dan teologi dapat ditinjau dari aspek fungsional dan
struktural. Secara fungsional, filsafat tidak bertujuan mempertegas keberadaan
Tuhan, tetapi memandang Tuhan sebagai konsekuensi logis dari keberadaan alam
semesta. Sedangkan teologi berfungsi untuk mempertegas keberadaan Tuhan dan
ajaran-ajaran-Nya.
Secara struktural metode filsafat berbeda dengan teologi struktur
metodologi filsafat dibangun atas dasar keraguan dan penyelidikan, kemudian
diabstraksikan untuk mendapatkan kebenaran yang final. Sedangkan teologi
memposisikan Tuhan sebagai Dzat yang mutlak benar, kemudian dicairkan
argumen-argumen rasional untuk mendukung kebenaran tersebut.

Perbedaan yang terperinci antara filsafat dengan teologi adalah sebagai


berikut:
1. Metodologi filsafat meletakkan Tuhan sebagai titik akhir atau
kesimpulan seluruh pengkajiannya, sedangkan teologi memandang Tuhan
sebagai titik awal pembahasannya.
2. Metodologi filsafat memahami Tuhan sebagai penyebab pertama
dalam semesta, penyebab pertama semua kesempurnaan yang ditemukan di
dunia. Sedangkan teologi mencoba menjelaskan Tuhan dengan seluruh
misteri-Nya berdasarkan wahyu.

5
3. Metodologi mendasari premisnya atas induksi/akal, sedangkan teologi
langsung dari wahyu.
Di samping perbedaan-perbedaan di atas, metodologi filsafat dan teologi
juga memiliki persamaan antara lain adalah:
1. Metodologi filsafat dan teologi sama-sama tidak pernah tuntas
membahas eksistensi Tuhan.
2. Obyek pembahasan metodologi filsafat dan teologi sama, yaitu tentang
eksistensi Tuhan sebagai Dzat yang sempurna dan abadi.
3. Metodologi filsafat dan teologi sama-sama memberikan argumen yang
rasional mengenai Tuhan.

C. SEJARAH FILSAFAT DALAM ISLAM

Teori yang ditumbuhkembangkan oleh Harun Nasution, sejarah intelektual Islam


dikelompokkan dalam tiga periode:
1. Periode Klasik; tahun 650-1250 M.
2. Periode Pertengahan; tahun 1250-1800 M.
3. Periode Modern; tahun 1800-sekarang.
Zaman periode klasik, terdapat beberapa mazhab, seperti Imam Hanafi, Imam
Hambali, Imam Syafi’i, dan Imam Maliki. Selaras dengan hal itu timbul beberapa filosof
muslim, seperti Al Kindi yang lahir pada tahun 801 M yang dikenal sebagai seorang
filosof Islam, berasal dari Arab (Kufah). Salah satu pemikiran Al Kindi, menyatakan
bahwa filsafat merupakan bagian dari kebudayaan Islam, maka filsafat Islam dikatakan
filsafat religius spiritual, karena:
1. Filsafat Islam meneliti problematika yang satu dan yang banyak.
2. Filsafat Islam membahas tentang hubungan antara Allah dengan makhluk.
3. Filsafat Islam berupaya memadukan antara wahyu dengan akal, akidah dengan hikmah,
agama dengan filsafat.
4. Filsafat Islam berupaya menerangkan bahwa:
a) Wahyu tidak bertentangan dengan akal.
b) Akidah apabila diterangi dengan sinar filsafat akan menetap dalam jiwa dan tangguh
dihadapan lawan.
c) Agama apabila bersaudara dengan filsafat akan menjadi filosofis, seperti halnya filsafat
akan menjadi religius (Madkour, 1988: 7-8).

6
Pada abad yang sama, lahir juga seorang filosof Islam yang memiliki nama besar,
yaitu Muhammad Zakaria Al-Razi, lahir pada tahun 865 M/251 H di Rayy (Teheran), ia
dikenal sebagai seorang dokter yang memimpin sebuah rumah sakit di Rayy. Al-Razi
kemudian pindah dari Rayy ke Baghdad yaitu pada masa Khalifah Muktafi (289 H/ 901
M – 295 H / 908 M), dan di Baghdad Al-Razi juga menjadi pemimpin sebuah rumah
sakit. Al-Razi adalah seorang yang baik hati, dekat kepada para pasiennya, suka berderma
kepada orang-orang fakir miskin, dan ia memberikan perawatan sepenuhnya dengan
gratis dan mengikhlaskan hasil kerja kerasnya kepada mereka (Syarif, 1985: 32-22).

Al Razi dapat digolongkan sebagai seorang filosof yang berfaham rasionalis,


karena hanya meyakini kebenaran akal saja, di bidang kedokteran, studi klinis yang
dilaksanakannya sudah menghasilkan metode yang demikian kuat mengenai penelitian
yang berdasarkan pada observasi dan eksperimen (Syarif, 1985: 37-38).
Pada tahun 870 M, lahir seorang filosof besar Islam yaitu Al Farabi yang
mendapat gelar Al Mu’alim as-tsani (Guru Kedua setelah Aristoteles). Al Farabi
berpendapat bahwa kebenaran filsafat hanyalah satu, sebab filsafat menurut Plato dan
Aristoteles tidak dapat dibedakan. Perbedaan yang dapat dilihat yaitu pada hal-hal yang
sifatnya lahiriah saja, sedang hakikatnya sama. Al Farabi menulis buku berjudul: Al-
jam’u Baina Ra’yai Al-Hakimain” (Mempertemukan Pendapat Kedua Filosof Plato dan
Aristoteles) (Basyir, 1989: 33).
Abad selanjutnya, diteruskan oleh seorang filosof Islam yaitu Ibnu Miskawaih
yang mendapat gelar Bapak Etika Islam, lahir pada tahun 932M. Ibnu Miskawaih di
samping dikenal sebagai seorang filosof, tabib, ahli ilmu pengetahuan dan pujanggawan,
bersama dengan hal itu Ibnu Miskawaih merasa demikian prihatin melihat situasi
masyarakat banyak terjadi kerusakan moral, sehingga dengan segenap perasaannya, ia
menyempatkan diri menulis beberapa buku yang berkaitan dengan masalah moral (Etika
Islam), di antara buku-buku tersebut, antara lain: Fauz Al Akbar, Tartib Al Sa’adah, Al
Siyar, Tahdzib Al Akhlaq,dan Jawidan Khirad. Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa setiap
yang ada itu dapat berubah menjadi baik, jika ia memiliki keinginan untuk merubahnya
dan hal tersebut didasari dengan harkat dan martabat kemanusiaannya (Widyastini, 2004:
52-53).

7
Pada tahun 1037 M, lahir seorang filosof Islam yaitu Ibnu Sina, Ibnu Bajjah tahun
1138, Ibnu Thufail tahun 1147 M, Ibnu Rusyd tahun 1126 M. Pada periode pertengahan
tahun 1250-1800 M, menurut sejarah pemikiran Islam dinilai mengalami kemunduran,
sebab filsafat mulai ditinggalkan oleh umat Islam, sehingga terdapat usaha untuk
mempertentangkan antara akal dengan wahyu, iman dengan ilmu, dunia dengan akhirat.
Pengaruh tersebut masih dapat dirasakan sampai saat ini dan hal ini dibuktikan dengan
tidak ada daerah-daerah yang menjadi kekuasaan Islam yang secara utuh melingkupi
beberapa kerajaan Islam, di antaranya Kerajaan Usmani, Safawi dan Mogul dan pada
periode pertengahan ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi demikian
terbatas. Pada periode modern, umat Islam bangkit kembali, maka periode ini dikatakan
sebagai Masa Kebangkitan Islam, dan hal ini ditandai dengan adanya kesadaran umat
Islam terhadap kelemahan-kelemahannya, sehingga ada kehendak membangkitkan
kembali ilmu pengetahuan dan teknologi; maka kemudian lahirlah para tokoh pembaharu
dan para filosof Islam dari berbagai negara Islam di dunia ini (Tim Penulis Ensiklopedi
Islam, 1997: 258). Pembaharuan dalam Islam pada prinsipnya merupakan usaha untuk
memberi penafsiran kembali terhadap ajaran-ajaran Islam yang sudah tidak sesuai lagi
dengan situasi dan kondisi perkembangan zaman, sebagai akibat timbulnya ilmu
pengetahuan dan teknologi yang bertujuan untuk mengajak umat Islam melepaskan diri
dari ikatan kejahiliyahan menuju kepada perkembangan dan kemajuan.

8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa telah terjadi hujatan dan
penentangan yang begitu keras dan sekaligus membabi buta dari beberapa kalangan
mengenai kehadiran filsafat ke dalam kajian/wilayah agama. Mereka mengatakan
filsafat sangat bertentangan dengan ajaran agama, khususnya agama Islam.

Mengutip apa yang dikatakan oleh Al-Kindi, bahwa filsafat dan agama
sesungguhnya adalah sama-sama berbicara dan mencari kebenaran, dan karena
pengetahuan tentang kebenaran itu meliputi juga pengetahuan tentang Tuhan, tentang
keesaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, maka barang siapa saja yang
menolak untuk mencari kebenaran dengan alasan bahwa pencarian seperti itu adalah
kafir, maka sesungguhnya yang mengatakan kafir tersebutlah yang sebenarnya kafir.

Di antara filsuf muslim yang paling peduli untuk menjawab perihal hubungan
filsafat dengan agama ini adalah Ibn Rusyd. Ibn Rusyd bahkan menulis sebuah karya
khusus untuk menjelaskan bagaimana sesungguhnya dan seharusnya hubungan antara
filsafat dan agama. Menurut Ibn Rusyd, antara filsafat dan agama sesungguhnya tidak
ada pertentangan. Agama alih-alih melarang, bahkan justru mewajibkan pemeluknya
untuk belajar filsafat.

9
B. Saran

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji ilmu dan orang yang berilmu, serta
menganjurkan hamba-hamba-Nya untuk membekali diri mereka dengan ilmu. Bahkan
setiap muslim telah diwajibkan oleh Allah untuk mempelajari ilmu, Rasulullah
shallllahu ‘alaihi wasallam bersabda, artinya, ” Menuntut ilmu adalah wajib bagi
setiap muslim”. (Shahihul Jami’ 3913)

Menuntut ilmu adalah amalan sholeh yang paling afdhal dan termasuk amalan
jihad fisabilillah karena tegaknya agama Allah adalah dengan dua perkara:
1. Ilmu
2. Senjata dan peperangan

Dua perkara ini haruslah ada, tidak mungkin Agama Allah akan menang
kecuali dengan dua perkara ini.
Filsafat menolong mendidik, membangun diri kita sendiri dengan berfikir
lebih mendalam, kita mengalami dan menyadari kerohanian kita. Rahasia hidup yang
kita selidiki justru memaksa kita berfikir, untuk hidup yang sesadar-sadarnya, dan
memberikan isi kepada hidup kita sendiri.

10
DAFTAR PUSTAKA

Artikel: Filsafat. http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat. diakses tanggal 26 Desember


2009
Artikel: Agama. http://id.wikipedia.org/wiki/Agama. diakses tanggal 26 Desember
2009
Artikel. Keutamaan Menuntut Ilmu. http://kajiansunnah.wordpress.com/ diakses
tanggal 26 Desember 2009
Artikel. Agama dan Filsafat. http://parapemikir.com/agama-dan-filsafat.html diakses
tanggal 26 Desember 2009
Koncara, Eka L. 2008. Karya Tulis: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Purwakarta:
STAI Dr. KHEZ Muttaqien.
Qardhawi, Yusuf. 1998. Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan.
Jakarta: Gema Insani.
Tim Penyusun P3B. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. DEPDIKBUD: Balai
Pustaka.
Rahmat, Jalaludin. 2004. Psikologi Agama Sebuah Pengantar. Bandung: Mizan

11

Anda mungkin juga menyukai