Anda di halaman 1dari 10

PENGAWETAN DAGING SEGAR DAN OLAHAN*

Sri Usmiati
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
Kampus Penelitian Pertanian, Jl. Tentara Pelajar 12 Cimanggu, Bogor

PENDAHULUAN
Daging berperanan cukup besar dalam konteks ketahanan pangan nasional karena
merupakan salah satu komoditas sumber protein hewani yang penting untuk kesehatan
dan pertumbuhan. Kesehatan daging merupakan bagian yang penting bagi keamanan
pangan dan selalu menjadi pokok permasalahan yang mendapatkan perhatian khusus
dalam penyediaan daging untuk konsumen. Daging yang dapat dikonsumsi adalah
daging dari ternak yang sehat, saat penyembelihan dan pemasaran diawasi oleh petugas
Rumah Potong Hewan (RPH) serta terbebas dari pencemaran mikroba patogen.
Saat ini permintaan masyarakat terhadap daging juga disertai oleh adanya
kecemasan masyarakat terhadap kasus bahaya pangan, contohnya kasus antraks
(penyakit ternak yang disebabkan oleh mikroba patogen bakteri Bacillus antracis) pada
daging (domba, kambing, sapi) yang dapat menular kepada manusia dan menyebabkan
kematian. Pada bulan Oktober 2004 kasus antraks di kabupaten Bogor menyebabkan
enam korban jiwa dan puluhan lainnya dirawat secara intensif di rumah sakit.
Daging yang disimpan pada suhu kamar pada waktu tertentu akan mengalami
kerusakan. Hal ini karena daging merupakan bahan pangan yang bergizi tinggi dan
media yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Kerusakan daging oleh mikroba
mengakibatkan penurunan mutu daging. Jumlah dan jenis mikroba yang mencemari
permukaan daging ditentukan oleh penanganan sebelum penyembelihan ternak dan
tingkat pengendalian hiegines dan sistem sanitasi yang baik selama penanganan hingga
dikonsumsi. Besarnya kontaminasi mikroba pada daging menentukan kualitas dan masa
simpan daging. Untuk menghindari kerusakan, daging perlu diawetkan dengan
memperhatikan persyaratan keamanan pangan.

DAGING SEGAR
Daging merupakan semua jaringan hewan dan produk hasil pengolahan jaringan-
jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan

*
Disampaikan pada Siaran KAREDOK di Radio RPC Ciawi tanggal 15 Pebruari 2010

1
kesehatan bagi yang mengkonsumsinya (Soeparno, 1998). Daging yang umum
dikonsumsi dapat diperoleh dari ternak ruminansia besar dan kecil (sapi, kerbau, domba,
kambing), ternak unggas (ayam, itik), dan aneka ternak (kelinci, rusa, kuda, babi).
Daging juga dapat dibedakan atas daging merah dan daging putih tergantung
perbedaan histologi, biokimia, dan asal ternak. Daging merah adalah daging yang
memiliki serat yang sempit, kaya akan pigmen daging (mioglobin), mitokondria dan
enzim respirasi berhubungan dengan tingginya aktivitas otot serta kandungan glikogen
yang rendah. Daging putih merupakan daging yang berserat lebih besar dan lebar,
sedikit mioglobin, mitokondria dan enzim respirasi berhubungan dengan aktivitas otot
yang singkat/cepat serta kandungan glikogen yang tinggi. Daging putih mempunyai
kadar protein lebih tinggi dibanding daging merah namun daging merah memiliki kadar
lemak jenuh dan kolesterol lebih tinggi dibanding daging putih.

Daging sapi
Daging sapi berwarna merah terang/cerah, mengkilap, dan tidak pucat. Secara
fisik daging elastis, sedikit kaku dan tidak lembek. Jika dipegang masih terasa basah
dan tidak lengket di tangan. Dari segi aroma, daging sapi sangat khas (gurih).
Kandungan protein daging sapi sebesar 18,8% dan lemak total 14%.

Daging domba dan kambing


Ciri-ciri daging domba dan kambing hampir sama dengan daging sapi. Namun
daging domba dan kambing memiliki serat lebih kecil dibandingkan serat daging sapi,
serta aroma daging kambing yang khas goaty. Daging domba dan kambing masing-
masing mengandung protein 17,1% dan 16,6% dan lemak 14,8% dan 9,2%.

Daging ayam
Daging ayam berwarna putih keabuan dan cerah. Kulit ayam berwarna putih
kekuningan dan bersih. Jika disentuh daging terasa lembab tidak lengket. Serat daging
ayam halus, mudah dikunyah/digiling, mudah dicerna, berflavor lembut, aroma tidak
menyengat, dan tidak berbau amis. Daging ayam mengandung protein 18,2% dan lemak
total 25%.

2
Daging kelinci
Daging kelinci tidak berbau, berwarna putih hampir sama dengan daging ayam,
seratnya halus. Kandungan kolesterol daging kelinci rendah sehingga baik dikonsumsi
oleh penderita jantung, manula, dan obesitas, dipercaya dapat mengobati asma karena
mengandung kitotefin serta asam lemak omega-3 dan omega-9. Daging kelinci
mengandung protein antara 18,6-25,6% dan kadar lemak 3,91-10,9%.

KEAMANAN PANGAN DAGING


Terbukanya wawasan dan kesadaran konsumen terhadap pentingnya jaminan
keamanan dan mutu pangan asal ternak menyebabkan daging harus memenuhi
persyaratan aman, sehat, utuh dan halal (ASUH). Penerapan sistem keamanan pangan
harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi lapangan. Indonesia telah memiliki UU
No. 7/1996 tentang Pangan antara lain mengatur Sistem Keamanan Pangan dan Sistem
Kesehatan Hewan Nasional.
Proses pengawasan mutu dan keamanan pangan asal ternak dimulai sejak dari
kandang, pakan dan obat, budi daya, penanganan Sejak penyembelihan, pengolahan,
distribusi, penyimpanan, pemasaran hingga ke konsumen (kira-kira 5-6 jam setelah
pemotongan). Agar daging tidak rusak dan tetap sehat, maka penanganan saat di rumah
potong harus cepat, tepat dan hati-hati mengacu pada Good Handling Practices (GHP).
Saat ini masih banyak ditemukan proses penanganan karkas di rumah potong yang
belum memenuhi ketentuan GHP. Proses penirisan darah yang kurang sempurna saat
penyembelihan sehingga warna daging menjadi kehitam-hitaman dan mudah tercemar
mikroba yang menyebabkan masa simpan daging menjadi singkat. Penanganan sejak di
rumah potong hingga ke konsumen dapat merubah mutu secara alamiah ataupun akibat
tercemar dari lingkungan. Daging sangat sensitif terhadap mikroba pembusuk karena
sifat fisikokimianya (water activity, pH, zat gizi/nutrisi) mendukung pertumbuhan
mikroba. Sebagian besar mikroba patogen terdapat pada kulit atau permukaan luar
daging yang terkontaminasi selama proses penyembelihan. Oleh karena itu, walaupun
ternak yang dipotong sehat jika proses penyembelihan tidak memenuhi syarat maka
kecenderungan menimbulkan bahaya dan penyakit sangat besar.

3
Sebagai bahan pangan, daging memiliki potensi bahaya yaitu biologi, fisik dan
kimia (Nugroho, 2004). Bahaya biologi disebabkan oleh mikroba patogen; bahaya kimia
ditimbulkan oleh adanya cemaran residu antibiotik, hormon, pestisida; dan bahaya fisik
disebabkan oleh cemaran logam, dan lain-lain. Bahaya-bahaya tersebut dapat terjadi
selama proses pemeliharaan ternak, proses penyediaan sejak penyembelihan hingga
cutting dan proses pengolahan menjadi produk olahan.
Dari ketiga potensi bahaya, yang berhubungan erat dengan daya simpan daging
karena menyebabkan kebusukan dan bahaya pangan adalah adanya cemaran mikroba.
Beberapa mikroba patogen yang biasa mencemari daging antara lain Escherichia coli,
Salmonella sp. dan Staphylococcus sp. (Mukartini et al., 1995). Penyakit karena bakteri
dapat bersifat meracuni (food poisoning), salah satunya disebabkan oleh Staphylococcus
(Maruyama and O’Leary dalam Nugroho, 2004). Kejadian diare berdarah (haemolytic
uremic syndrome/HUS) pada orang yang mengkonsumsi daging yang terkontaminasi E.
coli. Salmonella sp. merupakan kontaminan utama pada daging sapi dan unggas segar
(Ho et al., 2004), dan beberapa kasus dapat menyebabkan kematian (Haeghebaert et al.
dalam Veclerc et al., 2002).
Daging mudah sekali mengalami kerusakan oleh mikroba. Kerusakan daging
ditandai oleh adanya perubahan bau dan timbulnya lendir yang biasanya terjadi jika
jumlah mikroba menjadi jutaan atau ratusan juta sel atau lebih per 1 cm luas permukaan
daging. Kerusakan mikroba pada daging terutama disebabkan oleh pertumbuhan bakteri
pembusuk dengan tanda-tanda sebagai berikut:
Pembentukan lendir
Perubahan warna
Perubahan bau menjadi busuk karena terjadi pemecahan protein dan terbentuknya
senyawa-senyawa berbau busuk seperti ammonia, H2S dan senyawa lain-lain
Perubahan rasa menjadi asam dan pahit karena pertumbuhan bakteri pembentuk
asam dan senyawa pahit
Terjadi ketengikan yang disebabkan pemecahan atau oksidasi lemak daging

PENGAWETAN DAGING
Pengawetan daging bertujuan untuk memperpanjang masa simpannya sampai
sebelum dikonsumsi. Berdasarkan metode, pengawetan daging dapat dilakukan dengan

4
3 metode yaitu pengawetan secara fisik, biologi, dan kimia. Pengawetan secara fisik
meliputi proses pelayuan (penirisan darah selama 12-24 jam setelah ternak disembelih),
pemanasan (proses pengolahan daging untuk menekan/membunuh kuman seperti
pasteurisasi, sterilisasi) dan pendinginan (penyimpanan di suhu dingin refrigerator suhu
4-10°C, freezer suhu <0°C), pengawetan secara biologi melibatkan proses fermentasi
menggunakan mikroba seperti pembuatan produk salami, sedangkan pengawetan kimia
merupakan pengawetan yang melibatkan bahan kimia.
Pengawetan secara kimia dibedakan menjadi pengawetan menggunakan bahan
kimia dari bahan aktif alamiah dan bahan kimia (sintetis). Pengawetan menggunakan
bahan aktif alamiah antara lain menggunakan rempah-rempah (bawang putih, kunyit,
lengkuas, jahe), metabolit sekunder bakteri (bakteriosin), dan lain-lain yang dilaporkan
memiliki daya antibakteri, antimikroba, dan bakterisidal. Pengawetan menggunakan
bahan kimia seperti garam dapur, sodium tripolyphosphate (STPP), sodium nitrit,
sodium laktat, sodium asetat, sendawa (kalium nitrat, kalsium nitrat, natrium nitrat),
gula pasir dan lain-lain dan lain-lain. Dengan jumlah penggunaan yang tepat,
pengawetan dengan bahan kimia sangat praktis karena dapat menghambat
berkembangbiaknya mikroba jamur, kapang/khamir dan bakteri patogen.

Pengawetan daging dengan pemanasan


a. Pasteurisasi, yaitu pemanasan menggunakan suhu di bawah suhu didih untuk
membunuh kuman/bakteri patogen namun sporanya masih dapat hidup. Ada 3 cara
pasteurisasi yaitu:
(i) Pasteurisasi lama (Low Temperature Long Time/LTLT). Pemanasan pada suhu
yang tidak tinggi (62 o-65°C) dengan waktu yang relatif lama (1/2 -1 jam).
(ii) Pasteurisasi singkat (High Temperature Short Time/HTST). Pemanasan
dilakukan pada suhu tinggi (85o-95°C) dengan waktu yang relatif singkat (1-2
menit).
(iii)Pasteurisasi Ultra High Temperature (UHT). Pemanasan pada suhu tinggi dan
segera didinginkan pada suhu 10°C.
b. Sterilisasi adalah proses pengawetan yang dilakukan dengan pemanasan sampai
suhu di atas titik didih, sehingga bakteri dan sporanya mati. Sterilisasi dilakukan
dengan cara :

5
(i) UHT yaitu pemanasan sampai suhu 137°-140°C selama 2-5 detik.
(ii) Produk dalam kemasan hermetis dipanaskan pada suhu 110°-121°C selama 20-
45 detik.

Pengawetan daging dengan bahan kimia


a. Bahan aktif alamiah
(i) Bawang putih dan bawang bombay, kandungan alisin berguna untuk
antimikroba
(ii) Kunyit, kandungan kurkumin (golongan fenol) didalamnya memiliki sifat
bakterisidal
(iii)Lengkuas, senyawa fenolik lengkuas bersifat menghambat pertumbuhan bakteri
dan jamur
(iv) Jahe, senyawa antioksidan didalamnya dapat dimanfaatkan mengawetkan
minyak dan lemak
(v) Bakteriosin, merupakan produk ekstraseluler (Jack et al., 1995) yang diproduksi
oleh bakteri asam laktat, sebagai protein yang aktif secara biologi atau kompleks
protein (agregat protein, protein lipokarbohidrat, glikoprotein) yang disintesa
secara ribosomal dan menunjukkan aktivitas antibakteri (Vuyst and Vandamme,
1994; Ammor et al., 2006). Bakteriosin sebagai biopreservatif pangan harus
memenuhi kriteria seperti pengawet atau bahan tambahan pangan lainnya antara
lain aman bagi konsumen, memiliki aktivitas bakterisidal terhadap kelompok
bakteri gram positif dalam sistem makanan, stabil, terdistribusi secara merata
dalam sistem makanan, dan ekonomis (Ray, 1996).

b. Bahan kimia
Pengawetan daging dapat dilakukan dengan penambahan bahan kimia pengawet
yang termasuk dalam bahan tambahan pangan (BTP) dalam produk olahan daging.
Namun masyarakat dewasa ini ketakutan bila mendengar istilah bahan pengawet
atau bahan kimia yang dapat menimbulkan efek negatif bagi tubuh. Bahan tambahan
pangan adalah bahan aditif yang mengandung senyawa kimia yang telah diizinkan
penggunaannya (Suryanto, 2009). Di Indonesia, penggunaan bahan tambahan
tersebut diatur pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 1168/MENKES/PER/X/1999

6
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan No.
722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan. Beberapa BTP
yang diizinkan antara lain adalah:
Garam NaCl (garam dapur), berguna untuk menghambat pertumbuhan
khamir/yeast dan jamur. Penggunaan garam dapur berkisar antara 1,5-3%.
Sodium tripolyphosphate (STPP), bertujuan menurunkan jumlah bakteri
sehingga produk olahan daging dapat tahan lama. Perendaman karkas selama 6
jam dalam larutan disodium fosfat dengan konsentrasi 6,23% dapat
meningkatkan masa simpan 1-2 hari. Penggunaan STPP pada produk olahan
daging tidak boleh lebih dari 0,5%.
Gula pasir, dapat digunakan sebagai pengawet dengan tingkat penggunaan
minimal 3% atau disesuaikan dengan jenis produk olahan daging.
Sodium nitrit, digunakan dalam campuran curing untuk menghasilkan kestabilan
pigmen daging olahan. Jumlah penggunaan tidak boleh lebih dari 156 ppm,
kadang-kadang dikombinasikan dengan askorbat 550 ppm untuk mencegah
pembentukan senyawa karsinogen nitrosamin.
Sodium laktat, digunakan untuk mengontrol pertumbuhan patogen. Maksimum
penggunaan sodium laktat adalah 2,9%
Sodium asetat, digunakan sebagai agen antimikroba dan flavouring dengan
jumlah penggunaan maksimum 0,25%.
Sendawa (kalium nitrat, kalsium nitrat, natrium nitrat), sebagai pengawet daging
olahan digunakan dengan konsentrasi 0,1%.
Beberapa bahan kimia yang tidak dapat digunakan (dilarang) digunakan sebagai
bahan pengawet antara lain formalin, asam borat, asam salisilat, kalium klorat,
kloramfenikol, formalin, dan lain-lain. Bahan pengawet yang dilarang namun sering
dijumpai dalam produk makanan diantaranya adalah formalin dan boraks.
a. Ciri daging dan produk daging berformalin dan bahayanya
Formalin adalah cairan (dalam suhu ruang) yang tidak berwarna, bau
menyengat, mudah larut dalam air dan alkohol, digunakan sebagai pengawet
jaringan, desinfektan, pembasmi serangga, industri tekstil dan kayu lapis.
Produk yang biasa menggunakan formalin:
Bakso: kenyal, awet pada suhu kamar bisa tahan sampai lima hari.

7
Daging ayam: berwarna putih bersih dan tidak mudah busuk atau awet dalam
beberapa hari.
Deteksi makanan berformalin: tidak ada lalat yang mau hinggap. Jika kadar
formalinnya banyak, daging ayam agak sedikit tegang (kaku) dan jika daging
ayam dimasukkan ke dalam reagen atau diuji laboratorium, muncul gelembung
gas. Perlu curiga bila harga produk sangat murah dan tidak wajar.
Bahaya formalin: mulut, tenggorokan dan perut terasa terbakar, sakit
menelan, mual, muntah dan diare, kemungkinan terjadi pendarahan , sakit perut
yang hebat, sakit kepala, hipotensi (tekanan darah rendah), kerusakan hati,
jantung, otak, limpa, pankreas, sistem susunan syaraf pusat dan ginjal, kejang,
tidak sadar hingga koma dan kematian, menyebabkan kanker karena formalin
bersifat karsinogenik.
Pertolongan yang dapat dilakukan jika keracunan formalin (tertelan) adalah
segera hubungi dokter atau dibawa ke rumah sakit.
b. Ciri makanan mengandung boraks dan bahayanya
Boraks adalah serbuk kristal putih, tidak berbau, larut dalam air, tidak larut
alkohol, pH 9,5. Boraks biasa dipakai untuk pengawet kayu, antispetik dan
pengontrol kecoa.
Produk bakso menjadi lebih kenyal, bila digigit/ditekan akan kembali ke bentuk
semula, tahan lama/awet beberapa hari, warna lebih putih, bau tidak alami (ada
bau lain yang muncul) dan bila dilemparkan ke lantai akan memantul.
Deteksi makanan mengandung boraks hampir sama seperti formalin walaupun
cukup sulit menentukannya namun dengan uji laboratotium akan dapat
dibuktikan dengan jelas.
Bahaya boraks : merusak kulit, selaput lendir (merah), gangguan
pencernaan/usus, muntah, diare, depresi susunan syaraf pusat, bahkan
menyebabkan kanker
Pengawetan daging melalui pengolahan
Pengawetan daging merupakan suatu cara menyimpan daging untuk jangka waktu
yang cukup lama agar kualitas maupun kebersihannya tetap terjaga. Tujuan pengawetan
adalah menjaga ketahanan terhadap serangan jamur, kapang/khamir, dan bakteri
patogen, agar daging tidak mudah rusak.

8
Dalam rangka mempertahankan nilai gizi daging dilakukan upaya pengolahan
untuk tujuan pengawetan dan perluasan jangkauan pemasaran. Beberapa cara
pengolahan daging yang dapat dilakukan antara lain dengan proses pengeringan (contoh
dendeng), pengasapan (contoh daging asap), pengasaman (contoh salami), pemanasan
(contoh abon), kombinasi perlakuan-perlakuan tersebut (contoh: sosis, bakso, nugget,
kornet, dan lain-lain). Dalam bentuk produk olahan maka daging dapat disimpan lebih
lama serta relatif tidak mengalami perubahan mutu dan citarasa spesifik daging.

PENUTUP
Daging merupakan bahan pangan yang bergizi tinggi dan berguna untuk kesehatan
manusia, juga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Kerusakan
daging oleh mikroba mengakibatkan penurunan mutu daging. Pengawetan daging
adalah salah satu cara untuk memperpanjang masa simpannya sampai sebelum
dikonsumsi. Namun masyarakat dewasa ini takut bila mendengar istilah pengawet atau
bahan kimia karena dapat menimbulkan efek negatif bagi tubuh. Oleh karena itu
penggunaan pengawet terutama dari bahan kimia harus memperhatikan jenis bahan
kimia yang digunakan serta jumlah penggunaan yang direkomendasikan dalam
aplikasinya untuk daging dan olahannya agar tidak menimbulkan efek negatif bagi
kesehatan konsumen.

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2000. Teknologi Tepat Guna: Pengawetan dan Bahan Kimia.
Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,
Kemenegristek.

Anonymous. 2006. Bahaya Formalin dan Boraks.


http://wowsalman.blogspot.com/2006/01/bahaya-formalin-dan-boraks.html.
(15 Pebruari 2010)

Anonymous. 2009. Mengenal Formalin dan Bahayanya.


http://netverum.blogspot.com/2009/03/mengenal-formalin-dan-bahayanya.html.
(15 Pebruari 2010)

Ammor S., G. Tauveron, E. Dufour, and I. Chevallier. 2006. Antibacterial activity of


lactic acid bacteria against spoilage and pathogenic bacteria isolated from the
same meat small-scale facility: 1—Screening and characterization of the
antibacterial compounds. Food Control 17: 454–461

9
Ho, C.P., Huang, N.Y., and Chen, B.J. 2004. A Survey of microbial contamination of
food contact surfaces at broiler slaughter plants in Taiwan. J. of Food Protection.
(67) 12 : 2809-2811.

Ikrar, T. 2010. Bahaya Makanan Yang Dicampur Bahan Pengawet, Diantaranya


Formalin.
http://groups.yahoo.com/group/alumni-unhas/message/2606. (15 Pebruari 2010)

Jack RW, JR Tagg dan B Ray. 1995. Bacteriocin of Gram positive bacteria. Appl
Environ microbial 59: 171-200.

Komariah, Surajudin dan D. Purnomo. 2006. Aneka Olahan Daging Sapi: Sehat, Bergizi
dan Lezat. Cetakan kedua. AgroMedia Pustaka. Jakarta.

Lailogo, O., Kanahau, D dan Nulik, J. 2005. Produk ternak dan inovasi teknologi
peternakan menunjang keamanan pangan hewani di Nusa Tenggara Timur.
Prosiding Lokakarya Keamanan Pangan Produk Peternakan, 12-13 September
2005. Hal: 189-196.

Mukartini, S., C. Jehne, B. Shay, and C.M.L. Harper. 1995. Microbiological status of
beef carcass meat in Indonesia. J. Food Safety 15: 291−303

Nugroho, W.S. 2004. Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner Staphylococcus, Bakteri


Jahat yang Sering Disepelekan.

Ray, B. 1996. Fundamental Food Microbiology. CRC Press, Tokyo.

Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.

Suryanto, E. 2009. Pemilihan Pengawet Produk Olahan Daging.


http://chickaholic.wordpress.com/2009/05/07/pemilihan-pengawet-produk-
olahan-daging/. (5 Pebruari 2010)

Syukur, D.A. 2006. Bahaya Formalin dan Boraks.


http://www.disnakeswan-lampung.go.id. (15 Pebruari 2010)

Veclerc, V. , B. Dufour , B. Lombard , F. Gauchard , B. Garin-Bastuji , G. Salvat, A.


Brisabois , M. Poumeyrol , M-L. De Buyser, N. Gnanou-Besse , and C. Lahellec.
2002. Pathogens in meat and milk products: Surveillance and impact on human
health in France. Livestock Production Science 76: 195–202.

Vuyst L.D. and E. J. Vandamme. 1994. Bacteriocins of lactic acid bacteria:


Microbiology, genetic and applications. Blackie academic & Professional.
Glasgow.

10

Anda mungkin juga menyukai