Ketua Panitia Adhoc II urusan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Ekonomi DPD RI pada Pertemuan Pembahasan Rencana Tata Ruang Pulau Sumatera Bukittinggi 1 Agustus 2008.
Pada bulan Desember tahun lalu Indonesia menjadi tuan rumah
Konperensi para Pihak ke 13 dari Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim suatu perstiwa besar yang amat penting artinya bagi Indonesia. Konperensi ini dihadiri oleh 10.000 delegasi dari berbagai pihak dari seluruh dunia serta merupakan upaya awal untuk memperkuat upaya bersama menstabilkan iklim global antara lain dengan mempersiapkan protokol baru untuk mengganti Protokol Kyoto tentang pengurangan emisi gas rumah kaca karena protokol tersebut akan berakhir tahun 2012 dalam keadaan di mana protokol tersebut dianggap kurang berhasil memayungi upaya stabilisasi iklim. Bukan maksud paparan ini untuk menguraikan hal-hal yang menyangkut Konvensi PBB tersebut di atas. Yang ingin dikemukakan adalah bahwa perubahan iklim global telah dirasakan sebagai kenyataan dengan terjadinya kekacauan iklim di seluruh dunia yang mempunyai dampak negatif terhadap pertanian, infrastruktur, pemukiman dan transportasi. Perubahan iklim terjadi karena kerusakan ekologi , sedangkan kerusakan ekologi itu sendiri terjadi karena penggunaan energi fosil yang berlebihan akibat industrialisasi dan pertumbuhan transport, serta juga karena berkurangnya tutupan hutan di seluruh dunia. Jika stabilisasi iklim gagal dilakukan, maka kekacauan iklim yang terjadi akan menciptakan makin parahnya kemiskinan yang diderita oleh penduduk, karena terganggunya berbagai sektor vital yang tersebut diatas dan berkurangnya wilayah dataran rendah karena naiknya permukaan air laut. Perubahan iklim juga akan memicu kepunahan flora fauna tertentu sehingga sifat ekologi wilayah akan berubah, dan kapasitas lingkungan untuk menyangga kehidupan akan berkurang. Potensi konflik antar manusia juga akan meningkat karena kelangkaan sumber daya alam berhadapan dengan kenyataan bahwa jumlah penduduk di seluruh dunia terus bertambah.
Perubahan iklim dengan segala akibat negatif yang tidak terperikan
merupakan akibat dari paradigma pembangunan yang selama ini berlaku yang cenderung menguras sumber daya alam dengan tidak menghiraukan konservasi dan juga dengan mengabaikan instrumen kebijakan pengendalian wilayah seperti tata ruang dan tata guna tanah. Paradigma seperti ini kemudian menciptakan gangguan iklim yang pada gilirannya menciptakan berbagai bencana dan kelangkaan sumber-sumber yang mempunyai kontribusi besar terhadap pemiskinan. Oleh karena itu pembangunan berkelanjutan perlu didasarkan pada suatu visi baru di mana konservasi sumber daya alam merupakan paradigma utama. Visi lama yang mempertentangkan konservasi dengan pembangunan harus ditinggalkan.
Konservasi sebagai paradigma pembangunan berkelanjutan
mempunyai peran besar dalam transformasi pulau Sumatera, sehingga upaya di bidang pensejahteraan masyarakat perlu disatukan dengan upaya penghematan sumber daya alam. Pendekatan konservasi mempunyai ukuran-ukuran sukses sebagai berikut:
1. Ketersediaan air bersih sepanjang waktu dengan stabilitas
debit air yang tidak banyak terpengaruh oleh pergantian musim. 2. Resiko bencana seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan dan tanah longsor yang bisa ditekan frekuensi maupun besarannya. 3. Mutu udara ambien yang baik termasuk di wilayah hunian maupun industri. 4. Kualitas tanah yang baik dengan kelengkapan nutrien dan mikroorganisme serta bebas dari pencemaran bahan berbahaya dan beracun. 5. Tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi yang merupakan karakter asli dari wilayah hutan tropika termasuk kawasan pesisir seperti halnya di pulau Sumatera.
Pada umumnya ukuran-ukuran keberhasilan di atas mudah
dipahami karena semua orang tahu bahwa tanah, air dan udara merupakan penyangga kehidupan yang vital. Tetapi pentingnya keanekaragaman hayati masih belum dipahami secara holisitik. Diperlukan tingkat pemahaman yang memadai bahwa flora dan fauna berinteraksi secara kompleks dalam apa yang disebut sebagai rantai makanan ( food chain ) dan kepunahan spesies adalah indikasi kerusakan ekologis yang serius yang pada akhirnya berakibat negatif terhadap kehidupan manusia. Oleh karena itu kepedulian terhadap gajah, harimau, orang utan dan badak seperti yang diperlihatkan WWFbukanlah kepedulian terhadap makhluk- makhluk tadi secara terisolir, namun merupakan kepedulian atas fungsi mereka sebagai bio indikator ekosistem. Sekiranya tingkat keanekaragaman hayati kita berkurang, pada suatu saat kita hanya bisa menyesali kealpaan kita dengan hilangnya manfaat keanekaragaman hayati yang menyediakan berbagai macam flora dan fauna yang berperan dalam penyediaan bahan obat-obatan, makanan, bahan bangunan dan lainnya.
Tata ruang wilayah perlu diterapkan dalam suatu bio region yang besar, dan dengan demikian Sumatera perlu mempunyai satu tata ruang wilayah yang terintegrasi yang mempunyai tiga komponen, yaitu:
1. Tata ruang daerah aliran sungai
2. Tata ruang wilayah pesisir 3. Tata ruang gugus pulau lepas pantai Sumatera. Sehubungan dengan fakta bahwa Sumatera sebagai ruang telah mengalami degradasi dan juga menghadapi risiko perubahan iklim maka tata guna tanah dalam ruang wilayah Sumatera juga perlu dirancang untuk memulihkan ekosistem serta mengurangi risiko perubahan iklim. Kerjasama antar pemerintah daerah perlu digalang karena wilayah perencaanaan ruang berupa daerah aliran sungai, pesisir dan gugus pulau adalah satuan-satuan yang lintas wilayah administratif. Hal ini tidak mudah dilakukan karena kita terbiasa bekerja secara sektoral dan administratif dan tidak terbiasa bekerja baik dan effektif dalam hal-hal yang multi sektor dan lintas wilayah administratif. Diperlukan kesatuan antara visi, regulasi, kelembagaan, pendanaan serta kebijakan pelibatan para pemangku kepentingan untuk menjadikan pekerjaan besar ini berjalan baik. Tentunya semuanya akhirnya tergantung dari kepemimpinan serta kesadaran masyarakat luas. Oleh karena itu perwujudan pembangunan berkelanjutan masih harus menempuh jalan panjang.
Di antara berbagai hal yang perlu kita lakukan, yang paling
strategik adalah penanaman kesadartahuan sejak usia dini. Yang berikut adalah penerapan regulasi dan kelembagaan yang effektif serta penaatannya. Upaya-upaya ini perlu menampakkan diri sebagai gerakan budaya yang besar untuk menggugah kekuatan emotif yang ada dalam kesadaran eksistensial manusia. Pendekatan birokratik dan politis tidaklah cukup, karena umat manusia dewasa ini menghadapi tuntutan untuk meninggalkan cara-cara membangun abad industri di masa ini yang terbukti telah menghadirkan ancaman strategis terhadap kelangsungan peradaban, yaitu perubahan iklim global yang telah mulai kita rasakan akibatnya.