Anda di halaman 1dari 2

Urban Sprawl (Pemekaran Kota)

Urban Sprawl atau dikenal dengan pemekaran kota merupakan bentuk bertambah luasnya kota
secara fisik. Perluasan kota disebabkan oleh semakin berkembangnya penduduk dan semakin
tingginya arus urbanisasi. Semakin bertambahnya penduduk kota menyebabkan semakin
bertambahnya kebutuhan masyarakat terhadap perumahan, perkantoran, dan fasilitas sosial
ekonomi lain. Urban sprawl terjadi dengan ditandai adanya alih fungsi lahan yang ada di sekitar
kota (urban periphery) mengingat terbatasnya lahan yang ada di pusat kota. Urban sprawl
merupakan salah satu bentuk perkembangan kota yang dilihat dari segi fisik seperti
bertambahnya gedung secara vertikal maupun horisontal, bertambahnya jalan, tempat parkir,
maupun saluran drainase kota.
Dampak dari pemekaran kota adalah semakin berkurangnya lahan subur produktif pertanian
sehingga mengancam swasembada pangan karena terjadi perubahan peruntukan lahan
pertanian menjadi lahan terbangun. Disamping itu pemekaran kota yang tidak terkendali
(unmanaged growth) menyebabkan morfologi kota yang tidak teratur, kekumuhan (slum), dan
permukiman liar (squatter settlement). Profesor saya di Universiti Kebangsaan Malaysia
mengatakan bahwa kondisi slum dan squatter merupakan fenomena yang biasa terjadi di kota
dan terkait dengan kebijakan pengelola kota berkurang. Dengan perkataan lain setiap upaya
pembangunan kota terkait dengan terjadinya kegagalan pembangunan kota sehingga
menyebabkan terjadi kesenjangan antar masyarakat di pusat kota maupun antar masyarakat
pusat kota dengan pinggiran.
Pemilihan lokasi hunian di piggiran kota dengan asumsi harga lahan yang lebih murah dan
kondisi udara yang masih sehat. Penduduk yang semula menyewa rumah, dengan semakin
meningkat pendapatan sebagian penduduk memilih lokasi tinggal di luar kota agar memiliki
rumah tingal sendiri. Sebagian penduduk yang berpenghasilan rendah dengan terpaksa
menempati rumah tinggal yang sempit dan kumuh.
New Urbanism

Pada hakikatnya gerakan Kota Hijau seiring sejalan dengan gerakan Urbanisme Baru (New
Urbanism) yang dirintis pada awal 1980-an oleh perencana kota dan arsitek seperti Andres
Duany dan Elizabeth Plate-Zyberk. Ada beberapa konsep kunci yang dianjungkan untuk
menangkal merebaknya kecenderungan urbanisme yang brutal selama ini.

Pertama, tata guna lahan kota yang menghargai alam, menjaga badan air, topografi, dan ruang
terbuka. Kedua, orientasi pada pejalan kaki (pedestrian) dengan pola lingkungan swasembada
sehingga warga kota bisa berbelanja, berekreasi, bersekolah, bersosialisasi, cukup dengan
berjalan kaki saja.

Ketiga, pendayagunaan sistem transportasi umum terpadu dilandasi prinsip Transit Oriented
Development, dengan menempatkan kawasan permukiman, perkantoran, perdagangan, dekat
dengan stasiun atau simpul jasa transportasi. Keempat, memanfaatkan berbagai metode untuk
memperlambat laju kendaraan agar jalan raya menjadi lebih aman dan nyaman, lazim disebut
dengan traffic calming. Kelima, intensifikasi penggunaan lahan agar kota menjadi lebih kompak,
dengan prinsip pusat-pusat jamak, polisentris, atau multicentre.

Apabila direnungkan dalam-dalam, sebetulnya nenek moyang kita dengan aneka kearifan
lokalnya sudah menerapkan kelima konsep kunci tersebut. Misalnya, Bali dengan falsafah Tri
Hita Karana yang selalu mempertautkan tiga komponen: alam–manusia-Tuhan dalam saling
hubungan yang harmonis. Juga pola tata ruang dan kehidupan aneka kampung, mulai dari
Kampung Naga, Kampung Kauman, sampai dengan kampung-kampung di berbagai kota besar di
Indonesia juga sudah mendahului gerakan Urbanisme Baru.

Anda mungkin juga menyukai