Mazab penataan ruang di Indonesia masih menerapkan sistem terpusat, dimana
pemerintah lokal tampaknya hanya menjalankan mekanisme perencanaan sesuai dengan model nasional yang berlaku seperti standar penyajian dokumen, standar mekanisme evaluasi pelaksanaan, muatan rencana tata ruang, termasuk “produk” rencana tata ruang yang merupakan buku jadi (fixed book) yang “dilempar” dalam forum diskusi bernama “sosialisasi”. Trendmark tersebut mengejewantah dalam prosedur penyusunan rencana tata ruang yang termahtub dalam satu proses sentralisasi-hirarkis, mulai dari tingkat nasional, provinsi, sampai tingkat kabupaten/kota. Dalam dimensi penjabaran materi rasionalistisnya mulai dari tingkat Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersifat makro (bukan abstrak) sampai dengan tingkat rigid berupa Peraturan Zonasi sebagai alat pengendali pemanfaatan ruang. Sistem sentralistik ini kemudian dianggap mengabaikan keberagaman dan institusi lokal serta memiliki tingkat relevansi yang rendah dengan situasi setempat. Diskrepansi perencanaan tata ruang yang nampak kemudian adalah pada mekanisme prosedural acuan produk rencana tata ruang yang bersifat top-down. Sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Penataan Ruang No. 26/2007, penataan ruang disusun secara berhierarki, mencakup seluruh wilayah baik perkotaan maupun perdesaan, ini berarti bahwa penyusunan rencana tata ruang harus mengacu pada produk rencana tata ruang diatasnya, semisal penyusunan RDTR wilayah perkotaan harus mengacu pada RTRW kota dan demikian RTRW kota juga harus mengacu pada landasan pijak rencana tata ruang ditingkat provinsi dan nasional, bukan sebaliknya bahwa rencana tata ruang harusnya disusun berhierarkis mulai dari tingkat lokal ke tingkat nasional. Paradigma ini tentu sangat kontras dengan slogan bahwa rencana tata ruang “dari dan untuk” masyarakat yang menyiratkan adanya mekanisme partisipasi lokal dalam setiap kegiatan penataan ruang mulai dari perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang yang ada. Mekanisme partisipasi ini tentu saja bukan menjadi hak prerogatif beberapa kalangan tertentu semisal camat, kepala desa atau kepala dinas (atau biasanya yang mewakili) dalam “sosialisasi”draft rencana tata ruang yang akan dijalankan di wilayah yang bersangkutan, namun benar-benar harus merupakan bentuk “partisipasi” kasat mata masyarakat untuk ikut merencanakan, mengevaluasi dan mengendalikan penataan ruang yang ada melalui wadah yang akrab dengan nilai sosial budaya masyarakat seperti forum rapat adat sangkep atau paruman di Bali misalnya. Mekanisme partisipasi gaya inilah yang kemudian harusnya didistribusikan dan disampaikan sebagai mandat dari masyarakat lokal ke tingkat nasional atas permakluman pusat terhadap eksistensi dan potensi nilai-nilai lokalitas di masing-masing daerah. Materi lokal ini harusnya dianggap sebagai manifestasi dari substansi kearifan lokal nusantara yang kemudian harusnya menjadi dasar pertimbangan dan gagasan sistematika pedoman penyusunan rencana tata ruang berwawasan nusantara, adil, merata dan yang tidak kalah pentingnya menghilangkan retensi pemakzulan terhadap para pemimpin di pusat oleh masyarakat yang diwakili “haknya”. Selain partisipasi, aspek penataan ruang di Indonesia tentu saja harus berkiblat pada penggalian entitas budaya lokal dan khasanah wawasan kenusantaraan bukan tradisi perencanaan kota gaya Eropa yang lebih berfokus pada mekanisme radikalisasi dan kapitalisasi pengggunaan lahan (landuse) perkotaan untuk kepentingan ekonomi dan kemanfaatannya dalam menunjang ide-ide sosial oleh rezim kekuasaan yang ada. Aspek penataan ruang di Indonesia harus menyingkap keberagaman dalam ke-bhineka-tunggal ika-an yang ada, dimana diktum berkeanekaragaman harus diposisikan sebagai landasan pijak multikulturalisme dan pluralisme budaya penataan ruang yang ada. Menyeragamkan batasan muatan rencana, standar mekanisme evaluasi dan sebagainya dalam produk rencana tata ruang di Indonesia dapat diartikan sebagai upaya “culture suicides” atau membunuh kebudayaan sendiri yang artinya menciptakan kota yang tidak beridentitas yang selanjutnya bermuara menjadi kota yang “tidak dikenal” (unidentity city lead to unidentify city). Mekanisme perencanaan konvensional yang berjalan selama ini, walaupun telah berupaya untuk mengetengahkan dimensi kearifan lokal, nampak masih merupakan idealisme normatif-akademis yang hanya menjadi bahan pertimbahan ilmiah diatas pemahaman rasionalistis dinamika budaya nusantara yang ada. Upaya untuk menghadirkan dimensi lokalitas, tampaknya hanya menghadirkan sisi “artefak kota” tampa memperhatikan “prinsip atau nilai-nilai” yang harusnya gali dan dikembangkan dalam khasanah perumusan dan penetapan masterplan rencana tata ruang yang ada, “Kekeringan nilai rasa” atau greget produk rencana tata ruang di Indonesia menghadirkan sejumlah polemik di kalangan masyarakat dimana “festival kebencanaan” yang melanda Indonesia (salah satunya), dianggap sebagai “sumbangsih” dari rencana tata ruang yang amburadul. Ketimpangan perkembangan wilayah Indonesia barat dan timur juga bisa dikatakan sebagai kegagalan sistematis dalam penetapan struktur dan pola ruang yang berorientasi pusat- subpusat tampa memperdalam dan mempertimbangkan kekhasan, kemampuan, dan keunikan struktur sosial masyarakatnya. Berbeda dengan langgam perencana konvensional yang mengabaikan kondisi spasio- kultural, perencanaan pada komunitas tradisional lebih didasarkan pada sistem pengetahuan setempat (local wisdom) tentang muatan rencana yang berisikan sistem nilai, konsep lokal dan budaya setempat. Upaya ini dianggap sebagai momentum back to culture untuk menemukan jati diri dan identitas lingkungan perkotaan yang diinginkan bersama. Dengan demikian, segala upaya untuk menyusun, merencananakan, memanfaatkan bahkan mengendalikan pemanfaatan ruang yang ada, harus mempunyai dimensi kedekatan secara mental dan spritual dengan kehidupan masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut secara aklamasi, pakar antropologi perkotaan Amos Rapoport menyatakan upaya penciptaan ruang harus mempunyai tingkat kongruensi yang tinggi terhadap gaya dan cara hidup masyarakatnya. Hal ini harus diartikan bahwa produk penataan ruang harus menjadi proyeksi “keterpahaman” masyarakat awam terhadap isi dari produk rencana tata ruang yang disusun, bagaimana mekanismenya, muatan materi rencananya, serta mekanisme insentif dan diisentifnya dalam prosedur pemanfaatan ruang yang ada. Diterminasi kultural inilah yang kemudian harusnya dianggap sebagai dasar penataan ruang berkearifan lokal di Indonesia.