Anda di halaman 1dari 9

Seminar Nasional Teritorialitas, Pariwisata, Dan Pembangunan Daerah

2011

KONSERVASI PRINSIP DAN NILAI;


Preferensi Bagi Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan di Desa Penglipuran, Bali
Wahyudi Arimbawa Prodi Perencanan Wilayah dan Kota, Universitas Hindu Indonesia Jalan Sangalangit, Tembau Penatih, Denpasar Email: yudiarimbawa@gmail.com

AbstrakTerminologi permukiman tradisional selalu berimplikasi pada konsep tatanan permukiman yang bersifat harmoni dengan lingkungan, serta eksistensi budaya yang melekat pada prinsip, nilai, dan norma adat yang berlaku. Dewasa ini keberlanjutan nilai dan norma pada permukiman tradisional mengalami fenomena anomali akibat pergeseran kepentingan antara mempertahankan kontinuitas kultural versus pemenuhan kebutuhan dasar di ranah ekonomi. Selain itu, kebutuhan ruang akibat bertambahnya penduduk serta perubahan perilaku turut memberikan kontribusi pada hilangnya teritori adat di kawasan permukiman tradisional. Lahirnya gagasan pendekatan konservasi kultural bertujuan untuk menegaskan kembali makna ruang yang ada sebagai usaha preventif menjaga keberlanjutan tatanan permukiman sosio-religius, serta memberikan limitasi ekplorasi ruang permukiman yang dapat dijamah oleh trend pariwisata global dan tuntutan perkembangan mortalitas yang ada pada studi kasus desa Penglipuran, Bali. Dalam konteks demikian, tulisan ini ditujukan untuk mengajukan sebuah pendekatan konservasi lingkungan permukiman tradisional dari sisi prinsip, nilai dan landasan filosofis terbentuknya artefak lingkungan permukiman tradisional (umumnya berupa kawasan terbangun). Dengan mendasarkan pada pemahaman bahwa artefak lingkungan permukiman tradisional yang layak dilestarikan pada awalnya dimulai dengan penciptaan prinsipprinsip, nilai kosmologi ruang dan landasan filosofis religi yang disepakati bersama, maka tulisan ini mengajukan argumentasi mengenai pentingnya melestarikan prinsip, nilai kosmologi, dan landasan filosofis ruang yang dimaksud untuk menunjang trend pariwisata berkelanjutan yang ada.
Kata kunci : konservasi, kontinuitas kultural, permukiman tradisional, pariwisata berkelanjutan.

PENDAHULUAN Permukiman tradisional sering direpresentasikan sebagai tempat yang masih memegang nilai-nilai adat dan budaya, yang dihubungkan dengan nilai-nilai kepercayaan atau agama yang bersifat khusus/unik pada masyarakat tertentu yang berakar dari tempat tertentu pula diluar determinasi sejarah (Crysler dalam Sasongko, 2005). Sejalan dengan pernyataan tersebut, Rapoport (1973) menegaskan kembali bahwa terdapat keberaturan dan ketertaatan atau sebagai order and regularities dalam ruang permukiman tradisional, dimana konteks budaya setempat sangat mempengaruhi tatanan ruangnya. Tatanan ruang (order) permukiman yang unik diperoleh karena adanya perbedaan aturan yang merefleksikan keinginan, nilai, hasrat, pandangan dan orientasi ritual dari setiap kelompok masyarakat dan merepresentasikan kesesuaian antara ruang sosial dan ruang fisik dalam kontelasi permukiman tradisionalnya. Oleh sebab itu sebuah permukiman tradisional biasanya dianggap sebagai ruang yang mempunyai makna bagi penghuninya. Hadir sebagai representasi keadaan kognitif (ingatan mental) penghuninya dalam menciptakan ruang livable artinya ruang mempunyai tingkat kongruensi yang tinggi terhadap lingkungan dan daya dukungnya terhadap kehidupan didalamnya. Lebih lanjut Amos Rapoport dalam Sasongko (2003), menyatakan bahwa ruang kognitif atau ruang kultural merupakan ruang yang dimaknai oleh kelompok tertentu, dipengaruhi oleh pengalaman lampau, ingatan, dan kategori mental kelompok. Ruang imajiner menggambarkan tatanan ruang yang merefleksikan suatu pola dan

Program Studi Magister Arsitektur Universitas Udayana

Seminar Nasional Teritorialitas, Pariwisata, Dan Pembangunan Daerah

2011

keteraturan tertentu dari kelompok sosial yang beragam, hierarki dan aturan mereka, sehingga tempat-tempat yang terbentuk dapat dianggap memiliki kualitas yang baik karena memiliki tingkat kongruensi yang tinggi terhadap gaya dan cara hidup masyarakat penghuninya. Dalam memaknai ruang permukiman, Altman dalam Sasongko (2005) mendefinisikan peran budaya dalam membentuk hubungan antara manusia dengan lingkungan dimana mereka bertempat tinggal dalam empat bagian yaitu : (pertama) budaya didasarkan atas suatu tatanan kepercayaan dan persepsi, tata nilai dan norma, kelompok sosial dan kebiasaan; (kedua) dalam budaya termasuk pola-pola umum yang digunakan perasaan dan perilaku kelompok; (ketiga) adanya perubahan terhadap kepercayaan, tata nilai, dan bentuk perilaku dari satu generasi ke generasi selanjutnya, dan (keempat) budaya dihadirkan dalam lingkungan fisik, sehingga rumah-rumah dan permukiman dan seluruh buatan manusia menggambarkan nilainilai budayanya. Berkaitan dengan konteks budaya yang berimplikasi pada tatanan ruang, maka permukiman tradisional selalu berkaitan dengan proses ritual, dimana keseluruhan rangkaian ritual yang ada dimaksudkan untuk menciptakan tatanan ruang yang harmoni, menjaga eksistensi teritori adat dan keberlanjutan prosesi budaya dan nilai yang ada. Keberlanjutan eksistensi teritori (ruang) adat berkaitan secara fundamental dengan tatanan (order) serta ancaman bagi keberlanjutan eksistensi ruang kultural yang ada. Oleh sebab itu Douglas dalam Sasongko (2005) menyatakan untuk menjaga ruang ritual dan eksistensi teritori ruang dapat dilakukan dengan media kekuasaan dimana hukum alam dimanifestasikan dalam bentuk berbagai sanksi moral. Di Bali, budaya merupakan landasan filosofis terbentuknya lingkungan permukiman baik desa atau kota. Dalam kaitannya dengan pola keruangan permukiman tradisional, perwujudan budaya masyarakat Bali menimbulkan (Wiratmaja, 2005) pertama, adanya pola-pola permukiman dalam masyarakat Bali seperti Pura Kahyangan Tiga serta radius kesuciannya, bale banjar, ruang terbuka (jaba pura, pempatan agung, dan setra/kuburan) dan berbagai atribut kemasyarakatan (morfologi,sosial, fungsional dan simbolis). Kedua, adanya aturan dan pantangan dalam penempatan dan penataan fungsi ruang. Ketiga, adanya konsep yang mengatur zonasi dan peruntukkan ruang permukiman baik skala makro,meso dan mikro. Keempat, adanya aturan baku dalam pengukuran petak pekarangan dan bangunan, berimplikasi pada kebutuhan lahan yang relatif luas. Pemahaman aspek budaya dalam kerangka tematis penciptaan ruang bermakna merupakan aspek legal-formal yang harus dipertimbangkan dalam proses perencanaan pada masyarakat tradisional yang berpijak pada sistem pengetahuan lokal tentang perencanaan yang terdiri atas sistem nilai dan konsep lokal, serta sistem kepercayaan dan pengetahuan setempat, atau secara umum budaya setempat (Samadhi, 2004). Demikian juga yang terjadi pada konteks permukiman tradisional pada desa-desa di Bali. Faktor legitimasi atribut desa adat sebagai desa yang bersifat otonom dalam menjalankan tata kelola pemerintahan desa adatnya secara independen, termasuk bagaimana menterjemahkan konsep sosio-religi yang dipahami dalam menata ranah lingkungan permukiman tradisionalnya merupakan aspek kearifan lokal yang bersifat tendensius berakar pada kosmologi Hindu. Refleksi tatanan permukiman Desa Adat Penglipuran mencerminkan originalitas konsep, konservasi lingkungan yang unik dan aspek simbolik ruang yang kental (Arimbawa, 2010). Manifestasi dari konsep universal Tri Hita Karana, diterjemahkan dalam pembagian teritori wilayah permukimannya menjadi tiga bagian utama yaitu teritori yang berhubungan dengan relasi vertikal dengan Sang Pencipta (Parhayangan), teritori yang berhubungan dengan relasi sosial antar warga (Pawongan) dan teritori yang berhubungan dengan relasi dengan lingkungan (Palemahan). Ketiga relasi teritori ini membentuk batasanbatasan wilayah yang berkaitan dengan nilai keruangan sacred-profane dalam lingkungan permukimannya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa konsep konservasi yang ditemukan pada permukiman tradisonal di Bali terutama Bali Aga (Bali kuno) selalu dikaitkan dengan landasan fundamental ekspresi ruang masyarakat Bali dalam mempertahankan teritori adat serta melestarikan kelangsungan prosesi budaya didalamnya dimana, usaha untuk menjaga homogenitas atribut sosial selalu berkaitan dengan dua hal pokok yaitu teritorial sebagai suatu kesatuan wilayah tempat para warganya secara bersamasama mengonsepsikan diri dan mengaktifkan upacara-upacara dan berbagai kegiatan sosial yang di tata oleh suatu sistem budaya dengan nama desa adat. Dan teritori desa sebagai kesatuan wilayah administrasi dengan nama desa dinas atau perbekelan. Oleh sebab itu, Desa Adat Penglipuran diangkat sebagai sebuah studi kasus untuk memberikan argumentasi mengenai pentingnya melestarikan prinsip dan nilai yang

Program Studi Magister Arsitektur Universitas Udayana

Seminar Nasional Teritorialitas, Pariwisata, Dan Pembangunan Daerah

2011

melatar belakangi terbentuknya lingkungan permukiman tradisionalnya dalam mendukung dan sebagai preferensi bagi pembangunan pariwisata berkelanjutan di Bali. KONSERVASI KULTURAL; Kontinuitas Prinsip dan Nilai Budaya Lokal dalam konteks pembangunan pariwisata berkelanjutan Konservasi merupakan upaya preservasi dengan tetap memanfaatkan kegunaan dari suatu tempat untuk memberi wadah bagi kegiatan yang sama seperti kegiatan asalnya atau bagi kegiatan yang baru, sehingga dapat membiayai sendiri kelangsungan eksistensinya (Danisworo dalam Krisna, 2005). Untuk itu konservasi dipahami sebagai upaya untuk memelihara suatu tempat berupa lahan, kawasan, gedung, maupun kelompok gedung termasuk lingkungannya oleh sebab itu tempat (place) yang akan dikonservasi akan menampilkan makna dari sisi sejarah, budaya, tradisi, keindahan, sosial, ekonomi, fungsional, iklim maupun fisik (Danisworo dalam Antariksa, 2005). Lebih lanjut mengenai definisi konservasi, piagam Bura Charter yang dirumuskan sesuai dengan kesepakatan internasional pada tahun 1981 menyatakan bahwa konservasi berarti semua proses menjaga tempat sehingga dapat mempertahankan budayanya secara signifikan. Konservasi dianggap sebagai batasan pelestarian yaitu segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna budayanya tetap terpelihara sesuai dengan keadaan, meliputi preservasi,restorasi, rekontruksi dan adaptasi (Saraswati, 2010). Maka tidak heran dalam konteks lingkungan permukiman tradisional, konservasi dianggap tidak dapat terlepas dari makna budaya (Kerr dalam Antariksa, 2005). Masih menurut Saraswati (2010), selain konservasi, batasan pelestarian juga meliputi upaya pemeliharaan yaitu perawatan yang terus menerus terhadap bangunan, makna, dan penataan suatu tempat dan harus dibedakan dengan perbaikan. Kedua, preservasi yaitu mempertahankan yang telah dibangun disuatu tempat dalam keadaan aslinya tampa ada perubahan dan mencegah penghancuran. Ketiga, restorasi yaitu mengembalikan yang telah di bangun disuatu tempat ke kondisi semula yang diketahui, dengan menghilangkan tambahan atau membangun kembali komponen-komponen semula tampa menggunakan bahan baru. Keempat, rekontruksi yaitu membangun kembali suatu tempat sesuai mungkin dengan kondisi awal yang diketahui dan diperbedakan dengan menggunakan bahan baru atau lama. Dan kelima, adaptasi yaitu merubah suatu tempat sesuai dengan penggunaan yang dapat digabungkan. Dalam konteks permukiman tradisional, transedensi lingkungan adat selalu berkaitan dengan dinamika dan kerentanan sosial yang majemuk. Di beberapa daerah di Indonesia, budaya sangat rentan untuk termodernisasi. Ekspansi pengaruh globalisme barat semakin menjadikan eksistensi mereka terancam punah (Yusran, 2010). Sehingga kemudian sangat wajar apabila dalam perkembangannya, permukiman tradisional mengalami perubahan dan pergeseran nilai, fungsi dan batasan teritori wilayah adat. Hal ini tentu berimplikasi terhadap keberlangsungan tatanan permukiman tradisional yang ada, karena permukiman tradisional merupakan manifestasi dari nilai sosial budaya masyarakat yang erat kaitannya dengan nilai sosial budaya penghuninya, yang dalam proses penyusunannya menggunakan dasar norma-norma tradisi (Rapoport dalam Wikantiyoso, 1997). Lebih lanjut, Erwin dalam Santhyasa (2010), menyatakan bahwa perubahan dan pembaharuan kebudayaan dibenarkan dan dimungkinkan karena pada hakekatnya kebudayaan tidak diciptakan cuma sekali dan langsung selesai, tetapi diciptakan terus menerus. Perubahan kebudayaan ada yang terjadi pada wujud fisik, sistem sosial serta ada pula pada wujud sistem idenya. Sejalan dengan perkembangan waktu, fungsi bangunan dan lingkungan kawasan permukiman, telah mengalami perubahan secara fisik dan non fisik, disebabkan oleh pertumbuhan penduduk, perubahan kegiatan ekonomi, perubahan sistem politik, sosial dan budaya masyarakat yang berpengaruh terhadap bentukan spasial lingkungan permukiman. Sejalan dengan hal tersebut, untuk mengurangi diskrepansi perubahan lingkungan permukiman tradisional, maka konsep kearifan lokal kemudian lahir sebagai tonggak untuk melestarikan dan menjaga keberlangsungan kultural yang ada. Kearifan lokal lahir, berlangsung dan berkelanjutan akibat ketergantungan masyarakat tradisional pada wilayah/teritori tempat mereka tinggal (Salain, 2005). Konsep teritori kemudian dipahami sebagai klaim terhadap suatu area secara spasial, fisikal dan perceiced environment, yang berarti bahwa konsep teritori berkaitan dengan klaim terhadap suatu wilayah untuk memenuhi kebutuhan fisik, emosional dan kondisi sosio-kultural yang ada. Sejalan dengan hal tersebut, Altman dalam Seida (2001), kemudian membagi teritori lingkungan permukiman menjadi 3 (tiga) yaitu 1) teritori utama yaitu wilayah yang dimiliki dan digunakan secara eksklusif, 2) teritori sekunder yaitu wilayah yang digunakan oleh individu dan kelompok secara bersama, dan 3) teritori publik yaitu wilayah yang dapat digunakan atau dimasuki oleh

Program Studi Magister Arsitektur Universitas Udayana

Seminar Nasional Teritorialitas, Pariwisata, Dan Pembangunan Daerah

2011

siapa saja dengan aturan dan norma yang berlaku diwilayah tersebut. Oleh sebab itu, berbicara tentang ranah permukiman tradisional, maka kearifan lokal sebagai induk tema harus menjadi vokal point arah dan tujuan konservasi yang akan dilakukan. Konservasi juga tidak harus dianggap sebagai sesuatu yang statis, tapi lebih kepada bagaimana menggali khasanah dan tradisi hakiki yang bersifat dinamis, kontinyu serta arif dalam memaknai dinamika perkembangan jaman yang ada. Perubahan dalam dimensi berkearifan lokal adalah sebuah keniscayaan, yang harus menjadi landasan konseptual arah dan pijakan gaya berpikir sistematis serta reorientasi nilai nilai budaya lokal yang dinamis dan berkelanjutan. Mengutip Sartini (2004), ............Eksplorasi terhadap kekayaan luhur budaya bangsa tersebut sangat perlu untuk dilakukan, sekaligus juga berupaya untuk mengkritisi eksistensinya terkait dengan keniscayaan adanya perubahan budaya. Ruang eksplorasi dan pengkajian kearifan lokal menjadi tuntutan tersendiri bagi pengembangan institusional filsafat dan bagi eksplorasi khasanah budaya bangsa pada umumnya Dalam konstelasi konservasi permukiman tradisional di Indonesia yang berkaitan dengan tema pariwisata berkelanjutan, penerapannya harus memprioritaskan kepentingan nilai-nilai budaya, dimensi mentalitas, pandangan hidup, filosofi keilmuan, dan tata nilai. Demikian juga kaidah, norma dan prinsip dasar bagaimana sebuah kebudayaan berjalan dan berkembang merupakan aspek dasar dan paling vital untuk dikonservasi bila dibandingkan dengan kegiatan konservasi yang hanya melestarikan artefak (benda mati) dari sebuah kebudayaan di sebuah permukiman tradisional misalnya. Dilain sisi, konsep dasar pariwisata berkelanjutan memberi batasan bahwa pariwisata berkelanjutan adalah semua bentuk pembangunan, pengelolaan dan aktivitas pariwisata yang memelihara integritas lingkungan, sosial, ekonomi dan kesejahteraan dari sumberdaya alam dan budaya yang ada untuk jangka waktu yang lama (Federasion of Nature and National Parks, 1993). Demikian menjadi jelas konsep dasar pembangunan pariwisata berkelanjutan yang terintegratif harus mengandung pertimbangan terhadap dampak pada lingkungan alam, komunitas lokal, ekonomi di tingkat lokal (regional, nasional), serta budaya asli setempat. Sejalan dengan hal tersebut, ada lima kelompok dasar pertimbangan dalam konteks pembangunan kepariwisataan berkelanjutan yang dijadikan pendekatan, antara lain (Potjana, 2003 dalam Suartika, 2010): 1).Ekonomi, 2).Sosial, 3).Politik, 4).Budaya, dan 5).Lingkungan alamiah. Keterkaitan antara kelima aspek dijadikan dasar pertimbangan jika pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan merupakan tujuan jangka panjang yang diharapkan. Aspek politik dan budaya menjadi krusial untuk dipertimbangkan dalam upaya menuju pembangunan pariwisata berkelanjutan. Penekanan pada partisipasi masyarakat lokal, penguatan budaya lokal dan kesempatan untuk memanfaatkan serta mengatur pemanfaatan sumber daya alam, memunculkan stigma pendekatan pariwisata partisipatif yang melibatkan masyarakat lokal di dalam proses pengembangan pariwisata yang terkait dengan isu-isu tentang pariwisata (Santhyasa, 2010) yang ramah lingkungan (sustainable tourism), kecenderungan kembali ke alam (back to nature), pariwisata yang memberikan keuntungan terbesar bagi masyarakat baik dari segi ekonomi dan lingkungan (ecotourism) atau pariwisata yang berbasis komunitas (community based tourism). Dalam konteks demikian, konservasi kultural menjadi sangat penting dalam mempertahankan keberlanjutan kegiatan pariwisata dari sisi masyarakat lokal (humanis). Konservasi kultural menekankan pada pelestarian aspek mental dan prinsip tata nilai, norma dan kontinuitas budaya secara menerus didalam struktur sosial kemasyarakatan yang ada. Relasi linear antara kegiatan konservasi prinsip dan nilai tercermin dalam terakomodirnya prinsip pariwisata berkelanjutan seperti yang tertuang dalam Pacific Ministers Conference on Tourism and Environment di Maldivest tahun 1997 yang meliputi kesejahteraan lokal, penciptaan lapangan kerja, konservasi sumber daya alam, pemeliharaan dan peningkatan kualitas hidup, dan equity inter dan antar generasi dalam distribusi kesejahteraan kedalam sebuah wacana pelestarian nilai dan prinsip dalam masyarakat untuk mengawetkan produk kepariwisataannya yang dalam hal ini adalah lingkungan permukiman tradisional (beserta isinya). KONSERVASI PRINSIP DAN NILAI ; Sebuah Preferensi Pariwisata Berkelanjutan di Desa Adat Penglipuran. Desa Adat Penglipuran secara administratif masuk dalam wilayah Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli. Jarak dari Kota Denpasar adalah 45 kilometer atau berjarak 5.5 kilometer dari kota Bangli ke arah utara. Luas wilayah sebesar 160,63 Hektar dengan proporsi penggunaan lahan untuk permukiman sebesar 9,23% Ha sisanya merupakan tegalan sebesar 30,85% dan hutan sebesar 46,77% . Pada tahun

Program Studi Magister Arsitektur Universitas Udayana

Seminar Nasional Teritorialitas, Pariwisata, Dan Pembangunan Daerah

2011

2006, jumlah penduduk Desa Adat Penglipuran mencapai 897 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 270 KK yang terdiri dari 76 KK disebut krama pengarep dan sisanya disebut krama pengerob.
Gambar 1. Wilayah Studi; Desa Adat Penglipuran,Kelurahan Kubu, Bangli-Bali Sumber : Diadaptasikan dari Arimbawa (2010)

Desa Adat Penglipuran juga merupakan suatu desa yang dikelola dengan suatu kesatuan hukum adat dengan seorang kelian adat sebagai ketua dan dua orang pembantu yang disebut dengan penyarikan. Mayoritas mata pencaharian masyarakatnya adalah sebagai petani dan buruh (Monografi Desa Adat Penglipuran, 2006). Eksistensi Desa Adat Penglipuran sebagai komunitas yang secara sengaja dikonservasi sebagai unit permukiman tradisional untuk kepentingan tujuan wisata, dilegitimir dengan adanya Surat Keputusan Bupati Bangli Nomor 116 Tahun 1993 tentang Penarikan Retribusi Desa Adat Penglipuran (Monografi Desa Adat Penglipuran, 2001). Berdasarkan statistik kunjungan wisatawan baik wisatawan nusantara maupun mancanegara ke Desa Adat Penglipuran dari tahun 2001 sampai tahun 2006, menunjukkan tren yang menurun akibat peristiwa Bom Bali. Dari jumlah kunjungan wisatawan sebanyak 22.692 (23 %) di tahun 2001 menjadi 16.643 (15 %) di tahun 2006. Berdasarkan data dari Dinas Pariwisata Dan Kebudayaan Kabupaten Bangli, jumlah retribusi untuk desa adat Penglipuran pada tahun 2001 adalah sebesar Rp. 64.753.000 atau 23 % dari keseluruhan pendapatan retribusi dari tahun 2001 sampai 2006, yang juga merupakan jumlah retribusi terbesar. Penurunan jumlah retribusi terjadi pada tahun 2003 akibat terjadinya

bom Bali 2 yang menyebabkan pendapatan desa dari retribusi pengunjung hanya sebesar 10 % dari jumlah retribusi keseluruhan. Prinsip dan Nilai Konservasi Desa Adat Penglipuran Dari segi fisik, Desa Adat Penglipuran mempunyai potensi sumber daya alam berupa tanah yang subur, sumber air, iklim yang mendukung serta hutan bambu menjadikan Desa Adat Penglipuran sebagai sebuah desa adat yang tetap eksis sampai dengan saat ini tampa harus mengubah rantai ekologis ke empat potensi tersebut. Kearifan mereka menjaga kelestarian antara ke empat potensi sumber daya alam yang ada membuat tatanan desa adat baik skala makro (desa adat) maupun mikro (karang/rumah) tetap terkonservasi dan terlindungi. Prinsip pelestarian potensi alam sekitar erat kaitannya dengan landasan konsep ruang tradisional Hindu-Bali yaitu Manik ring Cecupu yang bisa diterjemahkan sebagai kawasan inti dan kawasan penyangga, dimana kawasan inti permukiman disangga oleh kawasan hutan dan ladang disekitarnya. Struktur fisik kawasan inti permukiman selalu dikaitkan dengan landasan fundamental filosofi ke-ajeg-an tatanan Desa Adat Penglipuran

Program Studi Magister Arsitektur Universitas Udayana

Seminar Nasional Teritorialitas, Pariwisata, Dan Pembangunan Daerah

2011

mempertahankan kontur tanah dan keseimbangan serat tanah dalam meminimalisir potensi erosi. Secara konseptual, prinsip dasar Tri Hita Karana juga memberi kontribusi penting dalam pembagian ruang peruntukkan desa menjadi tiga teritorial fungsi yaitu teritori yang berhubungan dengan fungsi spritualitas, fungsi sosial kemasyarakatan, dan fungsi pendukung. Penegasan prinsip THK ini kemudian berimplikasi pada peruntukan ruang dan toleransinya terhadap nilai dan prinsip kesucian yang dikandung dalam konsep tersebut. Ketiga teritori tersebut diatas berfungsi sebagai suatu batas terhadap nilai keruangan dimana makin keutara memiliki nilai kesakralan yang lebih tinggi. Batas-batas yang dimaksud sekaligus berfungsi sebagai pengarah dan limitasi bagi perkembangan kawasan khususnya pada teritori pawongan (permukiman penduduk) akibat perkembangan jaman dan perkembangan mortalitas akibat perkawinan, maka rumah-rumah hanya dapat dikembangkan atau dimekarkan kearah belakang masing-masing karang kerti (pekarangan rumah) yang disebut tebe. Beberapa prinsip dan nilai lainnya yang bisa dijadikan preferensi konservasi untuk mendukung prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan dari segi partisipasi dan keterlibatan lokal adalah adanya konsep kebersamaan nabuan dalam pertimbangan membangun rumah. Analogi penataan rumah ini diadaptasi dari konsep lebah dalam membangun sarangnya. Karena adanya ketetapan untuk tidak boleh membangun rumah lebih dari 76 unit, maka konsep nabuan diterapkan dengan dua cara yaitu 1). Membangun pada halaman yang sama, 2). Membangun kearah halaman belakang dengan fungsi sama. Prinsip lainnya dalam membatasi perkembangan permukiman adalah larangan melakukan perkawinan poligami dengan menyediakan lahan perumahan yang disebut dengan karang memadu di ujung selatan desa. Kearifan lokal tersebut mempunyai makna bahwa poligami memberikan pengaruh terhadap daya dukung lingkungan permukiman dan peningkatan kebutuhan terhadap lahan yang akhirnya dapat merubah keseimbangan ekologi mereka sehingga harus merubah pola ruang desanya. Implikasi Konservasi Prinsip dan Nilai terhadap Konsep Pariwisata Berkelanjutan di Desa Adat Penglipuran. Upaya konservasi yang selama ini kita dengung-dengungkan ternyata baru hanya menyentuh artefak luar dan sama sekali tidak menyentuh aspek manusia sebagai agen perubahan dari upaya neo-klasik konservasi yang

tercermin dari komposisi kawasan permukiman yang dipertahankan tidak boleh lebih dari 76 unit rumah sesuai dengan jumlah KK pengareb sebanyak 76 KK, termasuk juga dalam hal orientasi ruang, bentuk dan bahan bangunan yang ada. Konsep kebersamaan dalam menjaga dan mengatur peruntukkan dan pemanfaatan ruang permukiman dituangkan dalam awig-awig Desa Adat Penglipuran, palet 5, paos 25, ayat 2, 1989:8) yang menyebutkan bahwa semua kepemilikan lahan mulai dari pekarangan, tebe, sawah, tegalan, hutan bambu dan sebagainya merupakan milik desa yang dikenal dengan istilah tanah laba pura sebagai aset desa yang hasilnya untuk segala keperluan pura, dan desa adat secara bersama. Peralihan fungsi dan kepemilikan tanah juga tidak diperbolehkan dalam aturan desa adat sehingga, konsistensi perubahan ekosistem lingkungan permukimannya tetap terjaga. Dari sisi morfologi kawasan, pola permukiman Desa Adat Penglipuran menerapkan pola segaris atau linear merupakan ekspresi masyarakat lokal terhadap kuatnya konsep dualistik (Rwa Bhineda) yang mereka miliki. Konsep ruang dualistik tersebut termanifestasikan dalam bentuk tatanan ruang permukiman desa adatnya yang didasari oleh orientasi gunung/kaja dan laut/kelod. Kuatnya orientasi tersebut diterjemahkan kedalam fasilitas bersama yaitu berupa jalan yang membentang dari utara ke selatan (kaja-kelod) membelah permukiman Desa Adat Penglipuran menjadi dua sisi yaitu sisi barat dan sisi timur jalan (rurung gede). Jalan yang lurus dari arah selatan ke utara bertujuan untuk menciptakan ruang datar pada bagian tertentu agar dapat didirikan bangunan permukiman maupun bangunan lain serta pemanfaatan ruang secara optimal akibat kondisi kontur lahan yang ada. Pada setiap jalan setelah memasuki angkulangkul setiap hunian, terdapat tanaman sebagai pengarah gerak/sirkulasi. Teknik leveling (bertingkat) pada permukiman juga selain bermakna filosofis berorientasi sacred-profan, juga mempunyai fungsi taktis untuk

Program Studi Magister Arsitektur Universitas Udayana

Seminar Nasional Teritorialitas, Pariwisata, Dan Pembangunan Daerah

2011

selama ini kita lakukan. Beberapa prinsip dan nilai yang telah mengakar dalam jatidiri masyarakat adat misalnya, mengalami transedensi akibat kesalahan pola pikir konservasi ala barat. Dari yang harus diperhatikan dalam kegiatan konservasi bila dibandingkan dengan konservasi fisik, Pangarsa (2010), menyusun struktur prioritas ranah pelestarian dan pengembangan

Objek Pelestarian dan Pengembangan Lingkungan Permukiman tradisional Unsur Ruang ketetangggan/kelompok bangunan/meso Ruang dalam bangunan/mikro Elemen bangunan pembentuk karakter utama (atap,dinding, panggung, dll) Ragam hias Teknologi struktur dan konstruksi Bahan bangunan Elemen semi-tetap

Aspek

artifak

sosifak

mentifak

Prioritas

Gambar 2. Objek Pelestarian & Pengembangan Lingkungan Permukiman Tradisional Sumber : Galih W. Pangarsa, 2010.

beberapa pengertian yang ada, konservasi sering dianggap hanya sebagai masalah teknologi pelestarian bahan yang sudah tua., menjaga bangunan yang rapuh dalam perbaikan dan pengawasan. Sehingga permasalahan dalam konservasi hanya berkutat pada masalah fisik bahan dan bangunan (Oliver, 2006 dalam Yusran, 2010). Dari uraian diatas menjadi sangat jelas beberapa prinsip dan nilai yang bisa menjadi pertimbangan utama konservasi yang kemudian dikaitkan dengan prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan di Desa Adat Penglipuran. Prinsip dan nilai yang terkandung dari tradisi vernakular seharusnya diakui dengan menghormati normanorma adat budaya dan pengetahuan lokal (local genious) melalui pendekatan partisipasi aktif masyarakat setempat untuk terus menghidupkan usaha pemeliharaan desa adatnya. Upaya ini terus berkelanjutan sehingga upaya konservasi tepatnya restorasi yang terjadi tidak hanya terhadap restorasi fisik bangunan, namun juga terhadap lingkungan dan manusia (Yusran, 2010) termasuk keberlanjutan nilai-nilai spasio-kultural yang ada berupa nilai-nilai filosofis dan kosmologi ruang Hindu yang ada. Sementara itu, untuk memperkuat rekomendasi awal bahwa aspek prinsip dan nilai

lingkungan permukiman tradisional sebagai berikut : Filosofi/Budaya (mentifak). Berkaitan dengan nilai-nilai luhur yang mendorong/memperkuat pijakan perikehidupan bersama untuk kesatuan bangsa (asas bhineka tunggal ika) Konsep keilmuan (sosifak). Berkaitan dengan perumusan tentang keilmuan yang ada/pernah dipraktekkan di dalam tradisi masyarakat (tradisi tulis/buku kering dan lisa/nir-lisan/buku basah, contohnya rumusan sosial-budaya aspekaspek keilmuan lokal:pengawetan bahan, ekologi bahan, dll Terapan keilmuan (artifak). Berkaitan dengan pendaya-manfaatan potensi dan praksis keilmuan di masyarakat (praksis keilmuan lokal: teknologi struktur konstruksi bangunan dan lingkungan, dll yang sudah ada ditumbuh-kembangkan) Jika diterapkan pada objek pelestarian dan pengembangan lingkungan permukiman tradisional, prioritas ranah di atas dapat dilihat pada gambar dibawah. Keberlanjutan prinsip dan nilai-nilai spasiokultural yang ada dan telah sustain di masyakarat ini, kemudian menjadi entry point dalam

Program Studi Magister Arsitektur Universitas Udayana

Seminar Nasional Teritorialitas, Pariwisata, Dan Pembangunan Daerah

2011

menerapkan prinsip pembangunan pariwisata berkelanjutan. Kemudian disadari atau tidak, prinsip pariwisata berkelanjutan semisal kesejahteraan lokal, penciptaan lapangan kerja, konservasi sumber daya alam, pemeliharaan dan peningkatan kualitas hidup, dan equity inter dan antar generasi dalam distribusi kesejahteraan menjadi sejalan dengan upaya konservasi prinsip dan nilai yang dilakukan. Selain itu, prinsip dan nilai-nilai spasio-kultural yang telah ada menjadi guidelines bagi pembangunan pariwisata berkelanjutan di Desa adat Penglipuran. KESIMPULAN Aspek mental dan prinsip nilai sebenarnya merupakan kandungan inti dari konservasi berwawasan nusantara dalam mempertahankan keberlanjutan nilai-nilai budaya dan tentunya artefak lingkungan buatan yang ada (biasanya dalam bentuk lingkungan terbangun). Konsistensi dalam menghadapi perubahan, filterisasi serta DAFTAR PUSTAKA
Antariksa (2005). Perancangan Kota Untuk Kota Kecil, kumpulan makalah pada seminar Stadium General, Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Nasional Malang, 2004. Arimbawa, Wahyudi (2010). Perpektif Ruang Sebagai Entitas Budaya Lokal: Orientasi Simbolik Ruang Masyarakat Tradisional Desa Adat Penglipuran, Bangli-Bali. Jurnal Local Wisdom, Volume II Nomor 4, Desember 2010. Krisna, Rini (2005). Studi Pelestarian Kawasan Wisata Budaya Di Dusun Sade Kabupaten Lombok Tengah. Jurnal Plannit, Volume 3 Nomor 2, Desember 2005. Pangarsa, W. Galih. (2010). Konservasi dan Pengembangan Lingkungan Permukiman Tradisional: Kearifan Lokal Nusantara sebagai Konsep Dasar. Kumpulan Makalah Seminar Nasional Jelajah Arsitektur Negeri 2010: Pengembangan Perumahan Tradisional, Kementrian Pekerjaan Umum, Balitbang, Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2010. Rapoport, Amos (1973). Some Perspektive on Human Use and Organization Of Space. Thirty Three Papers ini Enviromental-Behaviour Research. New Castle:The Urban International Press. Samadhi, T. Nirarta. (2004). Perilaku Dan Pola Ruang: Kajian Aspek Perancangan Kota di Kawasan Perkotaan Bali. Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat, Jurusan Teknik Planologi ITN Malang, (2004). Santhyasa, I Komang. (2010). Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan:Pendekatan Partisipatif dalam Perencanaan Ekowisata di Pulau Nusa Ceningan, Bali. Kumpulan Makalah Seminar Nasional Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia 2010. Program studi Magister Ilmu Lingkungan,Universitas Udayana, 2010. Saraswati, A.A. Ayu Oka (2010). Pamesuan Dalam Konservasi Umah Pada Kawasan Wisata. Kumpulan Makalah Seminar Nasional Jelajah Arsitektur Negeri 2010: Pengembangan Perumahan Tradisional, Kementrian Pekerjaan Umum, Balitbang, Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2010. Sartini (2004). Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati. Jurnal Filsafat, Jilid 37 Nomor 2, Agustus 2004. Sasongko, Ibnu (2003). Kuasa Dalam Struktur Ruang Permukiman: Kasus Permukiman Sasak. Jurnal ASPI, Volume 3 Nomor 1, Oktober 2003. Sasongko, Ibnu (2005). Ruang Ritual dalam Permukiman Sasak: Kasus Desa Puyung, Lombok Tengah. Jurnal Plannit, Volume 3 Nomor 2, Desember 2005. Seida, Sri Selvi. (2001). Identifikasi Teritori Masyarakat Pada Lingkungan Perumahan dari Pengaruh Pola Jalan Melalui Persepsi dan Simbolisasi Batas Teritori Primer (Pagar Rumah). Jurnal Plannit, Volume 1 Nomor 2, Juli - Agustus 2001. Suartika, Gusti Ayu Made (2010) Pariwisata, Masyarakat Etnik dan Proses Komodifikasi. Kumpulan Makalah dalam Seminar Nasional Perencanaan dan Manajemen Spasial: Pariwisata Etnik, Program Studi Magister Arsitektur, Universitas Udayana, 2010 Wikantiyoso, Respati. (1997). Konsep Pengembangan: Transformasi Pola Tata Ruang Tradisional Jawa di Kota Gede Yogyakarta-Indonesia, Science. Nomor 37. Juli, 1997. Wiradmadja, Ida Bagus (2005) Bali antara tradisi dan Modernisasi. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota, Vol. 1 Nomor 1, Maret 2005. Yusran, Yusfan A (2010). Reaktualisasi Pemikiran Terhadap Konservasi Arsitektur Klasik Indonesia. Kumpulan Makalah Seminar Nasional Jelajah Arsitektur Negeri 2010: Pengembangan Perumahan Tradisional, Kementrian Pekerjaan Umum, Balitbang, Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2010.

dinamisasi perubahan yang terjadi namun tetap dalam konteks nilai dan prinsip yang tetap mengakomodasi keberlanjutan nilai-nilai kultural, menjamin dan menggiring konsep dasar pembangunan pariwisata berkelanjutan agar tetap dalam koridor normatif landasan filosofis HinduBali yang ada. Beberapa prinsip dan nilai dalam komunitas lokal desa Penglipuran semisal filosofi manik ring cecupu, adanya konsep dikotomi luan-teben, awig-awig desa adat, filosofi dasar Tri Hita Karana dan beberapa ketentuan lokal otonom lain seperti konsep pembangunan rumah nabuan dan adanya konsep karang memadu, merupakan manifestasi dari pengetahuan lokal dalam melestarikan artefak lingkungan permukiman tradisional. Dalam konteks pariwisata berkelanjutan, prinsip dan nilai tersebut diatas merupakan mekanisme partisipatoris dengan lebih banyak memberi peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi secara efektif, menuangkan ide dan pengetahuan lokalnya, termasuk melakukan kontrol terhadap fungsi dan dampak dari konsep majemuk pariwisata berkelanjutan yang ada.

Program Studi Magister Arsitektur Universitas Udayana

Seminar Nasional Teritorialitas, Pariwisata, Dan Pembangunan Daerah

2011

Program Studi Magister Arsitektur Universitas Udayana

Anda mungkin juga menyukai