TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sepsis
2.1.1 Definisi
2
3
Wanita hamil meskipun memiliki prognosis yang lebih baik jika mengalami
sepsis, fetus yang dikandungnya juga berada pada risiko tinggi, Resiko pada fetus
bukan karena efek langsung bakteri atau endotoksin pada fetus tetapi endotoksin
menyebabkan penurunan suplai darah uteroplasenta dan peningkatan kontraksi uterus.
Hal ini menyebabkan terjadinya hipoksia fetus, asidosis, dan persalinan preterm. Pada
kasus yang berat dapat menyebabkan fetal distress dan kematian. Pada keadaan ini
4
persalinan hanya akan memperburuk keadaan ibu dan fetus, sehingga pada keadaan
ini diharapkan terjadi stabilisasi keadaan ibu dulu sebelum persalinan.4
Penyebab tersering bakterimia (70-80%) pada pasien obstetri adalah akibat
endometriosis setelah persalinan dengan seksio sesaria, dan sepsis tersering (80%)
pada pasien obstetrik terjadi pada periode post partum. Persalinan SC dihubungkan
dengan insiden yang lebih tinggi terjadinya bakterimia daripada persalinan
pervaginam( 3% : 1%). Dengan demikian SC merupakan satu yang terbanyak faktor
risiko berkembangnya bakterimia dan sepsis.
Seperti halnya pada populasi non obstetrik, kuman-kuman gram negatif,
kuman-kuman penghasil endotoksin, basilus aerobic ditemukan sering kali pada
pasien pasien obsterik dengan bakterimia atau sepsis. Organisme-organisme ini
terbanyak berasal dari flora vagina dan bukan infeksi nosoksomial. Walaupun bakteri
ini menyebabkan sepsis pada kehamilan sampai 60-80 %, bakteri lainnya dapat
menyebabkan sepsis dan pada 20% kasus obstetrik dengan sepsis penyebabnya
bersifat polimikrobial dan 10% dari kasus infeksi penyebabnya tidak diketahui.
2.2.2 Patofisiologi
Syok terjadi bila perfusi jaringan tidak adekuat dan berakhir pada disfungsi sel
dan seringkali berakhir dengan kematian sel, bila berlanjut terlalu lama. Organ yang
sering terlibat seperti jantung, paru-paru, ginjal, hati, SSP, dan sistim koagulasi. Pada
kehamilan, uterus dan fetus dapat terlibat. Prognosis semakin buruk dengan semakin
banyaknya organ yang terlibat. Kematian sering kali menyertai kegagalan satu atau
lebih sistim organ yang terlibat atau hipotensi yang tidak teratasi
Perubahan hemodinamik pada syok septik berbeda dengan penyebab syok yang lain :
kardiogenik, obstuksi vaskuler, dan hipovolemia. Pada syok septik, resistensi
vaskuler sistemik (SVR) meningkat sebagai mekanisme kompensasi untuk
mempertahankan tekanan darah, dan perbedaan oksigen aretiovenosa meningkat,
mencerminkan pengambilan oksigen sistemik oleh jaringan hipoperfusi. Perubahan
hemodinamik yang dihasilkan oleh sepsis atau syok septik lebih kompleks dan secara
klasik dibadi menjadi 3 fase, yaitu:
• Syok awal (panas)
• Syok lanjut ( dingin)
• Syok sekunder (irreversibel)
sirkulasi. Keadaan ini menyebabkan penekanan fraksi ejeksi dan dilatasi ventrikel.
Akhirnya penurunan perbedaanoksigen arteriovenosa sebagai akibat penurunan
penggunaan oksigen perifer. Keadaan ini merupakan hasil maldistribusi aliran darah
(oksigen) ke jaringan dengan perkembangan terjadinya laktat asidosis.
Fase dingin dari syok septik secara klasik ditandai oleh penurunan volume
sekuncup sebagai akibat menungkatnya SVR dan semakin memburuknya disfungsi
miokardial. Peningkatan SVR sebagai akibat vasokonstriksi berat disebabkan oleh
katekolamin sirkulasi dan prostaglandin vasoaktif (tromboksan). Meskipun
kebanyakan pasien mengalami penurunan SVR, tanda klinik syok dingin terjadi
akibat penurunan volume sekuncup, akumulasi asam laktat, hipovolemia persisten,
dan insuffisiensi mikrovaskuler. Pada fase ini perfusi jaringa tidak adekuat dan tidak
berrespon terhadap cairan bolus, sehingga obat-obatan inotropik dan vasoaktif
diperlukan untuk mempertahankantekanan darah yang adekuat.
Fase akhir dari syok menunjukkan semakin buruknya hipotensi yang tidak
berrespon terhadap terapi konvensional dengan cairan dan obat-obatan inotropik atau
vasoaktif. Berkembangnya kerusakan organ target yang bersifat irreversibel terjadi
selama fase ini.
vasodilatasi perifer. Dengan perkembangan kearah syok lanjut, terjadi hipotensi, kulit
yang dingin dan lembab, hipoksemia,oligouria, dan memburuknya keadaan mental.
Selama perioda syok awal, tanda dari kerusakan organ target dapat terlihat dan
keadaan ini dapat memburuk menjadi syok lanjut.
• Sistim pernafasan
Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS ) terjadi pada 25 % kasus yang
berperan pada terjadinya hipoksemia dan angka mortalitasnya 50 %.
• Hemodinamik
Trombositopenia terjadi pada 50 % kasus dan 5 % berkembang menjadi DIC.
• Hepar
Lebih jarang terjadi kecuali pada keadaan iskemia yang berat.
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis awal sepsis atau syok septik tergantung pada kepekaan dokter untuk
menilai pasien dengan dan tanda awal yang tidak spesifik seperti takipnnea, dispnea,
takikardia dengan keadaan hiperdinamik, vasodilatasi perifer, instabilitas tempratur,
dan perubahan keadaan mental. Keadaan seperti ini penting di perhatikan pada
wanita-wanita dengan resiko tinggi seperti pyelonefritis, korioamnionitis,
endometritis, abortus septik, atau telah menjalani prosudur operasi emergensi.
Diagnosa dan penanganan awal ini sangat menentukan keberhasilan hidup pasien.
Tanda yang tampak tergantung dari fase syok septik (syok panas atau dingin)
dan tipe kerusakan organ yang terjadi, tetapi hipotensi selalu ditemukan. Kebanyakan
pasien mengalami peningkatan tempratur dan lekosit dengan pergeseranke kiri, tetapi
pada beberapa wanita terjadi penurunan temperatur dan kadar leukosit dibawah
9
normal. Sebagai akibat dari keadaan hiperdinamik jantung, terjadi gejala gejala pada
jantung seperti iskemia, gagal jantung kiri, atau aritmia. Konsekuansi klinik dari DIC
adalah perdarahan, trombosis dan hemolisis mikroangiopati. Karena pada syok sepsis
potensi terjadinya disfungsi ginjal dan hipovulemia, manifestasi klinik dapat berupa
oligouria, hematuria dan proteinuria.
Karena sebanyak 25 % wanita dapat mengalami ARDS dengan kegagalan
respirasi. ARDS merupakan gagal pernafasan mendadak tanpa kelainan paru yang
mendasari sebelumnnya. Faktor predisposisi yang mendasari dapat berupa sepsis,
perdarahan, ruda paksa paru atau bagian tubuh lain, pankreatitis, aspirasi airan
lambung dl. Dokter perlu mengamati tanda terjadinya distres pernafasan, hipoksemia,
dan tanda memburuknya hipoksemia. Pada awal sepsis pasien menunjukkan respirasi
alkalosis akibat hiperventilasi. Dengan memburuknya sepsis, terjadi respirasi asidosis
sebagai akibat dari pengumpulan asam laktat yang berasal dari metabolisme
anaerobik sel. Kadar asam laktat berhubungan dengan derajat hipoksia organ, dan
meningkatnya kadar asam laktat mencerminkan memburuknya prognosis dan dapat
digunakan sebagai parameter keberhasilan pengobatan.
Dalam hal membantu menegakkan diagnose sepsis stau syok septik, selain
melalui pemeriksaan fisik, juga diperlukan pemeriksaan rongen dan kultur.
Pemeriksaan fisik pasien obstetrik difukuskan pada sistem genitourinaria,
gastrointestinal, respirasi dan luka-luka seperti luka operasi, epiostomi dan lain-lain.
Kemungkinan fokus infeksi pada wanita post partum meliputi sisa hasil konsepsi,
mikroabses uterus, abses pelvis, infeksi luka, dan trombosis pelvis. Sedikitnya
diperlukan 2 bahan kultur darah yang berbeda. Sensitivitas kultur tunggal untuk
bakterimia adalah 80 %, dua bahan 89 % dan 3 bahan99%. Dua kuman yang sangat
virulen dengan angka mortalitas yang tinggi adalah Streptokokus pyogens (group A
streptokokus ) dan Clostridium Sordeli.
2.2.7 Penatalaksanaan
10
Sekitar 70 % pada septik syok dapat dicegah. Untuk mencapai keadaan ini di
perlukan tindakan diagnosis dini dan penanganan awal yang benar. Tujuan dari
penanganan syok septik adalah mempertahankan kardiak output, mempertahankan
perfusi organ target dan oksigenasi, mengobati infeksi sebagai sumber bakteremia,
mempertahankan ventilasi yang adekuat, dan memperbaiki atau mengoreksi
kerusakan organ.
• Resusitasi cairan
Penanganan awal memerlukan tindakan yang secara langsung memperbaiki
volume sekuncup jantung dan oksigenasi yang adekuat. Keadaan ini dapat
dilakukan melalui pemberian cairan intravena dengan jarum besar dan aliran
yang cepat. Resusitasi cairan dimulai dengan 1-2 liter Ringer Laktat atau normal
salin selama 15-20 menit tanpa alat monitor. Jika pemberian cairan diteruskan,
dapat dipasang kateter Swan Ganz untuk membantu menghitung jumlah cairan
yang diperlukan, karena resiko terjadinya oedem paru, ARDS dan disfungsi
myokardial. Cairan intravena tambahan di perlukan untuk mencapai tekanan
kapiler pulmonar yang optimal, antara 12-17 mmHg. Jika terjadi kehilangan
darah akut, atau hematokrit turun dibawah 30 %, cairan yang paling sesuai
adalah red blood cell.
2.3.1 Definisi
Infeksi intrapartum adalah infeksi yang terjadi dalam masa persalinan / in partu.
Sekitar 25% infeksi intrapartum disebabkan oleh ketuban pecah dini (KPD) sehingga
disebut juga sebagai korioamnionitis, infeksi intraamnion, atau amnionitis karena
infeksi ini melibatkan korion, amnion dan cairan ketuban. Makin lama jarak antara
ketuban pecah dengan persalinan, makin tinggi pula resiko morbiditas dan mortalitas
ibu dan janin. Pada ketuban pecah 6 jam, risiko infeksi meningkat 1 kali. Pada KPD
yang berkepanjangan (>24-48 jam), risiko infeksi meningkat sampai 2 kali lipat.
Resiko korioamnionitis pada KPD aterm < 10% dan dapat meningkat sampai 24%
setelah 24 jam.1,5
2.3.2 Epidemiologi
mudah masuk dan menimbulkan infeksi intra partum apabila ibu sering diperiksa
dalam, infeksi puerpualis, peritonitis dan sepsis. 1,5
2.3.3 Etiologi
2.3.4 Patofisiologi
Baik ibu ataupun janin memiliki resiko infeksi saat terjadi KPD. Ibu dapat
mengalami korioamnionitis, endometritis jika infeksi mencapai endometrium, dan
penurunan aktivitas miometrium (distonia, atonia). Infeksi janin dapat berupa
pneumonia, infeksi saluran kencing, infeksi lokal seperti omphalitis atau
konjungtivitis.
Air ketuban mengandung imonoglobulin yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri di rongga amnion. Namun apabila terjadi korioamnionitis, janin dapat
terinfeksi akibat menelan atau aspirasi air ketuban dan menyebabkan kondisi gawat
janin. Oleh sebab itu, sebagian besar pneumonia neonatorum dini atau sepsis, terjadi
14
2.3.6 Penatalaksanaan
2.4.1 Definisi
KPD dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan saat pecahnya selaput ketuban,
yaitu PROM (Premature rupture of membranes) dan PPROM (Preterm premature
rupture of membranes). PROM adalah pecahnya selaput ketuban saat usia kehamilan
17
2.4.3 Diagnosis
Diagnosis KPD secara akurat (90%) dapat diperoleh dari anamnesis, yaitu
keluarnya cairan seperti air dalam jumlah banyak maupun merembes sedikit demi
sedikit dari vagina atau jalan lahir. Cairan berbau khas, dan perlu juga diperhatikan
warna dan bau cairan tersebut. Perlu juga ditanyakan mengenai adanya rasa mulas,
18
perdarahan dari jalan lahir ataupun keluarnya lendir disertai darah dari jalan lahir,
berhubungan badan sebelumnya, pasien menderita panas badan atau adanya tanda-
tanda infeksi, dan usia kehamilan yang penting untuk penanganan KPD. Tetapi suatu
diagnosis memerlukan gabungan antara anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Perlu dipikirkan kemungkinan diagnosis lain seperti
hilangnya sumbat mukus, sekret vagina yang berhubungan dengan infeksi, dan
inkontinensia urin.
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan inspekulo secara steril, yang
memperlihatkan cairan yang menggenang pada forniks posterior atau keluar dari
orifisium uteri eksternum (OUE). Bila cairan tidak tampak keluar, dapat dilakukan
sedikit penekanan pada fundus uteri, pasien diminta batuk, sedikit mengejan (valsava
manuever) atau bagian terendah digoyangkan. Pada saat pemeriksaan inspekulo perlu
dipastikan tidak adanya plasenta yang prolaps atau ekstremitas janin yang keluar
melaui OUE. Pemeriksaan dalam dapat dilakukan bila kehamilan akan diterminasi
atau dilakukan induksi persalinan, tetapi tetap perlu dibatasi karena akan
menyebabkan terjadinya infeksi intrauteri, memperpendek periode laten, dan
9,11,12,13
meningkatkan insiden dari sepsis neonatorum..
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan bersamaan dengan
inspekulo yaitu perubahan pH dengan menggunakan kertas lakmus maupun nitrazine.
Lakmus merah akan menjadi biru, dan lakmus biru akan tetap biru. Nitrazine adalah
suatu kertas yang sensitif terhadap perubahan pH. Bila pH di atas 6,5 maka kertas
nitrazine akan berubah warna menjadi kuning kehijauan. Vagina wanita hamil
memiliki pH 4,5 sampai 6,0. Cairan amnion memilik pH 7,1 sampai 7,3.
Tes lain dengan menggunakan pewarnaan Nile blue sulfate dari apus vagina pada
kehamilan aterm, dimana dari cairan amnion yang menempel pada vagina dapat
ditemukan sel squamosa dari janin yang terwarna oranye pada pewarnaan ini. 9,13
Pada PPROM dapat dilakukan pengambilan sedikit cairan amnion dari fornix
posterior vagina untuk melakukan tes kematangan paru dan adanya fosfatidilgliserol
(PG) yang merupakan indikator maturitas. Pemeriksaan kadar PG dikatakan dapat
19
dipercaya karena cairan amnion yang diambil dari vagina seringkali terkontaminasi
zat lain. Tidak adanya PG menandakan paru-paru janin telah matur. 11
Tes yang sangat jarang dilakukan karena invasif adalah dengan amniosentesis
dimasukkan zat warna indigo carmine atau fluorescein, kemudian sebuah tampon
diletakkan di vagina lalu dilakukan pemeriksaan setelah 2 jam, dimana pada tampon
akan menampakkan zat warna tersebut. Pada saat pemeriksaan inspekulo, tergantung
pada usia kehamilannya dapat dilakukan tes tambahan, termasuk kultur untuk
Streptokokus grup B, Chlamydia, dan Gonorrhea dan cairan amnion dapat diambil
untuk tes maturitas paru janin. Pemeriksaan dalam tidak dianjurkan bila tidak akan
segera dilahirkan, karena akan meningkatkan resiko infeksi sehingga untuk menilai
adanya pembukaan serviks dapat dilakukan selama pemeriksaan inspekulo. 11,13
Pemeriksaan fisik lain dilakukan penilaian terhadap ukuran janin, presentasi
janin, persangkaan adanya his, infeksi (amnionitis), demam yang dialami ibu, sekret
vagina yang purulen, denyut jantung janin menjadi takikardi, dan nyeri pada uterus.
Tanda adanya infeksi saluran kemih juga perlu diperhatikan.9,11
Penanganan ini meliputi rawat inap dan observasi lanjut pada ibu dan janin.
Aturan mengenai tirah baring pada KPD masih kontroversial, tetapi hal ini membantu
diganosis dimana dengan tirah baring akan membiarkan cairan amnion tergenang
pada forniks posterior. Aktivitas ibu terkadang meningkatkan jumlah kebocoran. Oleh
karena itu, ibu harus istirahat (bed rest) total. Pemantauan kesejahteraan janin
dilakukan dengan menggunakan kardiotokografi (NST) dan atau biophysical profile
dan evaluasi USG setiap 2 minggu untuk memantau pertumbuhan janin. Pemeriksaan
20
NST digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi yang dialami oleh janin dimana
akan didapatkan hasil NST yang non reaktif. NST juga digunakan untuk mendeteksi
tanda-tanda gawat janin yang dapat diakibatkan kompresi tali pusat karena adanya
oligohidramnion dimana akan didapatkan deselerasi variable, deselerasi lambat,
akselerasi yang negative, dan takikardi. Selain dengan NST deteksi terhadap
korioamnionitis dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan hitung jenis sel
darah putih secara serial, kadar C-reactive protein (CRP), dan biakan dari vagina
setiap minggu. Penggunaan amniocentesis untuk mendeteksi korioamnionitis masih
kontroversial dan perlu penelitian lebih lanjut. 2,9,10,11,12,13
Di Rumah Sakit Immanuel penanganan ini diberikan kepada ibu dengan usia
kehamilan 28-37 minggu, yang belum ada tanda-tanda in partu, dan yang penting
tidak ada tanda gawat janin maupun infeksi. Pasien diberikan antibiotik profilaksis
dan tokolitik. Lama perawatan tidak lebih dari 2 x 24 jam karena dapat meningkatkan
infeksi nosokomial. Dilakukan observasi tanda-tanda infeksi, dan tanda-tanda in
partu. Bila bayi akan dilahirkan diberikan juga kortikosteroid. Pasien boleh pulang
jika sudah tidak ada his dan tanda-tanda infeksi. Dan pasien diberi pesan untuk
membatasi aktivitas, dengan bed rest, tidak coitus, sering kontrol dan USG, juga perlu
diberitahu kepada ibu bila ada tanda-tanda infeksi (demam, adanya mulas, pergerakan
janin berkurang) segera kembali ke rumah sakit. 14
Keuntungan pemberian antibiotik ini untuk mengurangi infeksi ibu dan janin,
memperpanjang periode laten, dan terapi awal untuk Streptococcus grup B sementara
menunggu hasil kultur. Kerugiannya ialah efek samping dari antibiotik, biaya, dan
meningkatkan resistensi dari mikroorganisme. Antibiotik diberikan secara intravena
mencapai konsentrasi tinggi pada cairan amnion dalam beberapa menit dan bertahan
dalam darah ibu 2 sampai 4 jam. Antibiotik yang telah banyak digunakan antara lain
ampicillin, ampicillin-sulbactam, ampicillin dan eritromisin, atau cephalosporin.
Lama penggunaan antibiotik bervariasi dari hasil kultur negatif sampai 5 -7 hari
bahkan dilanjutkannya pemakaian antibiotik ini sampai saat persalinan. Terapi yang
berkepanjangan memiliki resiko infeksi neonatal oleh mikroorganisme yang resisten.
Gibbs dan Eschenbach merekomendasikan pemakaian antibiotik selama 7 hari. Jika
terdapat bakterial vaginosis regimen seperti klindamisin dapat menggantikan
eritromisin.11,15
Disarankan pemberian antibiotik dilakukan pada usia kehamilan kurang dari
34 minggu untuk memperlama kehamilan dan mengurangi komplikasi KPD.
Antibiotik yang biasa diberikan adalah ampisilin 2 gram setiap 6 jam secara intravena
atau eritromisin 250 mg setiap 6 jam secara intravena selama 48 jam, diikuti
amoksisilin 250 mg setiap 8 jam per oral atau eritromisin 1000 mg dibagi 3 dosis tiap
8 jam per oral.15
Penderita dirawat di rumah sakit dan diberikan antibiotik (ampisilin 4 kali 500
mg atau eritromisin bila tidak tahan ampisilin dan metronidazol 2 kali 500 mg selama
7 hari). Bila umur kehamilan kurang dari 32-34 minggu, dirawat selama air ketuban
masih keluar. Bila usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada tanda-
tanda infeksi, tes busa negatif (beri deksametason), observasi tanda-tanda infeksi, dan
kesejahteraan janin. Terminasi dilakukan pada usia kehamilan 37 minggu atau lebih.
Bila usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada tanda-tanda infeksi,
berikan tokolitik, deksametason dan dilakukan induksi persalinan setelah 24 jam. Bila
pada usia kehamilan 32-37 minggu terdapat tanda-tanda infeksi, beri antibiotic dan
lakukan induksi persalinan serta nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda
23
infeksi intrauterine). Pada usia kehamilan 32-37 minggu beri kortikosteroid untuk
memacu kematangan paru janin, bila memungkinkan periksa juga kadar lesitin dan
sfingomyelin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2
hari atau deksametason IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali selama sehari.11,15
Bila kehamilan lebih dari 37 minggu, induksi dengan oksitosin. Selain itu,
dapat diberikan misoprostol 25 µg – 50 µg intravaginal tiap 6 jam, maksimal 4 kali.
Bila terdapat tanda-tanda infeksi, beri antibiotik dosistinggi dan terminasi kehamilan.
Bila skor pelvik kurang dari 5, lakukan pematangan serviks lalu induksi. Bila tidak
berhasil, lakukan seksio sesarea. Bila skor pelvik lebih dari 5 laukan induksi
persalinan. 15
Di rumah sakit Immanuel penanganan aktif berarti mengakhiri kehamilan,
dilakukan pada usia kehamilan > 37 minggu atau < 28 minggu, atau taksiran berat
badan bayi > 2500 gram. Dilakukan induksi atau augmentasi dengan drip oksitosin.14
Baik ibu maupun janin memiliki risiko terjadinya infeksi saat terjadi KPD.
Infeksi yang terjadi pada ibu disebut korioamnionitis. Korioamnionitis adalah infeksi
pada korion, amnion dan cairan ketuban oleh bakteri. Infeksi pada janin dapat berupa
sepsis, pneumonia, infeksi saluran kencing, atau konjungtivitis.
24