Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sepsis

2.1.1 Definisi

Istilah septikemia pertama kali dikemukakan oleh Scottmuller 1914, yaitu


invasi mikroba dari tempat masuk tertentu ( portal of entery ), menyebar ke seluruh
tubuh/ jaringan yang dapat menyebabkan tanda dan gejalan klinis suatu penyakit. 7
SIRS merupakan respon sistemik yang disebabkan oleh aktifitas sistim inflamasi
penderita yang mengakibatkan kerusakan organ yang bervariasi dan luas serta
berhubungan dengan berbagai kondisi klinik. Selain infeksi, penyebab lain SIRS
meliputi pankreatitis, iskemia, perdarahan, syok, kerusakan organ yang diperantarai
oleh reaksi imun, luka bakar. Tidak semua pasien infeksi berkembang menjadi sepsis,
dan terdapat perkembangan dari infeksi yang bersifat lokal menjadi bakterimia,
kemudian sepsis, dan selanjutnya syok septik. 3
Sepsis merupakan kumpulan gejala klinis sebagai respon inflamasi secara
sistemik (Systemic Inflamatory Response Syndrome / SIRS) akibat adanya infeksi
oleh bakteri,virus, jamur, atau protozoa. Sepsis berat adalah sepsis yang dihubungkan
dengan disfungsi organ-organ, hipoperfusi, atau hipotensi sementara syok septik
adalah sepsis yang menginduksi hipotensi terkecuali adanya resusitasi cairan yang
adekuat. Pasien pasien yang memperoleh pengobatan initropik atau vasopresor tidak
menjadi hipotensi pada saat abnormalitas perfusi diukur. Tekanan darah sistolik < 90
mmHg atau penurunan ≥ 40 mmHg dari base line pada keadaan tidak adanya
penyebab lain dari hipotensi. 3

2
3

2.1.2 Gejala Klinik

• Suhu tubuh > 38 oC atau < 36 oC


• Denyut jantung > 90x / menit
• Pernafasan > 20 X / menit
• Leukosit darah > 12.000 / mm3 atau < 4000 mm3 atau 10 % dalam bentuk
immature

2.2 Sepsis Pada Maternal

Bakterimia terjadi pada sekitar 5–10 % dari wanita dengan karioamnionitis,


pyelonefritis, atau endomertitis post partum. Dari wanita-wanita dengan bakterimia
ini, 4-5 % menjadi sepsis atau syok sepsis dan sekitar 3 % dari mereka meninggal.
Mortalitas syok septik pada wanita yang tidak hamil sebesar 20-50 % dan tergantung
pada penyakit medis yang mendasari. Alasan prognosis yang lebih baik pada wanita
hamil bersifat multifaktorial, antara lain4:
• Usia yang lebih muda
• Infeksi yang bersifat sementara pada kasus- kasus obstetrik
• Sedikitnya organisme yang bersifat toksik
• Lokasi infeksi primer lebih terjangkau untuk memproleh pengobatan
• Kesehatan wanita sebelumnya yang tanpa kelainan medis

Wanita hamil meskipun memiliki prognosis yang lebih baik jika mengalami
sepsis, fetus yang dikandungnya juga berada pada risiko tinggi, Resiko pada fetus
bukan karena efek langsung bakteri atau endotoksin pada fetus tetapi endotoksin
menyebabkan penurunan suplai darah uteroplasenta dan peningkatan kontraksi uterus.
Hal ini menyebabkan terjadinya hipoksia fetus, asidosis, dan persalinan preterm. Pada
kasus yang berat dapat menyebabkan fetal distress dan kematian. Pada keadaan ini
4

persalinan hanya akan memperburuk keadaan ibu dan fetus, sehingga pada keadaan
ini diharapkan terjadi stabilisasi keadaan ibu dulu sebelum persalinan.4
Penyebab tersering bakterimia (70-80%) pada pasien obstetri adalah akibat
endometriosis setelah persalinan dengan seksio sesaria, dan sepsis tersering (80%)
pada pasien obstetrik terjadi pada periode post partum. Persalinan SC dihubungkan
dengan insiden yang lebih tinggi terjadinya bakterimia daripada persalinan
pervaginam( 3% : 1%). Dengan demikian SC merupakan satu yang terbanyak faktor
risiko berkembangnya bakterimia dan sepsis.
Seperti halnya pada populasi non obstetrik, kuman-kuman gram negatif,
kuman-kuman penghasil endotoksin, basilus aerobic ditemukan sering kali pada
pasien pasien obsterik dengan bakterimia atau sepsis. Organisme-organisme ini
terbanyak berasal dari flora vagina dan bukan infeksi nosoksomial. Walaupun bakteri
ini menyebabkan sepsis pada kehamilan sampai 60-80 %, bakteri lainnya dapat
menyebabkan sepsis dan pada 20% kasus obstetrik dengan sepsis penyebabnya
bersifat polimikrobial dan 10% dari kasus infeksi penyebabnya tidak diketahui.

2.2.1 Faktor Resiko

1. Menurunnya sistim pertahanan tubuh


• Menurunnya sistim retikuloendotelial
• Gangguan cell mediated immunity
• Defek sistim imunitas seluler
2. Tindakan invasive yang dilakukan pada penderita seperti : intubasi
endotrakeal,kanulasi pada vena serta arteri,insersi pipa nasogastrik, urine
kateter, pembedahan, dll.
3. Pemakaian antimikroba yang tidak tepat seperti golongan betalaktam yang
ditenggarai menyebabkan lepasnya endotoksin kedalam plasma akibat hancur
atau lisisnya kuman gram negatif, yamg dapat mencetuskan sepsis.
5

2.2.2 Patofisiologi

Timbulnya sepsis menunjukkan bahwa telah terjadi penyebaran bakteri


kedalam sirkulasi melalui daerah injury, infeksi nosoksomial dan proses translokasi
kuman yang terutama terjadi didaerah mukosa oleh karena kebanyakan infeksi port de
entrynya melalui mukosa. Mekanisme terjadinya sepsis merupakan proses yang
sangat kompleks, dan melibatkan interaksi multi sistim yang terkait dengan inflamasi,
respon imun dan perfusi seluler seperti : kaskade sitokin, kaskade pembekuan, sistem
komplemen, cell mediated immunity dan respon imun humoral.
Kuman yang menyebabkan terjadinya sepsis akan melepaskan endotoksin
yang dihasilkan oleh kuman gram negatif dan endotoksin oleh kuman gram positif
yang didalam plasma akan berikatan dengan lipo-polysaccaride binding protein
(LBP). Kompleks dari ikatan tersebut akan berikatan dengan CD14 yang terdapat
pada permukaan makrofag maupun monosit, sehingga sel-sel tersebut menjadi aktif.
Aktivasi makrofag dan monosit akan mengakskresi sitokin pro-inflamasi, seperti :
interleukin-1 ( IL-1) serta TNF α, dan secara klinis akan timbul gejala SIRS . Apabila
proses inflamasi makin berat maka akan dilepaskan mediator lainnya (kaskade
inflamasi) oleh sel inflamasi, endotel, sistem komplemen akan dapat memperburuk
hemodinamik, metabolisme serta kerusakan jaringan yang selannjutnya gangguan
ekstraksi oksigen sampai terjadinya gejala disfungsi organ multipel (MODS).
Pada saat yang sama tubuh akan mengembangkan mekanisme kendali yang
mencegah penyebaran reaksi inflamasi, berupa pelepasan sitokin anti-inflamasi dan
berbagai mediator yang dapat meredam reaksi inflamasi. Tujuan dari reaksi ini (pro
dan anti inflamasi) adalah untuk mengatasi agen penyebab, mendorong penyembuhan
kerusakan jaringan, serta mencegah perluasan reaksi yang membahayakan tubuh.
Reaksi ini merupakan reaksi fisiologik yang harus dimiliki oleh setiap orang. Pada
sepsis, mekanisme ini tidak terkendali sehingga berbagai sitokin dan mediator
menyebar secara sistemik, yang dapat menimbulkan kerusakan pada tempat yang jauh
dari sumber infeksi.4
6

2.2.3 Manifestasi Klinik

Syok terjadi bila perfusi jaringan tidak adekuat dan berakhir pada disfungsi sel
dan seringkali berakhir dengan kematian sel, bila berlanjut terlalu lama. Organ yang
sering terlibat seperti jantung, paru-paru, ginjal, hati, SSP, dan sistim koagulasi. Pada
kehamilan, uterus dan fetus dapat terlibat. Prognosis semakin buruk dengan semakin
banyaknya organ yang terlibat. Kematian sering kali menyertai kegagalan satu atau
lebih sistim organ yang terlibat atau hipotensi yang tidak teratasi
Perubahan hemodinamik pada syok septik berbeda dengan penyebab syok yang lain :
kardiogenik, obstuksi vaskuler, dan hipovolemia. Pada syok septik, resistensi
vaskuler sistemik (SVR) meningkat sebagai mekanisme kompensasi untuk
mempertahankan tekanan darah, dan perbedaan oksigen aretiovenosa meningkat,
mencerminkan pengambilan oksigen sistemik oleh jaringan hipoperfusi. Perubahan
hemodinamik yang dihasilkan oleh sepsis atau syok septik lebih kompleks dan secara
klasik dibadi menjadi 3 fase, yaitu:
• Syok awal (panas)
• Syok lanjut ( dingin)
• Syok sekunder (irreversibel)

Fase pertama menunjukan terjadinya sustu sindrom syok hiperdinamik dengan


penurunan resistensi vaskuler sistemik dan meningkatnya cardiac output (syok
panas). Onset sepsis didahului oleh hipovolemia, disertai dilatasi kombinasi arteri dan
vena dan keluarnya plasma kedalam ruang ekstravaskuler akibat kerusakan
endotelial. Bila keadaan hipovolemia ini diobati, pasien akan mempunyai SVR yang
rendah, peningkatan cardiac output, takikardia dan menurunnya perbedaan oksigen
arterivenosa. Vasodilatasi merupakan hasil dari pelepasan sitokin, bradikinin,
histamin, dan prostaglandin. Meskipun terdapat peningkatan cardiac uotput, terutama
peningkatan denyut jantung, fungsi ventrikrl ditekan oleh faktor penekan myokardial
7

sirkulasi. Keadaan ini menyebabkan penekanan fraksi ejeksi dan dilatasi ventrikel.
Akhirnya penurunan perbedaanoksigen arteriovenosa sebagai akibat penurunan
penggunaan oksigen perifer. Keadaan ini merupakan hasil maldistribusi aliran darah
(oksigen) ke jaringan dengan perkembangan terjadinya laktat asidosis.
Fase dingin dari syok septik secara klasik ditandai oleh penurunan volume
sekuncup sebagai akibat menungkatnya SVR dan semakin memburuknya disfungsi
miokardial. Peningkatan SVR sebagai akibat vasokonstriksi berat disebabkan oleh
katekolamin sirkulasi dan prostaglandin vasoaktif (tromboksan). Meskipun
kebanyakan pasien mengalami penurunan SVR, tanda klinik syok dingin terjadi
akibat penurunan volume sekuncup, akumulasi asam laktat, hipovolemia persisten,
dan insuffisiensi mikrovaskuler. Pada fase ini perfusi jaringa tidak adekuat dan tidak
berrespon terhadap cairan bolus, sehingga obat-obatan inotropik dan vasoaktif
diperlukan untuk mempertahankantekanan darah yang adekuat.
Fase akhir dari syok menunjukkan semakin buruknya hipotensi yang tidak
berrespon terhadap terapi konvensional dengan cairan dan obat-obatan inotropik atau
vasoaktif. Berkembangnya kerusakan organ target yang bersifat irreversibel terjadi
selama fase ini.

2.2.4 Tanda Dan Gejala Klinik

Dimulai dari peningkatan tempratur akibat bakterinemia dengan tanda klinis


awal sepsis sebagai presyok :
• Takipneu dan respiratori alkalosis
• Hiperdinamik mulai tampak ditandai dengan peningkatan volume sekuncup
dan peningkatan SVR tanpa perubahan tekanan darah.
Syok awal ditandai dengan dengan keadaan hiperdinamik dengan hipotensi
dan tekanan darah sistolik < 60-90 mmHg atau terjadi penurunan ≥ 40 mmHg dari
semula. Gejala awal seringkali berupa perasaan cemas, bingung, dan disorientasi.
Tanda klinik lain selama fase ini meliputi instabilitas temperatur,perasaan panas dan
8

vasodilatasi perifer. Dengan perkembangan kearah syok lanjut, terjadi hipotensi, kulit
yang dingin dan lembab, hipoksemia,oligouria, dan memburuknya keadaan mental.
Selama perioda syok awal, tanda dari kerusakan organ target dapat terlihat dan
keadaan ini dapat memburuk menjadi syok lanjut.

2.2.5 Organ Yang Mengalami Disfungsi

• Sistim pernafasan
Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS ) terjadi pada 25 % kasus yang
berperan pada terjadinya hipoksemia dan angka mortalitasnya 50 %.
• Hemodinamik
Trombositopenia terjadi pada 50 % kasus dan 5 % berkembang menjadi DIC.
• Hepar
Lebih jarang terjadi kecuali pada keadaan iskemia yang berat.

2.2.6 Diagnosis

Diagnosis awal sepsis atau syok septik tergantung pada kepekaan dokter untuk
menilai pasien dengan dan tanda awal yang tidak spesifik seperti takipnnea, dispnea,
takikardia dengan keadaan hiperdinamik, vasodilatasi perifer, instabilitas tempratur,
dan perubahan keadaan mental. Keadaan seperti ini penting di perhatikan pada
wanita-wanita dengan resiko tinggi seperti pyelonefritis, korioamnionitis,
endometritis, abortus septik, atau telah menjalani prosudur operasi emergensi.
Diagnosa dan penanganan awal ini sangat menentukan keberhasilan hidup pasien.
Tanda yang tampak tergantung dari fase syok septik (syok panas atau dingin)
dan tipe kerusakan organ yang terjadi, tetapi hipotensi selalu ditemukan. Kebanyakan
pasien mengalami peningkatan tempratur dan lekosit dengan pergeseranke kiri, tetapi
pada beberapa wanita terjadi penurunan temperatur dan kadar leukosit dibawah
9

normal. Sebagai akibat dari keadaan hiperdinamik jantung, terjadi gejala gejala pada
jantung seperti iskemia, gagal jantung kiri, atau aritmia. Konsekuansi klinik dari DIC
adalah perdarahan, trombosis dan hemolisis mikroangiopati. Karena pada syok sepsis
potensi terjadinya disfungsi ginjal dan hipovulemia, manifestasi klinik dapat berupa
oligouria, hematuria dan proteinuria.
Karena sebanyak 25 % wanita dapat mengalami ARDS dengan kegagalan
respirasi. ARDS merupakan gagal pernafasan mendadak tanpa kelainan paru yang
mendasari sebelumnnya. Faktor predisposisi yang mendasari dapat berupa sepsis,
perdarahan, ruda paksa paru atau bagian tubuh lain, pankreatitis, aspirasi airan
lambung dl. Dokter perlu mengamati tanda terjadinya distres pernafasan, hipoksemia,
dan tanda memburuknya hipoksemia. Pada awal sepsis pasien menunjukkan respirasi
alkalosis akibat hiperventilasi. Dengan memburuknya sepsis, terjadi respirasi asidosis
sebagai akibat dari pengumpulan asam laktat yang berasal dari metabolisme
anaerobik sel. Kadar asam laktat berhubungan dengan derajat hipoksia organ, dan
meningkatnya kadar asam laktat mencerminkan memburuknya prognosis dan dapat
digunakan sebagai parameter keberhasilan pengobatan.
Dalam hal membantu menegakkan diagnose sepsis stau syok septik, selain
melalui pemeriksaan fisik, juga diperlukan pemeriksaan rongen dan kultur.
Pemeriksaan fisik pasien obstetrik difukuskan pada sistem genitourinaria,
gastrointestinal, respirasi dan luka-luka seperti luka operasi, epiostomi dan lain-lain.
Kemungkinan fokus infeksi pada wanita post partum meliputi sisa hasil konsepsi,
mikroabses uterus, abses pelvis, infeksi luka, dan trombosis pelvis. Sedikitnya
diperlukan 2 bahan kultur darah yang berbeda. Sensitivitas kultur tunggal untuk
bakterimia adalah 80 %, dua bahan 89 % dan 3 bahan99%. Dua kuman yang sangat
virulen dengan angka mortalitas yang tinggi adalah Streptokokus pyogens (group A
streptokokus ) dan Clostridium Sordeli.

2.2.7 Penatalaksanaan
10

Sekitar 70 % pada septik syok dapat dicegah. Untuk mencapai keadaan ini di
perlukan tindakan diagnosis dini dan penanganan awal yang benar. Tujuan dari
penanganan syok septik adalah mempertahankan kardiak output, mempertahankan
perfusi organ target dan oksigenasi, mengobati infeksi sebagai sumber bakteremia,
mempertahankan ventilasi yang adekuat, dan memperbaiki atau mengoreksi
kerusakan organ.

• Resusitasi cairan
Penanganan awal memerlukan tindakan yang secara langsung memperbaiki
volume sekuncup jantung dan oksigenasi yang adekuat. Keadaan ini dapat
dilakukan melalui pemberian cairan intravena dengan jarum besar dan aliran
yang cepat. Resusitasi cairan dimulai dengan 1-2 liter Ringer Laktat atau normal
salin selama 15-20 menit tanpa alat monitor. Jika pemberian cairan diteruskan,
dapat dipasang kateter Swan Ganz untuk membantu menghitung jumlah cairan
yang diperlukan, karena resiko terjadinya oedem paru, ARDS dan disfungsi
myokardial. Cairan intravena tambahan di perlukan untuk mencapai tekanan
kapiler pulmonar yang optimal, antara 12-17 mmHg. Jika terjadi kehilangan
darah akut, atau hematokrit turun dibawah 30 %, cairan yang paling sesuai
adalah red blood cell.

• Oksigenasi dan Ventilasi


Karena resiko terjadinya ARDS, wanita dengan syok septik memerlukan
pemantauan untuk menghindari hipoksemia dan kegagalan ventilasi. Oksimeter
secara kontinyu harus digunakan untuk memonitor saturasi oksigen arterial, dan
terkadang diperlukan pemeriksaan analisa gas darah arterial. Pengobatan dengan
oksigen diindikasikan bila tekanan oksimetri < 90 %, saturasi oksigen arteri < 92
%, atau tekanan O2 arteri < 60 %. Tujuan dari pengobatan dengan oksigen
adalah untuk memelihara oksigenasi adekuat ke dalam jaringan. Keadaan ini
11

mungkin memerlukan intubasi dan bantuan ventilasi dengan positive end-


expiratory pressure (PEEP).

• Pengobatan obat- obat vasoaktif atau initropik


Jika resusitasi cairan (tekanan kapiler pulmonar 12-17 mmHg) fungsi
kardiovaskuler tetap tidak membaik dan tekanan darah tetap hipotensi (rata-rata
tekanan arterial < 60 mmHg atau tekanan sistolik < 90 mmHg, produksi urine
yang kurang (<0,5 cc/kg/hr), volume sekuncup tidak adekuat, atau memburuknya
laktat asidosis, pemberian obat-obatan sangat diperlukan. Obat-obat pemacu
tekanan terbaik diberikan adalah golongan α agonis dan obat-obatan yang
bersifat inotropik diberikan adalah golongan β abonis. Dopamin merupakan obat
pilihan pertama jika hipotensi menetap setelah pemberian cairan. Pada dosis yang
kecil(< 2 ug/kg/menit) dopamine secara selektif berperan sebagai vasodilator
ginjal dan vaskuler bed mesenterik dimana terdapat reseptor dopaminergik. Hal
ini menyebabkan peningkatan produksi urine tanpa efek denyut jantung atau
peningkatan tekanan darah. Pada dosis yang ditingkatkan, terjadi penurunan efek
dopaminergik dan β1 adrenergik serta peningkatan efek α adrenergik. Pada dosis
5-10 ug/kg/menit, efek α adrenergik menyebabkan peningkatan SVR dan PCWP
tanpa penurunan kardiak output. Pada dosis diatas 10 ug/kg/menit kardiak output
dapat menurun, dan pada dosis diatas 20 ug/kg/menit dopamin mempunyai efek
yang hampir sama dengan norepinephrine. Karena itu dosis awal selalu dimulai
pada dosis 5 ug/kg/menit kemudian dinaikkan sampai diatas 20 ug/kg/menit jika
diperlukan. Jika dosis 20 ug/kg/menit diperlukan, maka harus ditambahkan obat
lain seperti dobutamin atau norepineprin untuk menghindari penekanan
myikardium serta SVR normal. Keadaan ini merupakan stimulasi reseptor β1
pada myokardial secara langsung yang menyebabkan peningkatan kardiak output
dengan peningkatan minimal denyut jantung. norepineprine (atau phenyleprine di
tambahkan jika terjadi hipotensi menetap akibat rendahnya SVR yang menetap
(dosis dimulai 1-2 ug/menit, rentang dosis 2-12 ug/menit).
12

• Pengobatan terhadap infeksi


Pengobatan terhadap infeksi merupakan faktor yang penting pada penanganan
sepsis. Pengobatan antibiotika sedini mungkin dapat menurunkan angka
komplikasi sebesar 50 %. Pengobatan infeksi melipiti penggunaan antibiotika
broad spektrum dan penanganan secara bedah fokus infeksi jika diperlukan. 4

2.3 Infeksi Intrapartum

2.3.1 Definisi

Infeksi intrapartum adalah infeksi yang terjadi dalam masa persalinan / in partu.
Sekitar 25% infeksi intrapartum disebabkan oleh ketuban pecah dini (KPD) sehingga
disebut juga sebagai korioamnionitis, infeksi intraamnion, atau amnionitis karena
infeksi ini melibatkan korion, amnion dan cairan ketuban. Makin lama jarak antara
ketuban pecah dengan persalinan, makin tinggi pula resiko morbiditas dan mortalitas
ibu dan janin. Pada ketuban pecah 6 jam, risiko infeksi meningkat 1 kali. Pada KPD
yang berkepanjangan (>24-48 jam), risiko infeksi meningkat sampai 2 kali lipat.
Resiko korioamnionitis pada KPD aterm < 10% dan dapat meningkat sampai 24%
setelah 24 jam.1,5

2.3.2 Epidemiologi

Beberapa penelitian telah melaporkan peningkatan kejadian korioamnionitis


pada Ketuban Pecah Dini (KPD) berkisar 10 - 40%. Korioamnionitis lebih sering
terjadi pada wanita dengan KPD preterm dibandingkan KPD aterm (26% preterm
berbanding 6,7% aterm). Pecahnya selaput ketuban menyebabkan terbukanya
hubungan intra uterin dengan ekstra uterin, dengan demikian mikroorganisme dengan
13

mudah masuk dan menimbulkan infeksi intra partum apabila ibu sering diperiksa
dalam, infeksi puerpualis, peritonitis dan sepsis. 1,5

2.3.3 Etiologi

Kuman yang sering ditemukan : Streptococcus, Staphylococcus (gram positif),


E.coli (gram negatif), Bacteroides, Peptococcus (anaerob).

2.3.4 Patofisiologi

1. Ascending infection, pecahnya ketuban menyebabkan ada hubungan langsung


antara ruang intraamnion dengan dunia luar.
2. Infeksi intraamnion bisa terjadi langsung pada ruang amnion, atau dengan
penjalaran infeksi melalui dinding uterus, selaput janin, kemudian ke ruang
intraamnion.
3. Dapat juga terjadi jika ibu mengalami infeksi sistemik, infeksi intrauterin
menjalar melalui plasenta (sirkulasi fetomaternal).
4. Tindakan iatrogenik traumatik atau higiene buruk, misalnya pemeriksaan
dalam yang terlalu sering, dan sebagainya, predisposisi infeksi.

Baik ibu ataupun janin memiliki resiko infeksi saat terjadi KPD. Ibu dapat
mengalami korioamnionitis, endometritis jika infeksi mencapai endometrium, dan
penurunan aktivitas miometrium (distonia, atonia). Infeksi janin dapat berupa
pneumonia, infeksi saluran kencing, infeksi lokal seperti omphalitis atau
konjungtivitis.
Air ketuban mengandung imonoglobulin yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri di rongga amnion. Namun apabila terjadi korioamnionitis, janin dapat
terinfeksi akibat menelan atau aspirasi air ketuban dan menyebabkan kondisi gawat
janin. Oleh sebab itu, sebagian besar pneumonia neonatorum dini atau sepsis, terjadi
14

intra uterin (terutama dengan ibu yang malnutrisi). Biasanya korioamnionitis


mengawali terjadinya infeksi janin, tetapi serpsis pada janin dapat terjadi sebelum
korioamnionitis secara klinis terbukti pada ibu. Hal ini dijelaskan dengan adanya
infeksi preklinis, yang terjadi saat selaput amnion menjadi tempat kolonisasi bakteri
virulen, tetapi pada saat itu tidak terlihat infeksi ibu secara klinis.
Beratnya infeksi meningkat sesuai dengan bertambahnya umur kehamilan.
Infeksi dapat terjadi secara ascending dari vagina ke intra uterin, dimana pecahnya
ketuban menyebabkan adanya hubungan langsung antara ruang intra amnion dan
dunia luar. Semakin lama terjadinya KPD maka invasi bakteri pun semakin
meningkat. Infeksi dapat berkembang menjadi infeksi sistemik saat infeksi uterin
menjalar melalui sirkulasi fetomaternal, sehingga terjadi sepsis hingga septik syok
yang dapat mengakibatkan kematian ibu.
Sindroma respon peradangan janin menggambarkan infeksi janin dengan
adanya korioamnionitis secara klinis dan mengakibatkan kerusakan system saraf
pusat janin. Manifestasinya adalah lesi pada substansi putih periventrikular
(leukomalasia) diperantarai respon peradangan SSP janin dengan dikeluarkannya
sitokin. Lesi yang terjadi menyebabkan cerebral palsy, berhubungan dengan
meningkatnya konsentrasi leukosit dan kadar IL-6. 5

2.3.5 Gejala Klinik

1. Febris di atas 38oC


2. Ibu takikardia (denyut jantung >100 x / menit)
3. Fetal takikardia (denyut jantung >160 x / menit)
4. Nyeri abdomen, nyeri tekan uterus
5. Cairan amnion berwarna keruh atau hijau dan berbau
6. Leukositosis pada pemeriksaan darah tepi (>15.000-20.000/mm3)
15

7. Pemeriksaan penunjang lain : leukosit esterase (+) (hasil degradasi leukosit,


normal negatif), pemeriksaan Gram, kultur darah.
Penilaian dari kultur membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga tidak
dapat diandalkan untuk penatalaksanaan yang cepat. Sedangkan pewarnaan
gram adalah standar baku emas untuk investigasi yang cepat.6

2.3.6 Penatalaksanaan

• Jika ada tanda infeksi intrapartum, terminasi kehamilan / persalinan dalam


batas waktu 2 jam.
• Observasi dan optimalisasi keadaan ibu: berikan oksigen 2-4 liter/menit
• Jangan terlalu sering melakukan pemeriksaan dalam
• Nilai kondisi kehamilan dan persalinan, bila usia bayi prematur maka hal ini
petanda buruk bagi kelangsungan hidup janin. Bila janin telah meninggal,
risiko infeksi tertuju pada ibu dan kecenderungan untuk terminasi pervaginam
dapat membuat masalah baru.
• Tindakan seksio sesarea harus diambil melalui pertimbangan yang tepat
karena kejadian sepsis sangat tinggi dalam kasus seperti ini.
• Lakukan induksi persalinan bila belum in partu dan akselerasi bila telah in
partu.
• Berikan terapi antibiotika sesegera mungkin dan pilih yang memiliki
spektrum yang luas. Pada prinsipnya pengobatan memakai kombinasi :
ampisilin, gentamisin dan metronidazol.
• Ampisilin 3 x 1000mg IV
• Gentamisin 5mg/kg BB/hari IV
• Metronidazol 3 x 500mg IV
16

• Perhatikan kontraksi uterus pasca persalinan untuk menghambat invasi


mikroorganisme melalui sinus-sinus pembuluh darah yang terdapat pada
dinding uterus.
• Uterotonika : methargin 3 x 1 ampul drip
Uterotonika diberikan agar kontraksi uterus baik pascapersalinan. Hal ini akan
menghambat invasi mikroorganisme melalui sinus-sinus pembuluh darah pada
dinding uterus.
• Pemberian kortikosteroid : kontroversi. Di satu pihak dapat memperburuk
keadaan ibu karena menurunkan imunitas, di lain pihak dapat menstimulasi
pematangan paru janin (surfaktan).6

2.3.7 Komplikasi Infeksi Intrapartum

• Komplikasi ibu : endometritis, penurunan aktifitas miometrium (distonia,


atonia), sepsis cepat (karena daerah uterus dan intramnion memiliki
vaskularisasi sangat banyak), dapat terjadi syok septik sampai kematian ibu.
• Komplikasi janin : asfiksia janin, sepsis perinatal sampai kematian janin.7

2.4 Ketuban Pecah Dini (KPD)

2.4.1 Definisi

KPD dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan saat pecahnya selaput ketuban,
yaitu PROM (Premature rupture of membranes) dan PPROM (Preterm premature
rupture of membranes). PROM adalah pecahnya selaput ketuban saat usia kehamilan
17

lebih dari 37 minggu sebelum saat persalinan berlangsung. PPROM adalahnya


pecahnya selaput ketuban saat usia kehamilan kurang dari 37 minggu. KPD yang
terjadi setelah atau saat persalinan berlangsung (fase aktif) disebut KPD spontan.8,9

2.4.2 Etiologi dan Faktor Resiko

Berdasarkan penelitian, etiologi dari KPD adalah bakteri yang menghasilkan


phospolipase A2, kolagenase, protease, perubahan pH, dan infeksi asending lokal dari
vagina yang bertanggung jawab terhadap melemah dan robeknya selaput ketuban. 10
Faktor resiko yang meningkatkan kejadian KPD antara lain wanita yang pernah
mengalami KPD preterm pada kehamilan sebelumnya, wanita yang melahirkan bayi
prematur dengan atau tanpa KPD, wanita dengan perdarahan pada trimester pertama
atau kedua kehamilan (perdarahan yang berkaitan dengan plasenta previa dan solusio
plasenta), operasi pada serviks sebelumnya (konisasi, sevikal inkompeten, dua atau
lebih terminasi kehamilan yang bersifat elektif), pendeknya serviks (kurang dari 2.5
cm yang diukur dari USG transvaginal) distensi berlebih dari uterus (akibat
multigravida, gemelli, atau polihidramnion), penyakit jaringan ikat (Leisch-Nyhan),
merokok selama kehamilan (resiko meningkat bila jumlah rokok semakin banyak-
dose dependent), trauma, kelainan janin, amniosentesis, keadaan sosial ekonomi
rendah (prenatal care kurang baik) dan menderita infeksi menular seksual. Masih
kontroversial mengenai faktor nutrisi (defisiensi besi dan asam folat) dan pengaruh
vaginal toucher yang dilakukan secara rutin terhadap peningkatan kejadian KPD.10

2.4.3 Diagnosis

Diagnosis KPD secara akurat (90%) dapat diperoleh dari anamnesis, yaitu
keluarnya cairan seperti air dalam jumlah banyak maupun merembes sedikit demi
sedikit dari vagina atau jalan lahir. Cairan berbau khas, dan perlu juga diperhatikan
warna dan bau cairan tersebut. Perlu juga ditanyakan mengenai adanya rasa mulas,
18

perdarahan dari jalan lahir ataupun keluarnya lendir disertai darah dari jalan lahir,
berhubungan badan sebelumnya, pasien menderita panas badan atau adanya tanda-
tanda infeksi, dan usia kehamilan yang penting untuk penanganan KPD. Tetapi suatu
diagnosis memerlukan gabungan antara anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Perlu dipikirkan kemungkinan diagnosis lain seperti
hilangnya sumbat mukus, sekret vagina yang berhubungan dengan infeksi, dan
inkontinensia urin.
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan inspekulo secara steril, yang
memperlihatkan cairan yang menggenang pada forniks posterior atau keluar dari
orifisium uteri eksternum (OUE). Bila cairan tidak tampak keluar, dapat dilakukan
sedikit penekanan pada fundus uteri, pasien diminta batuk, sedikit mengejan (valsava
manuever) atau bagian terendah digoyangkan. Pada saat pemeriksaan inspekulo perlu
dipastikan tidak adanya plasenta yang prolaps atau ekstremitas janin yang keluar
melaui OUE. Pemeriksaan dalam dapat dilakukan bila kehamilan akan diterminasi
atau dilakukan induksi persalinan, tetapi tetap perlu dibatasi karena akan
menyebabkan terjadinya infeksi intrauteri, memperpendek periode laten, dan
9,11,12,13
meningkatkan insiden dari sepsis neonatorum..
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan bersamaan dengan
inspekulo yaitu perubahan pH dengan menggunakan kertas lakmus maupun nitrazine.
Lakmus merah akan menjadi biru, dan lakmus biru akan tetap biru. Nitrazine adalah
suatu kertas yang sensitif terhadap perubahan pH. Bila pH di atas 6,5 maka kertas
nitrazine akan berubah warna menjadi kuning kehijauan. Vagina wanita hamil
memiliki pH 4,5 sampai 6,0. Cairan amnion memilik pH 7,1 sampai 7,3.
Tes lain dengan menggunakan pewarnaan Nile blue sulfate dari apus vagina pada
kehamilan aterm, dimana dari cairan amnion yang menempel pada vagina dapat
ditemukan sel squamosa dari janin yang terwarna oranye pada pewarnaan ini. 9,13
Pada PPROM dapat dilakukan pengambilan sedikit cairan amnion dari fornix
posterior vagina untuk melakukan tes kematangan paru dan adanya fosfatidilgliserol
(PG) yang merupakan indikator maturitas. Pemeriksaan kadar PG dikatakan dapat
19

dipercaya karena cairan amnion yang diambil dari vagina seringkali terkontaminasi
zat lain. Tidak adanya PG menandakan paru-paru janin telah matur. 11
Tes yang sangat jarang dilakukan karena invasif adalah dengan amniosentesis
dimasukkan zat warna indigo carmine atau fluorescein, kemudian sebuah tampon
diletakkan di vagina lalu dilakukan pemeriksaan setelah 2 jam, dimana pada tampon
akan menampakkan zat warna tersebut. Pada saat pemeriksaan inspekulo, tergantung
pada usia kehamilannya dapat dilakukan tes tambahan, termasuk kultur untuk
Streptokokus grup B, Chlamydia, dan Gonorrhea dan cairan amnion dapat diambil
untuk tes maturitas paru janin. Pemeriksaan dalam tidak dianjurkan bila tidak akan
segera dilahirkan, karena akan meningkatkan resiko infeksi sehingga untuk menilai
adanya pembukaan serviks dapat dilakukan selama pemeriksaan inspekulo. 11,13
Pemeriksaan fisik lain dilakukan penilaian terhadap ukuran janin, presentasi
janin, persangkaan adanya his, infeksi (amnionitis), demam yang dialami ibu, sekret
vagina yang purulen, denyut jantung janin menjadi takikardi, dan nyeri pada uterus.
Tanda adanya infeksi saluran kemih juga perlu diperhatikan.9,11

2.4.4 Pemilihan penanganan KPD secara umum

2.4.4.1 Penanganan konservatif

Penanganan ini meliputi rawat inap dan observasi lanjut pada ibu dan janin.
Aturan mengenai tirah baring pada KPD masih kontroversial, tetapi hal ini membantu
diganosis dimana dengan tirah baring akan membiarkan cairan amnion tergenang
pada forniks posterior. Aktivitas ibu terkadang meningkatkan jumlah kebocoran. Oleh
karena itu, ibu harus istirahat (bed rest) total. Pemantauan kesejahteraan janin
dilakukan dengan menggunakan kardiotokografi (NST) dan atau biophysical profile
dan evaluasi USG setiap 2 minggu untuk memantau pertumbuhan janin. Pemeriksaan
20

NST digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi yang dialami oleh janin dimana
akan didapatkan hasil NST yang non reaktif. NST juga digunakan untuk mendeteksi
tanda-tanda gawat janin yang dapat diakibatkan kompresi tali pusat karena adanya
oligohidramnion dimana akan didapatkan deselerasi variable, deselerasi lambat,
akselerasi yang negative, dan takikardi. Selain dengan NST deteksi terhadap
korioamnionitis dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan hitung jenis sel
darah putih secara serial, kadar C-reactive protein (CRP), dan biakan dari vagina
setiap minggu. Penggunaan amniocentesis untuk mendeteksi korioamnionitis masih
kontroversial dan perlu penelitian lebih lanjut. 2,9,10,11,12,13
Di Rumah Sakit Immanuel penanganan ini diberikan kepada ibu dengan usia
kehamilan 28-37 minggu, yang belum ada tanda-tanda in partu, dan yang penting
tidak ada tanda gawat janin maupun infeksi. Pasien diberikan antibiotik profilaksis
dan tokolitik. Lama perawatan tidak lebih dari 2 x 24 jam karena dapat meningkatkan
infeksi nosokomial. Dilakukan observasi tanda-tanda infeksi, dan tanda-tanda in
partu. Bila bayi akan dilahirkan diberikan juga kortikosteroid. Pasien boleh pulang
jika sudah tidak ada his dan tanda-tanda infeksi. Dan pasien diberi pesan untuk
membatasi aktivitas, dengan bed rest, tidak coitus, sering kontrol dan USG, juga perlu
diberitahu kepada ibu bila ada tanda-tanda infeksi (demam, adanya mulas, pergerakan
janin berkurang) segera kembali ke rumah sakit. 14

2.4.4.2 Penanganan aktif

Penanganan ini meliputi penanganan diatas dengan tambahan penggunaan


satu atau lebih obat-obatan ini: kortikosteroid, tokolitik, dan antibiotik profilaksis.7
Kortikosteroid digunakan untuk meningkatkan maturitas janin, menurunkan
perdarahan intraventrikuler dan necrotizing enterocolitis. Penggunaan kortikosteroid
ini pada sebuah penelitian menurunkan angka kejadian RDS (Respiratory Distress
Syndrome) dari 12.6% menjadi 9.8%. 11
21

Tetapi terdapat sejumlah penelitian yang menunjukkan bahwa KPD sendiri


telah meningkatkan secara cepat maturitas paru janin. Berkowitz dkk, pada tahun
1978 menunjukkan bahwa sekurangnya 16 jam dari terjadinya KPD akan membantu
pematangan paru janin. Salah satu mekanismenya ialah pelepasan glukokortikoid dari
janin atau ibu sebagai reaksi akan stres pada KPD preterm. 10,11
NIH menganjurkan pemberian kortikosteroid pada usia <32 minggu.
Penggunaannya pada minggu 32-34 masih kontroversial, dan pemberian
kortikosteroid >34 minggu tidak dianjurkan kecuali ada bukti imaturitas paru dengan
amniosentesis, yang diketahui dari rasio lesitin terhadap sfingomyelin dalam cairan
amnion. Kortikosteroid yang dipakai ialah Betamethasone (Celestone) IM 12 mg tiap
24 jam untuk 2 hari, atau Deksamethasone (Decadone) IM 6 mg tiap 12 jam untuk 2
hari. Pemberian yang berulang tidak dianjurkan sebab pengulangan 2 atau lebih dari
dosis yang sudah ditentukan dapat menurunkan berat badan lahir, lingkar kepala, dan
panjang badan bayi. Pemberian kortikosteroid pada usia kehamilan kurang dari 30-32
minggu dapat menurunkan insidensi perdarahan intraventrikuler menurut NIH.
Mereka juga menyarankan pemberian kortikosteroid hanya bila tidak adanya
korioamnionitis.2,11
Tokolitik digunakan sekurang-kurangnya 48 jam pada ibu yang diberikan
kortikosteroid untuk menunggu munculnya efek dari kortikosteroid. Penggunaannya
juga ditujukan untuk mempertahankan kehamilan untuk mencapai maturitas janin
maksimal. Bagaimanapun belum ada bukti yang mendukung penggunaan tokolitik,
dan terdapat kecurigaan terhadap pemberian tokolitik pada KPD akan meningkatkan
kejadian infeksi intrauteri, dimana ada yang menyatakan tokolitik dapat
menyembunyikan bukti infeksi ibu misalnya takikardi, dan kontraksi rahim yang
mungkin merupakan tanda dari adanya infeksi intrauteri. Tokolitik digunakan pada
waktu mengirim ibu dan janin yang dirujuk pada fasilitas kesehatan yang lebih
memadai.2,11,15
Antibiotik profilaksis digunakan secara luas pada pasien asimtomatik untuk
mengobati infeksi yang tersembunyi dan atau mencegah infeksi yang akan terjadi.
22

Keuntungan pemberian antibiotik ini untuk mengurangi infeksi ibu dan janin,
memperpanjang periode laten, dan terapi awal untuk Streptococcus grup B sementara
menunggu hasil kultur. Kerugiannya ialah efek samping dari antibiotik, biaya, dan
meningkatkan resistensi dari mikroorganisme. Antibiotik diberikan secara intravena
mencapai konsentrasi tinggi pada cairan amnion dalam beberapa menit dan bertahan
dalam darah ibu 2 sampai 4 jam. Antibiotik yang telah banyak digunakan antara lain
ampicillin, ampicillin-sulbactam, ampicillin dan eritromisin, atau cephalosporin.
Lama penggunaan antibiotik bervariasi dari hasil kultur negatif sampai 5 -7 hari
bahkan dilanjutkannya pemakaian antibiotik ini sampai saat persalinan. Terapi yang
berkepanjangan memiliki resiko infeksi neonatal oleh mikroorganisme yang resisten.
Gibbs dan Eschenbach merekomendasikan pemakaian antibiotik selama 7 hari. Jika
terdapat bakterial vaginosis regimen seperti klindamisin dapat menggantikan
eritromisin.11,15
Disarankan pemberian antibiotik dilakukan pada usia kehamilan kurang dari
34 minggu untuk memperlama kehamilan dan mengurangi komplikasi KPD.
Antibiotik yang biasa diberikan adalah ampisilin 2 gram setiap 6 jam secara intravena
atau eritromisin 250 mg setiap 6 jam secara intravena selama 48 jam, diikuti
amoksisilin 250 mg setiap 8 jam per oral atau eritromisin 1000 mg dibagi 3 dosis tiap
8 jam per oral.15
Penderita dirawat di rumah sakit dan diberikan antibiotik (ampisilin 4 kali 500
mg atau eritromisin bila tidak tahan ampisilin dan metronidazol 2 kali 500 mg selama
7 hari). Bila umur kehamilan kurang dari 32-34 minggu, dirawat selama air ketuban
masih keluar. Bila usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada tanda-
tanda infeksi, tes busa negatif (beri deksametason), observasi tanda-tanda infeksi, dan
kesejahteraan janin. Terminasi dilakukan pada usia kehamilan 37 minggu atau lebih.
Bila usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada tanda-tanda infeksi,
berikan tokolitik, deksametason dan dilakukan induksi persalinan setelah 24 jam. Bila
pada usia kehamilan 32-37 minggu terdapat tanda-tanda infeksi, beri antibiotic dan
lakukan induksi persalinan serta nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda
23

infeksi intrauterine). Pada usia kehamilan 32-37 minggu beri kortikosteroid untuk
memacu kematangan paru janin, bila memungkinkan periksa juga kadar lesitin dan
sfingomyelin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2
hari atau deksametason IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali selama sehari.11,15
Bila kehamilan lebih dari 37 minggu, induksi dengan oksitosin. Selain itu,
dapat diberikan misoprostol 25 µg – 50 µg intravaginal tiap 6 jam, maksimal 4 kali.
Bila terdapat tanda-tanda infeksi, beri antibiotik dosistinggi dan terminasi kehamilan.
Bila skor pelvik kurang dari 5, lakukan pematangan serviks lalu induksi. Bila tidak
berhasil, lakukan seksio sesarea. Bila skor pelvik lebih dari 5 laukan induksi
persalinan. 15
Di rumah sakit Immanuel penanganan aktif berarti mengakhiri kehamilan,
dilakukan pada usia kehamilan > 37 minggu atau < 28 minggu, atau taksiran berat
badan bayi > 2500 gram. Dilakukan induksi atau augmentasi dengan drip oksitosin.14

2.4.4.3 Penanganan agresif

Penanganan ini dilakukan ketika persalinan diperlukan atas indikasi obstetrik


seperti gawat janin, ibu mengalami sepsis, atau solusio plasenta. Penanganan ini
meningkatkan insidensi dari induksi dan augmentasi persalinan, operasi Cesar, dan
berhubungan dengan morbiditas ibu dan janin.2,11

2.4.4.4 Komplikasi Infeksi

Baik ibu maupun janin memiliki risiko terjadinya infeksi saat terjadi KPD.
Infeksi yang terjadi pada ibu disebut korioamnionitis. Korioamnionitis adalah infeksi
pada korion, amnion dan cairan ketuban oleh bakteri. Infeksi pada janin dapat berupa
sepsis, pneumonia, infeksi saluran kencing, atau konjungtivitis.
24

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi terjadinya infeksi intra-


amnion adalah pemeriksaan C-reaktif protein, hitung leukosit, LED, pemeriksaan
cairan amnion (kultur, pewarnaan gram, fibronektin, glukosa, sitokin), profil biofisik,
volume cairan amnion, dan non-stress test (NST). Pemeriksaan glukosa dikatakan
positif bilakadar glukosa kurang dari 15 mg/dl. Pemeriksaan adanya IL-6 pada
amnion cukup akurat, tetapi tidak semua sarana kesehatan dapat melakukannya.
Pemeriksaan MMP-9 dikatakan cukup sensitive dan spesifik untuk mendeteksi
infeksi pada ibu maupun janin. Pewarnaan gram dikatakan positif bila ditemukan
lebih dari 105 koloni bakteri pada cairan amnion.1,2
Bila terjadi korioamnionitis diberi antibiotic spectrum luas sesegera mungkin,
yaitu kombinasi ampisilin 3 x 1000 mg, gentamisin 5 mg/kgBB/hari, dan
metronidazol 3 x 500 mg. beri uterotonika supaya kontraksi uterus baik
pascapersalinan. Hal ini akan menghambat invasi mikroorganisme melalui sinus-
sinus pembuluh darah pada dinding uterus. 11,15

Anda mungkin juga menyukai

  • Hepatitis
    Hepatitis
    Dokumen6 halaman
    Hepatitis
    Melissa Setiawan Putra
    Belum ada peringkat
  • Hepatitis
    Hepatitis
    Dokumen6 halaman
    Hepatitis
    Melissa Setiawan Putra
    Belum ada peringkat
  • Hepatitis
    Hepatitis
    Dokumen6 halaman
    Hepatitis
    Melissa Setiawan Putra
    Belum ada peringkat
  • BAB II Mels
    BAB II Mels
    Dokumen50 halaman
    BAB II Mels
    Melissa Setiawan Putra
    Belum ada peringkat
  • Cedera Kepala
    Cedera Kepala
    Dokumen13 halaman
    Cedera Kepala
    Melissa Setiawan Putra
    Belum ada peringkat
  • Journal Reading
    Journal Reading
    Dokumen1 halaman
    Journal Reading
    Melissa Setiawan Putra
    Belum ada peringkat
  • Bahaya Merokok
    Bahaya Merokok
    Dokumen2 halaman
    Bahaya Merokok
    Melissa Setiawan Putra
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Konjungtivitis Vernal
    Lapkas Konjungtivitis Vernal
    Dokumen12 halaman
    Lapkas Konjungtivitis Vernal
    Melissa Setiawan Putra
    Belum ada peringkat