Anda di halaman 1dari 31

BAB VIII

MASYARAKAT MADANI DAN


KESEJAHTERAAN UMAT
A. Konsep Masyarakat Madani
Konsep “masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep
“civil society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar
Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholis Madjid. Masyarakat madinah
dianggap sebagai legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam
masyarakat modern.
Masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep
diluar menjadi “islami”. Perbedaan lain antara masyarakat madani dan civil society
adalah masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk tuhan,
sedangkan civil society adalah buah dari gerakan Renaisans yang meminggirkan tuhan.
1) Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-
nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Masyarakat madani menjadi symbol idealism yang diharapkan setiap maasyarakat.
2) Masyarakat Madani Dalam Sejarah
a. Masyarakat saba’. Yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman a.s. ditempat itu
terdapat kebun dan tanamannya yang subur dan nyaman. Negeri yang indah itu
adalah wujud dari kasih saying allah yang disediakan bagi masyarakat Saba’.
Kisah kehidupan masyarakat Saba’ ini sangat popular dengan ungkapan Al-
Qur’an: Baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
b. Masyarakat madinah setelah terjadi traktat, perjanjian dengan penduduk madinah
yang beragama yahudi dan watsani dari kaum Aus dan Kharaj. Dikota itu pertama
kali Rasulullah membangun masjid yang dikenal sebagai masjid nabawi.
Perjanjian madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling
tolong menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan, menjadikan Al-
Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasulullah SAW sebaagai pemimpin
dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya dan memberikan
kebebasan bagi penduduknya memeluk agama serta beribadah sesuai ajaran
agama yang dianutnya.
3) Karakteristik Masyarakat Madani
a. Bertuhan
b. Damai
c. Tolong menolong
d. Toleran
e. Keseimbangan antara hak dan kewajiban social
f. Berperadaban tinggi
g. Berakhlak mulia

Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang


sebagai dokumen using. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat
berkembang dalam setiap ruang dan waktu. Setidaknya ada tiga karakteristik dasar
dalam masyarakat madani.
a. Pertama, diakuinya semangat pluralisme.
b. Kedua, tingginya sikap toleransi (Tasamuh) baik terhadap sesame muslim
maupun terhadap non-muslim.
c. Ketiga, tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia islam lebih dikenal
dengan istilah musyawarah.
Ketiga prinsip dasar setidaknya menjadi refleksi bagi kita yang menginginkan
terwujudnya sebuah tatanan sosial masyarakat madani dalam konteks hari ini. Paling
tidak hal tersebut menjadi modal dasar untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-
citakan.
4) Peran umat islam dalam mewujudkan masyarakat madani
Dalam sejarah islam, realisasi keunggulan normative atau potensial umat islam
terjadi pada masa Abbasiyah. Dimana pada masa itu umat islam menunjukkan
kemajuan dibidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer,
eknonomi, politik, dan kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat islam menjadi
kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuan besar dunia lahir pada
masa itu, seperti Ibnu Sina, Rusyd, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.

B. Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat


1) Sistem Ekonomi Islam
Islam sebagai suatu agama mempunyai caranya sendiri dalam mengorganisir
berbagai kehidupan penganutnya, baik individu maupun masyarakatnya.
Pada saat sekarang ini hampir di semua Negara islam, ekonominya tidak dikelola
secara islam. Pengelolaan ekonominya cenderung memakai sistem ekonomi kapitalis.
Realitas ini berakibat pada kesenjangan segi kemakmuran dan kedamaian karena
hanya dinikmati oleh kelompok minoritas saja sedangkan banyak rakyat miskin
semakin sulit kondisi ekonomi mereka.
2) Prinsip Ekonomi Islam
Diantara prinsip-prinsip yang dicontohkan Rasulullah SAW adalah sebagai
berikut:
a. Alam mutlak milik Allah
b. Alam merupakan karunia Allah SWT yang diperuntukkan bagi manusia.
c. Alam merupakan karunia Allah SWT untuk dinikmati dan dimanfaatkan
manusia.
d. Hak milik perorangan diakui sebagai hasil jerih payah dengan usaha yang halal
dan hanya dipergunakan untuk hal-hal yang halal pula.
e. Allah SWT melarang menimbun kekayaan tanpa ada manfaat bagi sesama
manusia.
f. Di dalam harta orang kaya itu terdapat hak orang miskin, fakir, dan lain
sebagainya. Prinsip ekonomi laba versus zakat/tauhid adalah berkorban secara
hemat dan tidak boros untuk mendapatkan keuntungan yang layak. Artinya
hindari hal-hal mubazir unsur-unsur lain yang dilarang Allah SWT seperti dari
unsur promosi yang tidak benar atau tidak memakai akhlak karimah.
3) Perdagangan Dalam Ekonomi Islam
Kegiatan perdagangan akan sangat terpuji bila dilakukan dengan tidak
mengandung unsur-unsur yang dilarang dalam ajaran islam. Dalam perdagangan
islam terdapat hal-hal yang harus diperhatikan:
a. Didasari atas suka sama suka dan tidak ada unsur paksaan.
b. Memberi peluang untuk meneruskan atau membatalkan transaksi.
c. Menyempurnakan takaran dan timbangan.
d. Tidak boleh menyembunyikan cacat barang.
e. Dilarang jual beli tipuan (jual beli gharar).
f. Dilarang menimbun barang.
g. Dilarang menjual barang yang haram.
h. Dilarang menjual barang dengan dua aqad.
i. Dilarang menjual barang dengan manipulasi kualitas/harga.
j. Dilarang jual beli barang yang sedang proses aqad.
k. Dianjurkan perikatan itu secara tertulis dan pakai saksi.

C. Manajemen Pengelolaan Ekonomi Islam (Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf)


1) Konsep Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf
a. Zakat
Zakat adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah SWT, diserahkan
kepada orang-orang yang berhak. Tujuan zakat dalam ekonomi islam untuk
mensucikan dan mengembangkan harta serta jiwa pribadi para wajib zakat,
mengurangi penderitaan masyarakat, memelihara keamanan dan meningkatkan
pembangunan.
b. Infak
Infak adalah membelanjakan, menggunakan atau mengeluarkan harta secara
sukarela yang dilakukan seseorang setiap kali memperoleh rezki, sebanyak
dikehendaki sendiri.
c. Sedekah
Sedekah adalah derma atau pemberian yang dilakukan dengan harapan
memperoleh ridha Allah SWT. Sedangkan menurut M. Daud Ali (1988:23), sedekah
adalah pemeberian sukarela yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain,
terutama kepada orang-orang miskin, setiap kesempatan terbuka yang tidak ditentukan
baik jenis, jumlah, maupun waktunya.
d. Wakaf
Wakaf adalah memberikan harta yang tahan laam serta dapat memberikan
manfaat untuk kepentingan umum. Harta wakaf tidak boleh dijual hanya boleh
diambil manfaatnya, karna lazimnya harta wakaf dalam benutk tanah, kebun,
masjid/mushola, lembaga pendidikan, rumah, kendaraan, dan lain-lain.
2) Pengelolaan Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf
Diantara firman Allah SWT yang mengisyaratkan pengelolaan yang dimaksud
terdapat dalam surat At-Taubah (9, 103) “pungutlah zakat dari sebagian mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doa kami itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
D. Perbedaan Konsep Ekonomi Kapitalis dan Sosialis dengan Ekonomi Islam
Ekonomi kapitalis merupakan sistem ekonomi yang memberikan keluasaan dan
kebebasan dan yang tidak terbatas kepada individu dan swasta untuk melaksanakan dan
mengelola sumber, kegiatan dan hasil produksi ekonomi. Jadi, prinsip dasar sistem
ekonomi kapitalis menekankan kebebasan pelaku ekonomi untuk melaksanakan praktik
ekonomi.
BAB IX
PERNIKAHAN DAN WARISAN
A. PERNIKAHAN
1. Kedudukan dan Hukum Pernikahan
Manusia sebagai makhluk psiko-fisik dituntut untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan yang berkenaan denga tuntutan fisiknya maupun
kebutuhan rohaninya.
Salah satu aturan Allah SWT berkenaan dengan penuhan kebutuhan biologis
manusia itu adalah syari’at tentang perkawinan. Tujuan perkawinan adalah sakinah, yaitu
terwujudnya ketenangan dan kelapangan jiwa, keluasan hidup dan kehidupan, dan
terpenuhinya kebutuhan fitrah jasmani dan rohani.
Pernikahan adalah sunah Rasul, tetapi dilihat dari niat dan kasus yang terjadi pada
calon pasangan, pernikahan dapat digolongkan kepada lima macam hukum, yaitu :
1. Wajib
Pernikahan hukumnya wajib bagi orang yang sudah berkeinginan untuk menikah,
mampu menanggung resiko dan tanggung jawab serta merasa kuatir dirinya
terjerumus kepada zina apabila tidak menikah.
2. Sunnat
Pernikahan hukumnya sunnat bagi orang yang sudah berkeinginan untuk menikah,
mampu menanggung resiko dan tanggung jawab serta tidak merasa kuatir dirinya
terjerumus kepada zina apabila tidak menikah.
3. Haram
Pernikahan hukumnya haram bagi orang yang mengetahui bahwa dirinya tidak
mampu hidup berumah tangga, melaksanakan kewajibannya sebagia suami atau
istri. Demikian juga haram menikah bagi orang yang memiliki tujuan menikah
untuk menyakiti istrinya.
4. Makruh
Pernikahan hukumnya makruh bagi orang yang tidak mampu memberikan nafkah
dan pelayanan yang selayaknya, sementara ia belum mempunyai keinginan untuk
menikah.
5. Mubah
Perkawinan hukumnya mubah bagi orang yang berkeinginan untuk menikah
sedang ia sendiri mampu menjaga dirinya untuk tidak berzina.
Perkawinan berfungsi untuk : 1) mempertahankan keturunan dalam rangka
mendekatkan (tawarrub) kepada Allah dalam arti mengharapkan doa anak saleh dan
meramaikan bumi dan memperbanyak umat, 2) membentengi diri dari dorongan syahwat
ilegal (zina), 3) menenangkan hati, 4) mengatur dan menertibkan hidup melalui istri
shalihah.

2. Pra Pernikahan
a. Memilih Calon Pasangan
Islam mengajarkan agar orang yang ingin berkeluarga memilih calon pasangannya
dengan pertimbangan yang matang dan menjadikan agama sebagai bahan pertimbangan
utama, sebagaimana dinyatakan Nabi : “seorang perempuan dikawini, karena empat
hal : kecantikannya, hartanya, keturunannya, agamanya, engkau akan memperoleh
ketenangan”.(HR. Bukhari Muslim)
Yang dimaksud dengan pertimbangan agama adalah disamping pasangannya sama-
sama beragama islam, juga kemampuan, dan sikap beragamanya.
b. Meminang
Meminang adalah menunjukkan atau menyatakan permintaan untuk penjodohan
dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya baik secara langsung
maupun dengan perantara seseorang yang dipercayainya.
Meminang hukumnya mubah : tidak termasuk wajib, sunat, atau haram. Meminang
diperbolehkan dengan syarat perempuan yang dipinang itu tidak bersuami, tidak dalam
keadaan Thalak raj’i (wanita yang ditalak 1 atau 2 dan masih dalam posisi iddah) dan
tidak sedang berada di bawah pinangan orang lain.
Pada saat meminang seorang laki-laki atau wakilnya diperbolehkan untuk melihat
perempuan yang dipinangnya agar calon suaminya tidak merasa kecewa dikemudian
hari, sebagaimana disabdakan Nabi : Apabila salah seorang diantara kamu meminang
seorang wanita, maka tidaklah berdosa baginya untuk melihat perempuan itu ia lakukan
semata-mata untuk mencari perjodohan baik diketahui oleh perempuan itu ataupun
tidak.(HR. Ahmad)
c. Perempuan yang Haram Dinikahi (Muhrim)
1. Yang haram dinikahi selamanya, terdiri dari :
a. Dengan sebab pertalian saudara atau nassab, yaitu :
1. Ibu, termasuk nenek dari pihak ibu dan bapak seterusnya ke atas
2. Anak perempuan termasuk cucu-cucu perempuan terus kebawah
3. Saudara perempuan kandung, seayah atau seibu
4. Saudara perempuan bapak, baik kandung baik seayah atau seibu
5. Saudara perempuan ibu baik sekandung, seayah atau seibu
6. Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan)
7. Anak perempuan saudara perempuan
b. Dengan sebab pertalian pernikahan, yaitu :
1. Ibu istri (mertua perempuan) termasuk mertua istri
2. Anak istri (anak tiri), jika istri telah digauli
3. Istri anak (menantu) termasuk bekas menantu
4. Istri bapak (ibu tiri) termasuk bila sudah dicerai
c. Dengan sebab pertalian susuan (radla’ah), yaitu :
1. Perempuan yang menyusui (ibu susuan)
2. Saudara-saudara sesusuan, baik kandung, seayah, maupun seibu
2. Yang haram dinikahi sementara, terdiri dari :
a. Pertalian nikah, perempuan yang masih berada dalam ikatan pernikahan, kalau sudah
cerai serta telah habis massa iddahnya boleh menikah
b. Talaq bain qubra, yaitu perempua yang ditalaq dengan talaq tiga, haram dinikahi
kembali oleh bekas suaminya, kecuali ia telah dinikahi orang lain dan sudah digauli,
kemudian dicerai. Setelah habis massa iddahnya, perempuan itu boleh dinikahi oleh
bekas suaminya yang pertama.
c. Menghimpun dua orang perempuan bersaudara
d. Menghimpun perempuan lebih dari empat
e. Berlainan agama

3. Pelaksanaan Pernikahan
Pernikahan dinyatakan sah menurut syari’at islam apabila terpenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
1. Adanya wali, yaitu orang yang bertanggung jawab untuk mengawinkan anak
gadisnya, sabda Rasulullah SAW yang berbunyi :”barang siapa diantara wanita
yang menikah tidak atas izin walinya, maka pernikahan itu dianggap tidak sah”.
(HR. Empat Ahli Hadist) dan sabda lagi yang berbunyi :”tidaklah dianggap sah
nikah itu, kecuali dengan adanya (izin) wali. (HR. Abu Darimi)
Wali memiliki syarat-syarat, yaitu 1) laki-laki, 2) islam, 3) baligh, 4) merdeka, 5)
adil, 6) berakal, dan 7) tidak sedang melakukan ihram.
2. Sighat nikah atau ijab qabul, yaitu penyerahan dari wali perempuan dan
penerimaan dari pihak pengantin laki-laki.
3. Saksi, yaitu dua orang laki-laki yang menjadi saksi pernikahan dan bertanggung
jawab atas sah tidaknya suatu aqad nikah yang dilaksanakan. Saksi disyaratkan 1)
beragama islam, 2) baligh, 3) berakal, 4) merdeka, 5) laki-laki, 6) adil
4. Mas kawin (mahar), yaitu pemberian laki-laki kepada perempuan pada saat
pernikahan. Mahar adalah milik perempuan yang tidak bisa diminta kembali oleh
suaminya, kecualai istri merelakannya.

4. Putusnya Aqad Perkawinan


Dalam ajaran islam ada beberapa hal yang mengakibatkan putusnya tali
pernikahan, yaitu :
1) Kematian
Bila salah diantara suami istri meninggal dunia, maka putuslah ikatan
perkawinannya. Masa iddah menunggu bagi seorang istri yang ditinggal mati suaminya
adalah :
a. Sampai melahirkan, kalau ia sedang hamil.
b. Empat bulan sepuluh hari (empat kali sucian) bila ia ditinggal mati dalam keadaan
suci
2) Thalaq
Thalaq artinya lepasnya ikatan. Dalam arti syari’at berati lepasnya ikatan
pernikahan dengan lafadh thalaq atau lafadh lain yang identik dengan thalaq.
Hukum asal thalaq menurut Ulama Syaf’iyah dan Hambalillah adalah makruh,
dengan berdasarkan kepada hadist Nabi yang disebutkan dia atas. Sedangkan ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa hukum thalaq itu pada dasarnya adalah haram.
Dilihat dari segi keadaan istri yang dijatuhi thalaq, maka thalaq itu ada dua macam,
yaitu :
1. Thalaq Sunni, yaitu thalaq yang dijatuhkan suami kepada istrinya dalam keadaan
suci dan belum dicampuri oleh suami.
2. Thalaq Bid’i, yaitu thalaq yang dilakukan suami kepada istrinya dalam keadaan
haid atau dalam keadaan suci tetapi sudah dicmpurinya. Thalaq ini hukumnya
haram.
Dari segi boleh tidaknya suami merujuk bekas istrinya, thalaq dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu :
1. Thalaq Raj’i, yaitu thalaq yang memperbolehkan bekas suami untuk merujuk bekas
istrinya sebelum masa iddahnya habis. Kembalinya suami kepada istri pada masa
ini tidak perlu pernikahan baru dan hanya berlaku pada thalaq satu dan dua.
2. Thalaq Bain, yaitu thalaq yang tidak memperbolehkan suami untuk merujuk bekas
istrinya, tetapi harus dengan pernikahan baru. Thalaq ini terbagi atas dua yaitu; 1)
thalaq bai’n sugra, yaitu thalaq yang tidak memperbolehkan suami merujuk bekas
istrinya, tetapi harus melakukan perkawinan baru. Thalaq ini adalah thalaq yang
dijatuhkan kepada istri dengan disertai ‘idwadl (pengganti), 2) bai’n qubra, yaitu
thalaq tiga, dimana bekas suami tidak boleh mengawini kembali bekas istrinya,
kecuali bekas istrinya telah dinikahi terlbih dahulu oleh orang lain, telah bergaul
dengan suami barunya dan kemudian dicerai.
3) Khul’u
Khul’u adalah perceraian antara suami istri dengan cara istri membayar uang
idwadl (pengganti). Istri diperbolehkan meminta khul’u kepada suaminya dengan
syarat :
a. Suami berzina dengan perempuan lain
b. Suaminya pemabuk
c. Suaminya tidak melaksanakan ajaran islam
d. Istri tidak senang lagi dengan tingkah laku suami
Thalaq yang jatuh dengan ‘idwadl tidak bisa dirujuk, kecuali dengan
perkawinan baru.
4) Fasakh
Fasakh adalah perceraian yang diputuskan oleh hakim atas permintaan pihak istri.
Hal ini diperbolehkan dengan syarat :
a. Suaminya gila
b. Suaminya berpenyakit kusta, sopak
c. Suaminya sakit kelamin, sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan biologis
istrinya
d. Suaminya tidak dapat memberi nafkah
e. Suaminya hilang tidak tentu adanya
5) Syiqaq
Syiqaq adalah perceraian yang diakibatkan oleh pertengkaran diantara suami istri
dan tidak dapat didamaikan lagi.
6) Pelanggaran Ta’liq Thalaq
Ta’liq Thalaq adalah thalaq yang dikaitkan dengan sesuatu, jikaa sesuatu terjadi
maka thalaq akan jatuh. Dalam pelaksanaan seorang istri meminta suaminya
berjanji dengan cara mengucapkan Ta’liq Thalaq, yaitu thalaq yang dikaitkan
(ta’liq) dengan perbuatan suami antara lain :
a. Jika meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut
b. Tidak memberi nafkah wajib kepada istri selama tiga bulan
c. Menyakiti badan/jasmani istri
d. Membiarkan istri enam bulan berturut-turut
Apabila peristiwa itu terjadi , istri dapat mengadukan suaminya ke pengadilan
agama, membayar uang idwadl kepada suaminya dan jatuhlah thalaq satu
kepada istrinya. Ta’liq Thalaq semacam ini sah, jika suami menerima dan mau
mengucapkan janjinyaserta dibuktikan dengan membubuhkan tanda
tangannya.

5. Iddah
Iddah adalah masa menunggunya bagi perempuan yang diceraikan atau ditinggal
mati suaminya untuk dapat menikah lagi dengan laki-laki lain. Masa iddah yang dijalani
perempuan itu beraneka ragam, yakni :
a. Iddah istri yang dicerai dan ia masih haid, lama iddahnya tiga kali quru’ (suci).
b. Iddah istri yang dicerai dan sudah tidak haid (monopause), iddahnya tiga bulan.
c. Iddah istri yang ditinggal mati suami, lamanya empat bulan sepuluh hari.
d. Iddah yang dicerai dalam keadaan hamil, lamanya sampai melahirkan.

6. Hikmah Pernikahan
Pernikahan adalah awal pembentukan keluarga dalam ruang lingkup rumah tangga.
Ia merupakan pintu masuk yang menghubungkan seseorang dengan kehidupan dunia
sesungguhnya sebagai insan yang sempurna.
Dari sisi lain, nikah merupakan suatu fundamental yang mampu menjaga manusia
dari kejahatan dan kekerasan yang diakibatkan oleh dorongan nafsu seksual. Dengan
demikian, memerangi dan mengendalikan nafsu merupakan proses yang tiada henti-
hentinya. Dilihat dari sisi lain, pernikahan merupakan proses pendidikan ruhaniyah yang
memberikan dampak yang kuat dalam mewujudkan pribadi yang mandiri dan
bertanggung jawab, sebab jika pasangan telah menginjak jenjang pernikahan, terjadi
perubahan pada jiwanya masing-masing.

B. KEWARISAN
1. Hukum Waris
Peraturan tentang pembagian harta peninggalan (pusaka) ini dinamai hukum waris
atau faraidl. Faraidl dalam istilah mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris
yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara’, sedangkan ilmu faraidl dita’rifkan
sebagai berikut :
“ilmu fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang
cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan
pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap
pemilik hak pusaka.”
Berkenaan dengan pengurusan harta peninggalan apabila seseorang meninggal
dunia dan meninggalkan harta benda, keluarganya wajib menyelesaikkan kewajiban sang
mayat yang berhubungan dengan hartanya, biaya pengurusan jenazah, utang-utangnya
serta membayar wasiat yang dimiliki orang itu dengan catatan wasiat itu tidak
melampaui sepertiga dari jumlah harta pusaka. Pengurutan hak-hak yang harus
dibayarkan itu diatur sebagai berikut :
1. Didahulukan membiayai perawatan jenazah dari pada hutang-hutang.
2. Didahulukan pelunasan hutang-hutang daripada pelaksanaan wasiat.
3. Didahulukan membayar wasiat daripada mempusakakan harta peninggalan kepada
ahli waris.
Pusaka mempusakai terjadi apabila ada syarat-syarat sebagai berikut :
1. Matinya orang yang mempusakakan (muwaris), baik dalam pengertian mati haqiqi,
mati hukmi atau taqdiri.
2. Hidupnya orang yang mempusakai (waris) disaat kematian muwaris.
3. Tidak ada penghalang-penghalang mempusakai.
Sesudah kewajiban-kewajiban tersebut dibayarkan, maka harta benda yang ada itu
dinamai tirkah atau maurust (harta peninggalan) yang hartanya dibagikan kepada para
ahli warisnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah sebagia berikut:
1. Sebab-sebab pusaka :
Seseorang berhak mempusakai dan menerima pusaka disebabkan adanya kaitan
sebagai berikut :
 Perkawinan, suami istri karena kedudukannya itu terhijab (terhalang) sama
sekali hak warisnya oleh ahli waris manapun.
 Kekerabatan, hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang
yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan ini tidak bisa
hilang karena merupakan sebab akibat adanya seseorang yang tidak bisa
dihilangkan, lain halnya dengan perkawinan, ia dapat saja hilang misalnya
bercerai.
 Wala’, yaitu perwalian yang mengandung dua pengertian, yaitu : a)
kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan budak, b)
kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong-
menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan orang lain.

2. Pusaka Dengan Sebab Perkawinan


a. Pusaka Istri
Istri dalam mempusakai harta peninggalan suaminya mempunyai dua macam
bagian, yaitu :
1) 1/4 , istri memperoleh bagian seperempat bila suami yang diwarisnya tidak
mempunyai far’ul waist, yaitu anak turun simayit yang berhak waris baik secara
bagian, seperti anak perempuan dan cucu perempuan pancar laki-laki terus ke
bawah, maupun secara ‘ushubah, seperti anak laki-laki dan cucu laki-laki pancar
laki-laki terus ke bawah.
2) 1/8 , istri memperoleh seperdelapan bila yang lahir melelui istri pewaris ini
maupun istri yang lain.
b. Pusaka Suami
Dalam mempusakai harta peninggalan istrinya, suami mempunyai dua maca,
bagian, yaitu :
 1/2 , suami mempusakai harta istrinya dengan setengah bagian bila istrinya tidak
mempunyai far’ul waris.
 1/4 , suami mempunyai bagian seperempat bila istrinya meninggalkan far’ul waris.
Far’ul waris yang dimaksud anak yang lahir dari suami yang menjadi pewaris atau
suami lain (terdahulu).

3. Pusaka Dengan Sebab Kekerabatan


a. Anak turun si mati (Furu’ul Mayyit)
1. Anak perempuan shulbiyah
Anak perempuan shulbiyah adalah anak perempuan yang dilahirkan secara
langsung dari orang yang meninggal, baik yang meninggalkan itu ibunya atau
ayahnya. Bagian anak perempuan shulbiyah adalah :
a. 1/2 , bila ia hanya seorang diri dan tidak mewarisi bersama-sama dengan
saudara laki-laki yang menjadikan ia sebagai ashabah. Aturan ini didasarkan
kepada firman Allah :”.....jika ia hanya seorang diri bagiannya separoh”.
(QS. 4. 11)
b. 2/3 , bila anak perempuan itu dua atau lebih dan tidak bersama-sama dengan
saudara laki-laki yang menjadikannya sebagai ashabah bersama (‘asbah
bilgair)
c. Ushubah, bila ia mewarisi bersama-sama dengan saudara laki-lakinya, baik
anak perempuan itu tunggal maupun banyak dan baik anak laki-lakinya
tunggal atau banyak.

2. Anak laki-laki
Anak laki-laki tidak termasuk ashabul furudh, ahli waris yang mendapatkan
bagian yang sudah ditentukan kadarnya, tetapi ia termasuk ahli waris ashabah,
penerima sisa peninggalan dari ashabul furudh atau penerima seluruh harta
peninggalan bila tidak ada dzawil furudh seorangpun.
Berdasarkan QS. 4 :11 bahwa anak laki-laki adalah ushubah. Adapun cara-
cara dalam mempusakai dirinci sebagai berikut :
a) Jika orang yang mati hanya meninggalkan seorang atau beberapa orang anak
laki-laki saja, maka anak laki-laki mewarisi seluruh harta secara ta’shib.
b) Jika ornag yang mati meninggalkan seorang atau beberapa anak laki-laki dan
tidak meninggalkan anak perempuan seorangpun.
c) Jika orang yang mati meninggalkan anak laki-laki dan anak perempuan atau
ashabul furudh, maka seluruh harta atau sisa harta peninggalan setelah
diambil oleh ashabul furudh dibagi dua, dengan ketentuan anak laki-laki
mendapat dua kali lipat anak perempuan. Kebanyakan ahli waris dapat
dihijab oleh anak laki-laki, kecuali :
a. Ibu
b. Bapak
c. Suami
d. Istri
e. Anak perempuan
f. Kakek
g. Nenek
3. Cucu perempuan pencar laki-laki
Cucu perempuan pencar laki-laki ialah anak perempuan dari anak laki-laki
yang meninggal dunia (bintul ibni) dan anak perempuannya cucu laki-laki pancar
laki-laki (Ibintu-ibnil ibnu) sampai ke bawah.
Hak pusaka cucu perempuan pancar laki-laki ada 6 macam :
1. 1/2 , bila ia seorang diri
2. 2/3 , bila ia dua orang atau lebih. Penerimaan setengah dan dua pertiga ini
bila bersama-sama dengan ahli waris yang menjadikan mereka ashabah
bersama (mu’ashabah ma’al ghair)
3. Ushubah, bila ia mewarisi bersama-sama dengan ahli waris yang
menjadikannya ‘ashabah bersama. Dalam hal ini ada tiga kemungkinan, yaitu
:
a. Jika tidak ada ashabul furudh seorangpun, mereka menerima seluruh harta
peninggalan secara ushubah dengan ketentuan bahwa mereka yang laki-laki
mendapat bagian dua kali lipat bagian perempuan.
b. Jika ada ashabul furudh, mereka hanya menerima sisa harta dari ashabul
furudh juga degan cara pembagian seperti di atas.
c. Jika harta peninggalan telah dihabiskan oleh ashabul furudh mereka tidak
menerima sedikit pun.
Cucu perempuan pancar laki-laki dapat menghijab ahli waris :
1. Saudara (si mati) seibu dan;
2. Saudari (si mati) seibu
Ia dapat dihijab oleh ahli waris :
1. Dua orang anak perempuan shulbiyah
2. Dua orang cucu perempuan pancar laki-laki yang lebih tinggi derajatnya, bila
tidak ada mu’ashib yang mendampinginya.
3. Far’ul warist laki-laki yang lebih tinggi derajatnya seperti, anak laki-laki atau
cucu laki-laki yang lebih tinggi derajatnya, baik ia tunggal atau banyak, baik
bersama-sama dengan mu’ashib atau tidak.
4. Cucu laki-laki pancar laki-laki
Cucu laki-laki pancar laki-laki termasuk far’ul warits, yaitu anak turunan si
mati yang mempunyai hak mewarisi. Hak pusaka far’ul warits itu ada
kalanya dengan jalan fardh, seperti anak perempuan dan cucu perempuan
pancar laki-laki sampai ke bawah, dan ada kalanya dengan jalan ‘ushubah
dengan ketentuan sebagai berikut :
a) Jika si mati tidak mempunyai anak dan tidak ada ahli waris yang lain, ia
menerima seluruh harta peninggalan secara ‘ushubah. Dan jika ada ahli waris
ashabul furudh, ia menerima sisa ashabul furudh.
b) Jika cucu itu mewarisi bersama-sama dengan saudari-saudarinya , ia
membagi seluruh harta peninggalan atau sisa harta dari ashabul furudh
dengan saudari-saudarinya menurut perbandingan 2:1. Untu laki-laki
menerima dua kali lipat bagian perempuan.
Kebanyakan ahli waris dapat dihijab oleh cucu laki-laki pancar laki-laki,
kecuali :
1. Ibu
2. Ayah
3. Suami
4. Istri
5. Anak perempuan
6. Cucu perempuan pancar laki-laki
7. Kakek shalih
8. Dan nenek shalihah
Anak dalam kandungan trgolong ahli waris yang berhak menerima warisan dengan
syarat-syarat :
a. Sudah mempunyai wujud pada saat orang yang mewariskan mati dengan
asumsi bahwa sperma yang berada dalam rahim apabila tiak hancur,
mempunyai zat hidup, karena itu dihukumkan hidup.
b. Dilahirkan dalam keadaan hidup dengan tanda-tanda hidup seperti, menangis,
bergerak, dan lain-lain.

b. Leluhur mayyit (Ushulul mayyit)


1. Pusaka Ibu
Bagian ibu ada tiga macam :
1. 1/6 , dengan ketentuan bila ia mewarisi bersama-sama dengan far’ul warits bagi si
mati, baik far’ul warits itu seorang atau lebih, laki-laki ataupun perempuan atau ia
bersama dengan saudara-saudara si mati baik kandung, seibu atau seayah, atau
camouran seibu seayah.
2. 1/3 , dengan ketentuan tidak bersama-sama dengan far’ul warits bagi si mati atau
bersama-sama dengan dua orang atau lebih saudari-saudari si mati yang mewarisi
hanya ia sendiri dengan ayah si mati tanpa salah seorang suami istri si mati.
Apabila si mati bersama dengan far’u ghairu warits bagi si mati atau bersama
dengan seorang saudari-saudari bagi si mati, maka ia tidak terhijab dari 1/3 menjadi 1/6
fardh. Bila ia mewarisi bersama dengan ayah salah seorang suami atau istri, ia mendapat
1/3 sisa peninggalan.
Tidak ada ahli warits yang dapat menghijab hirman terhadap ibu, tetapi ada 2 ahli
warits yang dapat menghijab muqshan padanya, yaitu :
1. Far’ul warits secara mutlak dan
2. Dua orang saudara, secara mutlak
Sedangkan ibu dapat menghijab ahli warits, yaitu :
1. Ibunya ibu (Ummul umi)
2. Ibunya ayah (Ummul abi) ke atas
2. Pusaka Nenek Shalihah
Nenek shalihah ialah leluhur perempuan (nenek) yang dipertalikan kepada si mati
tanpa memasukkan kakek ghairu shalih. Bagian nenek adalah seperenam dengan
ketentuan bila ia tidak bersama-sama ibu baik sendiri ataupun beberpa orang. Para ahli
warits yang dapat menghijab nenek adalah :
1. Ibu
2. Ayah
3. Kakek shalih
4. Nenek yang dekat
3. Pusaka Ayah
Seseorang mempusakai harta peninggalan anaknya dengan tiga macam bagian,
yaitu :
a. 1/6 , dengan ketentuan bila anak yang diwarisi mempunyai far’u warist mudzakkar
(anak turun si mati yang berhak mewarisi yang laki-laki), yaitu anak laki-laki dan
cucu laki-laki pancar laki-laki sampai ke bawah.
b. 1/6 , dan ‘ushubah, dengan ketentuan bila anak yang diwarisi mempunyai far;u
warits muannats (anak turun si mati yang perempuan), yakni anak perempuan dan
cucu perempuan pancar laki-laki sampai ke bawah.
c. ‘ushubah, bila anak yang diwarisi harta peninggalannya tidak mempunyai far’u
warits sama sekali, baik laki-laki maupun perempuan.
4. Pusaka Kakek
Istilah kakek dalam ilmu faraidl ada dua arti, yaitu kakek shahih dan kakek ghair
shahih. Kakek shahih adalah kakek yang hubungan nasabnya dengan si mati tanpa
diselangi oleh perempuan. Sepertinya ayahnya ayah (abul ab) dan ayah dari ayahnya
ayah (abul abil ab) sampai ke atas.
Kakek ghair shaih adalah kakek yang hubungan nasabnya dengan si mati diselingi
oleh perempuan. Seperti ayahnya ibu (abul um),dan ayah dari ibunya ayah (abu umi ab).
Kakek dapat menduduki statusnya ayah bila tidak ada ayah dan saudara-saudara atau
saudari-saudari sekandung atau seayah, karena itu ia mendapat bagian pusaka seperti
bagian ayah, yaitu :
a. 1/6 , bila si mati mempunyai anak turun yang berhak waris yang laki-laki
b. 1/6 dan sisa dengan jalan ‘ushubah bila si mati mempunyai anak turun yang berhak
waris yang perempuan
c. ‘ushubah, bila si mati tidak mempunyai far’ul warits secara mutlak, baik laki-laki
maupun perempuan, atau bila ia mempunyai anak turun yang tidak berhak
menerima pusaka (far’u ghairu warits), seperti cucu perempuan pancar laki-laki.
Para ahli warits yang termahjub oleh kakek shahih ialah :
1. Saudara-saudara sekandung
2. Saudara-saudara seayah
3. Saudara-saudara seibu
4. Anak laki-laki saudara sekandung
5. Anak laki-lakinya saudara
6. Paman sekandung
7. Paman seayah
8. Anak laki-lakinya paman sekandung
9. Anak laki-lakinya seayah
Adapun ahli warits yang dapat menghijabnya adalah :
1. Ayah
2. Kakek shahih yang lebih dekat dengan si mati

C. KERABAT MENYAMPING (AL-HAWASYI)


1. Pusaka Saudari Sekandung
1. 1/2 , bila ia hanya seorang diri dan tidak mewarisi bersama dengan saudara
kandung yang menjadikannya ‘ashabah (bilghair)
2. 2/3 , bila saudari tersebut dua orang atau lebih dan tidak mewarisi bersama-sama
dengan saudara kandung yang menjadikannya ‘ashabah bilghair
3. ‘ushubah bilghair, baik tunggal maupun banyak. Mereka semuanya dapat
menerima seluruh harta peninggalan atau sisa dari dzawil furudh dengan ketentuan
bahwa penerimaan saudara adalah dua kali lipat penerimaan saudari
4. ‘Ushubah (ma’al ghair), bila ia mewarisi bersam-sama :
a. Seorang atau beberapa orang anak perempuan
b. Seorang atau beberapa orang cucu perempuan pancar laki-laki
c. Anak perempuan dan cucu perempuan pancar laki-laki, dengan ketentuan
saudari kandung tersebut tidak bersama-sama dengan saudara kandung yang
menjadi ma’ashibnya. Tetapi bila ada saudara kandung sebagai
konsekuensinya andai kata sudah tidak ada sisa yang tinggal setelah
pembagian kepada dzawil furudh, ia tidak menerima apa-apa.
Bila seorang atau beberapa orang saudari kandung bersama-sama dengan anak
perempuan atau cucu perempuan pancar lakii-laki , mereka dapat menghijab ahli waris :
1. Saudara seayah
2. Anak laki-laki saudara seayah seibu
3. Anak laki-laki saudara seayah
4. Paman seayah seibu
5. Paman seayah
6. Anak laki-laki paman seayah seibu
7. Anak laki-laki paman seayah
8. Saudari seayah
Bila saudari kandung atau lebih. Mereka dapat menghijab seorang atau beberapa
orang saudsari seayah. Adapun ahli waris yang menghijab saudari kandung ,baik tunggal
atau berapa orang baik bersama-sama dengan saudara kandung maupun tidak ialah :
1. Anak lakil-laki
2. Cucu laki-laki pancar laki-laki dan
3. Ayah
5. Pusaka Saudari Seayah
Bagian saudari seayah adalah sebagai berikut :
1. Separoh, yakaitu bila ia hanya seorang di dan tidak mewarisi bersama-sama dengan
saudari kandung atau saudara seayah yang menjadikanya, ashabah ( bil ghair)
2. Dua pertiga, yaitu dalam keadaan bila saudari tersebut dua orang atau lebihyang
tidak mewarisi bersama-sama dengan saudari kandung atau saudara seayah yang
menjadikan, ashabah (bil ghair)
3. ‘Ushubah (bil ghair), yaitu baik seorang diri maupun banyak bila ia mewariri
bersama-sama dengan saudara tunggal seayah. Dalam hal ini saudara memperolah
dua kali lipat bagian saudari.
4. ‘Ushubah (ma’al ghair), yaitu bila ia mewarisi bersama-sama dengan anak
perempuan pancar laki-laki betapa pun menurunna, serta anak perempuan dan cucu
perempuan pancar laki-laki dalam hal ini ia mendapat sisa peninggalan setelah para
ahli waris tersebut mengambil bagiannya. Apabila tidak ada sisa sama sekali, ia
tidak menerima apa-apa.
5. Seperenam sebagai pelengkap dua pertiga, bila ia mewarisi bersama-sama dengan
saudari kandung. Kalau ia mewarisi bersama dengan saudara seayah, ia menjadi
‘ashabah bil ghair, yaitu menerima sisa dari ‘ashabah furudh dan jika ternyata
sudah tidak ada sisa sama sekali terpaksa mereka keduanya tidak mendapat bagian
sedikitpun.
Saudari seayah jika bersama-sama dengan saudara seayah tidak dapat menghijab
ahli waris manapun. Jika bersama-sama dengan saudara seayah ia dapat menghijab :
1. Anak laki-laki saudara (kemenakan) seayah ibu
2. Kemenakan seayah
3. Paman seayah-ibu
4. Paman seayah
5. Anak laki-laki paman (saudara sepupu) seayah ibu
6. Saudara sepupu ayah
Ahli waris yang dapat menghijab saudara seayah adalah :
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki pancar laki-laki
3. Ayah
4. Saudara (laki-laki) seayah seibu
5. Saudara sekandung yang menjadi ‘ashabah ma’al ghair
6. Dua orang saudari sekandung, jika saudari seayah tidak mewarisi bersama-sama
dengan mu’ashibnya.

3. Pusaka Saudara-saudari Tunggal Ibu (Auladul Ummi)


Saudara-saudari ibu adalah anak-anaknya ibu si mati atau saudara tiri si mati yang
lahir dari ibu. Bagian mereka adalah :
1. 1/6 , bila mereka tunggal, baik laki-laki maupun perempuan
2. 1/3 , bila mereka banyak, baik laki-laki maupun perempuan
Mereka tidak memiliki ketentuan itu bila si mati tidak dalam keadaan kalalah, yaitu
tidak beranak turun yang berhak mewarisi (far’ul warits) baik laki-laki maupun
perempuan mereka tidak mewarisi dalam kalalah, mereka terhijab oleh far’ul warits atau
ashlul warits muzakkar.
Anak-anak ibu (saudara-saudari tiri si mati) ini tidak dapat menghijab siapa pun,
bahkan mereka dapat dihijab oleh :
1. Anak laki-laki atau perempuan
2. Ayah
3. Kakek shahih

4. Pusaka Saudara Kandung


Hak pusaka saudara kandung adalah ‘ushubah, dengan ketentuan apabila mereka
tidak bersama-sama dengan ahli waris yang dapat menghijabnya dan tidak bersama-sama
kakek shahih. Kalau mereka bersama-sama kakek shahih mereka membagi rata dengan
kakek shahih. Secara terperinci pusaka mereka sebagai berikut :
a. Kalau tidak ada ahli waris selain seorang saudara, maka ia mendapat seluruh harta.
b. Kalau ahli waris semuanya terdiri dari saudara-saudara kandung, maka seluruh
harta peninggalan dibagi rata antar mereka.
c. Kalau ahli warisnya terdiri dari saudara dan saudari sekandung, seluruh harta
peninggalan dibagi antar mereka dengan ketentuan yang laki-laki mendapat dua
kali perempuan.
d. Kalau mereka mewarisi bersama-sama dengan saudara-saudara seibu dan
kebetulan tidak ada sisa yang tinggal untuknya, maka ia menggabungkan diri
dengan saudara-saudara ibu dalam menerima 1/3.
e. Kalau mereka mewarisi bersama-sama dengan ahli waris selain dari golongan
ashabul furudh, mereka menerima sisa dari ashabul furudh.
Para ahli waris yang terhijab oleh saudara laki-laki sekandung adalah :

1. Saudara seayah
2. Anak laki-laki saudara sekandung
3. Anak laki-laki saudara seayah
4. Paman sekandung
5. Paman seayah
6. Anak laki-laki paman sekandung
7. Anak laki-laki paman seayah
Sedangkan yang menghijab saudara sekandung adalah :
1. Ayah
2. Anak laki-laki
3. Cucu laki-laki pancar laki-laki

5. Pusaka Saudara Seayah


Pusaka saudara seayah dengan cara ‘ushubah, bila tidak ada ahli waris yang
menghijabnya, sebagaimana halnya cara pusaka saudara kandung. Hanya kalau sudah
tidak ada sisa harta peninggalan, mereka tidak bisa menggabungkan diri kepada saudara-
saudara seibu dalam mendapat 1/3, karena mereka tidak mempunyai garis yang sama
dalam mempertemukan nasabnya kepada ibu, seperti saudara-saudara kandung.
Para ahli waris yang terhijab oleh saudara seayah adalah :
1. Anak laki-laki saudara sekandung
2. Anak laki-laki saudara seayah
3. Paman sekandung
4. Paman seayah
5. Anak laki-laki paman sekandung
6. Anak laki-laki paman seayah
Sedangkan ahli waris yang dapat menghijab saudara seayah adalah :
1. Saudara sekandung
2. Ayah
3. Anak laki-laki
4. Cucu laki-laki pancar laki-laki
5. Saudari sekandung bila bersama anak perempuan atau cucu perempuan pancar
laki-laki

6. Pusaka Anak-anak Saudara (Kemenakan laki-laki), paman-paman dan anak-anak


paman (Saudara sepupu laki-laki)
Mereka tergolong ahli waris ‘ashabah yang utama setelah anak laki-laki, cucu laki-
laki pancar laki-laki sampai ke bawah, bapak, kakek terus ke atas, saudara kandung dan
saudara seayah.
Anak laki-laki saudara sekandung dapat menghijab ahli waris :
1. Anak laki-laki saydara seayah
2. Paman sekandung
3. Paman seayah
4. Anak laki-laki paman sekandung
5. Anak laki-laki paman sekandung
Ahli waris yang dapat menghijabnya adalah :
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki pancar laki-laki
3. Bapak
4. Kakek
5. Saudara (laki-laki)
6. Saudara seayah
7. Saudari sekandung atau seayah yang menjadi ‘ashabah ma’al ghair bersama-sama
dengan anak perempuan atau cucu perempuan
Anak laki-laki saudara seayah dapat menghijab ahli waris :
1. Paman sekandung
2. Paman seayah
3. Anak paman sekandung
4. Anak paman seayah
Ahli waris yang dapat menghijabnya adalah :
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki pancar laki-laki
3. Ayah
4. Kakek
5. Saudara sekandung
6. Saudara seayah
7. Anak laki-laki audara sekandung
8. Saudara sekandung atau seayah yang menjadi ‘ashabah ma’al ghair bersama-sama
dengan anak perempuan atau cucu perempuan
Paman dapat menghijab ahli waris :
1. Paman seayah
2. Anak laki-laki paman sekandung
3. Anak laki-laki paman seayah
Ahli waris yang dapat menghijab paman adalah :
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki pancar laki-laki
3. Ayah
4. Kakek
5. Saudara sekandung
6. Saudara seayah
7. Anak laki-laki saudara sekandung
8. Saudari sekandung atau seayah yang menjadi ‘ashabah ma’al ghair bersama-sama
anak perempuan
9. Anak laki-laki saudara seayah
Paman seayah dapat menghijab ahli waris :
1. Anak laki-laki paman sekandung
2. Anak laki-laki paman seayah
Para ahli waris yang menghijab paman seayah adalah :
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki pancar laki-laki
3. Ayah
4. Kakek
5. Saudara sekandung
6. Saudara seayah
7. Anak laki-laki saudara sekandung
8. Saudari sekandung atau seayah yang menjadi ‘ashabah ma’al ghair bersama-sama
anak perempuan atau cucu perempuan
9. Anak laki-laki saudara seayah
10. Paman sekandung
Anak laki-laki paman sekandung dapat menghijab anak laki-laki paman seayah
saja. Sedangkan ahli waris yang dapat menghijab anak laki-laki paman sekandung
adalah:
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki pancar laki-laki
3. Ayah
4. Kakek
5. Saudara sekandung
6. Saudara seayah
7. Anak laki-laki saudara kandung
8. Saudara sekandung atau seayah yang menjadi ‘ashabah ma’al ghair bersama-sama
dengan anak perempuan atau cucu perempuan
9. Anak laki-laki saudara seayah
10. Paman seayah
Anak laki-laki paman seayah tidak dapat menghijab ahli waris manapun,
sedangkan yang dapat menghijabnya adalah :
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki pancar laki-laki
3. Ayah
4. Kakek
5. Saudara laki-laki sekandung
6. Saudara laki-laki seayah
7. Anak laki-laki saydara sekandung
8. Saudari sekandung atau seayah yang menjadi ‘ashabah ma’al ghair bersama anak
perempuan
9. Anak laki-laki saudara seayah
10. Paman sekandung
11. Paman seayah
12. Anak laki-laki paman sekandung
Sistem kewarisan diatur dan ditetapkan dalam ajaran Islam untuk melindungi
keluarga dari perselisihan dan perpecahan serta menjamin hak-hak anggota keluarga atas
harta yang ditinggalkan. Dengan demikian hak-hak pemilikan atas harta pusaka dapat
diserahkan kepada ahli warisnya secara adil.
BAB X
SISTEM POLITIK ISLAM
A. Pengertian Politik
Kata politik berasal dari bahasa latin Politicus yang berarti Relating to citizen
(hubungan warga negara), keduanya berasal dari kata Polis yang berarti kota. Dalam
bahasa arab, politik biasa diterjemahkan dengan kata siyasah, kata ini diambil kata sasa-
yasuusu yang diartikan mengemudi, mengendalikan dan mengatur. Jadi kata politik
diartikan mengurus, mengatur kepentingan seseorang.
Abdul Qadim Zallum menyatakan bahwa politik atau siyasah mempunyai makna
mengatur urusan rakyat baik dalam maupun luar negeri. Negara adalh institusi yang
mengatur urusan tersebut secara praktis, sedangkan rakyat mengoreksi pemerintah dalam
melakukan tugasnya.
Sekurang-kurangnya ada lima kerangka konseptual yang dapat digunakan dalam
memahami politik. Pertama, politik dipahami sebagai usaha warga nagara dalam
membicarakan dan mewujudkan kebaikan dan bersama. Kedua, politik sebagai segala hal
yang berkaitan denngan penyelanggaraan negara dan pemerintah. Ketiga, pilotik sebagai
segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam
masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan
pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari atau
mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.

B. Prinsip Dasar Politik Islam


Politik islam didasarkan kepada tiga prinsip, yaitu tauhid, risalah dan khalifah.
Tauhid berarti mengesakan Allah SWT selaku pemilik kedaulatan tertinggi. Risalah
merupakan medium perantara penerimaan manusia terhadap hukum-hukum Allah SWT.
Khalifah berarti pemimpin atau wakil Alla di bumi.
Dalam pelaksanaan politik, islam juga memiliki norma-norma yang harus
diperhatikan. Norma-norma itu merupakan karakteristik pembeda politik islam dari
sistem politik lainnya. Diantara norma-norma itu adalah :
1. Politik merupakan alat atau sarana untuk mencapai tujuan, bukan dijadikan sebagai
tujuan akhir atau satu-satunya.
2. Politik islam berhubungan dengan kemaslahatan umat.
3. Kekuasaan mutlak adalah milik Allah.
4. Manusia diberi amanah sebagai khalifah untuk mengatur alam ini secara bijak
5. Pengangkatan pemimpin didasari atas prinsip musyawarah
6. Ketaatan kepada pemimpin wajib hukumnya setelah taat kepada Allah dan rasul
7. Islam tidak menentukan secara eksplisit bentuk pemerintahan negara.

C. Nilai-nilai Dasar Sistem Politik Dalam Al-Quran


Al-quran sebagai sumber ajaran utama dan pertama agama islam mengandung
ajaran tentang nilai-nilai dasar yang harus diaplikasikan dalam pengembangan sistem
politik islam. Nilai-nilai dasar tersebut :
1. Kemestian mewujudkan persatuan dan kesatuan umat sebagaimana tercantum
dalam QS. 23 (Al-mu’minun) : 52 “sesungguhnya umat kami ini umat yang satu
dan aku adalah tuhan kamu, maka bertakwalah kamu kepada-Ku.”
2. Kemestian bermusyawarah dalam penyelesaian masalah-masalah ijtihadiyyah.
Dalam QS. 42 (Al-sura) : 38 dan QS. 3 (Ali imran) : 159 dijelaskan :
a) Urusan mereka diputuskan dengan musyawarah diantara mereka.
b) Dan bermusyawarah dengan mereka dalam urusan itu.
3. Keharusan menunaikan amanat dan menetapkan hukum secara adil. Dalam QS 4
(An-nisa) : 58 Allah berfirman ;”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan menyuruh kamu
apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan secara
adil”.
4. Kemestian menaati Allah dan Rasulullah dan ulil Amri (pemegang kekuasaan)
sebagaimana difirrmankan dalam QS. 4 (An-nisa) : 59 “Hai orang-orang yang
beriman, taaitalah Allah dan Rasul (Nya), dan orang-orang yang menegang
kekuasaan diantara kamu”.
5. Keniscayaan mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat islam,
sebagaimana difirmankan dalam QS. 49 (Al-hujarat) : 9 “dan jika ada dua
golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah keduanya”
6. Kemestian mementingkan perdamaian daripada permusuhan. Dalam QS 8 (Al-
anfal) : 61 Allah berfirman “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang
memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas”
7. Kemestian mementingkan perdamaian daripada permusuhan. Dalam QS (Al-
anfal) : 61 Allah berfirman “Apabila mereka condong kepada perdamaian,
hendaklah kamupun condong kepadanya dan bertakwalah kepada Allah”
8. Keharusan meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan,
sebagaimana firman Allah. Dalam QS (Al-anfal) : 60 “Dan siapakah untuk
menghadapi mereka, kekuatan apa saja yang kamu sanggupi, dari kuda-kuda yang
ditempat untuk berperang, (yang denga persiapan itu) kamu dapat menggetarkan
musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain yang kamu tidak ketahui
sedangkan Allah mengetahuinya”
9. Keharusan menepati janji, sebagaimana firman Allah dalam QS 16 (An-nahl) : 91
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah, apabila kamu berjanji dan janganlah
kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu sesudah meneguhkannya”
10. Keharusan mengutamakan perdamaian bangsa-bangsa sebagaimana firman Allah
dalam QS 49 (Al-hujarat) : 13 “Hai manusia, sesungguhnya kami telah
menciptakan kamu dari seorang \laki-laki dan seornag perempuan, dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku suapaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah
adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha
mengetahui lagi maha mengenal”
11. Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat. Dalam QS 59 (Al-
hasyr) : 7 “Supaya harta itu tidak beredar diantara orang-orang kaya diantara
kamu”.
12. Keharusan mengikuti prinsip-prinsip pelaksanaan hukum, dalam hal :
a. Menyedikitkan beban (taqlil al-takalif)
b. Bernagsur-angsur (Al-tadarruj)
c. Tidak menyulitkan (‘adam al-haraj)

D. Kotribusi Umat Islam Dalam Perpolitikan Nasional


Kontribusi umat islam dalam perpolitikan nasional sudah dimulai sejak masa
penjajahan (pra kemerdekaan). Diantara tokoh muslim pada era itu adalah Tuanku Imam
Bonjol, Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, Tuanku Nan Ranceh, Sultan Bharrudin,
dan lainnya.
Pada fase kemerdekaan tokoh-tokoh muslim pun berperan aktif dalam menetapkan
dasar-dasar ideology berbangsa dan bernegara. Lahirnya pancasila dan undang-undang
dasar 1945 merupakan refleksi dari nilai-nilai ajaran islam adalah kehidupan berbangsa
di Indonesia. Hal ini dapat dipahami dari sila-sila pancasila yang memuat prinsip-prinsip
tauhid, kemanusiaan, kesatuan, musyawarah dan mufakat serta keadilan sosial. Begitu
juga dengan dicantumkannya pada pembukaan UUD 1945 tentang kemerdekaan sebagai
rahmat Allah SWT.
Selanjutnya pada masa orde baru tokoh-tokoh muslim juga memberikan kontribusi
politik yang sangat berarti bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara seperti
lahirnya tri kerukunan umat beragama yang mengatur tentang kerukunan antar umat
beragama dengan pemerintah.
Sedangkan pada orde reformasi perjuangan politik umat islam semakin terbuka
lebar, hal ini didukung oleh perkembangan demokrasi politik di Indonesia.

E. Prinsip-prinsip Politik Luar Negeri


Politik luar negeri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari politik, karena
politik merupakan pemikiran tentang pemeliharaan urusan dan kepentingan masyarakat
di negeri sendiri serta kepentingan negara dan bangsa lain.
Yang harus diperhatikan dalam politik luar negeri adalah bangsa-bangsa yang
berpengaruh, terutama yang berkaitan dengan masyarakat, bangsa dan keyakinan.
Politik luar negeri dalam islam terdiri atas dasar-dasar kuat yang mempunyai
tujuan yang jelas. Tujuan-tujuanitu adalah :
a. Mengamankan penyebaran dakwah kepada manusia, sehingga suara dakwah itu
dapat sampai keseluruh dunia.
b. Mangamankan batas-batas teritorial negara islam dan umat islam yang hidup di
negara itu terhadap seluruh musuh yang berusaha menyebarkan fitnah terhadap
agama mereka atau mengganggu negara mereka.
c. Mengaplikasikan sistem jihad fi sabililah yang masuk di dalamnya pemahaman
tentang perang dan pertempuran secara islami atau tunduk pada tujuan islam, yakni
menegakkan kalimat Allah SWT.

Adapun prinsip-prinsip politik luar negeri dalam keadaan damai adalah :


a. Menjaga perdamaian
b. Menegakkan keadilan
c. Memenuhi janji
d. Menjaga hak-hak dan kebebasan bagi non-muslim
e. Melakukan tolong menolong kemanusiaan dan saling toleransi
Adapun prinsip-prinsip politik luar negeri islam dalam keadaan perang adalah :
1. Menentukan tujuan perang
Tujuan-tujuan perang dalam islam dapat disimpulkan dalam dua tujuan besar,
yakni : pertama, menahan serangan musuh dan melawan kekuatan kaum zalim
sehingga terwujud keamanan. Kedua, mengamankan dakwah islam, karena ia
adalah dakwah kebenaran dan membawa seluruh kebajikan-kebajikan kepada
manusia, baik bagi agama maupun dunia mereka.
2. Melakukan persiapan
Suatu negara dituntut mempersiapkan diri dan menyiapkan segala persiapan
yang dapat dilakukan untuk menghadapi suatu permusuhan dari manapun.
3. Tidak meminta bantuan musuh untuk mengalahkan musuh
Hal ini merupakan landasan yang menjadikan negara islam selalu berada
dalam keamanan dan ketentraman.
4. Menepati perjanjian atau persetujuan
Menepati perjanjian atau perjanjian dalam keadaan perang adalah sama
dengan keadaan damai, karena hal itu merupakan bagian dari nilai-nilai islam dan
akhlak.
5. Menjalankan hukum dan adab islam dalam perang
Islam tidak melihat perang sebagai sebuah tindakan pembunuhan masal,
pengrusakan, dan pembunuhan terhadap musuh, seperti yang dipahami oleh barat
dan Amerika Serikat, ketika menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan di Nagasaki
di akhir perang dunia II, karena tindakan seperti itu tidak manusiawi, tidak beradap
dan amoral.
Islam membuat hukum-hukum, etika-etika perang yang tidak boleh dilanggar oleh
umat islam dan pemimpin islam. Di antara hukum-hukum itu adalah :
1. Dilarang membunuh wanita, anak kecil dan orang tua, kecuali jika orang tua yang
turut memerangi umat islam dengan tipu daya, pemikiran dan strateginya.
2. Dilarang membunuh seseorang dengan khianat tanpa mengumumkan terlebih
dahulu sikap perang.
3. Dilarang merusak jenazah musuh walaupun mereka melakukan kejahatan terhadap
umat islam.
4. Menguburkan mayat-mayat musuh sebagai penghormatan terhadap kemanusiaan
mereka.
5. Memperlakukan tawanan dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai