2. Pra Pernikahan
a. Memilih Calon Pasangan
Islam mengajarkan agar orang yang ingin berkeluarga memilih calon pasangannya
dengan pertimbangan yang matang dan menjadikan agama sebagai bahan pertimbangan
utama, sebagaimana dinyatakan Nabi : “seorang perempuan dikawini, karena empat
hal : kecantikannya, hartanya, keturunannya, agamanya, engkau akan memperoleh
ketenangan”.(HR. Bukhari Muslim)
Yang dimaksud dengan pertimbangan agama adalah disamping pasangannya sama-
sama beragama islam, juga kemampuan, dan sikap beragamanya.
b. Meminang
Meminang adalah menunjukkan atau menyatakan permintaan untuk penjodohan
dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya baik secara langsung
maupun dengan perantara seseorang yang dipercayainya.
Meminang hukumnya mubah : tidak termasuk wajib, sunat, atau haram. Meminang
diperbolehkan dengan syarat perempuan yang dipinang itu tidak bersuami, tidak dalam
keadaan Thalak raj’i (wanita yang ditalak 1 atau 2 dan masih dalam posisi iddah) dan
tidak sedang berada di bawah pinangan orang lain.
Pada saat meminang seorang laki-laki atau wakilnya diperbolehkan untuk melihat
perempuan yang dipinangnya agar calon suaminya tidak merasa kecewa dikemudian
hari, sebagaimana disabdakan Nabi : Apabila salah seorang diantara kamu meminang
seorang wanita, maka tidaklah berdosa baginya untuk melihat perempuan itu ia lakukan
semata-mata untuk mencari perjodohan baik diketahui oleh perempuan itu ataupun
tidak.(HR. Ahmad)
c. Perempuan yang Haram Dinikahi (Muhrim)
1. Yang haram dinikahi selamanya, terdiri dari :
a. Dengan sebab pertalian saudara atau nassab, yaitu :
1. Ibu, termasuk nenek dari pihak ibu dan bapak seterusnya ke atas
2. Anak perempuan termasuk cucu-cucu perempuan terus kebawah
3. Saudara perempuan kandung, seayah atau seibu
4. Saudara perempuan bapak, baik kandung baik seayah atau seibu
5. Saudara perempuan ibu baik sekandung, seayah atau seibu
6. Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan)
7. Anak perempuan saudara perempuan
b. Dengan sebab pertalian pernikahan, yaitu :
1. Ibu istri (mertua perempuan) termasuk mertua istri
2. Anak istri (anak tiri), jika istri telah digauli
3. Istri anak (menantu) termasuk bekas menantu
4. Istri bapak (ibu tiri) termasuk bila sudah dicerai
c. Dengan sebab pertalian susuan (radla’ah), yaitu :
1. Perempuan yang menyusui (ibu susuan)
2. Saudara-saudara sesusuan, baik kandung, seayah, maupun seibu
2. Yang haram dinikahi sementara, terdiri dari :
a. Pertalian nikah, perempuan yang masih berada dalam ikatan pernikahan, kalau sudah
cerai serta telah habis massa iddahnya boleh menikah
b. Talaq bain qubra, yaitu perempua yang ditalaq dengan talaq tiga, haram dinikahi
kembali oleh bekas suaminya, kecuali ia telah dinikahi orang lain dan sudah digauli,
kemudian dicerai. Setelah habis massa iddahnya, perempuan itu boleh dinikahi oleh
bekas suaminya yang pertama.
c. Menghimpun dua orang perempuan bersaudara
d. Menghimpun perempuan lebih dari empat
e. Berlainan agama
3. Pelaksanaan Pernikahan
Pernikahan dinyatakan sah menurut syari’at islam apabila terpenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
1. Adanya wali, yaitu orang yang bertanggung jawab untuk mengawinkan anak
gadisnya, sabda Rasulullah SAW yang berbunyi :”barang siapa diantara wanita
yang menikah tidak atas izin walinya, maka pernikahan itu dianggap tidak sah”.
(HR. Empat Ahli Hadist) dan sabda lagi yang berbunyi :”tidaklah dianggap sah
nikah itu, kecuali dengan adanya (izin) wali. (HR. Abu Darimi)
Wali memiliki syarat-syarat, yaitu 1) laki-laki, 2) islam, 3) baligh, 4) merdeka, 5)
adil, 6) berakal, dan 7) tidak sedang melakukan ihram.
2. Sighat nikah atau ijab qabul, yaitu penyerahan dari wali perempuan dan
penerimaan dari pihak pengantin laki-laki.
3. Saksi, yaitu dua orang laki-laki yang menjadi saksi pernikahan dan bertanggung
jawab atas sah tidaknya suatu aqad nikah yang dilaksanakan. Saksi disyaratkan 1)
beragama islam, 2) baligh, 3) berakal, 4) merdeka, 5) laki-laki, 6) adil
4. Mas kawin (mahar), yaitu pemberian laki-laki kepada perempuan pada saat
pernikahan. Mahar adalah milik perempuan yang tidak bisa diminta kembali oleh
suaminya, kecualai istri merelakannya.
5. Iddah
Iddah adalah masa menunggunya bagi perempuan yang diceraikan atau ditinggal
mati suaminya untuk dapat menikah lagi dengan laki-laki lain. Masa iddah yang dijalani
perempuan itu beraneka ragam, yakni :
a. Iddah istri yang dicerai dan ia masih haid, lama iddahnya tiga kali quru’ (suci).
b. Iddah istri yang dicerai dan sudah tidak haid (monopause), iddahnya tiga bulan.
c. Iddah istri yang ditinggal mati suami, lamanya empat bulan sepuluh hari.
d. Iddah yang dicerai dalam keadaan hamil, lamanya sampai melahirkan.
6. Hikmah Pernikahan
Pernikahan adalah awal pembentukan keluarga dalam ruang lingkup rumah tangga.
Ia merupakan pintu masuk yang menghubungkan seseorang dengan kehidupan dunia
sesungguhnya sebagai insan yang sempurna.
Dari sisi lain, nikah merupakan suatu fundamental yang mampu menjaga manusia
dari kejahatan dan kekerasan yang diakibatkan oleh dorongan nafsu seksual. Dengan
demikian, memerangi dan mengendalikan nafsu merupakan proses yang tiada henti-
hentinya. Dilihat dari sisi lain, pernikahan merupakan proses pendidikan ruhaniyah yang
memberikan dampak yang kuat dalam mewujudkan pribadi yang mandiri dan
bertanggung jawab, sebab jika pasangan telah menginjak jenjang pernikahan, terjadi
perubahan pada jiwanya masing-masing.
B. KEWARISAN
1. Hukum Waris
Peraturan tentang pembagian harta peninggalan (pusaka) ini dinamai hukum waris
atau faraidl. Faraidl dalam istilah mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris
yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara’, sedangkan ilmu faraidl dita’rifkan
sebagai berikut :
“ilmu fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang
cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan
pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap
pemilik hak pusaka.”
Berkenaan dengan pengurusan harta peninggalan apabila seseorang meninggal
dunia dan meninggalkan harta benda, keluarganya wajib menyelesaikkan kewajiban sang
mayat yang berhubungan dengan hartanya, biaya pengurusan jenazah, utang-utangnya
serta membayar wasiat yang dimiliki orang itu dengan catatan wasiat itu tidak
melampaui sepertiga dari jumlah harta pusaka. Pengurutan hak-hak yang harus
dibayarkan itu diatur sebagai berikut :
1. Didahulukan membiayai perawatan jenazah dari pada hutang-hutang.
2. Didahulukan pelunasan hutang-hutang daripada pelaksanaan wasiat.
3. Didahulukan membayar wasiat daripada mempusakakan harta peninggalan kepada
ahli waris.
Pusaka mempusakai terjadi apabila ada syarat-syarat sebagai berikut :
1. Matinya orang yang mempusakakan (muwaris), baik dalam pengertian mati haqiqi,
mati hukmi atau taqdiri.
2. Hidupnya orang yang mempusakai (waris) disaat kematian muwaris.
3. Tidak ada penghalang-penghalang mempusakai.
Sesudah kewajiban-kewajiban tersebut dibayarkan, maka harta benda yang ada itu
dinamai tirkah atau maurust (harta peninggalan) yang hartanya dibagikan kepada para
ahli warisnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah sebagia berikut:
1. Sebab-sebab pusaka :
Seseorang berhak mempusakai dan menerima pusaka disebabkan adanya kaitan
sebagai berikut :
Perkawinan, suami istri karena kedudukannya itu terhijab (terhalang) sama
sekali hak warisnya oleh ahli waris manapun.
Kekerabatan, hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang
yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan ini tidak bisa
hilang karena merupakan sebab akibat adanya seseorang yang tidak bisa
dihilangkan, lain halnya dengan perkawinan, ia dapat saja hilang misalnya
bercerai.
Wala’, yaitu perwalian yang mengandung dua pengertian, yaitu : a)
kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan budak, b)
kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong-
menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan orang lain.
2. Anak laki-laki
Anak laki-laki tidak termasuk ashabul furudh, ahli waris yang mendapatkan
bagian yang sudah ditentukan kadarnya, tetapi ia termasuk ahli waris ashabah,
penerima sisa peninggalan dari ashabul furudh atau penerima seluruh harta
peninggalan bila tidak ada dzawil furudh seorangpun.
Berdasarkan QS. 4 :11 bahwa anak laki-laki adalah ushubah. Adapun cara-
cara dalam mempusakai dirinci sebagai berikut :
a) Jika orang yang mati hanya meninggalkan seorang atau beberapa orang anak
laki-laki saja, maka anak laki-laki mewarisi seluruh harta secara ta’shib.
b) Jika ornag yang mati meninggalkan seorang atau beberapa anak laki-laki dan
tidak meninggalkan anak perempuan seorangpun.
c) Jika orang yang mati meninggalkan anak laki-laki dan anak perempuan atau
ashabul furudh, maka seluruh harta atau sisa harta peninggalan setelah
diambil oleh ashabul furudh dibagi dua, dengan ketentuan anak laki-laki
mendapat dua kali lipat anak perempuan. Kebanyakan ahli waris dapat
dihijab oleh anak laki-laki, kecuali :
a. Ibu
b. Bapak
c. Suami
d. Istri
e. Anak perempuan
f. Kakek
g. Nenek
3. Cucu perempuan pencar laki-laki
Cucu perempuan pencar laki-laki ialah anak perempuan dari anak laki-laki
yang meninggal dunia (bintul ibni) dan anak perempuannya cucu laki-laki pancar
laki-laki (Ibintu-ibnil ibnu) sampai ke bawah.
Hak pusaka cucu perempuan pancar laki-laki ada 6 macam :
1. 1/2 , bila ia seorang diri
2. 2/3 , bila ia dua orang atau lebih. Penerimaan setengah dan dua pertiga ini
bila bersama-sama dengan ahli waris yang menjadikan mereka ashabah
bersama (mu’ashabah ma’al ghair)
3. Ushubah, bila ia mewarisi bersama-sama dengan ahli waris yang
menjadikannya ‘ashabah bersama. Dalam hal ini ada tiga kemungkinan, yaitu
:
a. Jika tidak ada ashabul furudh seorangpun, mereka menerima seluruh harta
peninggalan secara ushubah dengan ketentuan bahwa mereka yang laki-laki
mendapat bagian dua kali lipat bagian perempuan.
b. Jika ada ashabul furudh, mereka hanya menerima sisa harta dari ashabul
furudh juga degan cara pembagian seperti di atas.
c. Jika harta peninggalan telah dihabiskan oleh ashabul furudh mereka tidak
menerima sedikit pun.
Cucu perempuan pancar laki-laki dapat menghijab ahli waris :
1. Saudara (si mati) seibu dan;
2. Saudari (si mati) seibu
Ia dapat dihijab oleh ahli waris :
1. Dua orang anak perempuan shulbiyah
2. Dua orang cucu perempuan pancar laki-laki yang lebih tinggi derajatnya, bila
tidak ada mu’ashib yang mendampinginya.
3. Far’ul warist laki-laki yang lebih tinggi derajatnya seperti, anak laki-laki atau
cucu laki-laki yang lebih tinggi derajatnya, baik ia tunggal atau banyak, baik
bersama-sama dengan mu’ashib atau tidak.
4. Cucu laki-laki pancar laki-laki
Cucu laki-laki pancar laki-laki termasuk far’ul warits, yaitu anak turunan si
mati yang mempunyai hak mewarisi. Hak pusaka far’ul warits itu ada
kalanya dengan jalan fardh, seperti anak perempuan dan cucu perempuan
pancar laki-laki sampai ke bawah, dan ada kalanya dengan jalan ‘ushubah
dengan ketentuan sebagai berikut :
a) Jika si mati tidak mempunyai anak dan tidak ada ahli waris yang lain, ia
menerima seluruh harta peninggalan secara ‘ushubah. Dan jika ada ahli waris
ashabul furudh, ia menerima sisa ashabul furudh.
b) Jika cucu itu mewarisi bersama-sama dengan saudari-saudarinya , ia
membagi seluruh harta peninggalan atau sisa harta dari ashabul furudh
dengan saudari-saudarinya menurut perbandingan 2:1. Untu laki-laki
menerima dua kali lipat bagian perempuan.
Kebanyakan ahli waris dapat dihijab oleh cucu laki-laki pancar laki-laki,
kecuali :
1. Ibu
2. Ayah
3. Suami
4. Istri
5. Anak perempuan
6. Cucu perempuan pancar laki-laki
7. Kakek shalih
8. Dan nenek shalihah
Anak dalam kandungan trgolong ahli waris yang berhak menerima warisan dengan
syarat-syarat :
a. Sudah mempunyai wujud pada saat orang yang mewariskan mati dengan
asumsi bahwa sperma yang berada dalam rahim apabila tiak hancur,
mempunyai zat hidup, karena itu dihukumkan hidup.
b. Dilahirkan dalam keadaan hidup dengan tanda-tanda hidup seperti, menangis,
bergerak, dan lain-lain.
1. Saudara seayah
2. Anak laki-laki saudara sekandung
3. Anak laki-laki saudara seayah
4. Paman sekandung
5. Paman seayah
6. Anak laki-laki paman sekandung
7. Anak laki-laki paman seayah
Sedangkan yang menghijab saudara sekandung adalah :
1. Ayah
2. Anak laki-laki
3. Cucu laki-laki pancar laki-laki