Oleh:
SUBAGYO
NIM: 10.6.9.0006
Program Pascasarjana
Magister Ilmu Hukum
Universitas Sunan Giri Surabaya
2010
A. PENDAHULULAN
1. Latar Belakang
Indonesia merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah hukum nasional, terkait
Persiapan UUD 145 menjelaskan bahwa Bab IX UUD 1945 tentang kekuasaan
kehakiman (judicial power) yang berdiri sendiri atau dalam keadaan bebas dan
terpisah dari kekuasaan lainnya (eksekutif dan legislatif) sebagai akibat dari
Ajaran Trias Politica pada mulanya dikemukakan John Locke di abad XVII
dalam Two Treatises On Civil Government yang mengritik kekuasaan raja Inggris
1
Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, Jilid III, Siguntang,
Jakarta, 1960, hal. 798.
2
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, Cet. XI, 1988, hal. 151.
Ajaran John Locke selanjutnya dikembangkan oleh Montesquieu, seorang
filsuf Perancis, yang dalam karyanya L’Esprit des Lois membagi kekuasaan
negara menjadi tiga, yaitu kekusaan legislatif, eksekutif dan yudisiil (kekuasaan
mengadili).3
menyatakan bahwa bentuk wajar suatu negara yang berdasarkan kemauan rakyat
badan-badan tertentu.4
secara murni, pada umumnya para ahli hukum sepakat bahwa pemisahan
dilaksanakan secara murni. Pendirian tersebut juga dapat dilihat dari sejarah
tersebut.
kekuasaaan). Pola itu dapat dilihat di dalam UUD 1945 di mana lembaga
berkurang, di mana MPR tidak lagi mengangkat Presiden, sebab kini Presiden
juga dipilih oleh rakyat secara langsung. Namun demikian fungsi distribusi
Presiden melalui alasan khusus dan hukum acara yang ditentukan dalam UUD
1945 yang telah diamandemen (pasal 7A dan 7B. Sistem bikameral MPR yang
berisi DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagaimana ditentukan pasal
kekuasaan negara yang ditetapkan dalam UUD 1945 yang perubahan dan
adanya distribusi kekuasaan negara yang dilakukan MPR tetapi di sisi lain
perilaku para hakim (lihat pasal 24B ayat (1) UUD 1945).
2. Rumusan Masalah
B. PEMBAHASAN
pengembangan dari Ilmu Negara dan kini menjadi bagian Hukum Tata Negara,
terbukti asas tersebut termaktub dalam Bab IX UUD 1945 (pasal 24 ayat (1) dan
penjelasannya.
kebudayaan dan cara hidup bangsa Indonesia serta pengaruh hukum Belanda
yang beraliran Eropa Kontinental (Civil Law), karena faktor sejarah penjajahan
hukum aliran Anglo Saxon (Common Law) karena banyak sarjana hukum yang
menjadi pemikir negara yang telah menjalani studi di Amerika Serikat, Australia
oleh kebudayaan dan tata cara hidup bangsa Belanda yang dipengaruhi juga oleh
adalah suatu bidang studi hukum yang mempelajari perkembangan dan asal-usul
Tentu saja bahwa asal-usul sistem hukum dalam suatu masyarakat berkaitan
dengan pengaruh faktor internal dan eksternal yang telah dijelaskan tersebut.
sebagai reaksi terhadap mazhab hukum alam yang berkembang di Eropa pada
Hukum tentang asas kekuasaan kehakiman yang merdeka bermula dari kritik
pemikiran kedua filsuf tersebut, harus diakui bahwa mereka merupakan para
hak individu.
power) yang digagas Locke dan Montesquieu sejalan dengan prinsip negara
Dalam negara modern sering terjadi sengketa antara warga negara dengan
pejabat pemerintah itu sendiri, tentu kemungkinan besar tidak akan membuahkan
putusan perkara yang dilandasi independensi hakim. Itulah yang menjadi bagian
dalam dua masa, sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia. Masa sebelum
kemerdekaan dapat dibagi menjadi dua rentang waktu, yakni masa kolonial
Belanda dan masa pendudukan Jepang. Sengaja pada masa penjajahan Inggris
yang sebentar tidak akan diuraikan di sini sebab pada masa itu tidak ada
6
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
Cet. Ketujuh, 1986, hal. 60-61.
perubahan hukum yang substansial tentang penerapan asas kekuasaan kehakiman
di Hindia Belanda.
masa Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Selengkapnya akan dibahas
selanjutnya ini.
Belanda, sebab harus diakui bahwa sistem hukum di Indonesia dan peradilannya
Mr. R. Tresna mencatat bahwa tanggal 1 Mei 1848 merupakan garis waktu
Tanggal itu merupakan saat hapusnya kekuatan hukum Belanda kuno dan hukum
dan peralihan perundang-undangan baru) tanggal 3 Maret 1848, Stb. nomor 10).
7
MR. R. Tresna, Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta, Cet. Keenam, 1976. hal. 5.
menetapkan Mr. H.L. Wichers diutus ke Hindia Belanda untuk memangku
pengadilan (pasal 1 dan 2), serta diberikan kuasa untuk menetapkan dan
tertib yang akan disahkan Raja di dalam hal-hal yang ditentukan Peraturan
Pemerintah.9
kekuasaan kehakiman yang merdeka di tahun 1846 itu masih dalam tahap
kekuasaan pemerintahan Belanda pada masa itu telah dilakukan, namun fungsi-
fungsi legislatif dijalankan oleh Raja Belanda dan di Hindia Belanda juga
8
Ibid, hal. 5-6.
9
Ibid, hal. 6-8.
Dalam pasal 9 firman Raja Belanda tanggal 16 Mei 1846 Nomor 1 tersebut
Belanda, atas kuasa raja, dengan meminta pertimbangan MA, namun pasal 4
firman raja Belanda tersebut juga memberi wewenang Gubernur Jenderal untuk
Selain itu, ternyata fungsi legislatif di Hindia Belanda di masa tersebut juga
melibatkan pejabat lembaga yudisiil. Mr. Wichers yang telah diangkat Raja
Belanda yang berpusat di Jakarta, sejenis MA). Salah satu produk perundang-
adalah Inlandsch Reglement tanggal 5 April 1848, Stb. nomor 16 yang kemudian
disahkan dengan firman Raja Belanda tanggal 29 September 1849 Nomor 93 Stb.
nomor 63.10
oleh bupati atau Patih. Begitu pula pengadilan Magistraatsgerecht ditangani para
10
Ibid, hal. 10-14.
pegawai pemerintah Belanda di daerah masing-masing yang diangkat Residen.
(disingkat RR) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan yang mengatur tentang
adanya peradilan yang bebas namun secara struktural tidak ada pemisahan
serta pejabat administrasi negara semacam Wedana dan Bupati untuk menjadi
Kerajaan Belanda pada waktu itu juga ada Menteri Kehakiman yang merupakan
11
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Bandung, Edisi
Kedua, Cet. Ketiga, 1996 hal. 34-43.
Jepang yang berpedoman pada undang-undang yang disebut Gunseirei. Untuk
Seirei Nomor 1 Tahun 1942, di mana pasal 3-nya menentukan bahwa semua
pemerintah yang dahulu tetap diakui sah untuk sementara waktu asalkan tidak
Pada masa pendudukan Jepang ini tidak terlalu banyak perubahan berkaitan
pengadilan.
UUD 1945 sebagai hukum dasar (konstitusi) tertulis negara. Aturan Peralihan
12
Ibid, hal. 55.
13
Ibid, hal. 57.
yang ada di pasal I UUD 1945 menjadi dasar untuk mengambil alih segala
yang ada di masa sebelum kemerdekaan selama belum diganti dengan yang baru
Keadaan tersebut tampaknya berlanjut di masa Orde Lama. Prof. Dr. Jur. A.
Hamzah, S.H. menguraikan bahwa dalam hal "mandiri", hakim dan jaksa 1945-
semua orang tahu dari pengalaman empiris, bahwa baik hakim maupun jaksa
Itulah bukti betapa independennya Jaksa Agung yang pensiun pada umur 65
tahun (teoritis seumur hidup) pada waktu itu. Di sini juga ternyata, bahwa boleh
14
Jur. A. Hamzah, Kemandirian dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, makalah dalam
acara yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia di Denpasar, 14 -18 juli 2003.
kekuasaan kehakiman yang merdeka menurut UUD 1945, telah dihapuskan oleh
Agung.
Pnps Tahun 1965. Ketua, Ketua Pengganti, Hakim Perwira pada Pengadilan
Tentara (Militer) dan Pengadilan Tentara (Militer) Tinggi diangkat oleh Menteri
(1) dan pasal 15 ayat (1)). Di tingkat MA-pun ada hakim-hakim perwira yang
15
Ibid.
Kompartimen Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata atas usul
yang merdeka dapat dibaca dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948. Pasal
(2) Para hakim merdeka dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman dan hanya
Dasar.
undang Nomor 19 Tahun 1964 yang pada pasal 19-nya menentukan bahwa demi
masyarakat yang mendesak, Presiden dapat turun atau campur tangan dalam soal-
tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat undang-
undang, bahwa Presiden/ Pemimpin Besar Revolusi harus dapat turun atau
campur tangan baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana.
hakim, bahkan para hakim dinyatakan harus tunduk kepada Manipol Usdek yang
Pada masa Orde Baru tampil muncul arus pemikiran tentang pemurnian
pelaksanaan UUD 1945 yang salah satu agendanya adalah menyusun undang-
undang yang baru yang mengatur kembali asas kebebasan kekuasaan kehakiman
yang bebas dan mandiri seperti telah pernah diatur sebelumnya oleh Undang-
berikut:
16
Yudhi Setiawan, Pengaturan Kekuasaan Kehakiman yang Bebas dan Mandiri,
http://fh.wisnuwardhana.ac.id, 19 Mei 2010.
Desember 1967 Panitia Interdepartemenal ini diganti dengan Panitia Negara
dengan tugas yang sama yaitu meninjau kembali kedua undang-undang
tersebut dengan menyiapkan Rancangan Undang-Undang baru sebagai
penggantinya.
Pada tanggal 30 Juni 1968 Panitia tersebut telah berhasil merampungkan
tugas-tugasnya dan pada tanggal 13 Agustus 1968 Presiden secara resmi
menyampaikan kedua rancangan undang-undang tersebut kepada Ketua
DPRGR untuk dibicarakan dan mendapat persetujuan. Akhirnya Rancangan
Undang-Undang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman berhasil
disetujui DPRGR dan kemudian disahkan serta diundangkan pada tanggal 17
Desember 1970 sebagai Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970. Undang-
Undang ini menentukan 4 jenis “peradilan” untuk menjalankan kekuasaan
kehakiman. Keempat jenis peradilan itu adalah :
a. Peradilan Umum diatur dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986.
b. Peradilan Agama diatur dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989.
c. Peradilan Tata Usaha Negara diatur dengan Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986.
d. Peradilan Militer diatur dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997.17
menurut UUD 1945, namun dalam praktiknya menimbulkan dugaan kuat adanya
intervensi kekuasaan eksekutif sebab pada hakim juga menjadi bawahan Menteri
No. 381 PK/Pdt/1989 tanggal 28 Juli 1992 tidak dapat dieksekusi (nonexecutable)
dengan alasan bahwa Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Irian Jaya (dan tergugat
lainnya) bukan badan hukum publik yang mempunyai kekayaan sendiri tetapi
hanya mewakili daerahnya. Dalam perkara Tanah Adat Jayapura ini para
mewajibkan Tergugat I, IV dan VIII untuk membayar ganti rugi sebesar Rp. 18,6
17
Ibid.
miliar. Perkara tersebut menjadi kontroversi pada saat itu dan disinyalir akan
Begitu pula dalam kasus pembebasan tanah rakyat Kedung Ombo, diputus
Salah satu pertimbangan putusan PK MA tersebut adalah: pada saat gugatan kasus
Kedung Ombo ini diperiksa ditingkat kasasi, telah terjadi perubahan peraturan
yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975, diganti dengan
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993, sehingga berdasar atas azas Lex
Keppres tersebut. Tentu saja putusan PK demikian itu irasional sebab gugatan
Selain kasus Tanah Adat Jayapura, kasus Kedung Ombo, juga kasus-kasus
pembredelan pers pada zaman Orde Baru yang disahkan dengan putusan-putusan
14 Tahun 1970.
21 tahun 1999 tentang Pembentukan Tim Kerja Terpadu untuk melakukan kajian
Tap MPR tersebut yang memerintahkan pemisahan yang tegas antara fungsi
dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) secara organisatoris, administratif dan finansial
berada di bawah kekuasaan MA. Namun demikian pada saat itu status
lembaga eksekutif sebab para hakim adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang
Sipil.
Tahunan MPR Tahun 2000. MPR membuat rekomendasi kepada MA agar segera
tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR oleh Lembaga Tinggi Negara pada
Pada tahun 2006 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Peradilan Militer.
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara selesai dilaksanakan
paling lambat tanggal 31 Maret 2004, dalam lingkungan peradilan agama selesai
fungsi pengawasan eksternal kepada para hakim berdasarkan UUD 1945. Para
1945. Hakim yang dimaksudkan dalam ketentuan tersebut diartikan hakim secara
secara lebih tegas dinyatakan bahwa para hakim dan hakim konstitusi adalah
pejabat negara (pasal 19) sehingga bukan lagi menjadi PNS biasa.
Konsekuensinya, kedudukan para hakim tidak lebih rendah atau sejajar jika
bentuk pengawasan para hakim. Para hakim pengadilan yang berada di bawah
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004, diubah kedua kalinya
Yudisial yang juga berwenang mengawasi Hakim Agung selain para hakim
pengadilan di bawah Mahkamah Agung. Hal itu dapat dilihat dari ketentuan pasal
32 A ayat (2) yang menentukan bahwa pengawasan eksternal para Hakim Agung
tetap tidak memberikan akses pengawasan Komisi Yudisial kepada para hakim
dengan cara mereduksi wewenang Komisi Yudisial tersebut. Untuk itu maka
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 membuat perbedaan istilah antara
5 dan 7.
berikut:
1997.
Selain itu terdapat badan-badan peradilan khusus, antara lain:
citra lembaga pengadilan sebagai benteng terakhir bagi para pencari keadilan.18
melakukan kontrol internal dan Komisi Yudisial kekurangan tenaga dalam kontrol
Tenggara, kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur, kasus divestasi saham
kepada pengadilan yang seringkali berlaku tidak adil kepada rakyat kecil yang
lain secara fungsional dan struktural, tetapi masih belum merdeka dari intervensi
18
H. Muchsin, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka (Independence Judiciary) Sesudah
Perubahan UUD 1945 Menurut UU No. 48 Tahun 2009, Untag Press, Surabaya, 2010, hal. 116.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
ketidakbebasan para hakim dari intervensi uang yang indikasinya tampak dari
2. Saran
tenaga khusus di bidang pengawasan oleh para hakim yang tidak ditugasi
konsisten.
DAFTAR BACAAN
a. Buku
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, Cet. Ketujuh, 1986.
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, Cet. XI,
1988.
M. Nasroen, Asal Mula Negara, Aksara Baru, Jakarta, Cet. Kedua, 1986.
b. Makalah