Anda di halaman 1dari 3

Bank (seolah-olah) Syariah

Subagyo
Advokat, penasihat pada Tamkin Institute (Lembaga Kajian Ekonomi dan Sosial)

Saya memberanikan menulis ini. Mestinya ada yang lebih ahli. Saya
menunggu-nunggu adanya diskusi konstruktif yang menyoal sistem riba bank
yang berlabel syariah. Bukan karena bentuk wadahnya (bank), tapi substansinya.
Ada bank-bank syariah yang didirikan dengan kapital bank-bank konvensional.
Ini menjadi problema yuridis dalam perspektif hukum Islam.
Jika kita baca Penjelasan Umum alenia ketiga Undang-undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU Perbankan Syariah) dinyatakan
bahwa prinsip perbankan syariah merupakan bagian dari ajaran ekonomi Islam.
Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam adalah larangan segala bentuk riba.
Selanjutnya, alenia kelima kalimat terakhir UU Perbankan Syariah
menentukan: Sementara itu, untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang
masih meragukan kesyariahan operasional Perbankan Syariah selama ini, diatur
pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah meliputi
kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir (judi), gharar
(spekulatif), haram, dan zalim.
Itulah misi visi undang-undang. Undang-undang itu mempunyai sejarah
perjuangan panjang untuk menegakkan syariah Islam. Umat Islam diarahkan agar
tidak terlalu lama berada dalam kubangan ekonomi riba, menggunakan lembaga
keuangan bank dan nonbank yang konvensional. Tapi apa yang terjadi sekarang
ini?
Undang-undang Perbankan Syariah malah dipakai oleh korporasi bank
konvensional untuk mendirikan bank-bank syariah. Bank Mandiri konvensional
memodali pendirian Bank Syariah Mandiri yang semula adalah bank konvensional
bernama Bank Susila Bakti. Bank BNI mendirikan unit-unit usaha syariah dengan
model channeling office, seizin Bank Indonesia. Bank Rakyat Indonesia (BRI)
juga menjadi pemegang 99,99967 persen saham BRI Syariah., dan lain-lain.
Itu praktik perbankan yang irasional, durhaka kepada filosofi pendirian
bank syariah. Konon, praktik ilmu apapun kalau durhaka kepada ibu ilmu
bernama filsafat, maka akan kualat. Apalagi filsafat yang ini adalah filosofi
ekonomi Islam, ada prinsip ilahiah atau tauhid yang menurut Prof. Muchsin
(2009) menjadi salah satu asas dalam setiap tindakan orang Islam, termasuk dalam
bermuamalah.
Filosofi muamalah Islam bukan sekadar berekonomi, tapi juga berakidah,
bersyariah, bertanggung jawab kepada diri-sendiri, manusia lain, lingkungan dan
Tuhan. Makanya, ada hadits yang menyatakan: riba itu punya 73 pintu, yang
paling ringan dosanya disejajarkan dengan menzinahi ibunya sendiri, dan sejahat-
jahatnya riba adalah mengganggu kehormatan seorang muslim.
Kita, jika keluar dari hukum yang ditetapkan Allah, disebut fasik, dholim
dan kafir, menurut fatwa Allah dalam Quran surat Al-Maidah.
Para ulama besarpun memahami benar bahwa mencampur yang haq
dengan yang bathil itu adalah larangan (QS Al-Baqarah: 42). Bekerjasama dalam
dosa itu juga larangan (QS Al-Maidah: 2). Kalau ada perbankan syariah yang
dimodali uang riba, manajemennya dikendalikan oleh perusahaan induk yang
kegiatan usahanya riba, lalu otomatis kegiatan-kegiatannya dikerjasamakan, apa
hukumnya itu semua?
Katanya, dalam qawaidul ahkam (kaidah-kaidah hukum Islam) ditentukan
dalil: “idzaajtama’al khalalu wal kharaamu ghaalabal kharaam” atau “bilamana
berkumpul halal dan haram maka yang haram itu mengalahkan yang halal.
Atau barangkali itu memang sudah disadari, tapi karena keadaan
darurat/terpaksa maka bank syariah harus dikembangkan melalui kapital korporasi
bank konvensional?
Hukum darurat, kalau tak salah, bersumber dari beberapa ayat Al-Qur`an,
antara lain QS Al-Baqarah ayat 173, QS Al-Maidah ayat 3, QS Al-An’aam ayat
119 dan ayat 145, dan QS An-Nahl ayat 115. Unsur-unsur atau situasi keadaan
darurat yang penting yang disebut dalam ayat-ayat tersebut adalah: “hal yang
tidak diinginkan, tidak melampaui batas, karena kelaparan tanpa sengaja
berbuat dosa, dan tidak menganiaya.”
Jika kita tengok tafsir hukum darurat dari mazhab Maliki, Hambali, Syafi’i
dan Hanafi, semuanya mengaitkan dengan faktor “keselamatan nyawa”.
Jika digunakan dalih “strategi”, jangan-jangan malah sebaliknya, bank-
bank syariah yang didirikan bank konvensional justru menjadi strategi alternatif
bank-bank konvensional untuk eksis dan bertahan serta cara mengembangkan
usahanya?
Tapi siapa tahu, gara-gara tulisan ini maka akan ada ahlinya yang
menjelaskan kebolehan korporasi bank konvensional memodali bank syariah dan
halalnya kerjasama usaha bank konvensional dengan bank syariah? Semoga.
Bicara kepentingan ekonomi memang kadang terasa berat untuk
mengatakan kebenaran. Halal-haramnya sudah nyata, tapi rasanya enggan
melelepaskan yang haram dengan macam-macam dalil yang disyariah-syariahkan.
Selama ini umat Islam di dunia telah masuk perangkap jaringan ekonomi
riba yang menjadi organ sistem kapitalisme global. Bahkan negeri inipun dibuat
tak berkutik dalam perangkap utang luar negeri yang selama 10 tahun terakhir ini
meningkat lebih dari 50 persen. Bunga yang dibayar sudah melebihi utang
pokoknya.
Kalau kita baca QS Al-Baqarah ayat 278-279 tentang larangan riba,
sebenarnya itu merupakan ayat revolusi ekonomi. Allah memerintahkan untuk
berhenti memungut sisa riba dan menyuruh bertobat. Perintah revolusi itu sudah
lebih dari 13 abad yang lalu.
Sebelumnya, umat Yahudi dan umat Nasrani juga dilarang membungakan
utang (riba). Ada di Kitab Keluaran 22:25, Kitab Ulangan 23:19, Kitab Ulangan
23:20, Kitab Imamat 35:7. Konon, dahulu Raja Erdward VI di Inggris pernah
membatalkan kebolehan bunga utang. Tetapi di masa Ratu Elizabeth I praktik
bunga utang diperbolehkan kembali.
Inisiatif pemurnian bank syariah mestinya harus diambil. Sepertinya baru
Bank Muamalat Indonesia yang tidak terkait kapital dan kerjasama dengan
lembaga ekonomi riba, kecuali ATM bersamanya.
Saatnya membalik keadaan, dari terjerat dalam jaringan riba, melepaskan
diri dan berbalik mengendalikan keadaan. Mumpung umat Islam mendukung.
Apalagi sistem ekonomi syariah juga menjadi pilihan yang prospektif dengan
risiko lebih kecil bagi keseluruhan umat, sesuai misi Islam sebagai rahmatu lil
‘alamiin.
Para pemegang otoritas legislasi mayoritas adalah muslim, bisa menyusun
sistem agar perbankan syariah lepas dari pengaturan Bank Indonesia yang juga
konvensional. Harus ada Badan Otoritas Ekonomi Syariah Indonesia yang terlepas
dari unsur riba yang akan mengatur dan mengawasi perbankan dan lembaga-
lembaga ekonomi dan muamalah syariah.
Itu jika mau menjalankan perintah Islam kaffah. Atau, bagaimana?

Anda mungkin juga menyukai