Anda di halaman 1dari 4

Pemerintah Mulai Melunak Sikapi Boikot Film Hollywood

Minggu, 20 Februari 2011 | 12:16 WIB

JAKARTA-Kebijakan bea masuk film asing (impor)


yang melahirkan protes dari Motion Picture Association
(MPA) of America, atau assosiasi produser Amerika
dengan cara menghentikan peredaran film Hollywood ke
Indonesia, terus melahirkan polemik. Bahkan tidak hanya
film Hollywood yang distop beredar di Indonesia, juga
semua film garapan Bollywood (India) maupun Mandirin
dipastikan ikut menghilang dari bioskop di tanah air.

Direktur Teknis Kepabeanan Heri Kristiono mengatakan


pengenaan bea masuk bukan hal baru, melainkan aturan
lama yang mengacu pada ratifikasi Artikel 7 kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan WTO


menyatakan tidak ada larangan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui proteksi
tarif. Termasuk terhadap barang dagangan yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual,
di mana film termasuk di dalamnya.

Meski demikian, ancaman importir film yang tidak akan lagi mengedarkan film-film asing di
Indonesia itu pun akhirnya direspons pemerintah. Kementerian Keuangan berjanji segera
menyelesaikan polemik pemberlakuan bea masuk atas hak distribusi film impor.
Bahkan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang
Brodjonegoro mengatakan, pembahasan masalah ini tidak hanya dilakukan di internal
pemerintah, tapi juga melibatkan pengusaha industri perfilman, terutama importir film asing.
“Kita mencari jalan keluarnya sekarang,” ujar Bambang, Minggu (20/2) pagi tadi.
Bambang memang belum dapat menjanjikan aturan baru ini akan direvisi, bahkan dicabut
lantaran respons yang cukup keras. Saat ini pemerintah tengah mencari pokok persoalan terkait
pemberlakuan bea masuk atas hak distribusi film impor. “Kita tunggu saja keputusannya pekan
depan.Ditjen Bea Cukai,Ditjen Pajak akan menyelesaikan,” ujarnya. “Yang pasti pemerintah
bertujuan mencari jalan tengah, bukan menghalangi impor film asing,” tambanya.

Dalam lampiran Peraturan Menteri Keuangan tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan
Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor memang disebutkan bea masuk film sebesar 5-
15 persen. Aturan yang ditetapkan pada 22 Desember 2010 itu membedakan tarif berdasarkan
ukuran, jenis, dan bahan film impor.

Seperti diketahui, kebijakan bea masuk film impor sendiri tertuang dalam SE-03/PJ/2011 tentang
Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan royalty dan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
atas peredaran film impor. Pihak distributor juga dibebani tarif PPN dan PPh atas film impor flat
sebesar 0,43 dolar atau setara Rp 3.870 per meter.
Kebijakan itu pun langsung direaksi MPA, sebagai erwakilan produsen film Hollywood di
Indonesia dan Ikatan Perusahaan Film Impor Indonesia (perwakilan produsen film Mandarin dan
India). Mereka pun memutuskan  menghentikan peredaran film-film mereka di Indonesia.

“Ya, tidak hanya peredaran film Hollywood yang distop. Film Bollywood dan Mandarin pun
juga tak memungkinkan beredar di bioskop Indonesia,” ujar Noorca M Massardi, juru bicara
Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia, Minggu (20/2) pagi tadi. “Ini sebagai
bentuk  reaksi terhadap ketentuan Ditjen Bea-Cukai terkait bea masuk atas hak atas distribusi
film,” tambahnya.

Dia menganggap “bea masuk atas hak distribusi” tidak lazim dalam bisnis film di seluruh dunia.
Bea masuk, kata dia, hanya berlaku untuk barang impor, bukan hak distribusi. Selama ini,
sebagai barang, setiap kopi film impor yang masuk ke Indonesia sudah dikenai bea masuk plus
pajak pertambahan nilai dan pajak penghasilan sebesar 23,75 persen dari nilai barang.

Pemilik film juga menyetor pajak penghasilan (15 persen) dan pajak tontonan kepada pemerintah
daerah (10-15 persen).

Perlu Dievaluasi

Pro-kontra  rupanya juga menggema di gedung DPR RI dalam menyikapi Kebijakan


Kementerian Keuangan menerapkan kebijakan bea masuk atas hak distribusi film impor.
Anggota Komisi XI DPR Lauren Bahang Dama mengatakan, Kementerian Keuangan harus
melihat permasalahan ini secara utuh,tidak semata didorong untuk meningkatkan target
pendapatan pajak dari film impor.”Dalam melihat persoalan ini, pemerintah harus jernih dan
perlu dievaluasi kembali,” katanya.

Dia menyadari,pemerintah ingin meningkatkan target pendapat pajak dari sektor ini, namun
seharusnya mempertimbangkan dampak atas kebijakannya antara lain menjaga kelangsungan
ekonomi dari usaha bioskop dan kebutuhan masyarakat atas film asing.
Lauren mengungkapkan,tidak dipungkiri selama ini animo masyarakat terhadap film asing cukup
tinggi. Setidaknya hal itu dapat dilihat dari banyaknya film asing diputar di bioskop. Selain aspek
kualitas, produksi film asing juga cukup besar dibandingkan dengan film nasional.

“Jangan sampai karena hanya ingin meningkatkan pendapatan pajak, justru menimbulkan
masalah baru yaitu pengangguran kian bertambah,”katanya. Menurut dia, pemerintah jangan
berbicara film impor sebatas soal bea masuk dan target pajak, namun harus melihat film sebagai
kebutuhan masyarakat.
Sementara Wakil Ketua Komisi XI Achsanul Qosasi berpandangan berbeda. Baginya,bea masuk
pajak atas hak distribusi film impor sudah layak. Indonesia berhak untuk mendapatkan pajak
yang besar sebab harus diakui penikmat film di Indonesia lebih besar dari negara lain, setidaknya
di Asia Tenggara. “Indonesia itu menjadi pasar yang besar bagi produksi film asing.Wajar
apabila bea masuknya lebih mahal,”katanya.
Achsanul mengungkapkan,pemerintah tidak perlu gentar dengan ancaman penghentian edar film
asing ke Indonesia. Langkah pemerintah justru dapat meningkatkan jumlah produksi film
nasional yang akhirnya menggairahkan perfilman nasional. Dia tidak setuju terhadap pendapat
yang menyebutkan animo masyarakat terhadap film nasional minim. “Siapa bilang, film kita
tidak kalah dengan film asing.Buktinya banyak film nasional yang mendapatkan respons publik
sangat bagus,” ujar politikus Partai Demokrat itu.

Sedangkan anggota Komisi Pendidikan, Kesenian, dan Kebudayaan DPR, Hanif Dhakiri
meminta masyarakat tak perlu kawatir atas ancaman itu. “Tak usah takut, kita sama-sama butuh,”
ujarnya. 

Dia menilai kenaikan pajak bea masuk ini justru sebagai salah satu upaya mendorong industri
film dalam negeri, agar dunia perfilman Indonesia tak didominasi film impor. “Jika kenaikan itu
sebagai kerangka menopang industri film lokal, itu sah-sah saja,” katanya.
Hanif berharap, kebijakan ini dapat meningkatkan nilai tawar film nasional seperti di negara Asia
yang lain. “Contohnya di Korea, film dan artis di sana memiliki tarif yang lebih tinggi
dibandingkan dengan artis dan film mancanegara,” ujarnya.

Kata Mereka

Yan Wijaya, Pengamat Film

“Pemberlakuan bea masuk atas hak distribusi film tidak hanya menghentikan peredaran film
impor di Indonesia,tapi juga mengancam industri perfilman lokal. Jika kekurangan film, industri
bioskop akan mati sehingga film nasional juga tidak memiliki tempat untuk pemutaran”

Jajang C Noer, Sutradara dan Artis Senior

“Jika film luar negeri tidak bisa lagi muncul di bioskop Indonesia, berefek buruk bagi dunia
perfilman. Paling tidak, ada dua hal dampak buruk yang akan menimpa dunia perfilman.
Pertama, dunia perfilman kurang memiliki wawasan”.

Hanung Bramantyo, Sutradara muda

“Penerapan bea masuk kalau dikatakan untuk melindungi industri film nasional, bukan begitu
caranya,--menerapkan bea masuk film impor. Tapi pemerintah harus mau mengalokasikan hasil
pajak perfilman untuk membangun perfilman nasional”

Ringgo Agus Rahman, artis dan komedian

“Hollywood tak akan menderita dengan hilangnya pelanggan dari Indonesia. Namun sebaliknya,
Indonesia yang akan mengalami rugi besar jika tak ada lagi film Hollywood di Indonesia”
Pasha, vokalis Ungu

“Tidak beradarnya film-film Hollywood benar-benar bisa mengecewakan gue. Apalagi tahun-
tahun ini banyak film yang bagus akan keluar”

Anda mungkin juga menyukai