Anda di halaman 1dari 2

MAGISTER STUDI KEBIJAKAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA


YOGYAKARTA
2009

NAMA : FEBRIANSYAH
NIM : 08/279682/PMU/5907
ANGKATAN : VIII

PROSES PENYELESAIAN KONFLIK SAMBAS: PEMERINTAH


DAERAH CENDERUNG PILIH KASIH

Latar Belakang
Konflik antara Dayak dan Madura yang terjadi di Sambas menjadi fenomena sosial
yang penting untuk dibahas dalam permasalahan ini, karena sampai sekarang konflik tersebut
belum benar-benar selesai. Bila dirujuk pada teori umum mengenai empat tahap resolusi
konflik, yaitu : 1) de-eskalasi konflik, 2) intervensi kemanusiaan dan negosiasi politik, 3)
problem solving approach, dan 4) peace building, penyelesaian konflik ini baru mencapai
tahap kedua. Bila dibandingkan dengan konflik antara pihak yang sama di Sampit,
Kotawaringin Timur, penyelesaian konflik di Sampit sudah lebih maju, masyarakat Sampit
sudah bisa menerima masyarakat Madura untuk kembali ke Sampit. Alasan yang logis untuk
menjelaskan mengapa proses penyelesaian konflik yang terjadi di Sambas tidak maju adalah
pemerintah daerah (PEMDA) Sambas yang dalam menetapakan kebijakan penyelesaian
konflik cenderung pilih kasih dan membuat masyarakat madura tidak memungkinkan untuk
kembali ke Sambas.
Kebijakan Pemda Sambas yang cenderung berat sebelah ini juga diikuti oleh tindakan
aparat keamanan yang tidak netral pada proses de-eskalasi, akibatnya aparat keamanan
cenderung tidak mampu untuk mengendalikan situasi sehingga konflik meluas dan korban
yang jatuh semakin besar. Untuk periode jangka panjang, kebijakan Pemda kurang mampu
mendorong terjadinya penurunan tingkat perasaan saling membenci di antara pihak-pihak
yang pernah bertikai. Dalam konteks kasus Sambas Pemerintah Daerah setempat turut
mendukung dan menyebarkan hidden agenda untuk menolak Madura kembali ke bumi
Sambas. Pada parktiknya terdapat kecenderungan di kalangan Masyarakat maupun di
kalangan elit, perasaan tidak menyukai etnik Madura masih tumbuh subur. Pemda gagal
memainkan peranan de-eskalasi karena Pemda belum mau dan mampu menemukan cara-cara
pemecahan masalah yang dapat dikatakan adil bagi pihak Madura. Pendekatan yang dianut
ialah pendekatan alamiah yang cenderung bermakna “tidak melakukan apa-apa”; yang secara
sepihak hanya menguntungkan etnik lokal, dan sangat merugikan warga madura.
Pada tahap intervensi kemanusiaan dan negosiasi politik; Pemerintah Propinsi Kalbar
melakukan relokasi pengungsi; sementara di Sambas terbit Surat Edaran Bupati Sambas
tentang Inventarisasi Tanah-Tanah milik orang Madura yang ditinggalkan di Sambas. Dalam
hal ini, di lapangan menunjukkan tidak adanya koordinasi antara pemerintah Propinsi dan
Pemerintah Kabupaten Sambas. Program pemerintah untuk tujuan perdamaian hampir dapat
dikatakan tidak ada. Pemerintah Daerah tidak serius, sehingga banyak tanah-tanah milik
orang madura yang dikuasai oleh masyarakat lokal, oleh Pemerintah Desa, atau disita sebagai
“rampasan perang”.
Kebijakan Pemda yang berat sebelah tersebut menjadi permasalahan yang penting
untuk dibahas. Meskipun, menurut penulis, pada kebijakan tersebut terdapat indikasi yang
positif dari pemda Sambas. Adanya Bias etnis pada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
oleh Pemda Sambas yang tidak memberi kesempatan pada masyarakat Madura untuk kembali
ke Sambas dalam proses rekonsiliasi konflik Sambas kemungkinan dikarenakan Pemda
Sambas yang tidak mau mengambil resiko terjadinya konflik susulan dengan adanya
kemarahan masyarakat lokal yang tidak mau menerima masyarakat pendatang untuk kembali
ke tanah Sambas. Proses penyebaran permasalahan konflik Sambas ini hanya terbatas pada
lingkup kecil kabupaten Sambas (yang saat ini telah mengalami pemekaran menjadi dua
kabupaten: Kabupaten Sambas dan Kabupaten Bengkayang) dan dapat menjadi permasalahan
provinsi apabila koordinasi yang buruk antara Pemda dan Pemprov masih terjadi. Hal ini
sangat mungkin mengingat adanya kemungkinan timbulnya solidaritas etnis lokal yang dapat
menyebabkan terjadinya hal serupa di kabupaten yang lain.

Anda mungkin juga menyukai