BAB I
PENDAHULUAN
Jika pada suatu benda terdapat gradien suhu, akan terjadi perpindahan energi
berupa kalor dari bagian yang bersuhu tinggi ke bagian yang bersuhu rendah. Salah
satu cara perpindahan energi ini melalui mekanisme yang disebut konduksi atau
hantaran. Konduksi dapat diartikan sebagai transmisi energi (panas) dari satu bagian
padatan yang bersuhu tinggi ke bagian padatan lain yang kontak dengannya dan
memiliki suhu lebih rendah.
q ∂T
≈
A ∂X (1.1)
∂T
q=− k A
∂X (1.2)
∂T
persamaan di atas, q menyatakan laju perpindahan kalor dan ∂X merupakan
gradien suhu ke arah perpindahan kalor. Konstanta k melambangkan konduktivitas
termal benda, sedangkan tanda minus diberikan untuk memenuhi hukum kedua
termodinamika yaitu kalor berpindah ke tempat yang suhunya lebih rendah.
∂T ∂ ∂T ∂T ∂T
−kA
∂T
∂x
+qAdx=ρ cA
∂T
∂τ
dx− A k +
[k
∂ x ∂x ∂ x
dx ∂ k
∂x ∂x ( )
+q= ρc
∂τ] ( ) (1.3)
Sedangkan untuk aliran kalor tiga dimensi, kita perlu memperhatikan kalor
yang dihantarkan ke dalam dan ke luar satuan volume dalam tiga arah kordinat.
Dengan menggunakan neraca energi akan didapat persamaan:
∂ k ∂T + ∂ k ∂T + ∂ k ∂ T +q=ρc ∂ T
( ) ( ) ( )
∂x ∂x ∂ y ∂ y ∂z ∂z ∂τ (1.4)
2 2 2
∂ T ∂ T ∂ T q 1 ∂T
+ + + =
∂ x 2 ∂ y 2 ∂ z 2 k α ∂τ (1.5)
Perpindahan kalor konduksi dibagi menjadi dua macam, yaitu konduksi keadaan
tunak dan tak tunak. Pada konduksi keadaan tunak, suhu tidak berubah terhadap
waktu. Namun, jika suhu benda berubah terhadap waktu atau jika ada sumber kalor
(heat source) dan sumur kalor (heat sink), konduksi yang terjadi adalah konduksi tak
tunak.
k A
q=− T −T
ΔX ( 2 1 ) (1.6)
k0 A β
q=−
Δx [( T 2 −T 1 ) + T −T
2 ( 22 12 ) ] (1.7)
Pada sistem yang terdiri dari beberapa bahan seperti pada gambar, aliran kalor dapat
dirumuskan sebagai berikut:
T 2 −T 1 T −T 2 T −T 3
q=−k A A =−k B A 3 =−k C A 4
Δx A ΔxB Δx C
T 1 −T 4
q=
Δx A Δx B Δx C
+ +
kA A kB A kC A (1.8)
∂2 T 1 ∂T
=
∂ x2 α ∂ x (1.9)
Sebagai contoh, untuk konduksi keadaan tak tunak pada benda padat semi tak
berhingga dengan fluks kalor tetap berlaku:
ατ
T −T i =
2q 0
kA
√ π
exp
−x 2
( )
4 ατ
−
q0 x
kA
1−erf
x
(
2 √ ατ ) (1.10)
k =k 0 (1+ βT ) (1.11)
Gambar 1.5. Penurunan suhu pada permukaan kontak benda padat 2 akibat tahanan kontak termal
- konduksi antara zat padat dengan zat padat pada titik-titik singgung
- konduksi melalui gas yang terkurung pada ruang-ruang kosong yang terbentuk
karena persinggungan tersebut. Hal ini yang merupakan tahanan utama pada aliran
kalor, karena konduktivitas gas sangat kecil bila dibandingkan dengan
konduktivitas zat padat.:
Untuk lebih jelas deskripsi aliran kalor melalui sambungan bisa dilihat pada gambar
berikut:
Gambar 1.6. Model kekasaran sambungan untuk analisis tahanan kontak termal
Aliran kalor melintasi sambungan dapat ditulis dalam bentuk persamaan sebagai
berikut:
T 2 A−T 2 B T 2 A −T 2 B T 2 A −T 2 B
q= +k f A v =
Lg Lg Lg 1
+ hc A
2 k A AC 2 k B AC (1.12)
dimana:
Ac = bidang kontak
Av = bidang lowong
Persamaan umum dengan menerapkan neraca energi pada kedua bahan, karena
merupakan gabungan antara 2 bahan maka aliran kalor disetiap titik ialah sama
maka:
T 1 −T 2 A T 2 A−T 2 B T2 B T 3
q=k A A = =k B A
Δx A 1/hc A Δx B (1.13)
Dengan melihat kepada sambungan tadi dimana terjadi perpindahan kalor secara
konduksi dapat dinyatakan dalam persamaan perpindahan kalor secara konveksi.
Secara matematis dinyatakan sebagai berikut:
Q konveksi AB = Qkonduksi pada bidang yang kontak + Q konduksi gas-gas pada bidang yang tidak kontak
T 2 A−T 2 B T 2 A−T 2 B T 2 A −T 2 B
k gabungan . A c k f Ar
1/hc A = Δx + Δx 1
(1.14)
Dimana:
1 1 1
= +
k gabungan k A kB (1.15)
k A kB
k gabungan=
k A +k B (1.16)
∆x = tebal bidang yang kontak, diasumsikan tebal bidang ini adalah ½ dari jarak
ruang yang kosong antara 2 logam tersebut (seperti yang terlihat pada gambar2
) = Lg/2
Dengan memberi tanda Ac untuk bidang kontak dan Av untuk bidang lowong maka
persamaan diatas menjadi:
T 2 A−T 2 B k A kB T 2 A −T 2 B T 2 A−T 2 B
. Ac k f Ar
1/hc A = k A +k B Lg /2 + Lg
(1.17)
1 k A kB 1 1
. Ac k f Ar
1/h c A = k A +k B Lg /2 + Lg
(1.18)
1 2(k A + k B ). A c
hc A= Lg ( kA kB
+k f Ar
)
(1.19)
1 2(k A + k B ) A c A
hc = Lg ( kA kB
.
A
+k f r
r A )
(1.20)
BAB II
PERCOBAAN
2.2 Instrumentasi
a. Unit berbentuk tubular yang terinsulasi, terdiri dari bagian tengah yang berupa
tube furnace bersuhu 1850 0F yang memanaskan 2 batang stainless steel yang
hanya terpisah sedikit jaraknya. Batang- batang stainless steel ini masing-masing
terhubung pada serangkaian logam. Sebelah kiri berhubungan dengan tembaga-
Sedangkan untuk lebih jelasnya untuk masing-masing percobaan pada alat ini
ialah sebagai berikut :
a. Tube Furnace
Bekerja sebagai AC-operated. Temperatur operasi maksimum yang aman untuk
furnace ini adalah 18500F. Untuk menghitung neraca panas alat atau furnace
loses, input listrik dapat diukur dengan menghubungkan voltmeter dan
amperemeter kekontak pada bagian belakang furnace.
c. Pengukuran suhu
e. Insulasi
Furnace, batangan serta heat sink diselubungi oleh insulasi untuk menghindari
kehilangan panas konveksi yang besar sehingga alat dapat sensitif untuk
pengukuran dengan temperatur range yang rendah.
Pada alat 3 luas penampang konduktor bervariasi dengkan pada alat 4 luas
penampang konduktor dibuat konstan. Adapun komponennya sebagai berikut :
b. Fluks panas melalui batang silinder dengan luas permukaan yang meningkat dari
bawah ke atas (tapered bar) serta fluks panas melalui batangan silinder dengan
luas permukaan yang seragam.
c. Pada batangan silinder dengan luas yang seragam, densitas fluks panas konstan
per unit area sepanjang batangan. Pada tapered bar, densitas fluks panas semakin
keatas semakin berkurang (karena luas semakin keatas semakin besar)
d. Pengukuran suhu
Sepuluh termokopel yang diletakkan di pusat tiap batang pada posisi
tertentu(pada tiap node) memungkinkan pengukuran suhu.
BAB III
PENGOLAHAN DATA
3.1. Unit 2
3.1.2. Perhitungan
Diketahui:
Basis = 1 sekon
Q = 9x10-7 m3/s
m = 9x10-4 kg/s
A = 7.9x10-4 m2
Cp = 4200 J/(kgoC)
Ac/A = 0.5
Lg = 5x10-6
T air masuk = 29 oC
5 9
4-5 0.04 8.76 8.58 8.67 83.97 0.0007 29 28.55 224.6
5 9 4 3
5-6 0.04 7.49 7.61 7.55 75.86 0.0007 29 28.65 165.4
5 9 7
7-8 0.02 6.85 7.84 7.34 54.96 0.0007 29 28.825 104.3
7 9 5
8-9 0.04 6.85 7.04 6.94 47.82 0.0007 29 28.775 154.2 159.8
5 9 2 7
9-10 0.04 6.85 7.42 7.13 40.77 0.0007 29 28.725 221.0
5 9 4
Kesalahan literatur¿|202−163.03
202 |x 100 %=19.3 %
Nilai k magnesium literatur = 158.24 W/moC
Nilai k untuk tiap logam yang berdekatan digunakan nilai-nilai k dari hasil
perhitungan di atas dengan Lg=5x10-6, sedangkan kf yang merupakan konduktifitas
fluida dalam ruang kosong diabaikan karena dianggap fluida yang terperangkap
dalam ruang kosong adalah udara sehingga harga kf terlalu kecil dibandingkan kA dan
kB.
50
0
30 40 50 60 70 80 90 100
T node average
Aluminium
k = k0 + k0βT
y = a + bx
a = k0 = 1265
b = k0β = - 13.78
maka β = - 0.011
Magnesium
k = k0 + k0βT
y = a + bx
a = k0 = 553.2
b = k0β = - 8.22
maka β = - 0.015
3.2. Unit 3
T air
T air
dx T1 T2 T avg kelua
Node T1 (oC) T2 (oC) keluar
(m) (mV) (mV) (oC) r
o
(oC)
( C)
1 0.025 3.148 3.143 107.87 107.74 107.81 30 30
2 0.025 2.698 2.694 96.70 96.60 96.65 30 30
3 0.025 2.261 2.267 85.85 86.01 85.93 30.1 30
4 0.025 1.903 1.915 76.97 77.27 77.12 30 30
5 0.025 1.585 1.587 69.07 69.12 69.10 30 30
6 0.025 1.316 1.325 62.40 62.62 62.51 30 30
7 0.025 1.063 1.065 56.12 56.17 56.14 30 30
8 0.025 0.837 0.847 50.51 50.76 50.63 30 30
9 0.025 0.641 0.639 45.64 45.59 45.62 30 30
10 0.025 0.468 0.468 41.35 41.35 41.35 30 30
3.2.2. Perhitungan
Diketahui:
Basis 1 sekon
m = 1.95x10-3 kg/s
Cp = 4200 J/(kg oC)
T air masuk 29 oC
T air rata-rata keluar = 30 oC
T T air
dT
Nod dx dT1 dT2 node T air kelua
avg A avg k k avg
e (m) (oC) (oC) avg masuk r rata-
(oC)
(oC) rata
1-2 0.025 11.16 11.14 11.15 102.2 0.0006570 29 30 27.9 26.92
3 4 3
2-3 0.025 10.84 10.59 10.72 91.29 0.0007638 29 30 24.9
5 9
3-4 0.025 8.88 8.73 8.81 81.52 0.0008787 29 30 26.4
1 4
4-5 0.025 7.89 8.14 8.01 73.11 0.0010016 29 30 25.4
3 9
25
24
23
22
40 50 60 70 80 90 100 110
T node average
k = k0 + k0βT
y = a + bx
a = k0 = 28.24
b = k0β = - 0.019
maka β = - 0.000672
BAB IV
PEMBAHASAN
dimana ketika ujung baja/stainless steel dipanaskan, molekul pada bagian logam
tersebut bergerak lebih cepat dan bertumbukan dengan molekul – molekul terdekat di
sebelahnya (seperti diketahui bahwa susunan atom/molekul pada benda padat amat
rapat) dan molekul – molekul di sebelahnya menumbuk molekul di sebelahnya lagi,
dan begitu seterusnya. Molekul-molekul yang bertumbukan ini mentransfer sebagian
energi ke molekul-molekul lainnya itu berupa energi kalor dan terjadilah fenomena
yang disebut dengan perpindahan kalor secara konduksi.
Selain itu, pada unit 2 peralatan percobaan tersebut terdapat tiga jenis bahan,
di mana ketiga logam tersebut saling disambungkan satu sama lain dengan urutan
dapat dilihat pada skema alat pada Gambar 4.1.
1 – 2: Baja / 3 – 6: 7 – 10:
Stainless Steel Aluminium Magnesium
akan tetapi konduksi yang melalui celah udara tidak efektif karena udara memiliki
nilai konduktivitas termal yang kecil sehingga fluks kalor yang melewati dua jenis
bahan yang berbeda tersebut akan terhambat dan menyebabkan penurunan suhu yang
tiba-tiba pada bidang logam yang kedua.
Untuk percobaan kedua, praktikan melakukan percobaan terhadap unit 3,
yang bertujuan untuk mempelajari pengaruh luas permukaan bidang kontak terhadap
kemampuan logam dalam menghantarkan panas secara konduksi. Unit 3 yang
digunakan dalam percobaan ini tersusun atas jenis bahan yang sama, yaitu tembaga,
dan juga memiliki luas penampang yang sama. Berbeda dengan percobaan pertama
di mana praktikan mempelajari pengaruh nilai koefisien perpindahan
panas/konduktivitas termal berdasarkan jenis bahan logam terhadap besar kalor yang
dipindahkan secara konduksi, pada percobaan kedua yang dinalisa ialah pengaruh
jarak antar node dengan sumber kalor dan luas penampang terhadap besar kalor yang
dipindahkan secara konduksi. Luas penampang batang tembaga semakin besar
seiring bertambahnya jarak dari sumber kalor. Oleh karena itu, Unit 3 yang
digunakan dalam percobaan ini tersusun atas jenis bahan yang sama, yaitu tembaga,
sehingga konduktivitas termal tetap sebagai fungsi suhu dan tidak berpengaruh
dalam perhitungan nilai kalor yang dipindahkan. Berdasarkan hukum Fourier,
besarnya fluks kalor berbanding terbalik dengan luas penampang.
Pada kedua percobaan di atas, prosedur yang dilakukan hampir sama.
Pertama-tama, menyalakan alat, dengan milivoltmeter sudah disambungkan pada
peralatan konduksi dan menset mV meter pada penunjuk mV, DC, serta kran
pengontrol untuk laju air pendingin masuk dan keluar peralatan konduksi telah diatur
sebelumnya oleh asisten. Air pendingin tersebut dialirkan dengan laju yang kecil,
karena apabila laju air pendingin terlalu besar, maka jumlah kalor yang diserap akan
terlalu besar nilainya sehingga praktikan akan sulit mengamati perubahan suhu tiap
node. Hal ini berkaitan dengan asas black, yakni di mana kalor yang dilepaskan
sama dengan kalor yang diterima. Selanjutnya, mengatur unit dan node yang ingin
diamati dengan memutar tombol/saklar unit selector dan thermocouple selector, lalu
mengamati perubahan suhu di node tersebut dengan melihat nilai yang terukur pada
temperature recorder yang tersambung dengan milivoltmeter. Termokopel di sini
berfungsi sebagai sensor panas untuk mengetahui penyebaran perpindahan kalor
yang terjadi dalam bentuk nilai suhu dalam miliVolt yang kemudian dikonversi ke
dalam satuan suhu. Sedangkan suhu air keluaran dapat diukur dengan menggunakan
termometer, yaitu dengan menampung air yang keluar dari selang unit yang sedang
diambil datanya dalam beaker glass dan menunggu selama lima menit untuk
percobaan pertama dan selama satu menit untuk percobaan kedua, supaya suhu air
keluaran maupun suhu node sudah stabil karena distribusi suhu telah merata tiap
node sehingga data yang diperoleh lebih akurat. Pengambilan data suhu pada tiap
node dan suhu air keluaran dilakukan sebanyak dua kali yaitu data pertama diperoleh
dengan mengukur suhu pada node dari node 1 ke 10, sedangkan data yang kedua
diperoleh dengan cara sebaliknya yaitu diukur dari node 10 ke 1. Hal ini dilakukan
dengan tujuan untuk memperoleh data yang lebih akurat, sehingga bila terdapat
kesalahan data yang diperoleh dari thermocouple, maka dapat diambil nilai rata-rata
dari dua kali pengamatan. Suhu rata-rata itulah yang akan digunakan sebagai data
suhu pada tiap node dalam perhitungan.
4.2.1 Unit 2
T air T air
Nod T1 T2 T2
dx (m) T1 (oC) o
T avg (oC) keluar keluar
e (mV) (mV) ( C)
(oC) (oC)
1 0.183 8.381 9.008 237.75 253.32 245.54 29.5 28.5
2 0.025 5.203 5.612 158.87 169.03 163.95 29 28.6
3 0.057 2.544 2.794 92.88 99.09 95.98 28.8 28.8
4 0.045 2.288 2.432 86.52 90.10 88.31 28.7 28.5
5 0.045 1.935 2.086 77.76 81.51 79.64 28.5 28.5
6 0.045 1.633 1.779 70.27 73.89 72.08 28.7 28.9
7 0.035 1.130 1.199 57.78 59.49 58.64 28.7 28.9
8 0.027 0.854 0.883 50.93 51.65 51.29 28.9 28.8
9 0.045 0.578 .0599 44.08 44.60 44.34 28.6 28.8
10 0.045 0.302 0.300 37.23 37.18 37.21 28.9 28.6
dT T node T air
Nod dx dT1 dT2 T air
avg avg A keluar k k avg
e (m) (oC) (oC) masuk
(oC) (oC)
1-2 0.02 78.8 84.2 81.5 204.74 0.0007 29 28.9 0.15
0.15
5 7 8 8 9
3-4 0.04 6.35 8.98 7.66 92.14 0.0007 29 28.7 98.98
5 9
4-5 0.04 8.76 8.58 8.67 83.977 0.0007 29 28.55 224.6 163.0
5 9 4 3
5-6 0.04 7.49 7.61 7.55 75.86 0.0007 29 28.65 165.4
5 9 7
7-8 0.02 6.85 7.84 7.34 54.96 0.0007 29 28.82 104.3
7 9 5 5
8-9 0.04 6.85 7.05 6.94 47.82 0.0007 29 28.77 154.2 159.8
5 9 5 2 7
9-10 0.04 6.85 7.42 7.13 40.77 0.0007 29 28.72 221.0
5 9 5 4
Dilihat dari data di atas, dapat diamati bahwa suhu air pendingin keluaran yang
terukur pada untuk unit 2 mengalami perubahan yang tidak terlalu signifikan
selisihnya dengan suhu air pendingin masuk di awal, begitu juga dengan selisih suhu
air pendingin keluaran pada node yang satu dengan node yang lainnya dari node 1 –
10. Namun, pada unit 3 pun terjadi hal yang serupa, bahkan suhu air keluaran pada
tiap node yang terjadi cenderung konstan dan hampir tidak ada perbedaan karena
waktu pengamatannya pun lebih singkat, yakni hanya 1 menit saja. Meskipun begitu,
nilainya cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan suhu air keluaran pada unit 2.
Adapun, pada percobaan ini, perlu diketahui bahwa praktikan
mengasumsikan bahwa nilai heat loss diabaikan pada perpindahan kalor secara
konduksi yang terjadi. Hal ini dilakukan untuk mempermudah perhitungan yang akan
dilakukan. Padahal dalam kenyataan sebenarnya tentunya terdapat heat loss (kecuali
bila sistem alat diinsulasi/diisolasi secara sempurna, namun hal ini sulit untuk
dilakukan) dan bila praktikan memperhitungkan nya, maka nilai k yang diperoleh
pastinya akan lebih akurat.
Selain itu, untuk node 1-2, yakni untuk logam baja/stainless steel dapat dilihat
bahwa nilai T node nya cukup besar bila dibandingkan node-node lainnya, hal ini
Asas Black
Q lepas = Q terima
m. Cp air. DT air = k. A. DT / Dx
Nilai ∆Tair ditentukan dari selisih Tair masuk dan Tair . Sedangkan, nilai T
keluar
setiap node yang masih dalam satuan mV harus dikonversi ke dalam satuan suhu,
yakni derajat Celcius dengan persamaan berikut :
Selain itu, untuk mendapatkan nilai k, berikut ini variabel – variabel yang
digunakan dalam perhitungan :
magnesium terdapat tiga buah nilai k pada yang nilainya kemudian dirata – ratakan.
Nilai k dapat dihitung dengan persamaan :
k literatur −k percobaan
Kesalahan literatur = | k literatur| x 100 %
Besar penyimpangan nilai k tersebut perlu dihitung untuk menilai hasil percobaan
baik atau tidak dan hal ini berguna untuk percobaan berikutnya lebih baik lagi.
1 Ac 2 k A k B Av
h c= ( + k)
Lg A k A+ kB A f
di mana nilai k untuk tiap logam yang berdekatan digunakan nilai-nilai k dari hasil
perhitungan di atas dengan Lg=5x10-6, sedangkan kf yang merupakan konduktifitas
fluida dalam ruang kosong diabaikan karena dianggap fluida yang terperangkap
dalam ruang kosong adalah udara sehingga harga kf terlalu kecil dibandingkan kA dan
kB. Untuk memperoleh nilai hc literatur, kita dapat menggunakan harga k literatur.
Selanjutnya, dapat diplot grafik linier k vs. Tnode avg dan dengan pendekatan linear
menggunakan metode least square, maka nilai β dapat dihitung. Persamaan linear
yang terdapat dalam grafik, yaitu:
k = k0 + k0βT
y = a + bx
a = k0
b = k0β
maka β = b/a
Berikut ini adalah hasil perhitungan dan grafik untuk percobaan pertama terhadap
unit 2:
yakni 0.15 W/moC sedangkan literatur menunjukkan sebesar 73 W/m oC. Sedangkan
untuk logam – logam selanjutnya, suhu lonjakan lebih stabil dan karena letaknya pun
tidak terlalu dekat dengan pemanas, maka penyimpangan yang terjadi pun tidak
terlalu besar. Akan tetapi, karena masih ada kesalahan literatur yang lebih dari 10%
(untuk baja/stainless steel dan aluminium). menunjukkan bahwa data percobaan yang
diambil oleh praktikan masih belum sepenuhnya akurat dan presisi.
Jenis Logam β
Aluminium -0.011
Magnesium -0.015
50
0
30 40 50 60 70 80 90 100
T node average
Pada grafik antara Tnode avg vs k untuk logam aluminium dan magnesium di
atas, dapat dilihat bahwa gradiennya bernilai negatif sehingga profil yang terbentuk
menurun. Padahal, berdasarkan teori seharusnya nilai k semakin meningkat seiring
dengan peningkatan suhu. Grafik yang dihasilkan tersebut menunjukkan bahwa pada
perpindahan konduksi yang dilakukan dalam percobaan turun terjadi tahanan kontak
termal yang menimbulkan penurunan suhu (T node average) tiba-tiba dan
mengakibtkan nilai k average pun turun. Seperti telah dijelaskan pada teori dasar
pada bab sebelumnya, tahanan kontak termal ini terjadi karena adanya
ketidaksempurnaan kontak antara alumunium dan magnesium sehingga terdapat
fluida yang terperangkap di dalam ruangan yang kosong antara kedua logam dan
menyebabkan daya hantar panasnya menurun karena konduktivitas fluida yang
rendah.
4.2.2. Unit 3
T air T air
T avg
Node dx (m) T1 (mV) T2 (mV) T1 (oC) T2 (oC) kelua kelua
(oC)
r (oC) r (oC)
1 0.025 3.148 3.143 107.87 107.74 107.81 30 30
2 0.025 2.698 2.694 96.70 96.60 96.65 30 30
3 0.025 2.261 2.267 85.85 86.01 85.93 30.1 30
4 0.025 1.903 1.915 76.97 77.27 77.12 30 30
5 0.025 1.585 1.587 69.07 69.12 69.10 30 30
6 0.025 1.316 1.325 62.40 62.62 62.51 30 30
7 0.025 1.063 1.065 56.12 56.17 56.14 30 30
8 0.025 0.837 0.847 50.51 50.76 50.63 30 30
9 0.025 0.641 0.639 45.64 45.59 45.62 30 30
10 0.025 0.468 0.468 41.35 41.35 41.35 30 30
T T air
dT
Nod dx dT1 dT2 node T air keluar
avg A avg k k avg
e (m) (oC) (oC) avg masuk rata-
(oC)
(oC) rata
1-2 0.02 11.16 11.1 11.15 102.2 0.0006570 29 30 27.9 26.92
5 4 3 4 3
2-3 0.02 10.84 10.5 10.72 91.29 0.0007638 29 30 24.9
5 9 5 9
3-4 0.02 8.88 8.73 8.81 81.52 0.0008787 29 30 26.4
5 1 4
4-5 0.02 7.89 8.14 8.01 73.11 0.0010016 29 30 25.4
5 3 9
5-6 0.02 6.67 6.50 6.58 65.80 0.0011325 29 30 27.4
5 9 3
6-7 0.02 5.6093 5.41 5.51 53.39 0.0012716 29 30 29.2
5 2 1 2
7-8 0.02 5.6093 5.41 5.51 53.39 0.0014186 29 30 26.1
5 2 9 9
8-9 0.02 4.4942 5.16 4.82 48.13 0.0015738 29 30 26.9
5 1 4
9-10 0.02 4.2938 4.24 4.26 43.49 0.0017369 29 30 27.6
5 6 9 1
Rumus, konsep, dan cara perhitungan kurang lebih sama seperti pada perhitungan
terhadap unit 2, namun pada unit 3 tersusun atas jenis logam yang sama, yaitu
tembaga, sehingga nilai k yang diperoleh hanya satu, yaitu nilai k rata – rata dari nilai
k node 1-2, 3-4, 5-6, 7-8, dan 9-10. Pada unit 3 memiliki luas penampang yang
berbeda – beda setiap nodenya, sehingga dicari rata – rata luas penampang antara 2
node yang berdekatan. Variabel tambahan yang diketahui dan digunakan dalam
perhitungan:
m (massa air) = 1.95x10-3 kg/s
Cp (kalor jenis air)= 4200 J/(kg oC)
Berdasarkan hasil perhitungan nilai k yang dimuat dalam tabel di atas, nilai k
average untuk unit 3 dengan bahan logam tembaga, diperoleh k sebesar 26.92
W/moC dan kesalahan literatur sebesar 93%. Kesalahan ini mungkin disebabkan oleh
pengamatan T node dan T air keluaran yang hanya dilakukan setiap 1 menit dari
node 1-10 sehingga data yang diambil merupakan data yang kurang akurat karena
belum stabilnya nilai yang terukur pada peralihan dari satu node ke node yang
lainnya. Padahal seharusnya, nilai konduktivitas termal yang terukur setidaknya
mendekati nilai konduktivitas termal literatur yang nilainya cukup besar, yakni
sebesar 385 W/moC. Karena bila hal itu terjadi, maka praktikan dapat membuktikan
bahwa kemampuan logam tembaga dalam menghantarkan panas sangat baik karena
memiliki nilai k yang besar.
Adapun nilai β untuk tembaga yang diperoleh pada percobaan berharga
negatif, yaitu sebesar -0.000672. Nilai β yang negatif menunjukkan bahwa nilai k
pada suhu tertentu lebih kecil daripada k pada suhu standar. Hal ini dikarenakan pada
nilai β yang negatif untuk logam menunjukkan bahwa telah terjadi penyusutan luas
penampang logam yang dapat disebabkan oleh korosi pada logam tersebut, pengotor-
pengotor yang terdapat dalam logam tersebut, dan sebagainya. Sesuai dengan hukum
Fourier, bahwa besar kalor yang dipindahkan secara konduksi (q) berbanding lurus
dengan luas penampang, maka semakin kecil luas penampang, nilai q juga semakin
kecil, sehingga nilai k juga kecil. Bila dibandingkan dengan nilai β sebelumnya,
yakni untuk baja/stainless steel, aluminium, dan magnesium, dapat dilihat bahwa
nilai β tembaga paling kecil atau paling negatif di antara logam-logam tersebut. Hal
ini menunjukkan bahwa penurunan nilai k dari nilai standar tidak besar.
25
24
23
22
40 50 60 70 80 90 100 110
T node average
Grafik T node avg vs. k untuk unit 3 di atas, menunjukkan profil yang naik
turun dengan penurunan grafik yang tidak terlalu besar pada titik 1-3, lalu naik
drastis menuju titik 4, lalu terjadi penurunan yang besar hingga titik 6, kemudian
menaik sedikit ke titik 7, turun ke titik 8, dan kemudian naik drastis ke titik 9. Hal ini
disebabkan nilai A average yang bervariasi sehingga distribusi suhu semakin sulit
merata. Padahal, distribusi suhu sebanding dengan k. Namun, pada grafik di atas,
tidak dihasilkan profil yang benar – benar mampu menggambarkan korelasi tersebut,
hal ini mungkin disebabkan oleh pengukuran yang tidak stabil pada termokopel yang
digunakan.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan pengolahan data percobaan dan pembahasan yang telah dilakukan, maka
dapat disimpulkan bahwa:
1. Konduksi adalah jenis perpindahan kalor yang pada umumnya terjadi pada benda
padat (logam), di mana transfer energi kalor terjadi antar molekul dari satu
bagian yang bersuhu tinggi ke bagian lainnya yang bersuhu lebih rendah dari
benda padat (logam) yang mengalami kontak permukaan.
2. Besarnya fluks kalor konduksi sebanding dengan gradien suhu dan konduktivitas
termal.
q ∆T k
3. Nilai β yang negatif pada logam menunjukkan bahwa telah terjadi penyusutan
luas penampang logam
4. Berdasarkan percobaan diperoleh hasil:
Unit 2
k aluminium (163.03 W/moC) > k magnesium (159.87 W/moC) > k
baja/stainless steel (0.15 W/moC)
Unit 3
k tembaga = 26.92 W/moC
DAFTAR PUSTAKA
P. Incopera, David P. Dewitt. 1981. Fundamentals of Heat Transfer. John Willey &
Sonc Inc,