Anda di halaman 1dari 3

HUTAN LAUT DAN GLOBAL WARMING

Friday, 15 May 2009 14:57

Oleh: Nyoto Santoso

World Ocean Conference (WOC) yang berlangsung 11–15 Mei di Manado, Sulawesi Utara,
telah mengingatkan kita bangsa-bangsa di dunia, khususnya bangsa Indonesia, betapa
pentingnya kelestarian dan keasrian lingkungan laut untuk menjaga kestabilan iklim dan
mencegah terjadinya global warming (kenaikan suhu bumi).

Hutan laut yang meliputi berbagai jenis kehidupan laut yang membutuhkan karbondioksida
sebagai bahan makanannya––seperti halnya tumbuhan di hutan––berjumlah amat
banyak,mulai dari jasad renik bersel satu sampai yang bersel banyak. Biota laut
“penyerap”karbondioksida inilah yang mampu mengurangi pemanasan suhu bumi.

Salah satu biota laut yang paling banyak menyerap gas karbondioksida adalah berbagai
ganggang hijau (algae).Organisme yang mudah hidup di laut ini punya kemampuan besar
menyerap karbondioksida dan itu dapat diolah menjadi biofuel, bahan bakar ramah lingkungan.

Penelitian dalam skala laboratorium yang dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) membuktikan algae di laut mampu tumbuh 20–25 kali hanya dalam 15 hari
dengan diberi makan karbondioksida (CO2).

Ganggang dari jenis chaetoceros sp dengan jumlah sel awal 40.000 sel per mililiter setelah
diberi CO2 menjadi sebesar 780.000 sel per ml dalam 15 hari, bahkan chlorella sp dengan
jumlah sel awal 40.000 sel per ml menjadi 1 juta sel per ml dalam 15 hari,kata Kepala BPPT Dr
Marzan Aziz Iskandar dalam seminar “Implementasi Pengurangan Emisi Karbondioksida
sebagai Upaya Mitigasi Global Warming” belum lama ini di Jakarta.

Hal ini bisa menjadi konsep awal penghitungan penyerapan karbon di laut.Indonesia memiliki
potensi laut sangat luas sehingga pemerintah bisa mengambil peran besar dalam upaya
mengurangi global warming. Di lain pihak, ganggang juga bisa dipanen sebagai bahan baku
biofuel yang prosesnya memiliki efisiensi 40% lebih tinggi dibandingkan membuat biofuel
dengan bahan baku minyak kelapa sawit (CPO).

Ke depan, penangkapan dan penyerapan karbon dengan algae bisa diterapkan pada
pembuangan emisi karbon dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang biasanya dibangun
di pinggir laut. Pengurangan emisi karbon dari industri selain dengan penggunaan carbon
capture sequestrationseperti ini, juga bisa dengan pemanfaatan energi terbarukan dan

1/3
HUTAN LAUT DAN GLOBAL WARMING
Friday, 15 May 2009 14:57

perbaikan teknologi yang mampu melakukan efisiensi energi serta memperbaiki proses
produksi menjadi lebih hemat bahan bakar. ***

Indonesia menyumbang 7% pencemaran dunia yang berasal dari karbondioksida atau setara
dengan 2,5 miliar ton CO2.Jumlah karbondioksida sebanyak itu berdampak cukup serius
terhadap laju pemanasan suhu bumi (global warming). Besarnya polutan karbondioksida ini
antara lain disebabkan besarnya laju dan tingkat penggundulan hutan di Indonesia yang
mencapai 1–2 juta hektare per tahun. Tentu saja sumber pencemar di darat ini harus segera
dihentikan.

Pemerintah harus berani melakukan “moratorium” penebangan hutan sampai batas waktu
tertentu sehingga hutan yang gundul tersebut tumbuh dan pulih kembali.Jika hutan itu sudah
pulih kembali, pemerintah harus bisa menerapkan peraturan penebangan kayu yang ketat dan
konsisten sehingga jumlah kayu yang ditebang tidak mengganggu ke-lestarian hutan.

Indonesia, negara yang memiliki hutan cukup luas di dunia, sangat memainkan peran penting
untuk bisa menjaga paru-paru dunia dalam rangka mengatasi pemanasan global. Namun, kita
sering tak menyadari bahwa sesungguhnya Indonesia yang 2/3 wilayahnya adalah lautan juga
memiliki fungsi dan peran cukup besar dalam mengikat emisi karbon, bahkan dua kali lipat dari
kapasitas penyerapan karbondioksida (carbon sink) oleh hutan.

Emisi karbon yang sampai ke laut ini diserap oleh fitoplankton yang jumlahnya sangat banyak di
lautan, yang kemudian ditenggelamkan ke dasar laut atau diubah menjadi sumber energi ketika
fitoplankton tersebut dimakan oleh ikan dan biota laut lainnya. Selain berbagai jenis
fitoplankton, Indonesia juga kaya dengan terumbu karang yang bisa menyerap karbondioksida.

Terumbu karang yang hidup di dasar laut dan menyerupai hutan ini tak kalah fungsinya
dibandingkan hutan dalam rangka penyerapan karbondioksida. Sayangnya,kita
tahu,pemanasan global juga membawa ancaman terhadap terumbu karang Indonesia, yang
merupakan jantung kawasan segi tiga karang dunia (heart of global coral triangle).

Coral triangle ini meliputi Indonesia, Filipina, Malaysia, Timor Leste, Papua Nugini, dan
Kepulauan Solomon yang merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di
dunia, khususnya terumbu karang. Pemanasan global telah meningkatkan suhu air laut
sehingga terumbu karang menjadi stres dan mengalami pemucatan/ pemutihan (bleaching).

Jika kondisi ini terus berlangsung, terumbu karang tersebut akan mengalami kematian. Di sisi
lain coral triangle memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia. Lebih dari 120 juta orang
bergantung hidupnya pada terumbu karang dan perikanan di kawasan tersebut. Coral triangle
dua dekade belakangan ini juga menjadi pusat penelitian para ahli kelautan dunia.

Pada 2005,The Nature Conservancy Coral Triangle Center (TNCCTC), sebuah lembaga
konservasi internasional yang juga menjalankan programnya di Indonesia dan negara-negara
Pasifik,telah mengadakan sebuah workshop internasional di Bali yang dihadiri para pakar
kelautan dunia dengan tujuan untuk menetapkan batas cakupan wilayah coral triangle.

2/3
HUTAN LAUT DAN GLOBAL WARMING
Friday, 15 May 2009 14:57

Pada akhir workshop,para pakar kelautan berhasil memetakan coral triangle yang mencakup
negara-negara tersebut di atas dengan luas total terumbu karang 75.000 km2. Indonesia sendiri
memiliki luas terumbu karang sekitar 51.000 km2 yang menyumbang lebih dari 21% luas
terumbu karang dunia.

Melihat peran dan posisinya yang strategis,Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang
Yudhoyono pada pertemuan APEC di Sidney telah mengumumkan dan mengajak
negara-negara di dunia, khususnya di kawasan Asia Pasifik, untuk menjaga dan melindungi
kawasan coral triangle.

Indonesia bersama lima negara lain, yaitu Filipina, Malaysia,Timor Leste,Papua Nugini, dan
Kepulauan Solomon, menyepakati inisiatif perlindungan terumbu karang yang disebut Coral
Triangle Initiative (CTI). Inisiatif ini juga telah mendapatkan dukungan dan respons positif dari
negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia.

Dari perspektif itulah kita mengetahui betapa pentingnya posisi Indonesia dalam upaya
penyelamatan manusia dari kenaikan suhu bumi. Jika hal itu disadari dan pemerintah bisa
memanfaatkan kondisi tersebut dengan cerdas,bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi
pusat perhatian “pembangunan ekosistem”global untuk mencegah pemanasan suhu bumi yang
dampaknya akan menambah lapangan kerja, memperluas pendidikan masyarakat, dan
meningkatkan perekonomian bangsa Indonesia.(*)

Penulis: Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB)

Sumber: Harian Seputar Indonesia, Jumat 15 Mei 2009

3/3

Anda mungkin juga menyukai