Anda di halaman 1dari 2

c   c 


   c    


Setiap kali saya berjumpa dengannya atau melihatnya dari kejauhan dalam suatu kesempatan, ada
perasaan malu yang menyelinap ke dalam hati saya. Ada keinginan untuk menjauh atau menjaga jarak.
Kesalahan yang dulu pernah saya lakukan masih berbekas dalam hati saya, walau ia sebenarnya sudah
memaafkan.

Begitulah, tapi saya sadar, keadaan seperti ini tidak boleh terus berlanjut. Saya harus bisa bersikap
wajar dan seolah tidak terjadi apa-apa. Sebagai seorang manusia, siapapun tak luput dari salah,
bukankah saya sudah minta maaf, dan ia pun dengan lapang hati dapat memaklumi dan memaafkan.

Pengalaman ini mengingatkan saya pada satu hal, yaitu rasa malu pada Allah. Rasa malu yang
seharusnya hadir ketika timbul dorongan berbuat dosa dan maksiat. Allah maha melihat segala sesuatu,
Ia mengetahui ke mana arah pandangan mata, bisikan hati dan pikiran kita. Tidak ada satupun yang
bisa kita sembunyikan dari-Nya.

Sungguh, sangat banyak ayat-ayat Allah yang menerangkan tentang ini, diantaranya :

"Katakanlah, "Jika kamu sembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu nyatakan, Allah pasti
mengetahuinya. " Dia mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Allah Mahakuasa
atas segala sesuatu (QS Ali `Imran: 29)

"Yang melihat engkau ketika engkau berdiri (untuk shalat). Dan (melihat) perubahan gerak badanmu di
antara orang-orang yang sujud." (QS Asy-Syu`ara` : 218-219)

"... dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah maha melihat apa yang kamu
kerjakan." (QS al-Hadid: 4)

"Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat -(yaitu: pandangan kepada hal-hal yang terlarang,
seperti memandang kepada perempuan yang bukan mahramnya)- dan apa yang tersembunyi dalam
dada." (QS al-Mukmin: 19)

Dan kelak di akhirat Dia akan meminta pertanggungjawaban kita atas setiap kata yang kita ucapkan,
pandangan mata, perbuatan kita, dstnya.

Hal ini bisa kita umpamakan, di setiap pojok atas sebuah ruangan diletakkan kamera pengintai. Apapun
yang kita lakukan dan katakan, semua terekam oleh kamera tersebut, tak ada satupun yang terlewatkan.
Orang yang sadar bahwa ia sedang diawasi akan waspada dan menjaga setiap gerak-gerik dan
ucapannya. Ia tidak akan gegabah dan asal-asalan. Semuanya diperhitungkan dan dipertimbangkan.

Beda halnya dengan orang yang tidak mengetahui keberadaan kamera tersebut, ia akan berbuat se-
maunya, se-enak hatinya. Ia merasa bebas, tidak ada yang mengawasi, melihat perbuatan dan
mendengarkan kata-katanya.

Dalam contoh lain, jika seorang anak berjalan dengan bapak yang sangat dicintai dan dihormatinya di
pasar. Sang anak akan senantiasa berhati-hati. Ia tidak ingin terlihat melakukan sesuatu yang tidak
disenangi bapaknya, karena apabila bapaknya melihat dirinya berbuat jahat, berkata kasar, bapaknya
akan marah dan akan jatuhlah kedudukan dirinya di hadapan bapaknya. Dan tentu bagi Allah
perumpamaan yang lebih tinggi.

Zikrullah, mengingat Allah, menyebut nama Allah, merasakan kehadiran Allah, menyadari bahwa
Allah senantiasa mengawasi diri kita, dimanapun, kemanapun, dan kapanpun, Allah selalu melihat,
menyaksikan, dan mengetahui perbuatan kita. Jika ini betul-betul tertanam kuat dalam hati, insya
Allah, setiap kata yang kita ucapkan, setiap sesuatu yang kita inginkan, pikirkan, akan selalu kita jaga
dan arahkan pada apa yang Allah ridhai.

Maka, ketika kita cinta, maka cinta itu karena Allah. Apabila kita ingin marah, marah itu karena Allah.
Jika kita ingin bersedekah, maka sedekah itu karena Allah. Apabila kita ingin berkata, perkataan itu
demi mengharapkan ridha Allah swt. Dan tentu hidup seperti ini begitu indah ...

Rasa malu pada Allah barangkali telah mulai hilang dalam diri sebahagian orang, atau bahkan banyak
orang. Mereka tak malu untuk berbuat nista dan kemungkaran. Tidak malu lagi menjulurkan tangan ini
mengambil barang yang haram, tak malu melangkahkan kaki ini ke tempat haram, mengarahkan
pandangan mata pada yang haram, berkata bohong, menipu dan seterusnya.

Beberapa wanita yang mengaku muslimah tidak lagi merasa malu membuka auratnya dan
memajangnya di depan umum, bahkan ia merasa bangga dengan apa yang dilakukannya. Ia tak lagi
merasa malu berpegang tangan, berfoto mesra dengan laki-laki yang belum sah menjadi suaminya. Ia
telah tertipu oleh hawa nafsunya, dan bisikan setan yang menjadikan para pengikutnya memandang
indah dan merasa bangga dengan perbuatan buruk dan tercela.

Begitulah, hilangnya rasa malu telah menjatuhkan derajat kemuliaan seorang wanita pada lembah
kehinaan di hadapan Allah dan hamba-hamba- Nya yang beriman.

Dan seorang laki-laki, tak lagi merasa malu melakukan hal yang serupa, berpegang tangan, berfoto
mesra dengan wanita yang belum sah menjadi istrinya. Karena hilangnya rasa malu rusaklah agama
dan akhlak.

Rasa malu itu telah tertutup oleh asap hitam dan tebal dosa dan maksiat. Oleh asap hitam dan tebal
hawa nafsu dan hasutan setan. Oleh kebodohan, syubhat dan syahwat.

Bukankah Rasulullah saw menegaskan bahwa rasa malu itu bagian dari iman. Yaitu malu berbuat
segala sesuatu yang tidak disukai dan tidak diridhai Allah. Dengan kata lain, ketika rasa malu itu telah
mulai redup atau berkurang, kondisi iman perlu untuk segera dibenahi sebelum rasa malu itu hilang,
karena jika rasa malu itu telah hilang, tak malu lagi untuk berbuat dosa dan maksiat.

Seorang hamba yang cinta pada Rabbnya, akan sangat malu jika kedapatan berbuat nista. Cintanya
pada Allah menghalanginya untuk menempuh jalan maksiat. Ia sangat takut jika yang dicintainya
berpaling darinya, benci, murka dan meninggalkannya. Begitu dalam kesedihan merenggut hatinya.

Namun, cinta pada Allah tidak hadir begitu saja dalam jiwa. Ia butuh pada proses yang harus dilewati,
yaitu mengenal Allah. Mengenal Allah melalui firman-firman- Nya, dengan senantiasa dibaca,
direnungi, diresapi dalam-dalam. Dengan rajin memperhatikan keindahan, keagungan ciptaan-Nya di
jagat raya ini, sembari memikirkan betapa kuasa dan maha luasnya ilmu Allah.

Dengan selalu merenungi dan mensyukuri betapa begitu banyak nikmat-Nya yang telah kita terima
selama ini, yang tak akan sanggup kita hitung, mulai dari nikmat yang melekat pada tubuh kita: nikmat
melihat, mendengar, berbicara, merasa, berjalan, berpikir, bernafas, dstnya.

Dengan selalu berbicara pada orang lain tentang keesaan Allah, kemahakuasaan Allah, rahmat-Nya,
ilmu-Nya, nikmat-Nya dan dengan rajin mendengarkan pembicaraan tentang kebesaran Allah, nikmat ±
nikmat Allah dari orang-orang yang selalu menyebut-Nya di waktu siang dan malam.

Semakin sering dibaca, diperhatikan, didengarkan, diucapkan, akan semakin tumbuhlah rasa cinta itu
dalam hati, akan kokohlah keyakinan itu, akan kuatlah iman di dada, akan tumbuhlah rasa rindu itu
menggenggam kalbu, akan kuatlah keinginan untuk berjumpa dan betapa malu jika telah dengan
sengaja atau khilaf berbuat sesuatu yang tidak disukai Allah..

Allahu akbar....

Ya Allah, Engkau selalu melihat kami siang-malam, kapanpun dan dimanapun kami berada. Ya Allah
anugerahkanlah pada kami rasa malu bermaksiat pada-Mu. Amin..

Salam cinta dari bumi Allah,

marif_assalman@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai