Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak dicanangnya Repelita (Rancana Penbangunan Lima Tahun) yang


dimulai tahun 1974-1999 pandidikan menjadi prioritas disamping ekonomi.
Target utama pembangunan pendidikan dimassa ini adalah pendidikan dasar
Sembilan tahun, dalam waktu 15 tahun terjadai perbaikan kualitas, akses dan
relepansi pendidikan yang mengarah penningkatan SDM Indonesia

Pada awal orde baru hingga awal pelita keVI sector pendidikan
mengalami perkembangan yang cukup baik secara kuantitatif strategi
pendidikan nasional yang dicanagkan pada akhir pelita ke II terdiri dari 4
butir yaitu:1. Peningkatan kualitas pendidikan, 2. Pemertataan Kesempatan
memperoleh Pendidiakan 3. Relevansi pendidikan dan 4. Efesiensi
pendidikan (Ali. M, 2009)

Dalam pemahaman teori Human Capital yang dipelopori oleh


Theodore W. Schultz (dalam Suharsaputra, 2007), manusia merupakan suatu
bentuk kapital sebagaimana bentuk kapital-kapital lainnya yang sangat
menentukan bagi pertumbuhan produktivitas suatu bangsa. Pendidikan
merupakan salah satu bentuk investasi Sumber Daya Manusia, dengan
pendidikan seseorang dapat memperluas pilihan-pilihan bagi kehidupannya
baik dalam profesi, pekerjaan, maupun dalam kegiatan-kegiatan lainnya guna
meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

Selain pendekatan teori human capital ada dua pendekatan lain yaitu
teori fungsionalisme dan teori empirisme. Teori fungsionalisme yang
dipelopori oleh Burton Clark (dalam Suharsaputra, 2007), menekankan pada
preservation of human resources atau pemeliharaan sumber daya manusia,
dimana dalam upaya tersebut perhatian pada perubahan teknologi sangat

1
menonjol sehingga diperlukan pengembangan sistem pendidikan dan
pemilihan program-program pendidikan disamping perlunya upaya perluasan
pendidikan yang lebih merata dalam konteks interaksi antara lembaga
pendidikan dengan lembaga-lembaga lainnya dalam masyarakat termasuk
perkembangan teknologi yang terjadi dengan cepat.

Sementara itu pendekatan teori empirisme (Suharsaputra, 2007)


menekankan pada perlunya diagnosis terhadap masalah pemerataan
pendidikan dengan mengkombinasikan antara metodologi dan substansi
(Methodological empiricism). Menurut pemahaman teori ini terjadinya
ketidakmerataan kesempatan pendidikan merupakan hasil dari perselisihan
antara kelas-kelas sosial yang berbeda kepentingan, kelas-kelas sosial yang
dianggap elit lebih suka mempertahankan status quo, sementara kelas-kelas
populis terus berjuang guna mendapatkan kesempatan memperoleh
pendidikan.

Dari ketiga pendekatan tersebut, terlihat adanya perbedaan orientasi


dalam melihat masalah pendidikan, namun satu hal yang cukup menonjol
adalah berkaitan dengan pentingnya pendidikan bagi kehidupan manusia
yang berimplikasi pada perlunya upaya pemerataan pendidikan baik itu
sebagai modal/investasi manusia, sebagai pemeliharaan terhadap sumber
daya manusia, maupun sebagai aktivitas yang dialami sehari-hari yang terus
menerus beninteraksi dengan lingkungan baik sosiologis, ekonomis, maupun
lingkungan teknologis. Semua implikasi ini memerlukan perhatian yang
sungguh-sungguh dari pembuat kebijakan guna menciptakan situasi yang
kondusif bagi warga masyarakat berpartisipasi lebih aktif dan
bertanggungjawab dalam dimensi pendidikan yang lebih luas.

Pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk


memperoleh pendidikan telah lama menjadi masalah yang mendapat
perhatian, terutama di negara-negara sedang berkembang. Hal ini tidak
terlepas dari makin tumbuhnya kesadaran bahwa pendidikan mempunyai
peran penting dalam pembangunan bangsa, seiring juga dengan

2
berkembangnya demokratisasi pendidikan dengan semboyan education for
all.

Sejak tahun 1984, pemerintah Indonesia secara formal telah


mengupayakan pemerataan pendidikan Sekolah Dasar, dilanjutkan dengan
wajib belajar pendidikan sembilan tahun mulai tahun 1994. Upaya-upaya ini
nampaknya lebih mengacu pada perluasan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan.

Pendidikakan kesetaraan juga mendapat perhatian dari pemerintah


yang disediakan bagi yang tidak berkesempatan mengikuti pendidikan
disekolah. Tercatat 3.663.114 orang mengikuti pendidikan keaksaraan hingga
tahun 2007. Sementara pendidikan anak usia dini (PAUD) juga meningkat
sehingga APK pada jenjang ini mencqapai 48 persen yakni 13.736.074 orang
siswa mengikuti pendidikan PAUD yang merupakan 48 persen jumlah anak
usia 2-6 tahun hingga akhir 2007 (Ali,2009:20)

Agaknya pelaksanaan wajib belajar negeri ini adalah slogan yang selalu
didengung-dengungkan. Padahal, dalam kenyataannya, pelaksanaan wajib
belajar dihalang-halangi, karena untuk masuk sekolah dasar pun kini harus
membayar mahal sehingga masyarakat miskin tidak mungkin dapat
membayarnya. Maka terjadilah hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi
apabila semua pihak, terutama guru dan kepala-kepala sekolah, menghayati
tujuan wajib belajar itu. Bagi masyarakat dan orangtua yang kaya, anaknya
akan dapat bersekolah di sekolah negeri, sedangkan yang miskin akan gagal
dan tidak bersekolah.

Untuk masuk ke sekolah swasta, masyarakat miskin tidak mungkin


mampu membayarnya. Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak akan
memperoleh kesempatan memperoleh pendidikan. Sungguh satu hal yang
ironis. Sebab, pada negara yang lebih 60 tahun usianya ini, banyak anak
bangsanya akan menjadi buta huruf karena dililit kemiskinan dan negeri ini

3
akan terpuruk karena kualitas sumber daya manusianya tidak mampu
bersaing dengan Negara–negara yang lain. (Ali,2009)

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka akan dilakukan


pembahasan tentang PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH untuk meningkatkan
pemahaman konsep.

B. Perumusan Masalah
Pada makalah ini yang berjudul Aplikasi Teknologi Pendidikan Dalam
Pemerataan Pendidikan, terdapat sebuah permasalahan yaitu :
1. Bagaimana aplikasi Teknologi Pendidikan dalam Pemerata
Pendidikan?
2. Bagaimana Peran dari PLS dalam membantu pemerataan Pendidikan

C. Tujuan Penelitian

Tujuan pada makalah ini adalah untuk mengetahui secara lebih


mendalam mengenai:

1. Aplikasi Teknologi Pendidikan dalam Pemeratan Pendidikan.

2. Peran dari PLS dalam membantu pemerataan Pendidikan

D. Metode Penelitian

Adapun yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan


metode deskriptif. Disini penulis membahas tentang fenomena yang terjadi
dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia pada umumnya khususnya
masalah pendidikan.

E. Sistematika Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis melakukan beberapa langkah dalam


pengumpulan bukti atau data real untuk memecahkan masalah yang ada.
Adapun langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Melakukan observasi

4
2. Mengamati masalah yang ada

3. Mengambil kesimpulan atas masalah yang akan dipecahkan

4. Mempersiapkan instrumen penelitian

5. Mengumpulkan data seakurat mungkin

6. Menganalisis data yang ada

7. Penyusunan atau penulisan hasil penelitian

F. Objek Penelitian

Penulis telah menjelaskan sebelumnya walaupun secara tersirat bahwa

yang akan menjadi objek penelitian ini adalah kondisi pendidikan yang ada di

bumi Indonesia khususnya dalam hal peran teknologi pendidikan dalam

pemerataan. Disamping itu juga diteliti tentang peran PLS dalam membantu

pemerataan pendidikan di Indonesia.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pemerataan Kesempatan Belajar

Bagi bangsa yang ingin maju, pendidikan merupakan sebuah


kebutuhan. Sama dengan kebutuhan perumahan, sandang, dan pangan.
Bahkan, ada bangsa atau yang terkecil adalah keluarga, pendidikan
merupakan kebutuhan utama. Artinya, mereka mau mengurangi kualitas
perumahan, pakaian, bahkan makanan, demi melaksanakan pendidikan anak-
anaknya. Seharusnya negara juga demikian. Apabila suatu negara ingin cepat
maju dan berhasil dalam pembangunan, prioritas pembangunan negara itu
adalah pendidikan. Jika perlu, sektor-sektor yang tidak penting ditunda dulu
dan dana dipusatkan pada pembangunan pendidikan. Negara kita telah lebih
dari 20 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun dan
telah 10 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun.

Maksud dan tujuan pelaksanaan wajib belajar adalah memberikan


pelayanan kepada anak bangsa untuk memasuki sekolah dengan biaya murah
dan terjangkau oleh kemampuan masyarakat banyak. Apabila perlu,
pendidikan dasar enam tahun seharusnya dapat diberikan pelayanan secara
gratis karena dalam pendidikan dasar enam tahun atau sekolah dasar
kebutuhan mendasar bagi warga negara mulai diberikan. Di sekolah dasar
inilah anak bangsa diberikan tiga kemampuan dasar, yaitu baca, tulis, dan
hitung, serta dasar berbagai pengetahuan lain. Setiap wajib belajar pasti akan
dimulai dari jenjang yang terendah, yaitu sekolah dasar.
Seperti diketahui, sebagian besar keadaan sosial ekonomi masyarakat kita
tergolong tidak mampu. Dengan kata lain, mereka masih dililit predikat
miskin.

Mulai Inpres Nomor 10 Tahun 1971 tentang Pembangunan Sekolah


Dasar dan inpres- inpres selanjutnya, negeri ini telah berusaha memberikan
pendidikan murah untuk anak bangsanya. Puluhan ribu gedung sekolah dasar
6
telah dibangun dan puluhan ribu guru sekolah dasar diangkat agar pemerataan
kesempatan belajar untuk jenjang sekolah dasar dapat dilaksanakan dengan
murah, dari kota sampai ke desa-desa. Semua warga negara, kaya atau
miskin, diberi kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan dasar
enam tahun yang biayanya dapat dijangkau golongan miskin. Kejadian itu
dapat dinikmati dalam jangka waktu cukup lama, yaitu sejak dicetuskannya
Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun tahun 1984.

Agaknya pelaksanaan wajib belajar negeri ini adalah slogan yang


selalu didengung-dengungkan. Padahal, dalam kenyataannya, pelaksanaan
wajib belajar dihalang-halangi, karena untuk masuk sekolah dasar pun kini
harus membayar mahal sehingga masyarakat miskin tidak mungkin dapat
membayarnya. Bagi masyarakat dan orangtua yang kaya, anaknya akan dapat
bersekolah di sekolah negeri, sedangkan yang miskin akan gagal dan tidak
bersekolah. Untuk masuk ke sekolah swasta, masyarakat miskin tidak
mungkin mampu membayarnya. Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak
akan memperoleh kesempatan memperoleh pendidikan.

B. Pendidikan Luar Sekolah

Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan


Nasional pasal 13, menyebutkan bahwa jalur pendidikan terdiri atas
pendidikan formal, informal dan nonformal. Namun demikian secara
konseptual jalur informal sesungguhnya bagian dari pendidikan nonformal,
akan tetapi bisa saja terjadi dijalur pendidikan formal.

Di Indonesia Pendidikan Luar Sekolah (PLS) memiliki sejarah yang


panjang dan sejalan dengan sejarah tersebut nama PLS berubah-ubah terus.
Sejak PLS dinamai Pendidikan masyarakat, kemudian berubah menjadi PLS
dan sekarang sesuai UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003,
pasal 13 dinamai Pendidikan Nonformal. Sesuai dengan fungsi PLS yaitu
sebagai substitusi, suplemen dan komplemen pendidikan sekolah, PLS
mempunyai cakupan garapan yang sangat luas. Di negara maju yang kualitas

7
jalur sekolahnya sudah baguspun peranan PLS masih tetap besar, Namun
dalam kenyataannya PLS belum dimanfaatkan sesuai dengan potensi dan
kemampuannya yang cukup besar sehingga kontribusinya juga belum
optimal. Jalur PLS merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar
sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak harus berjenjang dan
bersinambungan. PLS yang dilaksanakan yaitu:

1. Kursus
2. Paket A Setara SD, B Setara SMP, C Setara SLTA
3. Keaksaraan Fungsional (KF) Buta Huruf
4. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

Satuan PLS meliputi kursus/lembaga pendidikan keterampilan dan


satuan pendidikan yang sejenis. Secara umum, manfaat PLS (Prawiradilaga,
2007:225) antara lain :

1. Mempercapat program wajib belajar pendidikan dasar


2. Memperluas dan menciptakan lapangan kerja
3. Terhadap jalur sekolah dapat menjadi suplemen, komplemen dan
substitusi (memberikan pendidikan yang tidak dapat dilakukan jalur
sekolah.
4. Menyiapkan tenaga kerja yang terampil dan siap kerja
5. Membentuk manusia yang mandiri dan percaya diri
6. Mencegah urbanisasi
7. Memberantas buta huruf

Dari beberapa manfaat PLS tersebut dapat dikatakan tujuan dari PLS
adalah sebagai berikut :

1. Melayani warga belajar supaya dapat tumbuh dan berkembang sedini


mungkin dan sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat dan
mutu kehidupannya.

8
2. Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan ketrampilan dan
sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja
mencari nafkah atau melanjutkan ke tingkat dan atau jenjang pendidikan
yang lebih tinggi.

3. Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi


dalam jalur pendidikan sekolah.

Jenis PLS terdiri atas:

1. pendidikan umum;

2. pendidikan keagamaan;

3. pendidikan jabatan kerja;

4. pendidikan kedinasan; dan

5. pendidikan kejuruan.

PLS dapat diselenggarakan oleh Pemerintah, perorangan atau


sekelompok Warga Negara Indonesia atau badan hukum swasta yang
berkedudukan di Indonesia dan tunduk kepada hukum Indonesia. Lembaga
internasional atau badan/lembaga swasta asing di wilayah Republik Indonesia
dapat menyelenggarakan PLS dengan ketentuan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Kursus PLS yang diselenggarakan masyarakat (Diklusemas)


didaftarkan pada Dinas Pendidikan Kecamatan dan mendapat izin
penyelenggaraan dari Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.

Seluruh program kursus Diklusemas dikelompokkan ke dalam sepuluh


rumpun pendidikan yaitu: kerumahtanggaan, kesehatan, keolahragaan,
pertanian, kesenian, kerajinan dan industri, teknik dan perambahan, jasa,
bahasa dan khusus.

9
Di tengah krisis ekonomi seperti sekarang, kursus/lembaga
pendidikan keterampilan ini barangkali harus lebih dikedepankan. Kegiatan
kursus bukan hanya memberi harapan pada anak putus sekolah yang sulit
mencari kerja tetapi juga memberikan jalan bagi banyaknya jumlah lulusan
SLTA yang tak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi sehingga
lembaga kursus selalu mendapat tempat. Di tangan para pengelolanya,
lembaga pendidikan ini bisa bergerak cepat mengikuti irama perkembangan
dan tuntutan yang terjadi di masyarakat.

Begitu cepatnya antisipasi yang dilakukan para penyelenggara kursus


atas tuntutan masyarakat, sangat boleh jadi, lembaga pendidikan nonformal
ini tidak begitu berat terkena pukulan akibat krisis ekonomi. Menurut mereka,
lulusan SMTA yang akan memasuki perguruan tinggi perlu berpikir ulang,
baik mengenai biaya maupun lama waktu belajar yang harus ditempuh.
Apalagi, setelah selesai kuliah, para lulusan perguruan tinggi pun belum tentu
mudah mendapatkan pekerjaan.

Meski kursus masih dipandang sebelah mata, anak tiri dalam sistem
pendidikan di Indonesia itu kini telah tumbuh menjadi sebuah bidang usaha
yang nyaris tanpa batas. Tidak sedikit perguruan tinggi swasta bercikal bakal
dari kursus. Lembaga-lembaga kursus di Indonesia dalam sepuluh tahun
terakhir tumbuh sangat pesat dan berkembang menjadi industri mimpi yang
menggiurkan. Banyak warga masyarakat yang rela membayarkan uangnya
beratus ribu atau jutaan rupiah sekadar untuk mewujudkan impian. Bahwa
kemudian mimpi indah itu tidak terwujud, adalah kenyataan lain yang tidak
pernah disesali.

Berdasarkan fungsinya, jenis-jenis lembaga kursus itu dapat


dikategorikan menjadi tiga yaitu:

1. Sejenis Bimbingan Tes/Belajar yang bertujuan meningkatkan kemampuan


belajar melalui pelajaran tambahan untuk bidang-bidang tertentu seperti
IPA, matematika, bahasa Inggris, dan lain-lain dengan sasaran untuk

10
semua pelajar SD-SMTA. Tapi ada yang khusus untuk pelajar pada tingkat
tertentu saja, misalnya kelas III SMTA yang akan mengikuti tes UMPTN.

2. Kursus-kursus Keterampilan yang bertujuan memberikan atau


meningkatkan keterampilan mengetik, kecantikan, bahasa asing, akuntansi,
montir, menjahit, sablon, babysitter, dan lain-lain. Sasaran lembaga ini
mayoritas adalah para lulusan SMP dan SMTA yang memerlukan
sertifikat keterampilan untuk mencari kerja.

3. Pengembangan Profesi, seperti kursus sekretaris atau humas perusahaan,


akuntan publik, kepribadian, dan lain-lainnya. Sasarannya tamatan SMTA
sampai perguruan tinggi, dari yang belum bekerja sampai yang sudah
bekerja, namun ingin meningkatkan profesionalismenya. Jenis ketiga ini
lebih ke arah pembentukan image dalam masyarakat, bukan hanya sekadar
memberikan keterampilan teknis saja. Karena itu dari segi waktu
pelaksanaan kursus lebih panjang (antara enam bulan sampai dua tahun).

C. Kontribusi Pendidikan Luar Sekolah dalam Pembangunan Pendidikan


Nasional/SDM
Kita menyadari bahwa SDM kita masih rendah, dan tentunya kita
masih punya satu sikap yakni optimis untuk dapat mengangkat SDM tersebut.
Salah satu pilar yang tidak mungkin terabaikan adalah melalui pendidikan
nonformal atau lebih dikenal dengan PLS.

Seperti kita ketahui, bahwa rendahnya SDM kita tidak terlepas dari
rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terutama pada usia sekolah.
Rendahnya kualitas SDM tersebut disebabkan oleh banyak hal, misalnya
ketidakmampuan anak usia sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi, sebagai akibat dari kemiskinan yang melilit kehidupan
keluarga, atau bisa saja disebabkan oleh oleh angka putus sekolah, hal yang
sama disebabkan oleh factor ekonomi.

Oleh sebab itu, perlu menjadi perhatian pemerintah melalui semangat


otonomi daerah adalah mengerakan program PLS tersebut, karena UU Nomor
11
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas
menyebutkan bahwa PLS akan terus ditumbuhkembangkan dalam kerangka
mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerintah ikut
bertanggungjawab kelangsungan PLS sebagai upaya untuk menuntaskan
wajib belajar 9 tahun.

Rencana Strategis untuk mendukung penyelenggaraan PLS menurut


Isjoni (2004) baik untuk tingkat propinsi maupun kabupaten kota adalah :

1. Perluasan pemerataan dan jangkauan pendidikan anak usia dini;

2. Peningkatan pemerataan, jangkauan dan kualitas pelayanan Kejar Paket


Asetara SD dan B setara SLTP;

3. Penuntasan buta aksara melalui program Keaksaraan Fungsional;

4. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan perempuan


(PKUP), Program Pendidikan Orang tua (Parenting);

5. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan


melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang,
beasiswa/kursus; dan

6. Memperkuat dan memandirikan Pendidikan Keterampilan Berbasis


Masyarakat (PKBM) yang telah melembaga saat ini di berbagai daerah.

Selain itu menurut Isjoni (2004), dalam kaitan dengan upaya


peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, maka program PLS lebih
berorientasi pada kebutuhan pasar, tanpa mengesampingkan aspek akademis.
Oleh sebab itu Program PLS mampu meningkatkan pengetahuan,
keterampilan, profesionalitas, produktivitas, dan daya saing dalam merebut
peluang pasar dan peluang usaha, maka yang perlu disusun Rencana strategis
adalah:

1. Meningkatkan mutu tenaga kependidikan PLS;

12
2. Meningkatkan mutu sarana dan prasarana dapat memperluas pelayanan
PLS, dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil.
3. Meningkatkan pelaksanaan program kendali mutu melalui penetapan
standard kompetensi, standard kurikulum untuk kursus;
4. Meningkatkan kemitraan dengan pihak berkepentingan (stakholder)
seperti Dudi, asosiasi profesi, lembaga diklat; serta
5. Melaksanakan penelitian kesesuain program PLS dengan kebutuhan
masyarakat dan pasar. Demikian pula kaitan dengan peningkatan kualitas
manajemen pendidikan.

Strategi PLS dalam rangka era otonomi daerah, maka rencana strategi
yang dilakukan adalah :

1. Meningkatkan peran serta masyarakat dan pemerintah daerah;


2. Pembinaan kelembagaan PLS;
3. Pemanfaatan/pemberdayaan sumber-sumber potensi masyarakat;
4. Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di bidang PLS;
5. Meningkatkan fasilitas di bidang PLS

Sasaran PLS lebih memusatkan pada pendidikan anak usia dini,


pendidikan dasar, pendidikan berkelanjutan, dan perempuan. Selanjutnya PLS
harus mampu membentuk SDM berdaya saing tinggi, dan sangat ditentukan
oleh SDM muda (dini), dan tepatlah PLS sebagai alternative di dalam
peningkatan SDM ke depan. PLS menjadi tanggung jawab masyarakat dan
pemerintah sejalan dengan Pendidikan Berbasis Masyarakat, penyelenggaraan
PLS lebih memberdayakan masyarakat sebagai perencana, pelaksanaan serta
pengendali, Pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota secara terus
menerus memberi perhatian terhadap PLS sebagai upaya peningkatan SDM,
dan PLS sebagai salah satu solusi terhadap permasalahan masyarakat,
terutama anak usia sekolah yang tidak mampu melanjutkan pendidikan, dan
anak usia putus sekolah..

D. Model Pendidikan Luar Sekolah

13
Dalam beberapa tahun terakhir, homeschooling (HS) merebak di
beberapa kota di Indonesia. Tak hanya untuk kalangan berada, sekolah rumah
itu juga bakal bisa diterapkan terhadap keluarga tak mampu. Belum ada data
pasti berapa jumlah anak yang belajar atau bersekolah di rumah alias ber-
homeschooling di Indonesia. Namun, saat ini kian banyak orang tua yang
berminat memberikan pembelajaran di rumah. Apalagi HS sebagai salah satu
pendidikan alternative sudah terakomodasi dalam Sistem Pendidikan
Nasional. Undang-Undang Sisdiknas pasal 27 ayat 1 Di sana disebutkan,
“Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan
berbentuk kegiatan belajar secara mandiri”. Ayat 2 menyebutkan, “Hasil
pendidikan sebagaimana dimaksud ayat 1 diakui sama dengan pendidikan
formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar
nasional pendidikan”. Melalui payung hukum itu, mereka yang belajar di
rumah sudah tak perlu was-was tentang legalitas sistem pembelajaran
mereka.

Namun demikian, citra homeschooling di masyarakat masih beragam.


Sebagian menganggap homeschooling mahal. Pasalnya, berbagai macam
fasilitas harus dipenuhi sendiri. Misalnya alat-alat laboratorium yang
jamaknya disediakan sekolah. Menanggapi hal itu, Daniel M. Rosyid, ketua
Dewan Pendidikan Jawa Timur dalam artikel Pontianak Post Online
(Andriayani, 2007), menegaskan bahwa siapa pun dapat ber-homeschooling.
Menurutnya, model pendidikan rumah itu justru hadir bagi mereka yang tak
mampu dalam hal finansial. Misalnya, keluarga miskin (gakin). Sebab, anak-
anak miskin tidak perlu mengeluarkan ongkos seragam sekolah, SPP, maupun
uang gedung. Dengan demikian, jatuhnya biaya lebih murah dibandingkan
pendidikan formal.

E. Peranan Teknologi Pendidikan dalam Pendidikan Luar Sekolah

1. Perlunya Perubahan Paradigma Pendidikan Luar Sekolah

14
Bagi negara maju dan negara berkembang, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta sistem informasi yang begitu cepat
mendorong berbagai aspek, khususnya sistem pendidikan untuk mengubah
visi, misi dan strateginya secara revolusioner. Revolusi pendidikan berarti
secara totalitas menjabarkan konsep Teknologi Pendidikan (TP) dalam
berbagai bentuk dan tingkatan implementasinya, sehingga efisiensi dan
efektivitas penggunaan sumber daya yang ketersediannya sangat terbatas
dapat tercapai, dan pendidikan yang sesuai dengan kebituhan masyarakat
dapat disediakan.

2. Indikator yang Menunjukan bahwa PLS Merupakan Sumber


Ekonomi Pendidikan, :

1. Tingkat efisiensi dan efektifitas PLS sangat tinggi, karena hampir


semua PLS dirancang dan dilakukan berdasarkan kebutuhan
masyarakat.

2. Secara fungsional, kaitan PLS dengan pendidikan jalur sekolah adalah


sebagai substitusi, suplemen dan komplemen pendidikan sekolah.

3. Lulusan PLS baik yang berasal dari pengangguran, pegawai yang


ingin meningkatkan profesi dan keterampilannya menjadikan mereka
dapat bekerja di dalam negeri dan luar negeri.

4. Siswa dari jalur sekolah yang kemampuan akademik dan keterampilan


kejuruannya belum memadai, setelah mengikuti kursus teretntu
menjadi siswa yang berprestasi.

5. Para penyelenggara PLS dapat memperoleh keuntungan dan dapat


memperkerjakan cukup banyak pegawai untuk mengelola lembaga
PLS , dan mereka merupakan swadaya murni masyarakat tanpa
bantuan pemerintah.

15
3. Masalah Penerapan Teknologi Pendidikan dalam Pendidikan Luar
Sekolah

Media massa khususnya TV dan media cetak mestinya lebih banyak


atau dapat dimanfaatkan untuk program-program pendidikan, yang secara
tidak langsung merupakan penerapan TP dalam PLS.

Selain media massa, tutorial merupakan salah satu metode


pembelajaran yang sudah dilakukan sejak zaman dulu kala. Belajar pada
jalur PLS lebih menekankan pada peran belajar tutorial, kelompok dan
mandiri sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan secara
konseptual sangat positif. Namun karena tutor bukan seseorang yang
secara khusus dididik sebagai tutor, tetapi guru yang merangkap tutor,
sehingga meraka memiliki keterbatasan dalam pemahaman dirinya sebagai
tutor.

Program Paket A setara SD dan Paket B setara SLTP dan paket A


setara SLTA juga semakin kehilangan pamornya, karena semakin sedikit
warga masyarakat yang tidak bersekolah di SD dan SLTP yang tertarik
menjadi peserta belajar di kedua program tersebut. Satu-satunya program
PLS yang sangat dinamis dalam perkembangan kebutuhan masyarakat,
ilmu pengetahuan den teknologi ialah kursus-kursus yang diselenggarakan
masyarakat. Bahkan sekarang banyak lembaga kursus yang berkerjasama
dengan negara lain dan telah menyusun standar kompetansi internasional,
sehingga tamatannya diakui oleh negara tersebut dan dapat bekerja di
negara asing lainya.

BAB III

PENUTUP

16
A. Kesimpulan

Pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk


memperoleh pendidikan telah lama menjadi masalah yang mendapat
perhatian, terutama di negara-negara sedang berkembang. Hal ini tidak
terlepas dari makin tumbuhnya kesadaran bahwa pendidikan mempunyai
peran penting dalam pembangunan bangsa, seiring juga dengan
berkembangnya demokratisasi pendidikan dengan semboyan education for
all.
Pendidikan Luar Sekolah (PLS) yaitu sebagai substitusi, suplemen
dan komplemen pendidikan sekolah, PLS mempunyai cakupan garapan yang
sangat luas. Namun dalam kenyataannya PLS belum dimanfaatkan sesuai
dengan potensi dan kemampuannya yang cukup besar sehingga kontribusinya
juga belum optimal. Teknologi Pendidikan (TP) dalam berbagai bentuk dan
tingkatan implementasinya, sehingga efisiensi dan efektivitas penggunaan
sumber daya yang ketersediannya sangat terbatas dapat tercapai, dan
pendidikan yang sesuai dengan kebituhan masyarakat dapat disediakan.

B. Saran

Pendidikan adalah salah satu sarana terpenting dalam melanjutkan

program pemerataan pembangunan pemerintah. Olehnya itu, sudah

semestinya pihak pemerintah tidak lagi bersifat acuh bahkan harus bertindak

lebih tanggap lagi dalam mengatasi problem pendidikan yang ada dalam

masyarakat Indonesia. Disamping dengan adanya program pendidikan yang

formal dilain pihak juga ada bidang pendidikan yang tak kalah pentingnya

dalam mengambil peran pemerataan pendidikan di negara kita ini yaitu PLS

(Pendidikan Luar Sekolah). Oleh karenanya dianggap perlulah adanya

peningkatan taraf mutu pendidikan non-formal ini. Selain pemerintah terkait,

17
kita sebagai warga Negara yang baik juga dapat berpartisipasi dalam

mengembangkan pendidikan yang ada di sekitar kita.

DAFTAR PUSTAKA

Ali M, 2009. Pendidikan Untuk Pembangunan Nasional. Jakarta, Grasindo


18
Andriyani, Titik dan Anita Rachman. 2007. Model Pendidikan Luar Sekolah hasil
Pemikiran Asah Pena. Pontianak Post Online. (http://www.pontianakpost.com/
berita/index.asp?Berita=Edukasi&id=137047,).

Isjoni. 2004. Pendidikan Luar Sekolah. www.pendidikan.net. (http://re-


searchengines. com/isjoni13.html).

Miarso, Yusufhadi. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta : Kencana


Prenada Media Group.

PTS Online. 2007. Kursus: Pendidikan Luar Sekolah. (http://www.pts.co.id/


kursus.asp).

Seels, Barbara B dan Richey, Rita C. 1994. Teknologi Pembelajaran Definis dan
Kawasannya. Jakarta : Universitas Negeri Jakarta.

Suharsaputra, Uhar. 2007. Pemerataan Pendidikan. (http://tappkipmkng.wordpress.


com/2007/05/03/pemerataan-pendidikan). Surabaya, Usaha Nasional

Faisal Sanafiah,( ) Pendidikan Luar Sekolah

19

Anda mungkin juga menyukai