******
Resensi Buku
Sebuah gerakan mahasiswa dibangun tidak hanya oleh basis massa, tetapi
juga oleh basis ideologi, nilai, bahkan juga strategi gerakan. Sehingga,
kacamata yang dipakai ketika melihat sebuah gerakan bukan hanya
aktivitas elit-elitnya, tetapi juga pergerakan di strukturnya yang
terkecil.
Hal ini yang coba ditelaah oleh Amin Sudarsono ketika mengupas basis
gerakan KAMMI dalam buku setebal 223 halaman ini. Menurut Ketua
Departemen Kajian Strategis PP KAMMI ini, KAMMI harus matang dalam sisi
pengelolaan kader dan pengambilan keputusan politik etis-strategis (h.
31). Artinya, KAMMI perlu terus melakukan penguatan-penguatan basis yang
merefleksikan kelahirannya sebagai sebuah wadah perjuangan mahasiswa
Islam.
Kedua, aksi massa yang simpatik dan benar-benar melambangkan visi KAMMi.
Ketiga, konsolidasi dan penguatan organisasi melalui proses syura.
Keempat, menggunakan media sebagai basis propaganda gerakan. Fungsi
humas, seperti diungkapkan oleh Edo Segara, menjadi bagian penting
dalam hal ini. Kelima, advokasi hak-hak publik ke pemangku kepentingan,
terutama dalam konteks advokasi anggaran.
Hal menarik yang dapat diambil di buku ini adalah soal kesadaran kritis
kader KAMMI. Bagian ini terdapat pada bagian terakhir buku, yang
dielaborasi dengan menggunakan konsepsi "conscientizacao" a la
Freire.
KAMMI, meminjam istilah Buya Prof. Dr. Hamka ketika menjadi Ketua
Majelis Ulama Indonesia tahun 1971, memang seperti "Kue Bika. Posisi
KAMMI dihimpit oleh dua kekuatan dan entitas. Di satu sisi, KAMMI mesti
memiliki keberpihakan kepada entitas rakyat marjinal yang aspirasi dan
keinginan mereka mesti diejawantahkan dalam aksi-aksi KAMMI.
Akan tetapi, di sisi lai, KAMMI juga berhadapan dengan kekuasan politik
yang menghegemoni. Kekuasaan politik tersebut tidak hanya terbentuk
dalam wujudnya sebagai entitas "negara", tetapi juga aktor-aktor
politik non-negara yang berada di lingkar-lingkar kekuasaan.
Maka, pada titik ini Amin Sudarsono memberikan sebuah alternatif: basis
gerakan dan kesadaran kritis aktivis KAMMI mesti diperkuat. kesadaran
kritis yang sifatnya kolektif tersebut diperlukan tidak terhegemoni dan
terkooptasi oleh sistem yang ada, juga tidak bersikap
fanatis-primordial-eksklusif dalam menghadapi realitas.
Apa yang dimaksud dengan kesadaran kritis itu? Meminjam wacana Freirean,
seorang kader KAMMI dituntut untuk sadar mengenai posisinya secara
kultural, bukan hanya secara struktural. Ia tidak hanya "tahu"
mengenai posisinya sebagai seorang kader, tetapi juga "sadar"
mengenai urgensi posisinya bagi visi strategis KAMMI.
Pada titik itu, seorang kader KAMMI dituntut untuk melakukan proses
intelektualisasi dengan menyingkirkan sekat-sekat primordial dalam
memandang realitas. Ia harus bisa memandang realitas secara kritis,
objektif, dan rasional, tetapi tetap sesuai dengan kerangka dasar
pedoman nash yang shahih.
Tentu saja, hal tersebut tak dapat dilakukan hanya pada segelintir kader
atau "elit gerakan". Pada titik inilah Amin Sudarsono memberikan
alternatif jalan keluar: Syura sebagai manifestasi kesadaran kritis yang
sifatnya kolektif. Syura yang sehat –seperti dijelaskan pada bab
sebelumnya— secara normatif akan menjadi alternatif jalan untuk
membebaskan kader dari belenggu "hegemoni intelektual" serta
"primordialisme gerakan" yang hanya merintangi adanya proses
menuju kesadaran kritis.
Maka dari itu, menurut Amin Sudarsono, kader-kader KAMMI dituntut untuk
menaikkan posisi kesadaran kita dari sekadar "sadar" secara magis
–taklid buta dan fanatis— menjadi kesadaran naif
–pemberontakan "kultural"— lantas mencapai kesadaran kritis
–mencari kebenaran dan memperjuangkannya— secara bertahap. Visi
itulah yang kemudian menjadi kerangka gerak seorang kader untuk
mencapai visi "Muslim Negarawan" yang diusung oleh KAMMI.
Dari sekian banyak wacana baru yang ditawarkan oleh buku ini, terselip
sedikit kekurangan: kurangnya sistematisasi penulisan buku terutama di
bagian akhir. Serpihan-serpihan gagasan ini masih terkesan
"melompat-lompat" dari satu gagasan ke gagasan lainnya, walaupun
masih dapat dipahami sebagai sebuah kesatuan ide.
Akan tetapi, dengan wacana dan gagasan kontekstual yang ditawarkan oleh
penulisnya, kita masih bisa membaca buku ini secara utuh. Pemikiran dan
panduan teknis untuk KAMMI yang dielaborasi oleh Amin Sudarsono
memberikan kekhasan tersendiri bagi buku ini.
Oleh karena itu, buku yang mendapatkan apresiasi dari Alamsyah Saragih,
Ketua Komisi Informasi Pusat ini patut dibaca oleh segenap kader KAMMI,
baik yang berada di level Komisariat (AB1), hingga elit-elit yang berada
di Pimpinan Pusat. Karena komprehensivitasnya dalam memaknai KAMMI, tak
berlebihan kiranya jika Rijalul Imam, Ketua Umum PP KAMMI menyebut buku
ini sebagai "Risalah Pergerakan KAMMI".
Maka, selamat menikmati serpihan gagasan intelektual KAMMI, selamat
menyelami kembali makna kita sebagai kader KAMMI.