Anda di halaman 1dari 4

PRO KONTRA UJIAN NASIONAL

« pada: November 29, 2009, 11:34:03 »

Hai sobat, gimana menurut kalian teantang Pelaksanaan Ujian Nasional di negara kita, kalian
setuju ndak..? Kalau aku terus terang aja tidak setuju, karena ini adalah sebuah sistem yang
dipaksakan. Aku sih tidak tau apa definisinya Ujian NAsional itu, tapi dari yang aku dengar dan
lihat di berita-berita, aku dapat menyimpulakn sendiri bahwa UJIAN NAIONAL itu adalah Ujian
yang dilaksanakan secara serentak bagi sekolah-sekolah yang ada diseluruh Indonesia, dengan
standart akademik berskala nasional, bagi siswa-siswa yang tidak memenuhi standart tsb, tidak
akan lulus.Mudahan-mudahan aja benar kalau salah tolong diluruskan dong

Dengan sistem ini menurut saya, pihak sekolah yang Nota benenya, tempat siswa dididik,
otoritas dan wewenangnya terpasung, atau pihak sekolah tidak berhak untuk meluluskan atau
tidak meluluskan siswanya, Nah pertanyaanya sekarang apakah menurut kalian, hanya dengan
nilai akademik yang digunakan sebagai acuan atau penentu siswa itu lulus atau tidak ?, terus
bagaimana dengan Sistem Paket A dan Paket C, dimana siswa yang  tidak lulus berhak ikut
Paket tersebut dan izazah yang diperoleh setara  dengan lulus SMP atau SMA dan berhak juga
ikut SIPENSIMARU di PT, penentuan lulus mereka ditentukan oleh DEPDIKNAS..Aku jadi
bingung nih..

Semestinya, kalau sistem ini diberlakukan secara nasional, standart sekolah-sekolah yang ada di
Indonesia, mulai dari sabang ampe Merauke harus sama, misalnya Gedungnya harus sama,
sarana-sarananya harus sama, guru-gurunya juga harus sama kwalitasnya, dll pokoknya
semuanya harus sama..ia ndak..baru sistem Ujian NAsional ini the best. Nah gimana menurut
kalian, samakah bentuk sekolah, sarana-sarananya, kwalitas gurunya sekolah sekolah-sekolah
kita yang ada di Negara Kita yang tercinta ini?

Kalau menurut saya, boleh aja Sistem Ujian NAsional ini diberlakukan, asalkan nanti kalau
dinyatakan lulus, terus mau masuk kuliah..nggak pake tes lagi di PT yang dituju..kan lulusnya
udah standart nasional  ia nggak teman-teman

Saya kira jangan ngulangi kesalahan lagi deh setelah S1 tanpa skripsi. Itu kesalahan negara paling fatal.
Akibatnya, banyak sarjana gak ngerti riset.
Ujian Nasional yang Selalu Memunculkan
Pro-Kontra
Siswa sebuah SMA di Jakarta, menandatangani seragam
rekannya saat pengumuman kelulusan UN, Senin (19/6).
[Foto: Ruht Semiono]

KERIANGAN dan duka, selalu mewarnai pengumuman


kelulusan ujian nasional (UN), tak terkecuali pada tahun
ajaran 2005/2006. Pemerintah dan Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP), Senin (19/6), dengan bangga
mengumumkan kenaikan persentase kelulusan siswa yang
mengikuti UN pada pertengahan Mei lalu. Untuk tingkat
SMA, kelulusan mencapai 92,5 persen (tahun lalu 80,76 persen), SMK 91 persen (78,29 persen)
dan MA 90,82 persen (80,37 persen). Bahkan, dipastikan tahun depan UN masih tetap
dilaksanakan.

Di balik peningkatan prestasi itu, ada juga yang harus berduka karena "tergelincir" pada nilai
matematika yang berada di bawah batas kelulusan 4,26, sehingga dinyatakan tak lulus UN. Itulah
yang dialami Bayu Taruna, siswa SMAN 71 Jakarta. Teman-teman Bayu di seluruh Indonesia
pun ada yang bernasib sama dengannya. Tak lulus UN karena nilai mata ujian matematika,
bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris, kurang dari 4,26 dan rata-rata nilai ketiganya kurang dari
4,5. UN ternyata tidak hanya menjadi momok bagi sebagian siswa, tetapi juga guru.

Momok UN pun dialami Purwati. Sebut saja namanya begitu. Meski merasa sakit, tetapi
keterangan dokter yang tengah memeriksanya membuat dia tenang. Kata dokter, kandungannya
yang memasuki bulan kelima tidak mengalami gangguan meski Purwati baru saja terjatuh di
teras rumahnya.

Sepulang sekolah, hujan yang mengguyur rumahnya membuat lantai teras rumah Pur, panggilan
akrabnya, menjadi licin. Apalagi ibu guru ini sudah lelah seharian mengajar. Akibatnya, Pur tak
bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.

Menjelang UN yang digelar pertengahan Mei lalu, membuat kesibukan Pur menjadi berlipat.
Dalam sehari, dia harus mengajar di tiga kelas. Semuanya melatih soal UN, sembari menebak
bagian mana yang akan keluar. Tak hanya di sekolah, setiap sore hingga malam, ruang tamunya
yang sempit telah berubah menjadi ruang belajar bagi siswanya yang meminta pelajaran
tambahan untuk menghadapi UN.

"Sebenarnya siswa yang meminta tambahan belajar banyak sekali, tetapi karena rumah saya kecil
dan juga capek, saya hanya menerima enam orang siswa saja," katanya. Selain itu, waktu Pur
juga tersita untuk mendengar keluhan orangtua yang stres karena anaknya menghadapi UN.
Banyak orangtua merasa tertekan, takut anaknya tidak lulus UN. Jadi mereka mengadu kepada
saya mengenai kondisi mereka. Malahan ada orangtua yang tekanan darahnya drop dan sulit
tidur. "Orangtua sangat takut kalau anaknya tidak lulus dan harus mengulang tahun depan,
karena tidak ada lagi ujian ulangan," katanya.

Pelaksanaan UN, menurut Pur, sebenarnya tak hanya membuat orangtua dan siswa menjadi
cemas. Sebagai guru dengan mata pelajaran yang diujikan dalam UN, Pur juga stres bila anak
didiknya tidak lulus. "Saya juga khawatir kalau anak tidak lulus. Apalagi tahun lalu, anak yang
tidak lulus adalah anak yang akhlaknya baik. Kita kasihan sekali, hanya karena nilai mata
pelajaran bahasa Inggrisnya kurang 0,01 dari batas kelulusan, dia tidak lulus. Untung ada UN
ulangan, sehingga tidak perlu menunggu satu tahun," kata guru yang sudah mengabdi hampir dua
belas tahun itu.

Protes

Kekhawatiran seperti itu memang menghantui benak jutaan guru di seluruh Indonesia. Sejak tiga
tahun lalu, saat pemerintah mengeluarkan kebijakan UN (dulu Ujian Akhir Nasional/UAN), pada
setiap bulan Mei, dipastikan terjadi ketegangan yang meningkat.

Pemerintah sendiri bukannya tak tahu mengenai kondisi riil di lapangan. Sudah banyak
dilakukan protes terhadap kebijakan tersebut. Mulai dari cara halus, berdialog dengan pengambil
kebijakan, hingga melakukan demonstrasi dan mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA).

"Sayangnya usaha kami masih mentok," kata Ketua Federasi Guru Independen Indonesia (FGII)
Suparman. Salah satu tudingan yang paling keras dilancarkan adalah UN telah menjadikan
sekolah sebagai lembaga bimbingan belajar. Contohnya, ya itu tadi. Para guru yang mengajar
mata pelajaran dalam UN kebanjiran "pasien". Segala daya upaya sekolah dikerahkan agar siswa
lulus UN. Berbagai trik dilakukan agar anak lulus dalam UN. Tak cukup hanya dengan
mengubah pola ala bimbingan belajar, sekolah pun menyiapkan tim sukses agar sekolah tidak
dibuat malu.

Awalnya, naiknya Bambang Sudibyo sebagai Menteri Pendidikan Nasional, cukup memberikan
harapan akan adanya perubahan dalam UN. Apalagi dalam dialog dengan Koalisi Pendidikan di
awal kepemimpinannya, Bambang pernah mengeluarkan pernyataan akan menghapuskan
kebijakan UN. Sayangnya, hal itu tidak direalisasikan dan malahan UN diatur dalam sebuah
peraturan pemerintah. Kesan pemaksaan agar UN dapat berjalan pun sangat kuat dengan
disahkannya PP No 19 Tahun 2004 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).

Yang membuat UN menjadi persoalan dan mendapat sorotan tajam adalah tujuan UN itu sendiri.
Selama empat tahun pelaksanaan UN, tidak pernah terdengar ada hasil evaluasi secara jelas yang
diberikan kepada pihak sekolah.

Dengan demikian tujuan UN sebagai dasar pemetaan tetap menjadi tanda tanya besar.
Pemborosan sudah pasti terjadi, karena UN menghabiskan dana yang tidak sedikit.
Perdebatan di DPR mengenai perlu-tidaknya UN, nyaris tak ada artinya. Betapapun kerasnya
mereka menyuarakan penolakan terhadap pelaksanaan UN, pemerintah tetap berkeras. Dengan
alasan pemetaan, pemerintah berkeras tetap melaksanakan UN. Padahal, bila hanya untuk
pemetaan, UN tak harus berlangsung setiap tahun.

Beragam kecurangan yang telah diprediksi, benar terjadi. Kebocoran soal hingga jawaban soal
yang diberikan guru kepada siswa dengan berbagai cara, tetap mewarnai pelaksanaan UN 2006.
Entah sampai kapan pelaksanaan UN akan selalu menimbulkan pro-kontra. [A-22]

Anda mungkin juga menyukai