Anda di halaman 1dari 3

Determinisme Kekuatan Ekonomi dan Demokratisasi:

Perbandingan Kasus Indonesia

Oleh Setiaji Wibowo, NPM: 0806346842

Indonesia, sebuah Negara yang baru-baru ini mulai melekatkan kata demokrasi dalam alam
pikiranya. Sejarah demokrasi Indonesia memang belum berurat akar karena ia dewasa ini baru
berjalan selama 13 tahun. Dulu, Indonesia pernah mengalami masa praktik demokrasi
parlementer sebelum kemudian dihentikan oleh Presiden Soekarno dengan alasan instabilitas
politik yang berkepanjangan.

Kini di babak baru ini, Indonesia mencoba untuk bisa semakin dewasa dalam berdemokrasi.
Laporan tahun 2010 Freedom House, sebuah institusi yang berfokus pada bidang studi
demokratisasi, menyatakan bahwa Indonesia saat ini adalah Negara yang semakin demokratis
dengan nilai PR (political rights) 2 dan CL (civil liberties) 3.1 Data ini jauh lebih baik dibanding
data tahun 1991 yang menunjukkan angka political rights 6 dan civil liberties 5.2

Terkait masalah demokratisasi di Asia, Wolfgang Merkel mencoba untuk menjelaskan fenomena
tersebut dalam beberapa segi: ekonomi dan demokrasi, kekuasaan dan demokrasi, capital sosial
dan demokrasi, dan agama dan demokrasi. Tulisan yang penulis susun ini akan mencoba untuk
menerapkan sudut pandang Merkel tentang hubungan ekonomi dan demokrasi melalui
perbandingan Indonesia dan beberapa Negara lainya.

Bagi Merkel, ekonomi memiliki pengaruh yang sangat besar atas tetap berlangsung atau tidaknya
demokrasi di suatu Negara. Negara yang pendapatan perkapitanya di bawah seribu dollar
Amerika dianggap akan sangat rentan terhadap ancaman de-demokratisasi. Sedangkan Negara
yang pendapatan perkapitanya di atas 6000 dolar Amerika Serikat akan mengalami hambatan

1
Dengan skala minimal 7 dan skala maksimal 1. Tujuh menunjukkankeadaan yang sangat tidak bebas dan satu
menunjukkan keadaan bebas.
2
Wolfgang Merkel, 2005. Demokrasi di Asia, Sejarah Benua antara Diktator dan Demokrasi (terj.) diterjemahkan
oleh Indarwati Pareira dan Andreas H. Pareira. Jakarta: Friedrich- Ebert-Stiftung. Hal. 68
yang sangat sedikit untuk proses demokratisasi (dalam hal ini ia mengutip pendapat
Przeworski).3

Sebagaimana yang kita ketahui, terjadi inflasi dalam skala regional dan internasional sehingga di
sini kita tidak akan melihat angka $ 1000 dan $ 6000, tapi premis bahwa Negara yang menganut
demokrasi dengan pedapatan perkapita yang lebih tinggi akan mengalami hambatan yang lebih
sedikit dalam berdemokrasi. Pendapatan perkapita Indonesia tahun 2010 menurut laporan IMF
adalah $ 4,380.

Ada dua hal yang harus dikritisi di sini. Pertama, pendapatan perkapita tidak bisa mencerminkan
kekuatan ekonomi suatu Negara secara pasti. Contoh kasus adalah Cina dan India yang
merupakan dua kekuatan ekonomi yang semakin berkembang di dunia saat, memiliki angka
pendapatan perkapita yang tidak tinggi. Cina hanya memiliki nilai $ 7,518 dan India hanya $
3,290. Lalu yang kedua, pendapatan perkapita yang tinggi tidak memastikan suatu Negara untuk
bisa berdemokrasi secara dewasa. Contoh misalnya tiga Negara yang termasuk berpendapatan
per kapita tertinggi di dunia: Qatar ($ 88,232), Singapura ($ 57,238), dan Brunei ($ 47,200).
Ketiga Negara tersebut ternyata memiliki nilai yang rendah dalam penghitungan freedom house.
Qatar memiliki nilai PR 6 dan CL 5, Singapura yang PR-nya bernilai 5 dan PL-nya bernilai 4,
dan Brunei yang memiliki angka PR 6 dan CL 5. Qatar dan Brunei merupakan Negara monarki
yang non-demokratis dan Singapura adalah Negara yang telah menjalankan demokrasi minimal
(pemilihan umum yang jujur dan adil), tapi terjebak pada penguasaan partai politik tertentu.

Kembali ke konteks Indonesia, apakah Indonesia sudah dianggap sebagai Negara yang memiliki
ekonomi tangguh? Jawaban yang bisa diberikan adalah tidak. Memang dulu Indonesia
merupakan Negara yang ekonominya diperhitungkan sebelum krisis ekonomi 1998, tapi
sekarang Indonesia adalah Negara yang secara umum dianggap sebagai Negara berkembang
biasa. Indonesia yang pendapatan perkapitanya tidak tinggi dan ekonominya tidak terlalu kuat
terbukti mendapatkan penilaian yang cukup baik dari freedom house. Sangat kontras dengan
keadaan Qatar, Singapura, dan Brunei yang berpendapatan perkapita tinggi, tapi mendapatkan
nilai pelaksanaan demokrasi yang buruk dari freedom house.

3
Ibid. hal. 44-46.
Jika memang ada hubungan pengaruh yang diberikan ekonomi pada demokrasi, lantas perlu
dipertanyakan sejauh mana pengaruh itu terjadi, apakah sangat kuat, kuat, cukup kuat kuat atau
kurang kuat. Memang tidak dapat dielakkan terdapat beberapa kejadian yang memperlihatkan
bahwa demokrasi bisa lebih baik dijalankan saat rakyatnya sudah lebih makmur, tetapi untuk
bisa mengambil suatu generalisasi yang diterapkan untuk setiap kasus, penulis rasa itu terlalu
berlebihan.

Daftar Pustaka

Merkel, Wolfgang, 2005. Demokrasi di Asia, Sejarah Benua antara Diktator dan Demokrasi (terj.)
diterjemahkan oleh Indarwati Pareira dan Andreas H. Pareira. Jakarta: Friedrich- Ebert-Stiftung

Anda mungkin juga menyukai