eribadah
Orang Sakit
Rica A. Kinth
an
&
Wiwi Robia
tul
"Allah Azza wa Jalla tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya" [al-Baqarah/ 2:286]
“Artinya : Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan” [Al-Hajj : 78]
7. Dibolehkan betayamum pada dinding, atau segala sesuatu yang suci dan
mengandung debu. Jika dindingnya berlapis sesuatu yang bukan dari
bahan tanah seperti cat misalnya,maka ia tidak boleh bertayamum
padanya kecuali jika cat itu mengandung debu.
8. Jika tidak mungkin bertayamum di atas tanah, atau dinding atau tempat
lain yang mengandung debu maka tidak mengapa menaruh tanah pada
bejana atau sapu tangan lalu bertayamum darinya.
9. Jika ia bertayamum untuk shalat lalu ia tetap suci sampai waktu shalat
berikutnya maka ia bisa shalat dengan tayamumnya tadi, tidak perlu
mengulang tayamum, karena ia masih suci dan tidak ada yang
membatalkan kesuciannya.
TATA CARA BERSUCI BAGI
ORANG YANG SAKIT
10. Orang yang sakit harus membersihkan tubuhnya dari najis, jika tidak mungkin
maka ia shalat apa adanya, dan shalatnya sah tidak perlu mengulang lagi.
11. Orang yang sakit wajib shalat dengan pakaian suci. Jika pakaiannya terkena najis
ia harus mencucinya atau menggantinya dengan pakaian lain yang suci. Jika hal
itu tidak memungkinkan maka ia shalat seadanya, dan shalatnya sah tidak perlu
mengulang lagi.
12. Orang yang sakit harus shalat di atas tempat yang suci. Jika tempatnya terkena
najis maka harus dibersihkan atau diganti dengan tempat yang suci, atau
menghamparkan sesuatu yang suci di atas tempat najis tersebut. Namun bila
tidak memungkinkan maka ia shalat apa adanya dan shalatnya sah tidak perlu
mengulang lagi.
13. Orang yang sakit tidak boleh mengakhirkan shalat dari waktunya karena ketidak
mampuannya untuk bersuci. Hendaknya ia bersuci semampunya kemudian
melakukan shalat tepat pada waktunya, meskipun pada tubuhnya, pakaiannya
atau tempatnya ada najis yang tidak mampu membersihkannya.
TATA CARA SHALAT ORANG SAKIT
Orang yang sakit harus melakukan shalat wajib dengan berdiri meskipun tidak
tegak, atau bersandar pada dinding, atau betumpu pada tongkat.
Bila sudah tidak mampu berdiri maka hendaknya shalat dengan duduk. Yang lebih
utama yaitu dengan posisi kaki menyilang di bawah paha saat berdiri dan ruku.
Bila sudah tidak mampu duduk maka hendaknya ia shalat berbaring miring
dengan bertumpu pada sisi tubuhnya dengan menghadap kiblat, dan sisi tubuh
sebelah kanan lebih utama sebagai tumpuan. Bila tidak memungkinkan
meghadap kiblat maka ia boleh shalat menghadap kemana saja, dan shalatnya
sah, tidak usah mengulanginya lagi.
Bila tidak bisa shalat miring maka ia shalat terlentang dengan kaki menuju arah
kiblat. Yang lebih utama kepalanya agak ditinggikan sedikit agar bisa menghadap
kiblat. Bila tidak mampu yang demikian itu maka ia bisa shalat dengan batas
kemampuannya dan nantinya tidak usah mengulang lagi.
TATA CARA SHALAT ORANG SAKIT
Orang yang sakit wajib melakukan ruku dan sujud dalam shalatnya. Bila tidak
mampu maka bisa dengan isyarat anggukan kepala. Dengan cara untuk sujud
anggukannya lebih ke bawah ketimbang ruku. Bila masih mampu ruku namun
tidak bisa sujud maka ia ruku seperti biasa dan menundukkan kepalanya untuk
mengganti sujud. Begitupula jika mampu sujud namun tidak bisa ruku, maka ia
sujud seperti biasa saat sujud dan menundukkan kepala saat ruku.
Apabila dalam ruku dan sujud tidak mampu lagi menundukkan kepalanya maka
menggunakan isyarat matanya. Ia pejamkan matanya sedikit untuk ruku dan
memejamkan lebih banyak sebagai isyarat sujud. Adapun isyarat dengan telunjuk
yang dilakukan sebagian orang yang sakit maka saya tidak mengetahuinya hal itu
berasal dari kitab, sunnah dan perkataan para ulama.
Jika dengan anggukan dan isyarat mata juga sudah tidak mampu maka
hendaknya ia shalat dengan hatinya. Jadi ia takbir, membaca surat, niat ruku,
sujud, berdiri dan duduk dengan hatinya (dan setiap orang mendapatkan sesuai
yang diniatkannya).
TATA CARA SHALAT ORANG SAKIT
Orang sakit tetap diwajibkan shalat tepat pada waktunya pada setiap shalat.
Hendaklah ia kerjakan kewajibannya sekuat dayanya. Jika ia merasa kesulitan
untuk mengerjakan setiap shalat pada waktunya, maka dibolehkan menjamak
dengan shalat diantara waktu akhir dzhuhur dan awal ashar, atau antara akhir
waktu maghrib dengan awal waktu isya. Atau bisa dengan jama taqdim yaitu
dengan mengawalkan shalat ashar pada waktu dzuhur, dan shalat isya ke waktu
maghrib. Atau dengan jamak ta’khir yaitu mengakhirkan shalat dzuhur ke waktu
ashar, dan shalat maghrib ke waktu isya, semuanya sesuai kondisi yang
memudahkannya. Sedangkan untuk shalat fajar, ia tidak bisa dijamak kepada
yang sebelumnya atau ke yang sesudahnya.
Apabila orang sakit sebagai musafir, pengobatan penyakit ke negeri lain maka ia
mengqashar shalat yang empat raka’at. Sehingga ia melakukan shalat dzuhur,
ashar dan isya, dua raka’at-raka’at saja sehingga ia pulang ke negerinya kembali
baik perjalanannya lama ataupun sebentar.
Sikap terhadap pengobatan
Alternatif