Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Malaria merupakan penyakit infeksi parasitik terpenting di dunia, dengan prakiraan satu miliar
orang berada dalam risiko tertular penyakit ini. Setiap tahunnya, diperkirakan sekitar 100 juta
kasus penyakit malaria terjadi, sekitar 1% diantaranya berakibat fatal berupa kematian, sebagian
besar anak-anak yang berumur dibawah 5 tahun. Sejak tahun 1950 penyakit malaria telah
berhasil dibasmi di hampir seluruh benua Eropa dan di daerah seperti Amerika Tengah dan
Amerika Selatan. Namun penyakit ini masih menjadi masalah besar di beberapa bagian benua
Afrika dan Asia Tenggara yang pada umumnya negara berkembang dan berada pada wilayah
tropis. Seperti kebanyakan penyakit tropis lainnya, malaria merupakan penyebab utama kematian
di negara berkembang (Prasetyo, 2006).
Indonesia setiap tahunnya terdapat sekitar 15 juta penderita malaria klinis yang mengakibatkan
30.000 orang meninggal dunia (Depkes, 2003). Sedangkan pada tahun 2010, penemuan kasus
malaria telah mencapai 1,96 per 1.000 penduduk. Umumnya malaria ditemukan pada daerah-
daerah terpencil dan sebagian besar penderitanya dari golongan ekonomi lemah. Angka
kesakitan malaria sejak 4 tahun terakhir menunjukkan peningkatan. Di Jawa dan Bali meningkat
dari 0.12 per 1000 penduduk pada tahun 1997 menjadi 0.52 per 1000 penduduk pada tahun 1999,
pada tahun 2001 0.62 per 1000 penduduk dan pada tahun 2002 0.47 kasus per 1.000. Di luar
Jawa dan Bali meningkat dari 16.0 per 1000 penduduk pada tahun 1997 menjadi 25.0 per 1000
penduduk pada tahun 1999, pada tahun 2001 26.2 per 1000 penduduk dan pada tahun 2002 19.65
kasus per 1000 penduduk. Selama tahun 1998-2000 kejadian luar biasa (KLB) malaria terjadi di
11 propinsi yang meliputi 13 kabupaten di 93 desa dengan jumlah penderita hampir 20.000 orang
dengan 74 kematian (Depkes, 2003). Malaria mudah menyebar pada sejumlah penduduk,
terutama yang bertempat tinggal di daerah persawahan, perkebunan, kehutanan maupun pantai
(Anies, 2005).
B. Tujuan
1. Mengetahui jenis spesies nyamuk Anopheles beserta ciri-cirinya.
2. Mengetahui metode pengendalian nyamuk Anopheles.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Tipe Spesies Anopheles
Nyamuk ANOPHELENI yang berperan sebagai vektor malaria hanyalah genus Anopheles. Di
seluruh dunia, genus Anopheles jumlahnya kurang lebih 2000 spesies, diantarannya 60 spesies
sebagai vektor malaria. Jumlah nyamuk ANOPHELINI di Indonesia kira-kira 80 spesies dan 16
spesies telah dibuktikan berperan sebagai vektor malaria yang berbeda dari satu daerah ke daerah
lain tergantung kepada bermacam-macam faktor, seperti penyebaran geografik, iklim, dan
tempat perindukan (Gandahusada, 2006).
Gambar 1. Distribusi Nyamuk Anopheles di Indonesia (Sukadi, 2009)
Ada beberapa spesies Anopheles yang penting sebagai vektor malaria di Indonesia antara lain:
1. Anopheles sundaicus
An. Sundaicus pertama sekali ditemukan oleh Rodenwalt pada tahun 1925. Pada vektor jenis ini
umurnya lebih sering menghisap darah manusia dari pada darah binatang. Nyamuk ini aktif
menggigit sepanjang malam tetapi paling sering antara pukul 22.00 - 01.00 dini hari. Pada waktu
malam hari nyamuk masuk ke dalam rumah untuk mencari darah, hinggap didinding baik
sebelum maupun sesudah menghisap darah (Hiswani, 2004) .
Spesies ini terdapat di Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Bali. Jentiknya ditemukan pada
air payau yang biasanya terdapat tumbuh-tumbuhan enteromorpha, chetomorpha, dengan kadar
garam adalah 1,2 sampai 1,8%. Di Sumatra, jentik ditemukan pada air tawar seperti Mandailing
dengan ketinggian 210 m dari permukaan laut dan Danau Toba pada ketinggian 1000 m
(Hiswani, 2004) .
Masih menurut Hiswani (2004), perilaku istirahat nyamuk ini sangat berbeda antara lokasi yang
satu dengan lokasi yang lainnya. Di pantai Selatan Pulau Jawa dan pantai Timur Sumatera Utara,
pada pagi hari, sedangkan di daerah Cilacap dan lapangan dijumpai pada pagi hingga siang hari.
Jenis vektor An. Sundaicus istirahat dengan hinggap didinding rumah penduduk. Jarak terbang
An. Sundaicus betina cukup jauh. Pada musim densitas tinggi, masih dijumpai nyamuk betina
dalam jumlah cukup banyak disuatu tempat yang berjarak kurang lebih 3 kilometer (Km) dari
tempat perindukan nyamuk tersebut.
Vektor An. Sundaicus biasanya berkembang biak di air payau, yaitu campuran antara air tawar
dan air asin, dengan kadar garam optimum antara 12% -18%. Penyebaran jentik ditempat
perindukan tidak merata dipermukaan air, tetapi terkumpul ditempat-tempat tertutup seperti
diantara tanaman air yang mengapung, sampah dan rumput - rumput dipinggir Sungai atau pun
parit. Genangan air payau yang digunakan sebagai tempat berkembang biak adalah yang terbuka
yang mendapat sinar matahari langsung. Seperti pada muara sungai, tambak ikan, galian -galian
yang terisi air di sepanjang pantai dan lain –lain (Hiswani, 2004) .
2. Anopheles aconitus
Menurut Hiswani (2004), vektor An. Aconitus pertama sekali ditemukan oleh Donitz pada tahun
1902. Vektor jenis An. aconitus betina paling sering menghisap darah ternak dibandingkan darah
manusia. Perkembangan vektor jenis ini sangat erat hubungannya dengan lingkungan dimana
kandang ternak yang ditempatkan satu atap dengan rumah penduduk.
Di Indonesia nyamuk ini terdapat hampir diseluruh kepulauan, kecuali Maluku dan Irian.
Biasanya dijumpai di daratan rendah tetapi lebih banyak di daerah kaki gunung dengan
ketinggian 400-1000 m dengan persawahan bertingkat. Nyamuk ini merupakan vektor pada
daerah tertentu di Indonesia, terutama di Tapanuli, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Bali. Biasanya
aktif mengigit pada waktu malam hari, hampir 80% dari vektor ini bisa dijumpai diluar rumah
penduduk antara jam 18.00 -22.00. Nyamuk jenis Aconitus ini hanya mencari darah di dalam
rumah penduduk. Setelah itu biasanya langsung keluar. Nyamuk ini biasanya suka hinggap di
daerah-daerah yang lembab. Seperti dipinggir-pinggir parit, tebing sungai, dekat air yang selalu
basah dan lembab (Hiswani, 2004).
Tempat perindukan vektor Aconitus terutama didaerah pesawahan dan saluran irigasi.
Persawahan yang berteras merupakan tempat yang baik untuk perkembangan nyamuk ini. Selain
disawah, jentik nyamuk ini ditemukan pula ditepi sungai yang airnya mengalir perlahan dan
kolam air tawar. Distribusi dari An. Aconitus, terdapat hubungan antara densitas dengan umur
padi disawah. Densitas mulai meninggi setelah tiga - empat minggu penanaman padi dan
mencapai puncaknya setelah padi berumur lima sampai enam minggu (Hiswani, 2004).
3. Anopheles barbirotris
Vektor An. Barbirotris pertama sekali diidentifikasi oleh Van der Wulp pada tahun 1884. Spesies
ini tersebar di seluruh Indonesia, baik di daratan tinggi maupun di daratan rendah. Jentik
biasanya terdapat dalam air yang jernih, alirannya tidakbegitu cepat, ada tumbuh-tumbuhan air
pada tempat yang agak teduh seperti pada saah dan parit. Jenis nyamuk ini di Sumatera dan Jawa
jarang dijumpai menggigit orang tetapi lebih sering dijumpai menggigit binatang peliharaan.
Sedangkan pada daerah Sulawesi, Nusa Tenggara Timur dan Timor- Timur nyamuk ini lebih
sering menggigit manusia daripada binatang. Jenis nyamuk ini biasanya mencari darah pada
waktu malam hingga dini hari berkisar antara pukul 23.00 -05.00. Frekuensi mencari darah tiap
tiga hari sekali (Hiswani, 2004).
4. Anopheles kochi
Spesies ini tersebar di seluruh Indonesia, kecuali Irian. Jentik biasanya ditemukan pada tempat
perindukan terbuka seperti genangan air, bekas tapak kaki kerbau, kubangan dan sawah siap
ditanami (Hiswani, 2004).
5. Anopheles maculatus
Vektor An. Maculatus pertama sekali ditemukan oleh Theobaldt pada tahun 1901. Vektor An.
Maculatus betina lebih sering mengihisap darah binatang daripada darah manusia. Vektor jenis
ini aktif mencari darah pada malam hari antara pukul 21.00 hingga 03.00. Penyebaran spesies ini
di Indonesia sangat luas, kecuali Maluku dan Irian. Spesies ini terdapat di daerah pegunungan
sampai ketinggian 1600 m diatas permukaan air laut. Jentik ditentukan pada air jernih dan
banyak kena sinar matahari (Hiswani, 2004).
Nyamuk ini berkembang biak di daerah pegunungan. Dimana tempat perindukan yang spesifik
vektor An. Maculatus adalah di sungai yang kecil dengan air jernih, mata air yang mendapat
sinar matahari langsung. Di kolam dengan air jemih juga ditemukan jentik nyamuk ini, meskipun
densitasnya rendah. Densitas An. Maculatus tinggi pada musim kemarau, sedangkan pada musim
hujan vektor jenis ini agak berkurang karena tempat perindukan hanyut terbawa banjir (Hiswani,
2004).
6. Anopheles subpictus
Spesies ini terdapat diseluruh wwilayah Indonesia. Nyamuk ini dapat dibedakan menjadi dua
spesies yaitu (Hiswani, 2004):
a) Anopheles subpictus subpictus
Jenik ditemukan di daratan rendah, kadang-kadang ditemukan dalam air payau dengan kadar air
tinggi.
b) Anopheles subpictus malayensis
Spesies ini ditemukan pada dataran rendah sampai dataran tinggi. Jentik ditemukan pada air
tawar, pada kolam yang penuh dengan rumput pada selokan parit.
7. Anopheles balabacensis
Spesies ini terdapat di Purwakarta, Jawa Barat, Balik Papan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan
Selatan. Jentik ditemukan pada genangan air bekas tapak binatang, pada kubangan bekas roda,
dan parit yang aliran airnya terhenti.
A.1 Siklus Hidup Anopheles
Nyamuk Anopheles mengalami metamorfosis sempurna. Telur yang diletakkan oleh nyamuk
betina, menetas menjadi larva yang kemudian melakukan pengelupasan kulit sebanyak 4 kali,
lalu tumbuh menjadi pupa dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa jantan atau betina. Waktu yang
diperlukan untuk pertumbuhan sejak telur diletakkan sampai menjadi dewasa bervariasi antara 2-
5 minggu, tergantung kepada spesies, makanan yang tersedia dan suhu udara (Gandahusada,
1998).
Nyamuk jantan dan betina dewasa perbandingan 1 : 1, nyamuk jantan keluar terlebih dahulu dari
kepompong, baru disusul nyarnuk betina, dan nyamuk jantan tersebut akan tetap tinggal di dekat
sarang, sampai nyamuk betina keluar dari kepompong, setelah jenis betina keluar, maka nyamuk
jantan akan langsung mengawini betina sebelum mencari darah. Selama hidupnya nyamuk betina
hanya sekali kawin. Dalam perkembangan telur tergantung kepada beberapa faktor antara lain
temperatur dan kelembaban serta species dari nyamuk (Nurmaini, 2003).
A.1.1 Perkembangan Telur Anopheles
Stadium telur Anopheles diletakkan satu persatu di atas permukaan air, biasanya peletakkan
dilakukan pada malam hari. Telur berbentuk seperti perahu yang bagian bawahnya konveks dan
bagian atasnya konkaf dan mempunyai sepasang pelampung yang terletak pada sebuah lateral
sehingga telur dapat mengapung di permukaan air. Jumlah telur yang dikeluarkan oleh nyamuk
betina Anopheles bervariasi, biasanya antara 100-150 butir (Santoso, 2002).
Telur Anopheles tidak dapat bertahan lama di bawah permukaan air. Telur-telur Anopheles yang
terdapat di bawah permukaan air dalam waktu lama (melebihi 92 jam) akan gagal menetas,
sedangkan kondisi suhu yang menguntungkan bagi telur Anopheles adalah antara 280C-360C.
Suhu di bawah 200C dan di atas 400C adalah suhu yang tidak menguntungkan bagi
perkembangan telur. Pada suhu 520C seluruh telur akan mati dan suhu 500C adalah suhu terendah
bagi telur untuk dapat bertahan (Santoso, 2002).
A.1.2 Perkembangan Larva Anopheles
Larva Anopheles bersifat akuatik yakni mempunyai habitat hidup di air. Larva ini mempunyai 4
bentuk (instar) pertumbuhan. Masing-masing instar mempunyai ukuran dan bulu yang berbeda
(Santoso, 2002). Stadium larva Anopheles yang di tempat perindukan tampak mengapung sejajar
dengan permukaan air dan spirakelnya selalu kontak dengan udara luar. Sekali- sekali larva
Anopheles mengadakan gerakan-gerakan turun ke dalam/bawah untuk menghindari
predator/musuh alaminya atau karena adanya rangsangan di permukaan seperti gerakan-gerakan
dan lain-lain.
Perkembangan hidupnya larva nyamuk memerlukan kondisi lingkungan yang mengandung
makanan antara lain mikroorganisme terutama bakteri, ragi dan protozoa yang cukup kecil
sehingga dapat dengan mudah masuk mulutnya (Santoso, 2002).
A.1.3 Perkembangan pupa Anopheles
Stadium pupa merupakan masa tenang. Pada umumnya pupa tidak aktif bila memasuki stadium
ini, pupa nyamuk dapat melakukan gerakan-gerakan yang aktif, dan bila sedang tidak aktif maka
pupa ini akan berada mengapung pada permukaan air. Kemampuannya mengapung disebabkan
oleh adanya ruang udara yang cukup besar yang berada pada sisi bawah sefalotoraks. Pupa tidak
menggunakan rambut dan kait untuk dapat melekat pada permukaan air, tetapi dengan bantuan
dua terompet yang cukup besar yang berfungsi sebagai spirakel dan dua rambut panjang stellate
yang berada pada segmen satu abdomen (Santoso, 2002).
Stadium pupa mempunyai tabung pernapasan (Respiratory trumpet) yang bentuknya lebar dan
pendek dan digunakan untuk pengambilan O2 dari udara (Gandahusada, 1998). Perubahan dari
pupa menjadi dewasa biasanya antara 24 jam sampai dengan 48 jam. Tetapi hal ini akan sangat
bergantung pada kondisi lingkungan terutama suhu (Santoso, 2002).
A.1.4 Perkembangan Nyamuk Dewasa

Gambar 1. Nyamuk Anopheles dewasa


Pada stadium dewasa palpus nyamuk jantan dan nyamuk betina mempunyai panjang hampir
sama dengan panjang probosisnya. Perbedaannya adalah pada nyamuk jantan ruas palpus bagian
apikal berbentuk gada (club form), sedangkan pada nyamuk betina ruas tersebut mengecil. Sayap
pada bagian pinggir (kosta dan vena) ditumbuhi sisik-sisik sayap yang berkelompok membentuk
gambaran belang-belang hitam dan putih. Di samping itu, bagian bagian ujung sisik sayap
membentuk lengkung (tumpul). Bagian posterior abdomen tidak seruncing nyamuk Aedes dan
juga tidak setumpul nyamuk Mansonia, tetapi sedikit melancip (Gandahusada, 1998).
A.2 Bionomi Anopheles
A.2.1 Perilaku Berkembang Biak
Nyamuk Anopheles betina mempunyai kemampuan memilih tempat perindukan atau tempat
untuk berkembang biak yang sesuai dengan kesenangan dan kebutuhannya Ada species yang
senang pada tempat-tempat yang kena sinar matahari langsung (An. sundaicus), ada pula yang
senang pada tempat-tempat teduh (An. umrosus). Species yang satu berkembang dengan baik di
air payau (campuran tawar dan air laut) misalnya (An. Aconitus) dan seterusnya Oleh karena
perilaku berkembang biak ini sangat bervariasi, maka diperlukan suatu survai yang intensif untuk
inventarisasi tempat perindukan, yang sangat diperlukan dalam program pemberantasan.
Kepadatan populasi nyamuk Anopheles sangat dipengaruhi oleh musim tanam padi. Jentik-jentik
nyamuk ini mulai ditemukan di sawah kira-kira pada padi berumur 2-3 minggu setelah tanam
dan paling banyak ditemukan pada saat tanaman padi mulai berbunga sampai menjelang panen.
Di daerah yang musim tanamnya tidak serempak dan sepanjang tahun ditemukan tanaman padi
pada berbagai umur, maka nyamuk ini ditemukan sepanjang tahun dengan dua puncak kepadatan
yang terjadi sekitar bulan Pebruari-April dan sekitar bulan Juli-Agustus. An. balabacencis dan
An. maculatus adalah dua spesies nyamuk yang banyak ditemukan di daerah-daerah pegunungan
non persawahan dekat hutan. Kedua spesies ini banyak dijumpai pada peralihan musim hujan ke
musim kemarau dan sepanjang musim kemarau.
Gambar 2. Tempat Perkembangbiakan Anopheles (Sukadi, 2009)
Tempat perkembangbiakannya di genangan-genangan air yang terkena sinar matahari langsung
seperti genganan air di sepanjang sungai, pada kobakan-kobakan air di tanah, di mata air-mata
air dan alirannya, dan pada air di lubang batu-batu (Barodji, 1987 dalam Saputra, 2001).
Kepadatan jentik nyamuk An. balabacencis bisa ditemukan baik pada musim penghujan maupun
pada musim kemarau. Jentik-jentik An. balabacencis ditemukan di genangan air yang berasal
dari mata air, seperti penampungan air yang dibuat untuk mengairi kolam, untuk merendam
bambu/kayu, mata air, bekas telapak kaki kerbau dan kebun salak. Dari gambaran di atas tempat
perindukan An. balabacencis tidak spesifik seperti An. maculatus dan An. aconitus, karena jentik
An. Balabacencis dapat hidup di beberapa jenis genganan air, baik genangan air hujan maupun
mata air, pada umumnya kehidupan jentik An. balabacencis dapat hidup secara optimal pada
genangan air yang terlindung dari sinar matahari langsung, diantara tanaman/vegetasi yang
homogen seperti kebun salak, kebun kapulaga dan lain-lain. An. maculatus yang umum
ditemukan di daerah pegunungan, ditemukan pula di daerah persawahan dan daerah pantai yang
ada sungai kecil-kecil dan berbatu-batu (Barodji 1987 dalam Saputra 2001)
Puncak kepadatan An. maculatus dipengaruhi oleh musim, pada musim kemarau kepadatan
meningkat, hal ini disebabkan banyak terbentuk tempat perindukan berupa genangan air di
pinggir sungai dengan aliran lambat atau tergenang. Perkembangbiakan nyamuk An. maculatus
cenderung menurun bila aliran sungai menjadi deras (flushing) yang tidak memungkinkan
adanya genangan di pinggir sungai sebagai tempat perindukan (Saputra, 2001).
Gambar 3. Tempat Perkembangbiak Nyamuk Anopheles (Sukadi, 2009)

Gambar 4. Tempat Perkembangbiak Nyamuk Anopheles (Sukadi, 2009)


An. sundaicus dijumpai di daerah pantai, tempat perindukannnya adalah di air payau dengan
salinitas antara 0-25 per mil, seperti rawa-rawa berair payau, tambak-tambak ikan tidak terurus
yang banyak ditumbuhi lumut, lagun, muara-muara sungai yang banyak ditumbuhi tanaman air
dan genangan air di bawah hutan bakau yang kena sinar matahari dan berlumut (Hiswani, 2004).
A.2.2 Tempat Perindukan
Tempat perindukan nyamuk Anopheles bermacam-macam tergantung kepada spesies dan dapat
dibagi menurut 3 kawasan (zone) yaitu kawasan pantai, kawasan pedalaman, dan kawasan kaki
gunung dan gunung (Gandahusada, 1998). Di kawasan pantai dengan tanaman bakau danau di
pantai atau laguna, rawa dan empang sepanjang pantai , ditemukan Anopheles Sundaicus dan An.
Subpictus yang menggunakan tempat perindukan tersebut terutama danau di pantai dan empang.
Di kawasan pedalaman yang ada sawah, rawa, empang, dan saluran air irigasi ditemukan An.
Aconitus, An. Barbirostris, An. Subpictus, An. Nigeerrimus, dan An. Sinesis. Di kawasan kaki
gunung dengan perkebunan atau hutan ditemukan An. Balabacencis , sedangkan di daerah
gunung ditemukan An. Maculatus (Gandahusada, 1998). Hal tersebut juga dijelaskan oleh
Hiswan (2004) bahwa penyebaran nyamuk jenis ini mempunyai hubungan cukup kuat dengan
curah hujan disuatu daerah.
A.2.3. Tempat Istirahat (Resting Place)
Istirahat bagi nyamuk mempunyai 2 macam artinya: istirahat yang sebenarnya selama waktu
menunggu proses perkembangan telur dan istirahat sementara yaitu pada waktu nyamuk sedang
aktif mencari darah. Meskipun pada umumnya nyamuk memilih tempat yang teduh, lembab dan
aman untuk beristirahat tetapi apabila diteliti lebih lanjut tiap species ternyata mempunyai
perilaku yang berbeda-beda. Ada spesies yang halnya hinggap tempat-tempat dekat dengan tanah
(An. Aconitus) tetapi ada pula species yang hinggap di tempat-tempat yang cukup tinggi
(An.Sundaicus) (Damar, 2002).
Pada waktu malam ada nyamuk yang masuk kedalam rumah hanya untuk menghisap darah orang
dan kemudian langsung keluar. Ada pula yang baik sebelum maupun sesudah menghisap darah
orang akan hinggap pada dinding untuk beristirahat. Tempat istirahat alam nyamuk Anopheles
berbeda berdasarkan spesiesnya. Tempat istirahatnya An. aconitus pada pagi hari umumnya
dilubang seresah yang lembab dan teduh (Damar, 2002).
Tempat istirahat An. aconitus pada umumnya di tempat yang mempunyai kelembaban tinggi dan
intensitas cahaya rendah, serta di lubang tanah bersemak. An. aconitus hinggap di tempat-tempat
dekat tanah. Nyamuk ini biasanya hinggap di daerah-daerah yang lembab, seperti di pinggir-
pinggir parit, tebing sungai, dekat air yang selalu basah dan lembab (Hiswani, 2004).
Tempat istirahat An. balabacencis pada pagi hari umumnya di lubang seresah yang lembab dan
teduh, terletak ditengah kebun salak (Damar, 2002). An. balabacencis juga ditemukan di tempat
yang mempunyai kelembaban tinggi dan intensitas cahaya yang rendah serta di lubang tanah
bersemak (Harijanto, 2000). Di luar rumah tempat istirahat An. maculatus adalah di pinggiran
sungai-sungai kecil dan di tanah yang lembab. Perilaku istirahat nyamuk An. sundaicus ini
biasanya hinggap di dinding-dinding rumah penduduk (Hiswani, 2004).
A.2.4 Tempat mencari makan (Feeding place)
Hanya nyamuk betina yang menghisap darah. Nyamuk Anopheles aconitus lebih suka berada di
luar rumah dan menggigit di waktu senja sampai dengan dini hari (eksofagik) serta mempunyai
jarak terbang yang jauh 1,6 km sampai dengn 2 km. nyamuk ini bersifat suka menggigit binatang
(zoofilik) dari pada sifat suka gigit manusia (antrophofilik). Perilaku mencari darah nyamuk
dapat ditinjau dari beberapa segi yaitu (Hiswani, 2004).
Perilaku mencari darah dikaitkan dengan waktu. Nyamuk anopheles pada umumnya aktif
mencari darah pada waktu malarn hari. apabila dipelajari dengan teliti. ternyata tiap spesies
mempunyai sifat yang tertentu, ada spesies yang aktif mulai senja hingga menjelang tengah
malam dan sampai pagi hari (Hiswani, 2004)..
Perilaku mencari darah dikaitkan dengan tempat apabila dengan metode yang sama kita adakan.
Penangkapan nyarnuk didalam dan diluar rumah maka dari hasil penangkapan tersebut dapat
diketahui ada dua golongan nyamuk, yaitu: eksofagik yang lebih senang mencari darah diluar
rumah dan endofagik yang lebih senang mencari darah didalam rumah (Hiswani, 2004).
Perilaku mencari darah dikaitkan dengan sumber darah. Berdasarkan macam darah yang
disenangi, kita dapat membedakan atas: antropofilik apabila lebih senang darah manusia, dan
zoofilik apabila nyamuk lebih senang menghisap darah binatang dan golongan yang tidak
mempunyai pilihan tertentu (Hiswani, 2004).
Frekuensi menggigit, telah diketahui bahwa nyamuk betina biasanya hanya kawin satu kali
selama hidupnya Untuk mempertahankan dan memperbanyak keturunannya, nyamuk betina
hanya memerlukan darah untuk proses pertumbuhan telurnya. Tiap sekian hari sekali nyamuk
akan mencari darah. Interval tersebut tergantung pada species, dan dipengaruhi oleh temperatur
dan kelembaban, dan disebut siklus gonotrofik. Untuk iklim Indonesia memerlukan waktu antara
48-96 jam (Hiswani, 2004).
A.2.5 Lingkungan
Lingkungan yang berpengaruh pada penyebaran nyamuk Anopheles adalah sebagai berikut:
1) Lingkungan fisik
Menurut Harijanto (2000), Faktor geografi dan meteorologi di Indonesia sangat menguntungkan
transmisi nyamuk Anopheles di Indonesia, seperti :
a) Suhu
Nyamuk adalah binatang berdarah dingin sehingga proses metabolisme dan siklus kehidupannya
tergantung pada suhu lingkungan, tidak dapat mengatur suhu tubuhnya sendiri terhadap
perubahan-perubahan di luar tubuhnya. Nyamuk dapat bertahan hidup pada suhu rendah tetapi
proses metabolismenya menurun bahkan terhenti bila suhu turun sampai suhu kritis. Pada suhu
yang lebih tinggi dari 35 ºC, juga mengalami perubahan. Suhu rata-rata optimum untuk
pertumbuhan nyamuk 25º – 27ºC. Toleransi suhu tergantung pada species nyamuknya, species
nyamuk tidak tahan pada suhu 5º – 6ºC (Harijanto, 2000).
Kecepatan perkembangan nyamuk tergantung dari kecepatan metabolisme yang sebagian diatur
oleh suhu seperti lamanya masa pra dewasa, kecepatan pencernaan darah yang dihisap,
pematangan dari indung telur, frekuensi mengambil makanan atau mengigit berbeda-beda
menurut suhu (Harijanto, 2000).
b) Kelembaban
Kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk. Tingkat kelembaban 60 % merupakan
batas paling rendah untuk memungkinkan hidup nyamuk. Kelembaban juga berpengaruh
terhadap kemampuan terbang nyamuk. Badan nyamuk yang kecil mempunyai permukaan yang
besar oleh karena sistem pernapasan dengan trachea. Pada waktu terbang, nyamuk memerlukan
oksigen lebih banyak sehingga trachea terbuka. Dengan demikian penguapan air dari tubuh
nyamuk menjadi lebih besar. Untuk mempertahankan cadangan air dalam tubuh dari penguapan,
maka jarak terbang nyamuk terbatas. Kelembaban udara menjadi faktor yang mengatur cara
hidup nyamuk, beradaptasi pada keadaan kelembaban yang tinggi dan pada suatu ekosistem
kepulauan atau ekosistem hutan. Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk menjadi lebih aktif
dan lebih sering menggigit (Harijanto, 2000).
c) Hujan
Hujan menyebabkan naiknya kelembaban udara dan menambah jumlah tempat
perkembangbiakan (breeding places). Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis dan
derasnya hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan. Hujan yang diselingi panas akan
memperbesar kemungkinan berkembang biaknya nyamuk Anopheles (Harijanto, 2000).
d) Ketinggian
Setiap ketinggian naik 100 meter maka selisih udara dengan tempat semula ½ ºC. Bila perbedaan
tempat cukup tinggi, maka perbedaan suhu udara juga cukup banyak dan mempengaruhi faktor-
faktor yang lain, termasuk penyebaran nyamuk (Harijanto, 2000).
e) Angin
Angin secara langsung berpengaruh pada penerbangan nyamuk dan ikut menentukan jumlah
kontak antara nyamuk dan manusia. Kecepatan angin 11 – 14 m/det atau 25 – 31 mil/jam akan
menghambat penerbangan nyamuk (Harijanto, 2000).
f) Sinar matahari
Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. An. sundaicus lebih
suka tempat yang teduh. An. hyrcanus dan An. punctulatus lebih menyukai tempat yang terbuka.
An. barbirostris dapat hidup baik di tempat yang teduh maupun yang terang (Harijanto, 2000).
g) Arus air
An. barbirostris menyukai perindukan yang airnya statis/ mengalir lambat, sedangkan An.
minimus menyukai aliran air yang deras dan An. letifer menyukai air tergenang (Harijanto,
2000).
2) Lingkungan Biologik
Keadaan lingkungan sekitar penduduk seperti adanya tumbuhan salak, bakau, lumut, ganggang
dapat mempengaruhi kehidupan larva, karena ia dapat menghalangi sinar matahari atau
melindungi dari serangan mahluk hidup lainnya. Adanya berbagai jenis ikan pemangsa larva
seperti ikan kepala timah (Panchax spp), gambusia, nila, mujair dan lain-lain akan mengurangi
populasi nyamuk di suatu daerah. Begitu pula adanya hewan piaraan seperti sapi, kerbau dan
babi dapat mempengaruhi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, bila ternak tersebut kandangnya
tidak jauh dari rumah (Harijanto, 2000).
3) Lingkungan Sosial Budaya
Sosial budaya juga berpengaruh terhadap kejadian malaria seperti: kebiasaan keluar rumah
sampai larut malam, di mana vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan
kontak dengan nyamuk. Tingkat kesadaran masyarakat tentang bahaya malaria akan
mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk memberantas malaria seperti penyehatan
lingkungan, menggunakan kelambu, memasang kawat kasa pada rumah dan menggunakan racun
nyamuk. Berbagai kegiatan manusia seperti pembuatan bendungan, pembuatan jalan,
pertambangan dan pembangunan pemukiman baru/transmigrasi sering mengakibatkan perubahan
lingkungan yang menguntungkan penyebaran nyamuk Anopheles (Harijanto, 2000).
B. Metodologi Pengendalian
Dalam pengendalian vektor tidaklah mungkin dapat dilakukan pembasmian sampai tuntas, yang
mungkin dan dapat dilakukan adalah usaha mengurangi dan menurunkan populasi kesuatu
tingkat yang tidak membahayakan kehidupan manusia. Namun hendaknya dapat diusahakan agar
segala kegiatan dalam rangka memurunkan populasi vektor dapat mencapai hasil yang baik.
Untuk itu perlu diterapkan teknologi yang sesuai, bahkan teknologi sederhanapun, yang penting
di dasarkan prinsip dan konsep yang benar ( Nurmaini, 2003).
Adapun prinsip dasar dalam pengendalian vektor yang dapat dijadikan sebagai pegangan sebagai
berikut ( Nurmaini,2003):
1) Pengendalian vektor harus menerapkan bermacam-macam cara pengendalian agar vektor tetap
berada di bawah garis batas yang tidak merugikan/membahayakan.
2) Pengendalian vektor tidak menimbulkan kerusakan atau gangguan ekologis terhadap tata
lingkungan hidup
B.1 Pengendalian Penyakit Malaria
Penanggulangan malaria seharusnya ditujukan untuk memutuskan rantai penularan antara Host,
Agent dan Environment, pemutusan rantai penularan ini harus ditujukan kepada sasaran yang
tepat, yaitu :
1) Pemberantasan Vektor
Penanggulangan vektor dilakukan dengan cara membunuh nyamuk dewasa (penyemprotan
rumah dengan Insektisida). Dengan di bunuhnya nyamuk maka parasit yang ada dalam tubuh,
pertumbuhannya di dalam tubuh tidak selesai, sehingga penyebaran/transmisi penyakit dapat
terputus (Depkes RI, 2003)
Demikian juga kegiatan anti jentik dan mengurangi atau menghilangkan tempat-tempat
perindukan, sehingga perkembangan jumlah (Density) nyamuk dapat dikurangi dan akan
berpengaruh terhadap terjadinya transmisi penyakit malaria (Depkes RI, 2003)
Menurut Marwoto (1989) penangulangan vektor dapat dilakukan dengan memanfaatkan ikan
pemakan jentik. Penelitian Biologik yang telah dilakukan menunjukkan bahwa prospek terbaik
adalah ikan, karena mudah dikembangbiakkan, ikan suka memakan jentik, dan sebagai sumber
protein bagi masyarakat.
Penggunaan ikan nila merah (Oreochromis Nilotis) sebagai pengendali vektor telah dilakukan.
Menurut Nurisa (1994), ikan nila memiliki daya adaptasi tinggi diberbagai jenis air. Nila dapat
hidup di air tawar, air payau, dan di laut.
2) Pengendalian Vektor
Kontrol vektor malaria ini dimaksudkan untuk melindungi individu terhadap gigitan nyamuk
yang infektif, menurunkan populasi nyamuk, mencegah vektor menjadi infektif dan pada tingkat
masyarakat berguna untuk mengurangi intensitas transmisi malaria secara lokal (Peter dan Gilles,
2002; WHO, 2009).
Pengendalian vektor malaria dilaksanakan berdasarkan pertimbangan, Rasioanal, Efektif,
Efisiensi, Sustainable, dan Acceptable yang sering disingkat RESSA yaitu :
a) Rational : Lokasi kegiatan pengendalian vektor yang diusulkan memang terjadi penularan
(ada vektor) dan tingkat penularannya memenuhi criteria yang ditetapkan, antara lain : Wilayah
pembebasan : desa dan ditemukan penderita indegenius dan wilayah pemberantasan PR > 3% .
b) Effective : Dipilih salah satu metode / jenis kegiatan pengendalian vektor atau kombinasi dua
metode yang saling menunjang dan metode tersebut dianggap paling berhasil mencegah atau
menurunkan penularan, hal ini perlu didukung oleh data epidemiologi dan Laporan masyarakat.
c) Sustainable : Kegiatan pengendalian vektor yang di pilih harus dilaksanakan secara
berkesinambungan sampai mencapai tingkat penularan tertentu dan hasil yang sudah di capai
harus dapat dipertahankan dengan kegiatan lain yang biayanya lebih murah, antara lain dengan
penemuan dan pengobatan penderita.
d) Acceptable : Kegiatan yang dilaksanakan dapat diterima dan didukung oleh masyarakat
setempat (Depkes RI, 2005)
Adapun kegiatan yang dilakukan dalam pengendalian vektor adalah sebagai berikut (Depkes,
2005):
a) Penyemprotan rumah, penyemprotan dilakukan pada semua bangunan yang ada, pada malam
hari digunakan sebagai tempat menginap atau kegiatan lain, masjid, gardu ronda, dan lain-lain.
b) Larviciding adalah kegiatan anti larva yang dilakukan dengan cara kimiawi, kegiatan ini di
lakukan dilingkungan yang memiliki banyak tempat perindukan yang potensial (Breeding
Pleaces). Yang dimaksud dengan tempat perindukan adalah genangan air disekitar pantai yang
permanen, genangan air dimuara sungai yang tertutup pasir dan saluran dengan aliran air yang
lambat.
c) Biological control, kegiatan anti larva dengan cara hayati (pengendalian dengan ikan pemakan
jentik), dilakukan pada desa-desa di mana terdapat di mana terdapat banyak tempat perindukan
vektor potensial dengan ketersedian air sepanjang tahun, seperti mata air, anak sungai, saluran air
persawahan, rawa-rawa daerah pantai dan air payau, dll.
d) Kelambunisasi adalah pengendalian nyamuk Anopheles spp secara kimiawi yang digunakan di
Indonesia. Kelambunisasi adalah pengunaan kelambu yang terlebih dahulu dicelup dengan
insektisida permanent 100EC yang berisi bahan aktif permethrin.
e) Pengolahan lingkungan (Source reduction) adalah kegiatan-kegiatan yang mencakup
perencanaan, pelaksanaan dan pengamatan kegiatan modifikasi dan manipulasi faktor
lingkungan dan interaksinya dengan manusia untuk mencegah dan membatasi perkembangan
vektor dan mengurangi kontak antara manusia dan Vektor .
f) Pemandulan nyamuk dengan radiasi gamma Co-60
Pengendalian nyamuk Anopheles sp sebagai vektor penyakit malaria dapat dilakukan dengan
Teknik Serangga Mandul (TSM). Setelah nyamuk jantan diiradiasi nyamuk dikawinkan dengan
betina normal dengan jumlah yang sama dan diamati jumlah telur yang dihasilkan, prosentase
penetasan telur untuk setiap dosis radiasi, dan kelangsungan hidup nyamuk. Dari hasil
pengamatan diperoleh data bahwa dosis radiasi 90 Gy dapat memandulkan 65%, 100 Gy
memandulkan 77%, 110 Gy memandulkan 97%, dan 120 Gy memandulkan 99% dibandingkan
dengan kontrol. Keturunan yang dihasilkan dari perkawinan antara nyamuk jantan yang
diirradiasi 110 dan 120 Gy dengan nyamuk betina normal tidak dapat diikuti perkembangan
hidupnya karena mengalami kematian (Nurhayati, 2008).
Radiasi gamma dan neutron dapat dimanfaatkan untuk pengendalian vektor penyakit melalui
teknik TSM. Faktor yang berpengaruh terhadap proses kemandulan pada nyamuk ialah
terjadinya infekunditas (tidak dapat menghasilkan telur), inaktivasi sperma, mutasi letal
dominan, aspermia, dan ketidakmampuan kawin dari serangga betina atau jantan. Radiasi dapat
mengurangi produksi telur yang disebabkan karena tidak terjadinya proses oogenesis sehingga
tidak terbentuk oogenia atau telur. Aspermia dapat menyebabkan kemandulan karena radiasi
merusak spermatogenesis sehingga tidak terbentuk sperma. Inaktivasi sperma juga dapat
menyebabkan kemandulan karena sperm tidak mampu bergerak untuk membuahi sel telur.
Faktor penyebab kemandulan yang lain ialah ketidakmampuan kawin, hal ini karena radiasi
merusak sel-sel somatik saluran genetalia interna sehingga tidak terjadi pembuahan sel telur .
Irradiasi gamma menyebabkan penurunan yang sangat drastis terhadap presentase penetasan
telur, dosis 90 Gy mampu menurunkan persentase penetasan telur hingga lebih dari 50%, bahkan
untuk dosis 110 Gy mampu menurunkan persentase penetasan telur hingga 96 % (Nurhayati,
2008).
Faktor yang dianggap menyebabkan kemandulan pada serangga yang diiradiasi adalah mutasi
lethal dominan. Dalam hal ini inti sel telur atau inti sperma mengalami kerusakan sebagai akibat
radiasi sehingga terjadi mutasi gen. Mutasi lethal dominan tidak menghambat proses
pembentukan gamet jantan maupun betina, dan zigot yang terjadi juga tidak dihambat, namun
embrio akan mengalami kematian. Prinsip dasar mekanisme kemandulan ini untuk selanjutnya
dikembangkan sebagai dasar teknik pengendalian vektor penyakit, seperti malaria, DBD dan
filariasis yang disebut Teknik Serangga Mandul. TSM menjadi salah satu alternatif pilihan cara
yang dapat dipilih dan dipertimbangkan, karena lebih aman, apesies spesifik, tidak menimbulkan
resistensi dan pencemaran lingkungan (Nurhayati, 2008).
Sebagai panduan untuk melakukan intervensi, WHO telah merekomendasikan kebijakan, target
dan sasaran untuk kontrol malaria meliputi melakukan diagnosa dan pengobatan yang tepat,
mencegah gigitan nyamuk dengan melakukan kontrol vektor malaria dan pencapaian target dan
sasaran (WHO, 2009).
Tabel 1. Kegiatan intervensi terintegrasi terangkum

No. Jenis Intervensi Efek


1 Perlindungan Pribadi Pengurangan kontak nyamuk
dengan manusia
a. Repelen (Mosquitos
repellent)

b. Kelambu berinsektisida
(Insecticide treated mosquito
nets)

c. Pakaian pelindung
(Protective clothing)

d. Treated clothing

e. House screening
f. House sitting

g. Memakai Aerosol
Piretroid

h. Fumigasi antinyamuk
(antimusquito fumigation)

i. Memakai pembatas hewan


(deviation of animals)
2 Kontrol Vektor Reduksi tempat perindukan
vektor.
a. Modifikasi dan manipulasi
lingkungan Reduksi kepadatan vektor

b. Larvasida kimia dan Reduksi kepadatan vektor


biologi
Reduksi longevity populasi
c. Insecticide Outdoor space vektor
spraying

d. Indoor Residual
Insecticide spraying
3 Antiplasmodium Eliminasi parasit malaria dan
pencegahan transmisi
Penegakkan diagnose dini
dan pengobatan kasus
malaria akut
4 Kemoprofilaksis dan
penekanan infeksi malaria

a. Pengobatan radikal

b. Pengobatan massal
(Epidemik)
5 Partisipasi sosial Motivasi untik pribadi dan
perlindungan keluarga.
a. Penyuluhan kesehatan
Aksi simulasi komunitas untuk
b. Mobilisasi social control dan pencegahan
6 Komunikasi, Informasi, Kebutuhan untuk penyampaian
dan Edukasi control malaria.

a. Sistem kesehatan Mendapat pencapaian secara


berkesinambungan
b. Pengelolaan yang efektif
7 Intervensi seluruh program a. Pengelolaan kasus malaria

b. Pengelolaan vektor
terintegrasi

c. Pengumpulan informasi
geografis

d. Hubungan masyarakat,
pendidikan kesehatan

e. Koordinasi teknikoperasional,
termasuk kolaborasi intra dan
intersektoral baik dalam negeri
dan luar negeri

f. Monitoring dan evaluasi

g. Penilaian independen sebagai


ukuran pencapaian

h. Mobilisasi pencapaian

i. Penguatan sistem kesehatan


Berdasarkan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa:
1. Pencegahan Individual (Protection individual)
Global Malaria Programme (GMP) merekomendasikan pemberian secara gratis ataupun
disubsidi kelambu celup insektisida atau insecticide treated net (ITN) dan kelambu celup
insektisida yang tahan lama ( Long-lasting insecticidal nets) (LLINs) pada semua orang-orang
yang tinggal di daerah-daerah yang berisiko terjanya penularan malaria dan menjadi target dalam
pencegahan malaria, termasuk anak-anak dan wanita hamil. (WHO, 2009)
Walaupun demikian perlu dipertimbangkan pemakaian kelambu celup akan efektif bila
penularan terjadi di dalam rumah, kebiasaan menggigit vektor di dalam rumah dan puncak
gigitan vektor setelah jam 22.00, penduduk tidak tidur sampai larut malam dan penduduk tidak
berada di luar rumah pada malam hari serta masyarakat mau menggunakan kelambu
(WHO,2009).
2. Pencegahan malaria melalui kontrol vektor
Pencegahan terhadap vektor dengan melakukan kontrol terhadap nyamuk Anopheles. Kontrol
malaria agar efefektif, efesien dan berkesinambungan dilakukan dengan pendekatan pengelolaan
terintegrasi. WHO telah merekomendasikan untuk kontrol malaria terintegrasi.
3. Reduksi longevity vektor
Tujuannya adalah mencegah nyamuk menjadi infektif sehingga tidak terjadi penularan. Kegiatan
dilakukan dengan penyemprotan indoors residual spraying (IRS) terdiri dari aplikasi insektisida
ke permukaan bagian dalam rumah di mana nyamuk endophylic Anopheles sering beristirahat
setelah mengggit manusia, dengan menggunakan alat semprot yang terstandar untuk kontrol
malaria.
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa IRS efektif dalam mengendalikan transmisi malaria. Beberapa
bukti pengamatan menunjukkan bahwa kombinasi dari IRS dan LLIN lebih efektif dibandingkan
intervensi tunggal, terutama jika kombinasi ini untuk membantu meningkatkan keseluruhan
cakupan kontrol vektor. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jamaludin (2010) ada
beberapa jenis IRS yang dalap digunakan dalam pengendalian vektor malaria, yaitu bendiocarb,
etofenproks, lamdasihalotrin.
Penyemprotan akan efektif apabila penularan terjadi di dalam rumah, vektor istirahat (resting) di
dinding, penduduk menerima penyemprotan dan tidak berada di luar rumah serta penyebaran
rumah yang tidak terpencar sehingga tidak menyulitkan operasional penyemprotan.
4. Modifikasi dan manipulasi lingkungan
Pengolahan lingkungan bertujuan untuk mengurangi kepadatan vektor dengan melakukan
modifikasi dan manipulasi lingkungan antara lain:
a) Penimbunan TPV: meniadakan meniadakan genangan air yang potensial sebagai tempat
berkembangbiaknya nyamuk Anopheles. Luas TPV terbatas dan mampu dikelola secara tekhnis
maupun ekonomis dan letaknya dalam radius jarak terbang nyamuk terhadap pemukiman
penduduk (2 km). Untuk TPV yang luas dilaksanakan pada musim kemarau dan TPV yang
sempit pada saat terbentuknya genangan air.
b) Pengeringan TPV: merupakan kegiatan untuk menghilangkan TPV dengan cara mengalirkan
air hingga kering. Luasnya terbatas dan mampu dikelola secara teknis maupun ekonomis,
letaknya dalam radius jarak terbang nyamuk terhadap pemukiman penduduk (2 Km).
c) Pembersihan TPV: kegiatan yang dilakukan untuk membersihkan lumut dan tanaman air dari
TPV, luasnya terbatas dan bias dikelola. Letaknya dalam radius jarak terbang nyamuk terhadap
pemukiman penduduk (2 Km).
d) Pengeringan sawah secara berkala: adalah kegiatan mengeringkan sawah secara berkala dan
serempak di hamparan sawah sebagai TPV. Lokasi TPV pada hamparan sawah dalam radius
jarak terbang nyamuk (2 km). Dilakukan pada waktu padi berumur 2 minggu sampai dengan
menjelang panen.
5. Larvaciding
Bertujuan untuk menekan populasi larva nyamuk Anopheles. Dapat dilakukan secara kimia dan
biologi. Bila larvaciding secara kimia dapat dilakukan pada TPV yang potensial, terukur dan
terjangkau untuk diaplikasikan, tidak ada vegetasi yang menghalangi aplikasi larvasida, bukan
tipe TPV yang kecil dan menyebar sehingga sulit diidentifikasi dan diintervensi, sedangkan
secara biologi seperti Penebaran ikan pemakan jentik seperti ikan kepala timah ( Aplocheilus
panchax) dan ikan nila merah (Oreochromis nilaticum) pada TPV yang potensial dan airnya
permanen.

DAFTAR PUSTAKA
Anies. 2005. Manajemen Berbasis Lingkungan (Solusi Mencegah dan Menanggulangi Penyakit
Menular). Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
Damar, T. 2002. Studi Epidemiologi Malaria di Daerah Endemi Malaria
Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah. http://digilib.litbang.depkes.
go.id/go.php?id=jkpkbppk-gdl-res-2002-damar. Diakses pada tanggal 18 Maret 2011.
Departemen Kesehatan RI. 2003. Pedoman Tatalaksana Kasus Malaria. Direktorat
Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Direktorat Jenderal PPM&PLP.
Gandahusada, S; Ilahude, H; Pribadi, Wita. 2006. Parasitologi Kedokteran. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta.
Gandahusada,S. 1998. Parasitologi Kedokteran Edisi ke tiga. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Gaya Baru: Jakarta.
Harijanto, P. N. 2000. Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, dan
Penanganan EGC. Jakarta.
Hiswani. 2004. Gambaran Penyakit dan Vektor Malaria di Indonesia.
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani11.pdf. Diakses pada tanggal 18 Maret 2011.
Jamaludin, Agus. 2010. Pengaruh Jenis Insektisida Terhadap Kerentanan
Vektor Nyamuk Anopheles spp di Kota Batam
Nurmaini. 2003. Mengidentifikasi Vektor Dan Pengendalian Nyamuk
Anopheles Aconitus Secarasederhana. http://library.usu.ac.id
/download/fkm/fkm-nurmaini.pdf. Diakses pada tanggal 18 Maret 2011.
Nurhayati, Siti. 2008. Pemandulan Anopheles macullatus Sebagai Vektor
Penyakit Malaria dengan Radiasi Gamma Co-60. http://nhc.batan
.go.id/dokumen/01SITI%20NURHAYATI_Pemandulan%20Anophel
es%20mocculatus.pdf. diakses pada tanggal 18 Maret 2011.
Prasetyo, A. Malaria. 2006. From URL: http://.www. Pusat Informasi Penyakit Infeksi
khususnya HIV-AIDS – Penyakit – Malaria. html. Diakses tanggal 19 Maret 2011.
Santoso, Budi. 2002. Studi karakteristik habitat Larva Nyamuk Anopheles
maculatus Theobald dan Anopheles balabacensis Baisas serta
beberapa faktor yang mempengaruhi populasi Larva di Desa
Hargotirto kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo, DIY.
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/7522/2002nbs.pdf?sequence=4. Diakses
pada tanggal 18 Maret 2011.
Saputra. 2011. Pengaruh Lingkungan Terhadap Nyamuk Anopheles pada
Proses Transmisi Malaria. http://uripsantoso.wordpress.com.
Diakses pada tanggal 18 Maret 2011.
Sukadi, Winarno; Rogayah, Hanifah. Profile Monitoring of Insecticide
Resistance in Indonesia. www.actmalaria.net/IRW/IRW
Indonesia.pdf. Diakses pada tanggal 18 maret 2011.

Anda mungkin juga menyukai