com
organic fertilizer Solution
Home
Tentang Kami
Kontak
Kategori
Produk
Informasi
Artikel Terbaru
PUPUK HAYATI
PERAN DAN PROSPEK MIKORIZA
Bakteri Pelarut Fosfat sebagai Agents Pupuk Hayati
Fosfor
Kenapa Harus Sitekno
Komentar Terbaru
Arsip
CARA KAYA DENGAN MEMBUAT WEBSITE
User ID
ST283671
Password
********
Kode Rahasia
Silahkan Masuk
KAYA MENDADAK
MENGELOLA WEBSITE
Cari...
Welcome
HADI SUCIPTO
087833544505
pati
SLINK
Business DAHSYAT
Pengen punya BISNIS luar biasa dlm satu KLIK..REAL,mudah & MURAH.?klik
http://wslines.biz
wslines.biz
Koneksi Internet Cepat Berkualitas
Kunjungi web kamj untuk mendapatkan penawaran akes internet
broadbandairlink.com
IKLANKU
Anda cari barang atau info apapun dapat pan di sini
st290254.sitekno.com
Rumah Jawa, Etnik, Bahan Full Jati, Dijual!!!
Rumah Jawa, Etnik, Bahan Full Jati, Dijual!!!
st288678.sitekno.com
warna dan karya
semua PANDUAN tentang warna dan tulisan atau cara membuat suatu karya dengan
benar.
kreativitaskita.com
OJO DI BUKA !!!
SALAM KENAL dr MASBAYU.com web ini berisi profil aku dan sedikit informasi
bisnis, monggo pinarak!
st295268.sitekno.com
Rezeki Datang
Kumpulan bisnis dahsyat 2009
st282393.sitekno.com
OXYPUS & SPIRIT INTERNATIONAL
Cara mudah untuk mendapatkan BMW dan RUMAH MEWAH Seharga 1,2 M dalam
1 tahun, kami berikan bukti
pujohartoyo.com
DESAIN RUMAH
INDAH, ASRI, EKONOMIS
st295105.sitekno.com
KLIK BCA
I. PENDAHULUAN
Mikroba tanah lain yang berperan di dalam penyediaan unsur hara adalah mikroba
pelarut fosfat (P) dan kalium (K). Tanah pertanian kita umumnya memiliki kandungan
P cukup tinggi (jenuh). Namun, hara P ini sedikit/tidak tersedia bagi tanaman, karena
terikat pada mineral liat tanah. Di sinilah peranan mikroba pelarut P. Mikroba ini akan
melepaskan ikatan P dari mineral liat dan menyediakannya bagi tanaman. Banyak
sekali mikroba yang mampu melarutkan P, antara lain: Aspergillus sp, Penicillium sp,
Pseudomonas sp dan Bacillus megatherium. Mikroba yang berkemampuan tinggi
melarutkan P, umumnya juga berkemampuan tinggi dalam melarutkan K.
Kelompok mikroba lain yang juga berperan dalam penyerapan unsur P adalah
Mikoriza yang bersimbiosis pada akar tanaman. Setidaknya ada dua jenis mikoriza
yang sering dipakai untuk biofertilizer, yaitu: ektomikoriza dan endomikoriza.
Mikoriza berperan dalam melarutkan P dan membantu penyerapan hara P oleh
tanaman. Selain itu tanaman yang bermikoriza umumnya juga lebih tahan terhadap
kekeringan. Contoh mikoriza yang sering dimanfaatkan adalah Glomus sp dan
Gigaspora sp.
Istilah mikoriza diambil dari Bahasa Yunani yang secara harfiah berarti jamur (mykos
= miko) dan akar (rhiza). Jamur ini membentuk simbiosa mutualisme antara jamur
dan akar tumbuhan. Jamur memperoleh karbohidrat dalam bentuk gula sederhana
(glukosa) dari tumbuhan. Sebaliknya, jamur menyalurkan air dan hara tanah untuk
tumbuhan. Mikoriza merupakan jamur yang hidup secara bersimbiosis dengan sistem
perakaran tanaman tingkat tinggi. Walau ada juga yang bersimbiosis dengan rizoid
(akar semu) jamur. Asosiasi antara akar tanaman dengan jamur ini memberikan
manfaat yang sangat baik bagi tanah dan tanaman inang yang merupakan tempat
jamur tersebut tumbuh dan berkembang biak. Jamur mikoriza berperan untuk
meningkatkan ketahanan hidup bibit terhadap penyakit dan meningkatkan
pertumbuhan (Hesti L dan Tata, 2009)
Mikoriza dikenal dengan jamur tanah karena habitatnya berada di dalam tanah dan
berada di area perakaran tanaman (rizosfer). Selain disebut sebagai jamur tanah juga
biasa dikatakan sebagai jamur akar. Keistimewaan dari jamur ini adalah
kemampuannya dalam membantu tanaman untuk menyerap unsur hara terutama unsur
hara Phosphates (P) (Syib’li, 2008). Mikoriza merupakan suatu bentuk hubungan
simbiosis mutualistik antar cendawan dengan akar tanaman. Baik cendawan maupun
tanaman sama-sama memperoleh keuntungan dari asosiasi ini. infeksi ini antara lain
berupa pengambilan unsur hara dan adaptasi tanaman yang lebih baik. Dilain pihak,
cendawan pun dapat memenuhi keperluan hidupnya (karbohidrat dan keperluan
tumbuh lainnya) dari tanaman inang (Anas, 1997).
Endomikoriza mempunyai sifat-sifat antar lain akar yang kena infeksi tidak
membesar, lapisan hifa pada permukaan akar tipis, hifa masuk ke dalam individu sel
jaringan korteks, adanya bentukan khusus yang berbentuk oval yang disebut
Vasiculae (vesikel) dan sistem percabangan hifa yang dichotomous disebut arbuscules
(arbuskul) (Brundrett, 2004).
Hampir sebagian besar jenis tumbuhan berasosiasi dengan jamur tipe AM (Arbuskul
Mikoriza), mulai dari paku-pakuan, jenis rumput-rumputan, padi, hingga pohon
rambutan, mangga, karet, kelapa sawit, dll. Sedangkan beberapa keluarga (family)
pohon tingkat tinggi yang biasa dijumpai pada tahap suksesi akhir bersimbiosa dengan
jamur EM (Ekto Mikoriza), misalnya jenis-jenis meranti, kruing, kamper (jenis-jenis
Dipterocarapaceae), pasang, mempening (jenis-jenis Fagaceae), pinus, beberapa jenis
Myrtaceae (jambu-jambuan) dan beberapa jenis legum.
Suatu simbiosis terjadi apabila cendawan masuk ke dalam akar atau melakukan
infeksi. Proses infeksi dimulai dengan perkecambahan spora didalam tanah. Hifa yang
tumbuh melakukan penetrasi ke dalam akar dan berkembang di dalam korteks. Pada
akar yang terinfeksi akan terbentuk arbuskul, vesikel intraseluler, hifa internal
diantara sel-sel korteks dan hifa ekternal. Penetrasi hifa dan perkembangnnya
biasanya terjadi pada bagian yang masih mengalami proses diferensissi dan proses
pertumbuhan. Hifa berkembang tanpa merusak sel (Anas, 1998).
Cendawan ini membentuk spora di dalam tanah dan dapat berkembang biak jika
berassosiasi dengan tanaman inang. Sampai saat ini berbagai usaha telah dilakukan
untuk menumbuhkan cendawaan ini dalam media buatan, akan tetapi belum berhasil.
Faktor ini merupakan suatu kendala yang utama sampai saat ini yang menyebabkan
CMA belum dapat dipoduksi secara komersil dengan menggunakan media buatan,
walaupun pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman sangat mengembirakan. Spora
cendawan ini sangat bervariasi dari sekitar 100 mm sampai 600 mm oleh karena
ukurannya yang cukup besar inilah maka spora ini dapat dengan mudah diisolasi dari
dalam tanah dengan menyaringnya (Pattimahu, 2004).
Cendawan CMA membentuk organ-organ khusus dan mempunyai perakaran yang
spesifik. Organ khusus tersebut adalah arbuskul (arbuscule), vesikel (vesicle) dan
spora. Berikut ini dijelaskan sepintas lalu mengenai struktur dan fungsi dari organ
tersebut serta penjelasan lain (Pattimahu, 2004).
1. Vesikel (Vesicle)
Vesikel merupakan struktur cendawan yang berasal dari pembengkalan hifa internal
secara terminal dan interkalar, kebanyakan berbentuk bulat telur, dan berisi banyak
senyawa lemak sehingga merupakan organ penyimpanan cadangan makanan dan pada
kondisi tertentu dapat berperan sebagai spora atau alat untuk mempertahankan
kehidupan cendawan. Tipe CMA vesikel memiliki fungsi yang paling menonjol dari
tipe cendawan mikoriza lainnya. Hal ini dimungkinkan karena kemampuannya dalam
berasosiasi dengan hampir 90 % jenis tanaman, sehingga dapat digunakan secara luas
untuk meningkatkan probabilitas tanaman (Pattimahu, 2004).
2. Arbuskul
Cendawan ini dalam akar membentuk struktur khusus yang disebut arbuskular.
Arbuskula merupakan hifa bercabang halus yang dibentuk oleh percabangan dikotomi
yang berulang-ulang sehingga menyerupai pohon dari dalam sel inang (Pattimahu,
2004). Arbuskul merupakan percabangan dari hifa masuk kedalam sel tanaman inang.
Masuknya hara ini ke dalam sel tanaman inang diikuti oleh peningkatan sitoplasma,
pembentukan organ baru, pembengkokan inti sel, peningkatan respirasi dan aktivitas
enzim.
Hifa intraseluler yang telah mencapai sel korteks yang lebih dalam letaknya akan
menembus dinding sel dan membentuk sistem percabangan hifa yang kompleks,
tampak seperti pohon kecil yang mempunyai cabang-cabang yang dibenamkan
Arbuskul. Arbuskul berperan dua arah, yaitu antara simbion cendawan dan tanaman
inang.
Mosse dan Hepper (1975) mengamati bahwa struktur yang dibentuk pada akar-akar
muda adalah Arbuskul. Dengan bertambahnya umur, Arbuskul ini berubah menjadi
suatu struktur yang menggumpal dan cabang-cabang pada Arbuskul lama kelamaan
tidak dapat dibedakan lagi. Pada akar yang telah dikolonisasi oleh CMA dapat dilihat
berbagai Arbuskul dewasa yang dibentuk berdasarkan umur dan letaknya. Arbuskul
dewasa terletak dekat pada sumber unit kolonisasi tersebut.
3. Spora
Spora terbentuk pada ujung hifa eksternal. Spora ini dapat dibentuk secara tunggal,
berkelompok atau di dalam sporokarp tergantung pada jenis cendawannya.
Perkecambahan spora sangat sensitif tergantung kandungan logam berat di dalam
tanah dan juga kandungan Al. kandungan Mn juga mempengaruhi pertumbuhan
miselium. Spora dapat hidup di dalam tanah beberapa bulan sampai sekarang
beberapa tahun. Namun untuk perkembangan CMA memerlukan tanaman inang.
Spora dapat disimpan dalam waktu yang lama sebelum digunakan lagi (Mosse, 1981).
Mirip dengan cendawan patogen, hifa cendawan CMA akan masuk ke dalam akar
menembus atau melalui celah antar sel epidermis, kemudian apresorium akan tersebar
baik inter maupun intraseluler di dalam korteks sepanjang akar. Kadang-kadang
terbentuk pula jaringan hifa yang rumut di dalam sel-sel kortokal luar. Setelah proses-
proses tersebut berlangsung barulah terbentuk Arbuskul,vesikel dan akhirnya spora
(Mosse, 1981).
CMA tidak memiliki inang yang spesifik. Fungi yang sama dapat mengkolonisasi
tanaman yang berbeda, tetapi kapasitas fungi untuk meningkatkan pertumbuhan
tanaman bervariasi. Satu spesies fungi dipertimbangkan efisien ketika pada beberapa
kondisi lingkungan yang berbeda: 1) dapat mengkolonisasi akar secara cepat dan
ekstensif, 2) mampu berkompetisi dengan mikroorganisme yang lain untuk tempat
menginfeksi dan mengabsorpsi nutrisi. 3) segera membentuk miselium secara
ekstensif dan ekstraradikal, 4) mengabsorpsi dan mentransfer nutrisi ke tanaman, 5)
meningkatkan keuntungan non nutrisi kepada tanaman, seperti agregasi dan stabilisasi
tanah. Walaupun demikian, biasanya evaluasi hanya mencakup respon tanaman
terhadap inokulasi fungi yang berbeda. Oleh karena itu, jarang sekali satu spesies
akan efisien pada semua kondisi lingkungan, sehingga memungkinkan bahwa
inokulasi multi-spesies menunjukan hasil yang terbaik dibandingkan dengan hanya
satu spesies. Hal ini menunjukan adanya kerjasama coexist secara harmonis di dalam
akar (Sagin Junior & Da Silva, 2006).
CMA beradaptasi secara edaphoclimatic serta dengan kondisi kultur teknis tanaman.
CMA yang beradaftasi dengan baik tersebut merupakan fungi indigen yang terseleksi
dari ekosistem pada tanaman tersebut. Selanjutnya fungi indigen yang terisolasi harus
dievaluasi dalam kaitan respon inokulasi untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman
pada kondisi tanah yang berbeda. (Sagin Junior & Da Silva, 2006). Hal ini sejalan
dengan penelitian lapangan yang dilakukan Lukiwati (2007) dan Sieverding (1991)
bahwa keberhasilan inokulasi CMA tergantung kepada spesies CMA indegen serta
potensi dari inokulan sendiri. Lebih jauh dikemukakan bahwa keefektifan populasi
CMA indigen berhubungan dengan beberapa faktor seperti status hara tanah, tanaman
inang, kepadatan propagula, serta kompetisi antara CMA dan mikroorganisme tanah
lainnya.
Kepadatan CMA tidak dipengaruhi oleh jenis tanaman penutup tetapi dipengaruhi
interaksi antara jenis tanaman penutup dengan interval kedalaman tanah. Kepadatan
CMA tertinggi terdapat pada tanaman penutup herba (Chromolaena odorata dan
Stoma malabathricum) dengan interval kedalaman 0 – 5 cm. Sedangkan kepadatan
terendah terdapat pada tanaman penutup rumput dengan kedalaman 5-15 cm. Hal ini
menunjukan bahwa kedalaman tanah merupakan faktor penting dalam identifikasi dan
isolasi propagula CMA (Handayani et al., 2002).
Tingkat kolonisasi akar merupakan prasyarat CMA pada tanaman inang. Tingkat
kolonisasi di lapangan tergantung pada spesies tanaman inang, kondisi tanah serta
spesies CMA indigen. Persentase kolonisasi juga tergantung kepada kepadatan akar
tanaman. Lebih jauh dikatakan bahwa tingkat kolonisasi memberikan gambaran
seberapa besar pengaruh luar terhadap hubungan akar dan CMA (Sieverding, 1991).
Banyak faktor biotik dan abiotik yaang menentukan perkembangan CMA. Faktor-
faktor tersebut antar lain suhu, tanah, kadar air tanah, pH, bahan organik tanah,
intensitas cahaya dan ketersediaan hara, logam berat dan fungisida. Berikut ini faktor
tersebut diuraikan satu persatu.
Suhu
Suhu yang relatif tinggi akan meningkatkan aktivitas cendawan. Untuk daerah tropika
basah, hal ini menguntungkan. Proses perkecambahan pembentukan CMA melalui 3
tahap yaitu perkecambahan spora di tanah, penetrasi hifa ke dalam sel akar dan
perkembangan hifa di dalam korteks akar. Suhu optimum untuk perkecambahan spora
sangat beragam tergantung pada jenisnya (Mosse, 1981).
Suhu yang tinggi pada siang hari (35 0C) tidak menghambat perkembangan akar dan
aktivitas fisiologi CMA. Peran mikoriza hanya menurun pada suhu diatas 40 0C. suhu
bukan merupakan faktor pembatas utama bagi aktivitas CMA. Suhu yang sangat tingi
lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman inang (Mosse, 1981).
Kadar Air tanah
Untuk tanaman yang tumbuh di daerah kering, adanya CMA menguntungkan karena
dapat meningkatkaan kemampuan tanaman untuk tumbuh dan bertahan pada kondisi
yang kurang air. Adanya CMA dapat memperbaiki dan meningkatkan kapasitas
serapan air tanaman inang. Vesser et al., (1984) mengamati kenampakan aneh pada
bibit tanaman alpukat (Acacua raddiana) yang dinikolasi dengan CMA.pada tengah
hari, saat kelembapan air rendah, daun bibit alpukat ber CMA tetap terbuka
sedangkan tanaman yang tidak dinokulasi tertutup. Hal ini manandakan bahwa
tanaman yang tidak berCMA memiliki evapotranspirasi yang lebih besar dari tanaman
ber CMA. Meningkatnya kapasitas serapan air pada tanaman alpukat ber CMA
menyebabkan bibit lebih tahan terhadap pemindahan.
Ada beberapa dugaan mengapa tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan
diantaranya adalah : (1) adanya mikoriza menyebabkan resistensi akar terhadap
gerakan air menurun sehingga transport air ke akar meningkat, (2) tanaman kahat P
lebih peka terhadap kekeringan, adanya CMA menyebabkan status P tanaman
meningkat sehingga menyebabkan daya tahan terhadap kekeringan meningkat pula,
(3) adanya hifa ekternal menyebabkan tanaman ber CMA lebih mampu mendapatkan
air daripada yang tidak ber CMA, tetapi jika mekanisme ini yang terjadi berarti
kandungan logam-logam tanah lebih cepat menurun. Penemuan akhir-akhir ini yang
menarik adalah adanya hubungan antara potensial air tanah dan aktivitas mikoriza.
Pada tanaman ber mikoriza jumlah air yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 gram
bobot kering tanaman lebih sedikit dari pada tanaman yang tidak bermikoriza, karena
itu (4) tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan barangkali karena
pemakaian air yang lebih ekonomis, (5) pengaruh tidak langsung karena adanya
miselium ekternal menyebabkan CMA mampu dalam mengagregasi butir-butir tanah
sehingga kemampuan tanah menyimpan air meningkat (Rotwell, 1984).
pH tanah
Bahan Organik
Bahan organik merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang penting
disamping bahan anorganik, air dan udara. Jumlah spora CMA tampaknya
berhubungan erat dengan kandungan bahan organik di dalam tanah. Jumlah
maksimum spora ditemukan pada tanah-tanah yang mengandung bahan organik 1-2
persen sedangkan paada tanah-tanah berbahan organik kurang dari 0.5 persen
kandungan spora sangat rendah (Anas, 1997).
Residu akar mempengaruhi ekologi cendawan CMA, karena serasah akar yang
terinfeksi mikoriza merupakan sarana penting untuk mempertahankan generasi CMA
dari satu tanaman ke tanaman berikutnya. Serasah tersebut mengandung hifa, vesikel
dan spora yang dapat menginfeksi CMA. Disaamping itu juga berfungsi sebagai
inokulan untuk generasi tanaman berikutnya (Anas, 1997).
Anas (1997) menyimpulkan bahwa intensitas cahaya yang tinggi dengan kekahatan
nitrogen ataupun fospor sedang akan meningkatkan jumlah karbohidrat didalam akar
sehingga membuat tanaman lebih peka terhadap infeksi oleh cendawaan CMA.
Derajat infeksi terbesar terjadi pada tanah-tanah yang mempunyai kesuburan yang
rendah. Pertumbuhan perakaran yang sangat aktif jarang terinfeksi oleh CMA. Jika
pertumbuhan dan perkembangan akar menurun infeksi CMA meningkat.
Peran mikoriza yang erat dengan penyedian P bagi tanaman menunjukan keterikatan
khusus antara mikoriza dan status P tanah. Pada wilayah beriklim sedang konsentrasi
P tanah yang tinggi menyebabkan menurunnya infeksi CMA yang mungkin
disebabkan konsentrasi P internal yang tinggi dalam jaringan inang (Anas., 1997).
Pada percobaan dengan menggunakan tiga jenis tanah dari wilayah iklim sedang
didapatkan bahwa pengaruh menguntungkan karena adanya CMA menurun dengan
naiknya kandungan Al di dalam tanah. Alumunium di ketahui menghambat muncul
jika ke dalam larutan tanah ditambahkan kalsium (Ca). Jumlah Ca di dalam larutan
tanah rupa-rupanya mempengaruhi perkembangan CMA. Tanaman yang ditumbuhkan
pada tanah yaang memilik derajat infeksi CMA yang rendah (Happer et al., 1984
dalam Anas, 1997). Hal ini mungkin karena peran Ca2+ dalam memelihara integritas
membran sel.
Beberapa spesies CMA diketahui mampu beradaptasi dengan tanah yang tercemar
seng (Zn), tetapi sebagian besar spesies CMA peka terhadap kandungan Zn yang
tinggi. Pada beberapa penelitian lain diketahui pula bahwa strain-strain cendawan
CMA tertentu toleran terhadap kandungan Mn, Al, dan Na yang tinggi (Mosse, 1981).
Fungisida
Fungisida merupakan racun kimia yang dirakit untuk membunuh cendawan penyebab
penyakit pada tanaman. Rupa-rupanya di samping mampu memberantas cendawan
penyebab penyakit, fungisida Agrosan, Benlate, Plantavax, meskipun dalam
konsentrasi yang sangat rendah (2.5 mg per g tanah) menyebabkan turunnya
kolonisasi CMA yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman dan
pengambilan P (Manjunath dan Bagyaraj, 1984).
Pemakaian fungisida menjadi dilematis, di satu pihak jika fungisida tidak dipakai
maka tanaman yang terserang cendawan bisa mati atau merosot hasilnya, tetapi jika
dipakai membunuh cendawan CMA yang sangat berguna bagi pertumbuhan tanaman.
Pada masa depan perlu dicari satu cara untuk mengendalikan penyakit tanaman tanpa
menimbulkan pengaruh yang merugikan terhadap jasad renik berguna di dalam tanah.
Praktek pengendalian secara biologis perlu mendapat perhatian lebih serius karena
memberikan dampak negatif yang mampu bertindak sebagai pengendali hayati yang
aktif terhadap serangan patogen akar (Marx, 1982 dalam Anas, 1997).
Ekosistem alami mikoriza di daerah tropika (tropical rain forest), dicirikan oleh
keragaman spesies yang sangat tinggi, khususnya dari jenis ektomikoriza
(Munyanziza et al 1997). Hutan alami yang terdiri dari banyak spesies tanaman dan
umur yang tidak seragam sangat mendukung perkembangan mikoriza. Konversi hutan
untuk lahan pertanian akan mengurangi keragaman jenis dan jumlah propagul
cendawan, karena perubahan spesies tanaman, jumlah bahan organik yang dihasilkan,
unsur hara dan struktur tanah. Hutan multi spesies berubah menjadi hutan monokultur
dengan umur seragam sangat berpengaruh terhadap jumlah dan keragaman mikoriza.
Selang waktu antara pembukaan lahan dengan tanaman komersial berikutnya biasanya
cukup lama dan tanah dibiarkan dalam keadaan kosong sehingga terjadi perubahan
drastis pada iklim mikro yang cendrung kering. Akumulasi perubahan lingkungan
mulai dari pembabatan hutan, pembakaran, kerusakan struktur dan pemadatan tanah
akan mengurangi propagul cendawan mikorisa.
Praktek pertanian seperti pengolahan tanah, cropping sistem, ameliorasi dengan bahan
organik, pemupukan dan penggunaan pestisida sangat berpengaruh terhadap
keberadaan mikoriza (Zarate dan Cruz, 1995). Pengolahan tanah yang intensif akan
merusak jaringan hifa ekternal cendawan mikoriza. Penelitian McGonigle dan Miller
(1993), menunjukkan bahwa pengolahan tanah minimum akan meningkatkan populasi
mikoriza dibanding pengolahan tanah konvensional. Usahatani tumpangsari jagung-
kedelai juga diketahui meningkatkan perkembangbiakan cendawan VAM. Ameliorasi
tanah dengan bahan organik sisa tanaman atau pupuk hijau merangsang
perkembangbiakan cendawan VAM.
Dalam budidaya tradisional, pengolahan tanah berulang-ulang dan panen
menyebabkan erosi hara dan bahan organik dari lahan tersebut dan ini berpengaruh
terhadap populasi AM. Dalam pertanian modern yang menggunakan pupuk dan
pestisida berlebihan (Rao, 1994) serta terjadinya kompaksi tanah oleh alsintan
(McGonigle dan Miller, 1993) berpengaruh negatif terhadap mikoriza.
Konsekuensinya adalah produktivitas sistem pertanian akan sangat tergantung pada
pupuk buatan dan pestisida.
Inokulasi CMA pada apel dapat meningkatkan kandungan P pada daun dari 0,04
menjadi 0, 1 9% (Gededda et al. 1984). Penggunaan CMA (Glomus etunicatum dan
Gigaspora margarita) dapat meningkatkan pertumbuhan beberapa jenis bibit apel dan
mendorong pertumbuhan tanaman di pembibitan (Matsubara et al. 1996). Pada
tanaman pisang, inokulasi mikoriza juga mampu meningkatkan pertambahan tinggi
tanaman serta kandungan hara N, P, K, dan Ca pada daun (Muas dan Jumjunidang
1994). Inokulasi CMA pada bibit jeruk dapat memacu pertumbuhannya (Jawal et al.
2005).
Dalam pemanfaatan CMA pada suatu tanaman, jenis dan macam inokulum yang
digunakan cukup menentukan dalam keberhasilan pencapaian sasaran. Penggunaan
inokulum CMA campuran yang terdiri dari beberapa spesies tampaknya lebih efektif
daripada penggunaan spesies tunggal (Camprubi dan Calvet, 1996). Untuk tanaman
manggis, CMA campuran yang berasal dari daerah Padang, Sawahlunto Sijunjung,
dan Limapuluh Kota mampu mempercepat pertumbuhan semaian manggis sekitar
40% dibandingkan dengan semaian yang tidak diinokulasi dengan mikoriza (Muas et
al. 2002).
Inokulasi species CMA juga berpengaruh terhadap tinggi bibit hanya pada umur 4 dan
20 MST, jumlah daun pada umur 4, 8 dan 28 MST, bobot kering tajuk, bobot kering
total dan serapan P-tajuk bibit kelapa sawit. Secara umum pemberian CMA belum
dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit dan serapan P-tajuk Inokulasi G.
manihotis pada perakaran bibit kelapa sawit menurunkan secara nyata tinggi bibit
pada umur 4 dan 20 MST berturut-turut sebesar 37.7% dan 4.5% dibandingkan
dengan kontrol, sedangkan inokulasi G. aggregatum tidak berbeda dengan kontrol.
Demikian pula terhadap jumlah daun pada umur 4 dan 8 MST, G. manihotis
menurunkan jumlah daun berturut-turut sebesar 40% dan 8.7% dibandingkan dengan
kontrol, sedangkan inokulasi G. aggregatum tidak berbeda dengan kontrol. Pada umur
28 MST kedua species CMA meningkatkan jumlah daun secara nyata masing- masing
sebesar 5.2% dibandingkan dengan kontrol.
Tanaman yang bermikoriza tumbuh lebih baik dari tanaman tanpa bermikoriza.
Penyebab utama adalah mikoriza secara efektif dapat meningkatkan penyerapan unsur
hara baik unsur hara makro maupun mikro. Selain daripada itu akar yang bermikoriza
dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan yang tidak tersedia bagi tanaman
(Anas, 1997).
Selain daripada membentuk hifa internal, mikoriza juga membentuk hifa ekternal.
Pada hifa ekternal akan terbentuk spora, yang merupakan bagian penting bagi
mikoriza yang berada diluar akar. Fungsi utama dari hifa ini adalah untuk menyerap
fospor dalam tanah. Fospor yang telah diserap oleh hifa ekternal, akan segera dirubah
manjadi senyawa polifosfat. Senyawa polifosfat ini kemudian dipindahkan ke dalam
hifa internal dan arbuskul. Di dalam arbuskul. Senyawa polifosfat ini kemudian
dipindahkan ke dalam hifa internal dan arbuskul. Di dalam arbuskul senyawa
polifosfat dipecah menjadi posfat organik yang kemudian dilepaskan ke sel tanaman
inang.
Adanya hifa ekternal ini penyerapan hara terutama posfor menjadi besar dibanding
dengan tanaman yang tidak terinfeksi dengan mikoriza. Peningkatan serafan posfor
juga disebabkan oleh makin meluasnya daerah penyerapan, dan kemampuan untuk
mengeluarkan suatu enzim yang diserap oleh tanaman. Sebagai contoh dapat dilihat
pengaruh mikoriza terhadap pertumbuhan berbagai jenis tanaman dan juga kandungan
posfor tanaman (Anas, 1997).
Cumming dan Ning (2003) mengemukakan bahwa simbiosis CMA berperan penting
dalam resistansi tanaman terhadap Al. Pengaruh ini terutama terlihat pada
peningkatan serapan hara yang diperlukan tanaman (P, Cu, dan Zn). Selain itu, CMA
mereduksi akumulasi elemen lain seperti Al, Fe, dan Mn yang menjadi masalah pada
tanah masam. Penelitian oleh Lee dan George (2001) menunjukkan bahwa hara P, Zn,
dan Cu diserap dan ditransportasikan ke tanaman inang oleh hifa CMA dan
sebaliknya unsur-unsur Cd dan Ni tidak ditransportasikan oleh hifa ke tanaman inang.
Hal ini menunjukan bahwa kolonisasi CMA dapat melindungi tanaman dari pengaruh
toksik unsur Cd dan Ni tersebut.
Pada kedelei, infeksi CMA menstimulasi penyerapan Zn. Dengan adanya CMA,
konsentrasi Zn pada daun lebih tinggi. Konsentrasi Cu lebih tinggi pada tanaman
dengan CMA dibandingkan dengan tanaman tanpa CMA pada tahap awal
pertumbuhan, tetapi menurun pada saat berbunga dan setelah itu meningkat lagi
(Raman dan Mahadevan, 2006). Hal ini sejalan dengan Pacovsky et al. (1986) yang
mengemukakan bahwa adanya penurunan penyerapan Mn dan Fe sedangkan P, Zn
dan Cu meningkat.
Perbaikan pertumbuhan tanaman karena mikoriza bergantung pada jumlah fosfor yang
tersedia di dalam tanah dan jenis tanamannya. Pengaruh yang mencolok dari mikoriza
sering terjadi pada tanah yang kekurangan fosfor. Efisiensi pemupukan P sangat jelas
meningkat dengan penggunaan mikoriza. Hasil penelitian Mosse (1981) menunjukkan
bahwa tanpa pemupukan TSP produksi singkong pada tanaman yang tidak
bermikoriza kurang dari 2 g, sedangkan ditambahkan TSP pada takaran setara dengan
400 kg P/ha, masih belum ada peningkatan hasil singkong pada perlakuan tanpa
mikoriza. Hasil baru meningkat bila 800 kg P/ha ditambahkan. Pada tanaman yang
diinfeksi mikoriza, penambahan TSP setara dengan 200 kg P/ha saja telah cukup
meningkatkan hasil hampir 5 g, penambahan pupuk selanjutnya tidak begitu nyata
meningkatkan hasil.
Jaringan hifa ekternal dari mikoriza akan memperluas bidang serapan air dan hara.
Disamping itu ukuran hifa yang lebih halus dari bulu-bulu akar memungkinkan hipa
bisa menyusup ke pori-pori tanah yang paling kecil (mikro) sehingga hifa bisa
menyerap air pada kondisi kadar air tanah yang sangat rendah (Killham, 1994).
Serapan air yang lebih besar oleh tanaman bermikoriza, juga membawa unsur hara
yang mudah larut dan terbawa oleh aliran masa seperti N, K dan S. sehingga serapan
unsur tersebut juga makin meningkat.
Kendala pokok pembudidayaan lahan kering ialah keterbatasan air, baik itu curah
hujan maupun air aliran permukaan. Notohadinagoro (1997) mengatakan bahwa
tingkat kekeringan pada lahan kering sampai batas tertentu dipengaruhi oleh daya
tanah menyimpan air. Tingkat kekeringan berkurang atau lamanya waktu tanpa
kekurangan air (water stress) bertambah panjang apabila tanah mempunyai daya
simpan air besar. Sebaliknya tingkat kekeringan meningkat, atau lamanya waktu
dengan kekurangan air bertambah panjang apabila tanah mempunyai daya simpan air
kecil. Lama waktu tanpa atau dengan sedikit kekurangan air menentukan masa musim
pertumbuhan tanaman, berarti lama waktu pertanaman dapat dibudidayakan secara
tadah hujan.
Inokulasi mikoriza yang mempunyai hifa akan membantu proses penyerapan air yang
terikat cukup kuat pada pori mikro tanah. Sehingga panjang musim tanam tanaman
pada lahan kering diharapkan dapat terjadi sepanjang tahun. Sejumlah percobaan telah
membuktikan hubungan saling menguntungkan, yaitu adanya cendawan mikoriza
sangat meningkatkan efisiensi penyerapan mineral dari tanah. Cendawan MVA
mempunyai hubungan mutualistik dengan tanaman inang, dengan jalan memobilisasi
fosfor dan hara mineral lain dalam tanah, kemudian menukarkan hara ini dengan
karbon inang dalam bentuk fotosintat.
2. Lebih Tahan terhadap Serangan Patogen Akar
Mikoriza juga dapat melindungi tanaman dari ekses unsur tertentu yang bersifat racun
seperti logam berat (Killham, 1994). Mekanisme perlindungan terhadap logam berat
dan unsur beracun yang diberikan mikoriza dapat melalui efek filtrasi, menonaktifkan
secara kimiawi atau penimbunan unsur tersebut dalam hifa cendawan. Khan (1993)
menyatakan bahwa VAM dapat terjadi secara alami pada tanaman pioner di lahan
buangan limbah industri, tailing tambang batubara, atau lahan terpolusi lainnya.
Inokulasi dengan inokulan yang cocok dapat mempercepat usaha penghijauan kembali
tanah tercemar unsur toksik.
Mikoriza juga bisa memberikan kekebalan bagi tumbuhan inang. Mikoriza ini
menjadi pelindung fisik yang kuat, sehingga perakaran sulit ditembus penyakit
(patogen), sebab jamur ini mampu membuat bahan antibotik untuk melawan penyakit.
Mikoriza sangat mengurangi perkembangan penyakit busuk akar yang disebabkan
oleh Phytopthora cenamoni. Demikian pula mikoriza telah dilaporkan dapat
mengurangi serangan nematode.
Penggunaan mikoriza lebih menarik ditinjau dari segi ekologi karena aman dipakai,
tidak menyebabkan pencemaran lingkungan. Bila mikoriza tertentu telah berkembang
dengan baik di suatu tanah, maka manfaatnya akan diperoleh untuk selamanya.
Mikoriza juga membantu tanaman untuk beradaptasi pada pH yang rendah. Demikian
pula vigor tanaman bermikoriza yang baru dipindahkan kelapang lebih baik dari yang
tanpa mikoriza (Anas, 1997).
Mikoriza berpegaruh juga dari segi fisik, yaitu dengan adanya hifa eksternal mikoriza
banyak mengandung logam berat, dan daerah tambang memberikan harapan tersendiri
untuk digunakan pada proyek rehabilitasi/reklamasi daerah bekas tambang. Bahkan
ada mikoriza yang menginfeksi tanaman yang tumbuh di dalam air. Hasil penelitian
sementara staf Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB menunjukkan bahwa dari akar
padi sawah juga dapat diinokulasi mikoriza tertentu. Bila ini benar, maka tidak
mustahil mikoriza akan memegang peranan sangat penting dalam pengembangan
pertanian di Indonesia (Anas, 1997).
Mikoriza merupakan salah satu dari jenis jamur. Jamur merupakan suatu alat yang
dapat memantapkan struktur tanah. Cendawan mikoriza melalui jaringan hifa
eksternal dapat memperbaiki dan memantapkan struktur tanah. Sekresi senyawa-
senyawa polisakarida, asam organik dan lendir oleh jaringan hifa eksternal yang
mampu mengikat butir-butir primer menjadi agregat mikro. "Organic binding agent"
ini sangat penting artinya dalam stabilisasi agregat mikro. Kemudian agregat mikro
melalui proses "mechanical binding action" oleh hifa eksternal akan membentuk
agregat makro yang mantap.
Prinsip kerja dari mikoriza ini adalah menginfeksi sistem perakaran tanaman inang,
memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman yang mengandung
mikoriza tersebut akan mampu meningkatkan kapasitas dalam penyerapan unsur hara
(Iskandar, 2002).
Konsentrasi glomalin lebih tinggi ditemukan pada tanah-tanah yang tidak diolah
dibandingkan dengan yang diolah. Glomalin dihasilkan dari sekresi hifa eksternal
bersama enzim-enzim dan senyawa polisakarida lainnya. Pengolahan tanah
menyebabkan rusaknya jaringan hifa sehingga sekresi yang dihasilkan sangat sedikit.
Pembentukan struktur yang mantap sangat penting artinya terutama pada tanah
dengan tekstur berliat atau berpasir. Thomas et al (1993) menyatakan bahwa
cendawan VAM pada tanaman bawang di tanah bertekstur lempung liat berpasir
secara nyata menyebabkan agregat tanah menjadi lebih baik, lebih berpori dan
memiliki permeabilitas yang tinggi, namun tetap memiliki kemampuan memegang air
yang cukup untuk menjaga kelembaban tanah.. Struktur tanah yang baik akan
meningkatkan aerasi dan laju infiltrasi serta mengurangi erosi tanah, yang pada
akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Dengan demikian mereka
beranggapan bahwa cendawan mikoriza bukan hanya simbion bagi tanaman, tapi juga
bagi tanah.
Pembentukan struktur tanah yang baik merupakan modal bagi perbaikan sifat fisik
tanah yang lain. Sifat-sifat fisik tanah yang diperbaiki akibat terbentuknya struktur
tanah yang baik seperti perbaikan porositas tanah, perbaikan permeabilitas tanah serta
perbaikan dari pada tata udara tanah.
Perbaikan dari struktur tanah juga akan berpengaruh langsung terhadap perkembangan
akar tanaman. Pada lahan kering dengan makin baiknya perkembangan akar tanaman,
akan lebih mempermudah tanaman untuk mendapatkan unsur hara dan air, karena
memang pada lahan kering faktor pembatas utama dalam peningkatan
produktivitasnya adalah kahat unsur hara dan kekurangan air. Akibat lain dari
kurangnya ketersediaan air pada lahan kering adalah kurang atau miskin bahan
organik. Kemiskinan bahan organik akan memburukkan struktur tanah, lebih-lebih
pada tanah yang bertekstur kasar sehubungan dengan taraf pelapukan rendah.
Hal sangat penting, yaitu Mikoriza juga diketahui berinteraksi sinergis dengan bakteri
pelarut fosfat atau bakteri pengikat N. Inokulasi bakteri pelarut fosfat (PSB) dan
mikoriza dapat meningkatkan serapan P oleh tanaman tomat (Kim et al,1998) dan
pada tanaman gandum (Singh dan Kapoor, 1999). Adanya interaksi sinergis antara
VAM dan bakteri penambat N2 dilaporkan oleh Azcon dan Al-Atrash (1997) bahwa
pembentukan bintil akar meningkat bila tanaman alfalfa diinokulasi dengan Glomus
moseae. Sebaliknya kolonisasi oleh jamur mikoriza meningkat bila tanaman kedelai
juga diinokulasi dengan bakteri penambat N, B. japonicum.cendawan mikoriza ini
memiliki enzim pospatase yang mampu menghidrolisis senyawa phytat (my-inosital
1,2,3,4,5,6 hexakisphospat). Phytat adalah senyawa phospat komplek, phytat
tertimbun didalam tanah hingga 20%-50% dari total phospat organik, merupakan
pengikat kuat (chelator) bagi kation seperti Kalsium (Ca++), Magnesium (Mg++),
Seng (Zn++), Besi (Fe++), dan protein.
Phytat di dalam tanah merupakan sumber phosphat, dengan bantuan enzim phospatase
phytat dapat dihidrolisis menjadi myoinosital, phosphor bebas dan mineral, sehingga
ketersediaan phosphor dan mineral dalam tanah dapat terpenuhi. Dengan demikian
cendawan mikoriza terlibat dalam siklus dan dapat memanen unsur P.
Secara alami mikoriza terdapat secara luas, mulai dari daerah artik tundra sampai ke
daerah tropis dan dari daerah bergurun pasir sampai ke hutan hujan tropis, yang
melibatkan lebih dari 80% tumbuhan yang ada (Subiksa, 2002). Perkembangan
kehidupan mikoriza berlangsung di dalam jaringan akar tanaman inang, setelah
didahului dengan proses infeksi akar. Prihastuti et al., (2006) menyatakan bahwa
lahan kering masam di Lampung Tengah banyak mengandung mikoriza vesikular-
arbuskular, yang diindikasikan dengan tingginya tingkat infeksi akar, yaitu mencapai
70,50–90,33%. Lahan kering masam merupakan lahan yang kurang produktif, namun
sangat luas ketersediaannya dan berpotensi untuk dikembangkan (Sudaryono, 2006).
Lahan kering masam merupakan lahan yang perlu diupayakan kesuburannya untuk
digunakan sebagai areal tanam komoditi pangan.
Mikoriza mampu tumbuh dan berkembang dengan baik pada lingkungan yang kurang
menguntungkan bagi pertumbuhan mikroba tanah lainnya (Keltjen, 1997). Semakin
banyak tingkat infeksi akar yang terjadi, memungkinkan jaringan hifa eksternal yang
dibentuk semakin panjang dan menjadikan akar mampu menyerap fosfat lebih cepat
dan lebih banyak (Stribley, 1987). Mikoriza mempunyai peranan yang cukup besar
dalam meningkatkan produktivitas tanaman di lahan marginal maupun dalam menjaga
keseimbangan lingkungan (Aher, 2004).
Bagi tanaman inang, adanya asosiasi ini, dapat memberikan manfaat yang sangat
besar bagi pertumbuhannya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara
tidak langsung, cendawan mikoriza berperan dalam perbaikan struktur tanah,
meningkatkan kelarutan hara dan proses pelapukan bahan induk. Sedangkan secara
langsung, cendawan mikoriza dapat meningkatkan serapan air, hara dan melindungi
tanaman dari patogen akar dan unsur toksik.
Nuhamara (1994) mengatakan bahwa sedikitnya ada 5 hal yang dapat membantu
perkembangan tanaman dari adanya mikoriza ini yaitu :
1. Mikoriza dapat meningkatkan absorpsi hara dari dalam tanah
2. Mikoriza dapat berperan sebagai penghalang biologi terhadap infeksi patogen akar.
3. Meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan kelembaban yang
ekstrim
4. Meningkatkan produksi hormon pertumbuhan dan zat pengatur tumbuh lainnya
seperti auxin.
6. Menjamin terselenggaranya proses biogeokemis.
RFMD = [ (BK. tanaman bermikoriza - BK. tanaman tanpa mikoriza) / BK. Tanaman
tanpa mikoriza ] x 100 %
Namun demikian, respon tanaman tidak hanya ditentukan oleh karakteristik tanaman
dan cendawan, tapi juga oleh kondisi tanah dimana percobaan dilakukan. Efektivitas
mikoriza dipengaruhi oleh faktor lingkungan tanah yang meliputi faktor abiotik
(konsentrasi hara, pH, kadar air, temperatur, pengolahan tanah dan penggunaan
pupuk/pestisida) dan faktor biotik (interaksi mikrobial, spesies cendawan, tanaman
inang, tipe perakaran tanaman inang, dan kompetisi antar cendawan mikoriza).
Adanya kolonisasi mikoriza dengan respon tanaman yang rendah atau tidak ada sama
sekali menunjukkan bahwa cendawan mikoriza lebih bersifat parasit (Solaiman dan
Hirata, 1995).
Padang alang-alang tersebar luas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan pulau besar
lainnya. Lahan alang-alang pada umumnya adalah tanah mineral masam, miskin hara
dan bahan organik, kejenuhan Al tinggi. Disamping itu padang alang-alang juga
memiliki sifat fisik yang kurang baik sehingga kurang menguntungkan kalau
diusahakan untuk lahan pertanian. Alang-alang dikenal sebagai tanaman yang sangat
toleran terhadap kondisi yang sangat ekstrim. Diketahui bahwa alang-alang
berasosiasi dengan berbagai cendawan mikoriza arbuscular seperti Glomus sp.,
Acaulospora dan Gigaspora (Widada dan Kabirun ,1997).
Kemasaman dan Al-dd tinggi bukan merupakan faktor pembatas bagi cendawan
mikoriza tersebut, tapi merupakan masalah besar bagi tanaman/tumbuhan. Dengan
demikian cendawan mikoriza ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman
pangan. Kabirun dan Widada (1994) menunjukkan bahwa inokulasi MVA mampu
meningkatkan pertumbuhan, serapan hara dan hasil kedelai pada tanah Podsolik dan
Latosol. Pada tanah Podsolik serapan hara meningkat dari 0,18 mg P/tanaman menjadi
2,15 mg P/tanaman., sedangkan hasil kedelai meningkat dari 0,02 g biji/tanaman
menjadi 5,13 g biji/tanaman. Pada tanah Latosol serapan hara meningkat dari 0,13 mg
P/tanaman menjadi 2,66 mg P/tanaman, dan hasil kedelai meningkat dari 2,84 g
biji/tanaman menjadi 5,98 g biji/tanaman. Penelitian pemupukan tanaman padi
menggunakan perunut 32P pada Ultisols menunjukkan bahwa serapan hara total
maupun yang berasal dari pupuk meningkat nyata pada tanaman yang diinokulasikan
dengan cendawan VAM (Ali et al, 1997).
Tanaman yang bermikoriza terbukti mampu bertahan pada kondisi stres air yang
hebat. Hal ini disebabkan karena jaringan hipa eksternal akan memperluas permukaan
serapan air dan mampu menyusup ke pori kapiler sehingga serapan air untuk
kebutuhan tanaman inang meningkat.
Penelitian lain menunjukkan bahwa tanaman narra (Pterocarpus indicus) (Castillo dan
Cruz, 1996) dan pepaya (Cruz et al, 2000) bermikoriza memiliki ketahanan yang lebih
besar terhadap kekeringan dibandingkan tanaman tanpa mikoriza yang ditandai
dengan kandungan air dalam jaringan dan transpirasi yang lebih besar, meningkatnya
tekanan osmotik, terhidar dari plasmolisis, meningkatnya kandungan pati dan
kandungan proline (total dan daun) yang lebih rendah selama stress air.
Cendawan VAM seperti Glomus spp mampu hidup dan berkembang dibawah kondisi
salinitas yang tinggi dan menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap penurunan
kehilangan hasil karena salinitas (Lozano et al, 2000). Mekanisme perlindungannya
belum diketahui dengan pasti, tapi diduga disebabkan karena meningkatnya serapan
hara immobil seperti P, Zn dan Cu (Al-Kariki, 2000). Lebih lanjut Al-Kariki (2000)
mendapatkan bahwa tanaman tomat yang diinokulasi dengan mikoriza
pertumbuhannya lebih baik dibanding dengan tanpa mikoriza. Konsentrasi P dan K
rata-rata lebih tinggi sedangkan konsentrasi Na rata-rata lebih rendah dibandingkan
dengan tanaman tanpa mikoriza. Hal ini berarti bahwa cendawan VAM dapat sebagai
filter bagi unsur hara tertentu yang tidak dikehendaki oleh tanaman. Peneliti lain,
Lozano et al (2000) membandingkan efektivitas Glomus deserticola dengan Glomus
sp lainnya yang merupakan cendawan autochthonous lahan salin. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa Glomus deserticola lebih efektif dari Glomus sp.
Polusi logam berat pada ekosistem hutan sangat berpengaruh terhadap kesehatan
tanaman hutan khususnya perkembangan dan pertumbuhan bibit tanaman hutan
(Khan, 1993). Hal semacam ini sangat sering terjadi disekitar areal pertambangan
(tailing dan sekitarnya). Kontaminasi tanah dengan logam berat akan meningkatkan
kematian bibit dan menggagalkan prgram reboisasi. Penelitian Aggangan et al (1997)
pada tegakan Eucalyptus menunjukkan bahwa Ni lebih berbahaya dari Cr. Gejala
keracunan Ni tampak pada konsentrasi 80 umol/l pada tanah yang tidak dinokulasi
dengan mikoriza sedangkan tanah yang diinokulasi dengan Pisolithus sp., gejala
keracunan terjadi pada konsentrasi 160 umol/l. Isolat Pisolithus yang diambil dari
residu pertambangan Ni jauh lebih tahan terhadap kadar Ni yang tinggi dibandingkan
dengan Pisolithus yang diambil dari tegakan eucaliptus yang tidak tercemar logam
berat.
Upaya bioremediasi lahan basah yang tercemar oleh limbah industri (polutan organik,
sedimen pH tinggi atau rendah pada jalur aliran maupun kolam pengendapan) juga
dapat dilakukan dengan memanfaatkan tanaman semi akuatik seperti Phragmites
australis. Oliveira et al, (2001) menunjukkan bahwa P. australis dapat berasosiasi
dengan cendawan mikoriza melalui pengeringan secara gradual dalam jangka waktu
yang pendek. Hal ini dapat dijadikan strategi pengelolaan lahan terpolusi
(phytostabilisation) dengan meningkatkan laju perkembangan spesies mikotropik.
Penelitian Joner dan Leyval (2001) menunjukkan bahwa perlakuan mikoriza pada
tanah yang tercemar oleh polysiklik aromatic hydrocarbon (PAH) dari limbah industri
berpengaruh terhadap pertumbuhan clover, tapi tidak terhadap pertumbuhan reygrass.
Dengan mikoriza laju penurunan hasil clover karena PAH dapat ditekan. Tapi bila
penambahan mikoriza dibarengi dengan penambahan surfaktan, zat yang melarutkan
PAH, maka laju penurunan hasil clover meningkat.
Tanaman yang tumbuh pada limbah pertambangan batubara diteliti Rani et al (1991)
menunjukkan bahwa dari 18 spesies tanaman setempat yang diteliti, 12 diantaranya
bermikoriza. Tanaman yang berkembang dengan baik di lahan limbah batubara
tersebut, ditemukan adanya "oil droplets" dalam vesikel akar mikoriza. Hal ini
menunjukkan bahwa ada mekanisme filtrasi, sehingga bahan beracun tersebut tidak
sampai diserap oleh tanaman.
Dari penelitian ini dilakukan untuk mengetahui respon tanaman jagung terhadap
inokulasi jamur Mikoriza Vesikular Arbuskular (Gigaspora margarita) dan sludge cair
di tanah Andisol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi Gigaspora margarita
memberikan hasil yang terbaik terhadap hampir semua parameter meningkatkan
kandungan P dalam jaringan tanaman, efisiensi penyerapan P, mempercepat umur
berbunga tanaman jagung, meningkatkan N tanah setelah percobaan, dan
meningkatkan hasil tanaman jagung (Bintoro M et al., 2000).
Menurut Wachjar et al (2002), dari hasil percobaan yang dilakukan bahwa pemberian
CMA berpengaruh terhadap jumlah daun, bobot kering dan serapan P pada tajuk bibit
kelapa sawit, tetapi tidak terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit pada umur 20
MST.
Penelitian yang dilakukan oleh Balai Penelitian Tanaman Tropika (2007), tentang
pengembangan tanaman manggis dalam skala luas masih terkendala pada lambatnya
laju tumbuh tanaman, baik pada fase bibit maupun setelah tanam di lapang.
Lambatnya laju pertumbuhan tersebut akibat kurang baiknya sistem perakaran.
Tanaman manggis memiliki sistem perakaran lateral yang relatif sedikit dan miskin
akan bulu-buku akar, mengakibatkan penyerapan hara dan air dari dalam tanah sangat
terbatas. Penggunaan CMA sebagai alat biologis dalam bidang pertanian dapat
memperbaiki pertumbuhan, produktivitas, dan kualitas tanaman tanpa menurunkan
kualitas ekosistem tanah.
Spora CMA yang dikemas dalam kapsul ini mempunyai daya simpan cukup lama,
karena dalam waktu 18 bulan masih cukup infektif dan efektif dalam memacu
pertumbuhan bibit manggis. Cara aplikasi kapsul ini juga sangat mudah yaitu dengan
membuat lubang dengan sebilah bambu sebesar pensil di sebelah kiri atau kanan bibit
manggis sedalam 4-5 cm, selanjutnya kapsul bermikoriza tersebut dimasukkan ke
dalam lubang dan lubang ditutup kembali dengan tanah.
Penelitian yang dilakukan oleh Husnal et al (2007), tentang peranan mikoriza pada
tanaman jati, misalnya jati bukti keunggulannya dengan menggunakan pupuk hayati
mikoriza. Hanya dalam usia kurang dari lima tahun, diameter batang tanaman jati
bermikoriza di lahan penelitiannya seluas satu hektare, telah mencapai sekitar 10
sentimeter. Ukuran ini sama dengan tanaman jati berumur 12 tahun yang
dibudidayakan tanpa menggunakan mikoriza.
Indikasi tersebut membuat usia tebang tanaman jati muna maupun spesies jati lainnya
dapat lebih singkat dari 40-60 tahun menjadi 15-20 tahun dengan garis tengah 30
sentimeter. "Untuk apa menanam jati super yang belum teruji kualitasnya. Selain itu,
jati super bukan spesies khas Sulawesi Tenggara," ujar Husna yang menentang
pengembangan jati super dalam upaya melindungi spesies genetik jati muna. Dengan
teknologi mikoriza, berharap jati muna yang telah dikenal berkualitas tinggi itu dapat
dikembangkan sebagai tanaman massal seperti tanaman komoditas perkebunan.
Tujuannya, selain untuk meningkatkan pendapatan rakyat juga sekaligus melestarikan
serta meningkatkan populasi kayu jati muna sebagai ciri khas daerah Sulawesi
Tenggara. Untuk mewujudkan harapannya, ia mengelola persemaian jati seluas dua
hektare yang menghasilkan bibit jati muna bermikoriza. Bibit tersebut disalurkan
kepada warga yang berminat mengembangkan tanaman jati muna.
Aplikasi pupuk hayati cendawan mikoriza arbuskula pada budidaya tanaman ubi kayu
sangat berpengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman. Penerapan teknologi
produksi inokulum cendawan mikoriza arbuskula secara langsung di lapangan (on
farm production) akan sangat banyak membantu, mengingat beberapa kendala apabila
inokulum tersebut dibutuhkan dalam jumlah yang cukup banyak. Dengan teknologi
ini beberapa keuntungan yang diperoleh diantaranya ialah dapat segera langsung
diaplikasikan tanpa tranportasi yang cukup jauh dan dapat diperoleh inokulum dalam
jumlah yang banyak yaitu sekitar 4 ton per 25 m 2 lahan produksi inokulum.
Alur Pembuatan
Metoda atau cara produksi inokulum mikoriza dan aplikasi secara langsung di lahan
atau on farm production adalah sebagai berikut :
1. Persiapan Lahan
Diperlukan bedengan berukuran 25 m 2 untuk menghasilkan 4 000 kg inokulum
berupa campuran tanah, spora dan akar terinfeksi. Sebaiknya dipilih lahan yang
kurang subur yang dekat dengan areal penanaman.
2. Sterilisasi Lahan
Pada lahan di atas disebarkan 50-60 g dazomet granular per m2, diaduk merata, lalu
disiram air untuk melarutkan butiran dazomet dan ditutup plastik. Perlakukan
berikutnya adalah pencangkulan, selain untuk meratakan hasil, juga untuk
menguapkan sisa fumigasi.Lima hari kemudian, bedeng tersebut dapat digunakan.
3. Inokulasi
Pada tiap lubang yang dibuat, diberikan starter inokulumdari jenis cendawan mikoriza
yang akan dikembang biakkan. Tanaman inang dapat berupa jagung, sorgum atau
pueraria. Untuk menjamin terjadinya infeksi pada media pengecambahan dapat diberi
inokulum sebagai perlakuan pra-inokulasi sebelum ditanam di bedeng perbanyakan.
4. Multiplikasi
Perawatan tanaman perlu dilakukan selama pertumbuhan tanaman di lahan atau
bedeng pembiakan. Setelah tanaman inang keluar bunga (jantan atau betina)
sebaiknya digunting agar tanaman dapat merangsang terbentuknya spora cendawan
mikoriza di lahan tersebut.
5. Panen Inokulum
Setelah tanaman inang mengering, tanah bedeng tersebut sudah dapat digunakan
sebagai inokulum. Pengambilan tanah sebagai inokulum dilakukan hingga kedalaman
sebatas lapisan olah yang telah dilakukan sebelumnya (20-30 cm).
6. Pemakaian hasil
Hasil panen dapat langsung diaplikasikan pada tanaman ubi kayu dengan dosis 200 g
per tanaman. Stek ubi kayu ditanamkan pada lubang tersebut tepat diatas permukaan
inokulum yang diberikan.
Manfaat
1. Mengurangi ketergantungan petani pada pupuk kimia yang harganya relatif mahal
2. Aplikasi inokulum cukup dilakukan satu kali untuk beberpa musim tanam.
3. Memberikan respon yang positif pada tanaman (Balai Penelitian Ilmu dan
Teknologi, 2008).
Dalam teknik pemberian mikoriza, dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:
(1) menggunakan tanah yang sudah mengandung mikoriza
(2) menggunakan akar yang mengandung mikoriza
(3) menggunakan miselia cendawan, dan
(4) menggunakan spora mikoriza yang sudah dikemas dalam bentuk kapsul.
Tablet ini dibuat dari cendawan, dengan cara diambil dari mikoriza yang dibentuknya,
kemudian dimurnikan dari jamur-jamur lain yang berada disekelilingnya. Setelah
teruji kemurniannya, jamur ini ditumbuhkan pada media buatan dari tanah dan bahan-
bahan organik untuk dijadikan bahan baku pil. Untuk membuat tablet, biomassa jamur
yang terdiri dari benang-benang miselia itu, ditumbuk halus bersama media
tumbuhnya. Selanjutnya bubuk yang mengandung bibit jamur itu dicetak menjadi
batang-batang silinder panjang dengan diameter 0,7 sentimeter. Untuk melindungi
dari kontaminasi cendawan jenis lain, racikan bubuk itu dimasukan kedalam kapsul.
Pil mikoriza ini hanya cocok untuk bibit tanaman. Aturan pakainya sederhana, satu
tablet untuk satu bibit. Setelah itu pil dipecah-pecah, dicampurkan dengan tanah yang
dipakai untuk menumbuhkan bibit tanaman. Setelah diberikan pada bibit tanaman,
cendawan akan tumbuh dan menempel pada akar tanaman. Miselianya dapat menutup
permukaan akar dan tumbuh mengikuti perkembangan akar, lebih mudah menangkap
air tanah dan zat-zat hara, dengan demikian tanaman tumbuh lebih bongsor. Pengaruh
yang jelas terlihat karena adanya mikoriza adalah tanaman pinus. Benang-benang
miselia yang menempel pada akar pinus, mampu menambah daya serap akar terhadap
hara fosfor (P), sampai 230%, Kalium (K) bertambah 86%, dan Nitrogen (N) 75%.
Dengan adanya hal tersebut dapat meningkatkan efisiensi pemupukan. Kehadiran
mikoriza ternyata membuat tanaman tidak sensitif, karena tanah asam yang
disebabkan mikoriza justru menyukai tanah-tanah asam. Dengan demikian,
penggunaan jasa mikoriza ini dapat mengatasi kesulitan penghutanan kembali pada
tanah asam.
Jumlah takaran VA mikoriza yang digunakan yaitu 0,50; 1,00; 1,50 dan 2,00 gram.
Biakan VA mikoriza diinfeksikan pada tanaman tomat yang berumur 14 hari. Sebagai
pembanding, ditanan tomat yang tanpa inokulasi VA mikoriza . Pada hari ke 29
tanaman tomat diberi suspensi nematoda Meloidogyne spp sebanyak 1 ml per
tanaman.Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan VA mikorisa dapat
mengendalikan serangan nematoda Meloidogyne spp pada juml;ah takaran 1,00;
1.500 dan 2.00 gram. Sedangkan hasil yang paling baik dan efektif terjadi pada
penggunaan VA mikoriza 2,00 gram (Hardiatmi S.J.M, 2008)
Teknik ini memberikan manfaat pada tanaman untuk bisa tumbuh dan berproduksi
dengan baik pada lahan marginal melalui peningkatan ketersediaan unsur hara bagi
tanaman, perbaikan kesuburan lahan dan peningkatan daya tahan pada kekeringan.
Salah satu jenis pupuk hayati yang telah dan sedang dikaji BPPT adalah
TECHNOFERT 2001 yaitu pupuk hayati yang memanfaatkan kerja Mikoriza. Pupuk
hayati ini diproduksi di P3 Biotek, Kawasan PUSPIPTEK Serpong. Mikroba-mikroba
bermanfaat tersebut ada juga diformulasikan dalam bahan pembawa khusus dan
digunakan sebagai biofertilizer. Hasil penelitian yang dilakukan oleh BPBPI
mendapatkan bahwa biofertilizer setidaknya dapat mensuplai lebih dari setengah
kebutuhan hara tanaman. Biofertilizer yang tersedia di pasaran antara lain: Emas,
Rhiphosant, Kamizae, OST dan Simbionriza.
Prinsip kerja dari mikoriza ini adalah menginfeksi sistem perakaran tanaman inang,
memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman yang mengandung
mikoriza tersebut akan mampu meningkatkan kapasitas dalam penyerapan unsur hara.
Secara umum manfaat yang diberikan dengan penggunaan pupuk hayati mikoriza
adalah :
Tabel 1. Hasil pengujian terhadap tinggi tanaman coklat, sengon dan kedelai umur 4
bulan di green house PPP Biotek-Serpong.
-------------------------------------------------------------------
Jenis Tanaman Tinggi Persentase
Tanaman (cm) kenaikan (%)
-------------------------------------------------------------------
Coklat (kakao)
Tanpa Mikoriza 28,14
Dengan Mikoriza 43,64 35,50
Sengon buto
Tanpa Mikoriza 32,12
Dengan Mikoriza 48,50 33,70
Kedelei
Tanpa Mikoriza 18,44
Dengan Mikoriza 28,28 34,70
-------------------------------------------------------------------
Pupuk hayati mikoriza produksi BPPT ini digunakan dalam memproduksi 20.000
tanaman kehutanan sengon (Paraserianthe falcataria) yang ditanam di lahan marginal
di propinsi Lampung. Pupuk mikoriza juga digunakan untuk penanaman tanaman
hijauan makanan ternak gamal (Gliricidia maculata) pada lahan kering di Kabupaten
Karangasem bekerjasama dengan Dinas Peternakan dan Pemda Karangasem, Bali.
Dengan penggunaan mikoriza ternyata pertumbuhan sengon dan gamal pada lahan
kering dan kurang subur meningkat dibanding dengan tanaman dengan pupuk
kandang atau kontrol (tanpa pemupukan). Simbiosis jamur dengan tanaman gamal
ternyata memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan gamal, seperti terlihat
pada gambar 2 dan 3.
Dengan peranan dan manfaat mikoriza tersebut, aplikasinya pada gamal dapat
meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman gamal melalui peningkatkan
penyerapan unsur hara (terutama unsur P) dan peningkatan penyerapan air. Dengan
kondisi seperti itu diharapkan produksi daun tanaman gamal yang menjadi pakan
ternak dapat meningkat meskipun tanaman tersebut ditanam pada lahan kering dan
kurang subur.
Tablet ini dibuat dari cendawan, dengan cara diambil dari mikoriza yang dibentuknya,
kemudian dimurnikan dari jamur-jamur lain yang berada disekelilingnya. Setelah
teruji kemurniannya, jamur ini ditumbuhkan pada media buatan dari tanah dan bahan-
bahan organik untuk dijadikan bahan baku pil. Untuk membuat tablet, biomassa jamur
yang terdiri dari benang-benang miselia itu, ditumbuk halus bersama media
tumbuhnya. Selanjutnya bubuk yang mengandung bibit jamur itu dicetak menjadi
batang-batang silinder panjang dengan diameter 0,7 sentimeter. Untuk melindungi
dari kontaminasi cendawan jenis lain, racikan bubuk itu dimasukan kedalam kapsul.
Pil mikoriza ini hanya cocok untuk bibit tanaman. Aturan pakainya sederhana, satu
tablet untuk satu bibit. Setelah itu pil dipecah-pecah, dicampurkan dengan tanah yang
dipakai untuk menumbuhkan bibit tanaman.
Setelah diberikan pada bibit tanaman, cendawan akan tumbuh dan menempel pada
akar tanaman. Miselianya dapat menutup permukaan akar dan tumbuh mengikuti
perkembangan akar, lebih mudah menangkap air tanah dan zat-zat hara, dengan
demikian tanaman tumbuh lebih bongsor.
Pengaruh yang jelas terlihat karena adanya mikoriza adalah tanaman pinus. Benang-
benang miselia yang menempel pada akar pinus, mampu menambah daya serap akar
terhadap hara fosfor (P), sampai 230%, Kalium (K) bertambah 86%, dan Nitrogen (N)
75%. Dengan adanya hal tersebut dapat meningkatkan efisiensi pemupukan.
Kehadiran mikoriza ternyata membuat tanaman tidak sensitif, karena tanah asam yang
disebabkan mikoriza justru menyukai tanah-tanah asam. Dengan demikian,
penggunaan jasa mikoriza ini dapat mengatasi kesulitan penghutanan kembali pada
tanah asam. Hasil pemanfaatan mikoriza untuk beberapa jenis tanaman kehutanan
dapat dilihat pada tabel berikut ini (Hardiatmi J.M.S, 2008).
Spora yang terkumpul dan tercampur bersama media sangat halus kemudian dihitung
jumlahnya dan dikeringkan sampai berbentuk tepung halus. Carrier yang digunakan
bisa tanah hitam atau tanah merah. Tanah hitam yang digunakan adalah tanah liat
berwarna hitam diambil dari dasar sungai, sedangkan tanah merah adalah tanah
podsolik merah kuning berwarna. Sebelum digunakan, tanah hitam atau tanah merah
terlebih dahulu disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 259°F dan tekanan 20 psi
selama 1 jam. Setelah itu, tanah hitam atau tanah merah ditumbuk sampai berbentuk
tepung halus. Langkah selanjutnya adalah mencampur spora yang telah diketahui
jumlahnya dengan carrier yang telah disiapkan dengan cara sebagai berikut:
(1) Timbang carrier sesuai dengan jumlah spora yang tersedia, misalnya: spora yang
tersedia sebanyak 1 00.000 spora, setiap kapsul akan diisi 1 00 spora berarti akan
dibutuhkan 1.000 kapsul, setiap kapsul dibutuhkan 0,5 g carrier, berarti dibutuhkan
500 g carrier.
(2) Campurkan 500 g carrier dengan 1 00.000 spora secara merata.
(3) Masukkan campuran spora dengan carrier ke dalam kapsul kemudian kapsul di
simpan dalam kantong plastik atau kantong kertas pada suhu kamar sambil menunggu
saat penggunannya.
(3) Dapat di produksi secara khusus. Lahan yang akan dipakai untuk pembangunan
hutan tanaman, pH tanahnya sangat bervariasi. Apabila dikemas dalam bentuk tablet,
maka komponen penyusun tablet dapat diatur sedemikian rupa supaya dapat sesuai
dengan pH tanah stempat yang diproduksi secara khusus.
Mengingat begitu luasnya target HTI dengan berbagai permasalahan yang ada
maupun target luas kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lahan di Indonesia,
pengembangan industri mikoriza mempunyai prospek dan peluang yang besar.
Bahkan prospek dan peluang ini diperbesar apabila melihat kegiatan pembangunan
serupa dibeberapa negara tetangga yang mempunyai masalah yang relatif sama.
Zarate, J.T. and R.E. Dela Cruz, 1995. Pilot testing the effectiveness of arbuscular
mycorrhizal fungi in the reforestation of marginal grassland. Biotrop Spec. Publ.No56
: 131-137. Biology and Biotechnology of Mycorrhizae.
Diposkan oleh Dr. Ir. Abdul Madjid, MS
V. KESIMPULAN
1. Mikoriza adalah jenis jamur yang mempunyai peranan penting dalam memperbaiki
sifat fisik dan kimia tanah dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman.
2. Mikoriza dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hayati yang sangat penting dalam
memenuhi kebutuhan hara tanaman sehingga kebutuhan akan pupuk anorganik dapat
dikurangi, serta dapat menjaga kelestarian lingkungan dan bisa dimanfaatkan secara
berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Anas, I. 1989. Biologi Tanah dalam Praktek. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
Pusat Antar Universitas Bioteknologi. IPB.
Adinurani P.G, Mulyati M dan Roy H. 2008. (Abstrak) Pengaruh Cendawan Mikoriza
Arbuskula (CMA) pada Tebu di Tanah Mineral Masam di Tolangohula Gorontalo.
Ali, G.M., E.F. Husin, N. Hakim dan Kusli, 1997. Pemberian mikoriza vesikular
asbuskular untuk meningkatkan efisiensi pemupukan fosfat tanaman padi gogo pada
tanah Ultisols dengan perunut 32P. p. 597-605 dalam Subagyo et al (Eds). Prosiding
Kongres Nasional VI HITI, Jakarta, 12-15 Desmber 1995.
Ba, A.M., K.B. Sanon , R. Doponnois, and J. Dexheimer, 2000. Growth response of
Afselia africana Sm. seedlings to ectomycorrhizal inoculation in a nutrient-deficient
soil. Mycorrhiza J. 9/2 : 91-95.
Biantoro M, Ika RS dan Saubari MM. 2000. Pengaruh Sludge dan Inokulasi Mikoriza
Veriskular Arbuskular Terhadap Pertumbuhan dan Hail Tanaman Jagung (Zea May).
Balai Penelitian Ilmu dan Teknologi. 2007. Pemakaian Pupuk Hayati Mikoriza pada
Budidaya Ubi Kayu terhubung berkala: www.google.com dalam
http://support.lunarpages.com.
Fleibach, A.R. Martens and H.H. Reber, 1994. Soil microbial biomass and microbial
activity in soil treated with heavy metal contaminated sewage sludge. Soil Biol.
Biochem. 26 (9) : 1201 - 1205.
Hakim, Nurhajati., M. Yusuf Nyakpa, A.M. Lubis, Sutopo Ghani Nugroho, M. Rusdi
Saul, M. Amin Diha, Go Ban Hong, H.H. Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah.
Universitas Lampung. Lampung.
Hasanudin. 2008. Peningkatan Ketersediaan dan Serapan N dan P serta Hasil Tanaan
Jagung Melalui Inokulasi Mikoriza Azotobactor dan Bahan Organik pada Ultisol.
ISSN 1411-0062. Jurnal Ilmu – Ilmu Pertanian Indonesia, Vol 5; hal 83-89.
Husnal, Faisal T, Mahfud. 2007. Aplikasi Mikoriza untuk Memacu Pertumbuhan Jati
di Muna. Balai Pusat Penelitian Boteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.
INFOTENS, Vol 5; No.1.
Iskandar, Dudi. 2002. Pupuk Hayati Mikoriza Untuk Pertumbuhan dan Adapsi
Tanaman Di Lahan Marginal. Universitas Lampung. Lampung.
Joner, E.J. and C. Leyval, 2001. Influence of arbuscular mycorrhiza on clover and
ryegrass grown together in a soil spiked with polycyclic aromatic hydrocarbons.
Mycorrhiza J. 10/4 : 155-159.
Khan, A.G., 1993. Effect of various soil environment stresses on the occurance,
distribution and effectiveness of VA mycorrhizae. Biotropia 8 : 39-44.
Khan, M.H., 1995. Role of mycorrhizae in nutrient uptake and in the amelioration of
metal toxicity. Biotrop Spec. Publ.No56 : 131-137. Biology and Biotechnology of
Mycorrhizae.
Morte, A., C.Lovisolo and A. Schubert, 2000. Effect of drought stress on growth and
water relations of the mycorrhizal association Helianthemum almeriense - Tervesia
claveryi. Mycorrhiza J. 10/3 : 115-119.
Oliveira, R.S., JC. Dodd and PML. Castro, 2001. The mycorrhizal status of Pragmites
australis in several polluted soils and sediments of an industrialised region of
Northern Portugal. Mycorrhiza J. 10/5 : 241-247.
Pattimahu, D.V. 2004. Restorasi lahan kritis pasca tambang sesuai kaidah ekologi.
Makalah Mata Kuliah Falsafah Sains, Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Bogor.
Rao, N.S Subha, 1994. Mikroorganisme tanah dan pertumbuhan tanaman. Edisi
Kedua. Penerbit Universitas Indonesia.
Schubler, A., D. Schwarzott, and C. Walker. 2001. A new fungal phylum, the
Glomero-mycota: phylogeny and evolution. Mycol. Res. 105(12):1413-1421.
Simangunsong S.A. 2005. Pengaruh Pemberian MVA dan Puuk Kandang Ayam Pada
Tanaman Tembakau Deli Terhadap Serapan P dan Pertumbuhan di Tanah Inceptisol
Sampali.
Thomas, R.S., R.L. Franson, and G.J. Bethlenfalvay, 1993 Separation of arbuscular
mycorrhizal fungus and root effect on soil aggregation. Soil Sci. Soc. Am. J. 57 : 77-
81.
Widodo, A. Romeida, dan Marlin. 2006. Unsur hara tanaman. Bahan Ajar Nutrisi
Tanaman. Jurusan Budidaya Pertanan Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Powered by sitekno