Anda di halaman 1dari 12

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konsep diri
1. Definisi konsep diri
Konsep diri merupakan keseluruhan informasi dan pandangan yang dimiliki
individu terhadap dirinya sendiri, dimana terkadang informasi yang dimiliki tidak
realistik dan keliru (Calhoun dan Accocela, 1990). Hal senada diungkapkan oleh
Rakhmat (2007) yang menjelaskan istilah konsep diri sebagai persepsi individu terhadap
diri sendiri dari aspek fisik, sosial dan psikologis. Allport (dalam Schultz, D. 1991)
menyinggung juga mengenai konsep diri, namun istilah yang digunakan adalah proprium.
Beliau mendefinisikan proprium sebagai hal atau proses yang penting dan bersifat
pribadi, yang menentukan keunikan individu sebagaimana yang dirasakan dan
diketahuinya.
Konsep diri berisi mengenai perasaan dan pikiran individu terhadap kekuatan dan
kelemahan, kemampuan dan keterbatasan serta aspirasi nya sendiri, selain itu juga
memuat informasi mengenai pandangan dunia atau lingkungan sekitar terhadap diri
individu. (Black, dalam Devito, J. 2004).
Bisa disimpulkan berarti konsep diri adalah gambaran atau penilaian individu
terhadap diri sendiri yang meliputi hal fisik, kognitif dan afektif, yang dipengaruhi juga
oleh penilaian lingkungan sekitar terhadap diri individu.

2. Aspek konsep diri


Calhoun dan Acocella (1990) menggunakan istilah dimensi dalam menerangkan
aspek yang terkandung dalam konsep diri, adapun dimensi yang dimaksud, yaitu :
a) Pengetahuan
Saat berbicara mengenai konsep diri, pertanyaan pertama yang muncul adalah
apa yang diketahui individu mengenai dirinya sendiri. Informasi yang diketahui
oleh individu menyangkut hal-hal dasar seperti usia, jenis kelamin, tempat tanggal
lahir dan lain sebagainya. Selain informasi dasar, dimensi pengetahuan disini juga
menyangkut kepribadian maupun tingkat intelegensi.
b) Pengharapan
Hurlock menjelaskan konsep diri menjadi 2 bagian, yaitu konsep diri
sebenarnya dan konsep diri ideal. Konsep diri sebenarnya dipengaruhi oleh peran
dan hubungannya dengan orang lain, serta melalui reaksi orang lain terhadap diri
individu sesungguhnya, sementara konsep diri ideal merupakan gambaran
individu mengenai penampilan dan kepribadian yang didambakan. Konsep diri
bukan hanya sekedar mengenai “siapa saya” saat ini, melainkan juga mengenai
akan menjadi seperti apa saya di masa yang akan datang.
c) Evaluasi
Individu memiliki kecenderungan untuk mengevaluasi dirinya berdasarkan
pencapaian dan sikap yang ditunjukkan. Hasil dari evaluasi inilah yang kemudian
membentuk harga diri individu (self esteem). Harga diri individu mempengaruhi
tingkat penghargaan atau kebanggaan individu terhadap dirinya sendiri. Harga diri
yang rendah akan menimbulkan kepercayaan diri yang rendah dan individu
cenderung menganggap dirinya sebagai orang yang kurang berharga, inkompeten
dan tidak berguna, sedangkan harga diri yang tinggi akan membuat individu
semakin percaya diri dan menghargai dirinya sendiri.

Sementara Devita (2004), menyatakan bahwa konsep diri mengandung aspek


kognitif dan afektif yang mencakup kekuatan dan kelemahan, kemampuan dan
keterbatasan serta aspirasi dan pandangan dunia terhadap diri individu. Senada dengan
pendapat Devita, Brooks (dalam Rakhmat, 2007) mengungkapkan bahwa konsep diri
terdiri dari komponen kognitif dan afektif artinya konsep diri meliputi apa yang
dipikirkan dan dirasakan seseorang terhadap dirinya sendiri.

3. Faktor yang mempengaruhi konsep diri


Devita (2004) menyebutkan 4 faktor yang mempengaruhi konsep diri, yaitu (a)
pandangan orang lain terhadap diri individu, (b) perbandingan sosial, (c) nilai
kebudayaan, (d) cara individu mengevaluasi dan menginterpretasikan pikiran dan
perilaku nya sendiri.

a) Pandangan orang lain terhadap diri individu

Gabriel Marcel (Rakhmat, J. 2007) mengatakan bahwa gambaran


senyatanya mengenai diri sendiri, dapat dimulai atau diperoleh dari pandangan
orang lain. Hal ini juga diungkapkan oleh Charles H. Cooley’s, bahwa agar
individu memiliki gambaran mengenai dirinya sendiri, dapat diperoleh dari cara
orang lain bereaksi dan memperlakukan individu tersebut (Devita, J. 2004).
Konsep diri dipengaruhi oleh orang lain, namun pengaruhnya terhadap individu
akan berbeda berdasarkan kedekatan dan pentingnya dalam hidup individu
tersebut. George H. Mead (Rakhmat, J. 2007) menyebut orang yang memiliki
pengaruh paling besar bagi konsep diri individu sebagai significant others.
Artinya orang lain yang memiliki peran paling penting dalam kehidupan individu.
Saat masa anak-anak, orangtua memiliki peran yang paling penting. Semakin
dewasa, peran tersebut tergantikan oleh teman sebaya, guru maupun pasangan
hidup.

Peran significant others dalam perkembangan konsep diri menjadi hal


yang penting untuk diperhatikan. Hal ini ditambahkan oleh Harry S. Sullivan
(Rakhmat, J. 2007), yang menyatakan bahwa jika orang lain menerima,
menghormati dan menyukai individu dengan segala keadaan dalam dirinya, maka
individu tersebut juga akan cenderung menghormati dan menerima diri apa
adanya. Begitupun sebaliknya, bila individu cenderung diremehkan, disalahkan
dan ditolak oleh orang lain, kecenderungan yang ada dalam diri individu adalah
perasaan rendah diri.

b) Perbandingan sosial

Individu merupakan makhluk sosial. Artinya teman sebaya atau orang lain
di lingkungan nya memiliki pengaruh terhadap konsep diri individu. Saat di
sekolah, individu akan cenderung membandingkan kemampuannya dengan orang
lain misalnya melalui hasil ujian matematika. Dengan begitu individu mengetahui
apakah kemampuan dalam pelajaran matematika lebih baik atau lebih buruk
dibandingkan teman-teman sebayanya. Perbandingan ini pun terlihat juga dari
status sosial. Konsep diri individu dengan status sosial yang tinggi akan
cenderung lebih positif dibandingkan dengan individu yang berstatus sosial
rendah.

c) Nilai kebudayaan

Individu hidup di tengah masyarakat dimana kebudayaan setempat


menjadi salah satu pegangan dalam berperilaku sehari-hari. Kebudayaan tersebut
bisa diketahui melalui ajaran orangtua ataupun guru di sekolah. Kegagalan
individu dalam memenuhi standar atau nilai kebudayaan akan berakibat pada
pembentukan konsep diri yang negatif. Misalnya sebagai seorang wanita remaja,
dikatakan berpenampilan menarik dan cantik, jika tubuhnya kurus. Individu yang
berkembang dengan belief seperti ini akan cenderung berusaha untuk diet dan jika
hal ini gagal dilakukan akan mempengaruhi penilaian terhadap dirinya sendiri
menjadi buruk, sehingga konsep diri yang dimiliki menjadi cenderung negatif
karena individu tersebut tidak mampu memenuhi standar kebudayaan yang ada.

d) Interpretasi dan evaluasi diri

Manusia memiliki kecenderungan untuk memberi arti dan mengevaluasi


dirinya, setelah apa yang dilakukan. Tiap individu mengembangkan nilai dan
norma yang berbeda. Dalam situasi tertentu sikap dan perbuatan individu tidak
sejalan sesuai dengan nilai dan norma yang dipegang, sehingga individu akan
mengevaluasinya sebagai sesuatu yang buruk, hal ini berpengaruh juga pada
konsep diri individu. Begitupula saat individu bersikap sesuai dengan nilai dan
norma yang dipegang, maka konsep diri individu akan berkembang semakin
positif.

4. Perkembangan konsep diri


Konsep diri dikatakan oleh banyak ahli bukan sebagai hasil dari genetik,
melainkan berkembang melalui proses belajar. Salah satu ahli yang juga sependapat
dengan hal itu adalah Allport (Schultz, D.1991), beliau mengatakan bahwa manusia tidak
dilahirkan dengan “sense of self”, artinya diri bukan merupakan warisan keturunan,
tetapi hasil dari suatu proses belajar manusia sepanjang kehidupannya. Allport
menambahkan, manusia pada awal kelahiran (bayi) tidak mampu membedakan antara diri
dan lingkungan. Sekitar usia 15 bulan, tahap pertama perkembangan konsep diri dimulai
dengan menyadari diri secara fisik (diri jasmaniah). Pada tahap ini, bayi mulai berpikir
mengenai “saya” dan “bukan saya”, dimana pemikiran secara konseptual mengenai diri
dan lingkungan mulai berkembang serta mampu melihat perbedaan keduanya. Misalnya
bayi mulai menyadari bahwa ia sedang menghisap jari, dan jari itu adalah miliknya.
Selain itu, individu sudah mulai memberikan label bahwa orang lain yang sedang tertawa
melihat tingkah ku itu adalah “bukan saya” (Calhoun, J. & Acocella, J. 1990).
Saat mulai memasuki sekolah, individu tidak lagi sekedar membandingkan diri
dengan saudara kandung, tetapi sudah mulai membandingkan diri dengan kehidupan
sosial atau teman sebaya di sekolah. Nilai-nilai yang mempengaruhi konsep individu
terhadap dunia dan dirinya, juga mulai dipengaruhi oleh guru dan teman-teman sebaya.
Guru sebagai sosok yang lebih tua berperan pula sebagai orangtua kedua selain orangtua
aslinya, sehingga pandangan dan pemikiran dari guru akan membentuk konsep diri
individu.
Hurlock mengatakan bahwa pada usia anak-anak, individu belum bisa
membedakan dengan jelas antara konsep diri sebenarnya dan konsep diri ideal. Mereka
cenderung berpikir bahwa dalam dirinya terdapat 2 kepribadian dan penampilan yang
berbeda satu sama lain dan berdiri sendiri-sendiri. Semakin dewasa individu, dua aspek
ini akan semakin menyatu dengan diri individu.

5. Jenis konsep diri

Konsep diri merupakan gambaran atau pandangan individu mengenai dirinya


sendiri. Dalam perkembangannya, konsep diri memiliki kecenderungan terbentuknya
menjadi negatif maupun positif.

a) Konsep diri negatif


Individu dengan konsep diri yang negatif, hanya mengetahui sedikit dari
dimensi konsep dirinya (evaluasi, pengetahuan dan pengharapan). Terdapat 2 tipe
karakteristik konsep diri negatif (Baron, A. & Byrne D., 1994), tipe pertama
digambarkan pada individu yang pandangan terhadap dirinya benar-benar tidak
teratur. Individu ini memiliki pengetahuan maupun pengharapan terhadap diri
sendiri yang cenderung berubah-ubah. Selain itu, individu dengan konsep diri
yang negatif memiliki pengetahuan yang sangat sedikit mengenai kelebihan dan
kekurangan serta value yang menjadi pegangan dalam hidupnya. Tipe yang
kedua, dijelaskan sebagai kebalikan dari tipe yang pertama. Konsep diri individu
cenderung terlalu stabil dan terkesan kaku.

William D. Brooks & Phillip Emmert, (dalam Rakhmat, J.2007),


menjabarkan mengenai ciri-ciri individu dengan konsep diri yang negatif yaitu :

a. Peka terhadap kritikan


Individu dengan konsep diri yang negatif akan mudah tersinggung apabila
sikap atau pemikirannya dievaluasi dan di kritik oleh orang lain. Oleh karena
itu, individu dengan konsep diri yang negatif cenderung menghindari
komunikasi secara terbuka dengan oang lain, serta berusaha mempertahankan
segala pemikirannya walaupun dengan logika atau alasan yang kurang tepat.
b. Responsif terhadap pujian
Individu dengan konsep diri yang negatif memiliki kebutuhan yang tinggi
untuk dihargai. Pujian dari orang lain menjadi syarat utama agar harga dirinya
meningkat. Dengan kata lain, individu tersebut tergila-gila dengan pujian,
walaupun terkesan menghindari.
c. Hiperkritis
Sikap bermusuhan dalam bentuk perilaku mencela, mengeluh dan
meremehkan orang lain, sering ditunjukkan oleh individu dengan konsep diri
yang negatif. Selain itu, mereka kurang mampu menghargai atau mengakui
kelebihan orang lain.
d. Merasa tidak disenangi orang lain
Individu dengan konsep diri yang negatif memiliki tingkat kecemasan
yang tinggi. Salah satu bentuk kecemasan ditimbulkan karena individu sering
merasa bahwa dirinya tidak disukai oleh orang lain.

b) Konsep diri positif


Devita (2004) mengungkap beberapa ciri individu dengan konsep diri yang
positif, yaitu :
a. Mampu menerima diri apa adanya
b. Mampu mengakui kekurangan dalam dirinya
c. Mampu menerima kekurangan maupun kelebihan orang lain
d. Memiliki kehendak bebas, tidak terperangkap dalam penjara pikiran seperti
individu dengan konsep diri yang negatif.
e. Spontan dan berani menghadapi masalah
f. Memperlakukan orang lain dengan hormat dan hangat

Hampir serupa dengan karakteristik konsep diri positif yang dikemukakan


Devita, D.E. Hamachek (dalam Rakhmat, J., 2007) juga mengungkapkan
beberapa karakteristik individu dengan konsep diri yang positif, antara lain :
a. Memiliki prinsip dan nilai yang dipegang teguh. Namun, jika informasi baru
yang muncul ternyata lebih relevan dengan dirinya, mereka mau dengan
terbuka mengubah nilai dan prinsip lama.
b. Perilaku dan tindakan yang muncul, didasari oleh penilaian yang tepat dan
bijak. Oleh karena itu, tidak mudah terpengaruh oleh pihak tertentu.
c. Peka terhadap kebutuhan dan situasi orang lain.
d. Tidak berlebihan dalam menanggapi suatu hal yang terjadi di masa lalu, masa
depan ataupun masa sekarang.
e. Menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati dan menerima pujian tanpa
disertai kecemasan.
f. Memiliki keyakinan dan ketahanan diri yang tinggi dalam memperoleh
sesuatu atau saat menghadapi permasalahan.
g. Terbuka terhadap perasaan nya pada diri sendiri maupun pada orang lain dan
berani mengungkapkan emosi atau hasrat terhadap orang lain.
h. Merasa setara dengan orang lain dan memiliki harga diri yang tinggi.
i. Menikmati pekerjaan yang sedang dilakukan.
j. Menerima dan menghargai diri apa adanya

B. Empati
1. Definisi empati
Sekitar tahun 1880, seorang psikolog kebangsaan jerman, Theodore Lipps
menyebutkan sebuah istilah “einfuhlung” untuk menjelaskan mengenai apresiasi
emosi terhadap perasaan orang lain (Olckers, C dan Grobler, S. 2010). Devito
(2004) menjelaskan empati sebagai suatu bentuk emosi dimana individu mampu
merasakan apa yang dirasakan orang lain dan melihat situasi dari sudut pandang
orang lain. Empati muncul saat individu mampu merasakan apa yang dirasakan
orang lain, mampu memahami perspektif orang lain, menumbuhkan hubungan
saling percaya serta mampu selaras dengan orang lain maupun lingkungan
sekitarnya (Goleman, 1999).
Sementara Rogers (dalam Lesmana, 2005) mendefinisikan empati sebagai
suatu proses bagaimana individu mampu ‘masuk’ dalam dunia orang lain dan
merasa nyaman tanpa larut sepenuhnya dalam perasaan maupun situasi orang lain.
Keen (2007) menjelaskan empati sebagai bentuk kesadaran terhadap perasaan
orang lain, penyebab munculnya perasaan tersebut dan merasakan hal yang sama
dengan tetap mempertahankan sisi obyektif.
Penggunaan istilah empati sering disamakan dengan simpati, namun kedua
istilah ini memiliki perbedaan yang mendasar. Seperti sudah dijelaskan diatas,
empati berarti menempatkan pikiran dan perasaan pada orang lain sesuai dengan
apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain, sementara simpati cenderung
muncul sebagai sebuah bentuk reaksi emosi yang kurang memiliki control karena
menempatkan diri individu dalam situasi orang lain, namun tidak memikirkan
pikiran dan perasaan orang lain sesunggunya.
Dari pengertian diatas disimpulkan bahwa empati merupakan suatu
kompetensi yang dimiliki individu di saat tertentu dimana individu berusaha
untuk merasakan hal yang sama dengan orang lain, serta menggunakan kognisi
nya secara tepat dalam mengartikan atau memaknai hal yang dirasakan orang lain
namun tetap memperhatikan obyektifitas berpikir dan merasa.

2. Aspek empati
Brownell mengungkapkan bahwa setidaknya ada 3 aspek yang mampu
menggambarkan empati secara menyeluruh, yaitu :
c) Aspek kognitif
Empati mengacu pada bagaimana individu mampu melihat situasi yang
dialami orang lain melalui sudut pandang atau segi kognitif orang tersebut.
Misalnya, seorang pria membawa pacarnya dalam acara keluarga. Si wanita
terkesan pendiam padahal dalam kesehariannya dia seorang yang mudah
bergaul. Sepulang dari acara, si pria dengan nada yang agak keras bertanya
apakah pacarnya tidak suka dengan keluarganya. Pertanyaan ini malah
mengakibatkan pertengkaran mulut diantara mereka. Jika si pria memiliki
empati terhadap pacarnya, maka dia harusnya cukup peka bahwa pacarnya
malu dan pastinya bingung bagaimana harus menempatkan diri di tengah-
tengah keluarga si pria, sehingga dia lebih banyak berdiam diri dan jarang
terlibat dalam percakapan terutama dengan orangtuanya.
d) Aspek afeksi
Selain mampu melihat dari sudut pandang orang lain, empati juga muncul
dalam bentuk perasaan. Empati mampu membuat individu mengerti apa yang
dirasakan orang lain. Gejolak emosi yang sedang dialami oleh orang lain
mampu dipahami oleh individu, walaupun tidak ditunjukkan secara verbal.
e) Aspek tingkah laku
Empati juga mengacu pada kemampuan individu untuk menunjukkan
perilaku verbal dan nonverbal yang mengindikasikan perilaku mendengarkan
dan peduli terhadap orang lain. Tatapan mata yang hangat, bahasa tubuh
yang menarik dan mampu merangkum secara tepat sesuatu yang dibagikan
orang lain merupakan bagian dari aspek tingkah laku.
Sementara, Feshbach (dalam Lamb & Keller, 1991) mengemukakan
bahwa 2 aspek yang mampu menggambarkan empati, yaitu :
a) Kognitif
Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam aspek kognitif ini ada 2 hal yang bisa
dijadikan sebagai tolak ukur empati seseorang, yaitu :
g. Ability to discriminate and label emotions
Empati merupakan kemampuan yang dimiliki individu dalam
memahami emosi orang lain. Pemahaman individu terhadap emosi ini
diketahui dengan melihat perbedaan emosi yang muncul dan dengan
cepat mengetahui emosi atau perasaan yang sedang dialami orang lain.
h. Role or perspective taking
Dengan empati individu berusaha untuk melihat situasi atau
permasalahan yang sedang dialami orang lain, berdasarkan sudut
pandang orang tersebut. Individu yang berempati pada orang lain, akan
menempatkan pikiran mereka sama dengan orang lain, dan melihat
masalah atau situasi sama dengan apa yang sedang dialami orang lain.
b) Afektif
Selain dari segi kognitif, empati juga melibatkan perasaan individu.
Individu yang berempati mencoba merasakan hal yang dirasakan orang lain
pada situasi atau permasalahan yang sedang terjadi. Berempati disini berarti
individu melepaskan semua bentuk penilaian atau justifikasi mengenai benar
salah nya perasaan tersebut. Individu sekedar merasakan emosi sesuai dengan
yang sedang dialami orang lain tersebut.

3. Perkembangan empati

C. Hubungan antara konsep diri dan empati


Dalam kehidupan sosial empati memiliki peran penting, terutama perannya dalam
meningkatkan kualitas hubungan interpersonal. Empati mampu membuat individu
memahami cara pandang orang lain, memotivasi orang lain dan juga membantu
menangani stress yang muncul dalam interaksi individu dalam kelompok. Empati
diperlukan di banyak profesi pekerjaan, terutama profesi yang berhubungan langsung
dengan manusia, salah satunya di bidang psikologi. Profesi dengan tinggi nya frekuensi
interaksi antar manusia memerlukan kemampuan empati yang tajam (Olckers, C dan
Grobler, S. 2010).
Allport menjelaskan bahwa dasar dari empati adalah “diri” yang sehat. Diri yang
sehat memahami segala bentuk emosi yang muncul sebagai hal yang wajar sebagai
manusia. Diri yang sehat menurut Allport memiliki kesamaan makna dengan konsep diri
yang positif pada Rogers. Ditambahkan pula oleh Allport bahwa individu dengan tingkat
pemahaman diri yang tinggi serta memiliki wawasan yang luas terhadap siapa dirinya,
mampu menilai sesuatu secara obyektif dan tidak memproyeksikan sesuatu yang negatif
kepada orang lain (Schultz D. 1991).
Individu dengan konsep diri yang positif cenderung lebih peka terhadap
kebutuhan orang lain. Berbeda dengan individu yang mengembangkan konsep diri
negatif, mereka cenderung dipenuhi dengan rasa kecemasan dan kekecewaan, sehingga
mempengaruhi cara pandang mereka terhadap dunia dan orang lain. Individu dengan
konsep diri negatif, cenderung menghakimi dan sulit untuk menempatkan diri mereka
pada posisi orang lain. Sementara individu yang berkembang dengan konsep diri positif
memiliki cara pandang yang lebih objektif dan memahami kelemahan orang lain sebagai
suatu keunikan yang ada di tiap manusia. (Rakhmat, J. 2007)
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Nashori (2000) dan Anastasia (2004)
menunjukkan bahwa konsep diri memiliki peran dan hubungan yang signifikan dengan
kompetensi interpersonal dimana empati merupakan salah satu aspek penting dari
kompetensi interpersonal. Ditambahkan oleh Nashori (2000), individu yang mampu
menerima diri nya akan mudah juga menerima orang lain termasuk memahami tingkah
laku orang lain.

D. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori dan kerangka pemikiran yang telah diuraikan di atas
maka dirumuskan hipotesis bahwa ada hubungan antara konsep diri dan empati pada
mahasiswa psikologi

Anda mungkin juga menyukai