Anda di halaman 1dari 35

POTENSI WILAYAH PENGEMBANGAN LOKASI

TERMINAL PENUMPANG

(Studi Kasus: KALIMANTAN TIMUR)

Disusun oleh:

Muhammad Faeyumi, 0806453900

DEPARTEMEN GEOGRAFI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS INDONESIA

2010

1
Daftar Isi

BAB 1. Pendahuluan ...................................................................................................... 5


1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 5
1.2 Perumusan Masalah ..................................................................................... 6
1.3 Variabel ....................................................................................................... 6
BAB 2. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 7
2.1 Sistem Transportasi..................................................................................... 7
2.2 Interaksi Tata Guna Lahan dengan Transportasi ........................... 8

2.3 Perencanaan Transportasi ............................................................. 10

2.4 Sistem jaringan jalan ................................................................................... 11


2.5 Terminal ........... ........................................................................................... 12
2.6 Kemiringan Lereng ..................................................................................... 15
2.7 Penggunaan Tanah ...................................................................................... 15
2.8 SIG ................................................................................................................. 16
BAB 3. Metodologi Penelitian ....................................................................................... 17

3.1 Lokasi Penelitian.......................................................................................... 17

3.2 Ruang lingkup Penelitian ............................................................................ 17

3.3 Data Variabel ........... ................................................................................... 17

3.4 Metode pengumpulan Data ......................................................................... 18

3.5 Matriks Kesesuaian ...................................................................................... 18

3.6 Pengolahan Data .......................................................................................... 19

3.6 Bagan E-R .................................................................................................... 20

3.7 Model Bulider .............................................................................................. 21

3.8 Tabel Query ................................................................................................ 22

3.9 Analisis Data ................................................................................................ 22

2
BAB 4. PEMBAHASAN .............................................................................................. 23

4.1 Wilayah Kesesuaian Pengembangan Terminal Tipe A di Setiap Kabupaten di


Provinsi Kalimantan Timur ......................................................................... 23
4.2 Wilayah Kesesuaian Pengembangan Terminal Tipe A di Setiap Kabupaten di
Provinsi Kalimantan Timur ............................................................... 24
1.1 4.3 Wilayah Kesesuaian Pengembangan Terminal Tipe A di Setiap Kabupaten di
Provinsi Kalimantan Timur ............................................................... 25

BAB 5. PENUTUP ........................................................................................................ 27

Kesimpulan ...................................................................................................... .......... 27

Daftar Pustaka

Lampiran

Peta 1 Peta Administrasi

Peta 2 Peta Jaringan jalan

Peta 3 Peta Simpul Transportasi

Peta 4 Peta Penggunaan Tanah

Peta 5 Peta Kemiringan Lereng

Peta 6 Peta Kesesuaian wilayah Terminal Tipe A

Peta 7 Peta Kesesuaian wilayah Terminal Tipe B

Peta 8 Peta Kesesuaian wilayah Terminal Tipe C

Lampiran Tabel
Tabel 2.6 Sumber: kursus evaluasi sumber daya lahan
Tabel 2.7 Sumber: kursus evaluasi sumber daya lahan
Tabel 3.2 Matriks Kesesuaian
Tabel 3.9 Query
Tabel 4.1 kesesuaian perencanaan pengembangan terminal tipe A
Tabel 4.2 kesesuaian perencanaan pengembangan terminal tipe B

3
Tabel 4.3 kesesuaian perencanaan pengembangan terminal tipe C
Tabel 4.4 Total Kesluruhan Wilayah Kesesuaian Terminal
Lampiran Gambar
Gambar 2.1 Sistem Transportasi Makro
Gambar 2.3c Interaksi Tata Guna Lahan-Transportasi
Gambar 3.7 bagan E-R

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pergerakan ekonomi, jaringan distribusi dan sistem logistik barang dan jasa di
Indonesia masih sangat tergantung pada sistem transportasi. Demikian juga pergerakan
penumpang intra dan antar wilayah. Awal tahun 1999, mobilitas ekonomi di seluruh
Indonesia tergambar dalam tingkat utilisasi jalan nasional dan jalan provinsi sebesar 664,6
juta penumpang-km dan 144 juta ton-km per-hari, suatu peningkatan masing-masing 21 %
dan 6,7 % dibanding tahun sebelumnya. Oleh karena itu sistem jaringan transportasi yang
stabil dan handal sangat menentukan efisiensi perekonomian.

Dalam kerangka pikir yang lebih luas dapat dijelaskan bahwa perkembangan
penduduk, pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial budaya masyarakat, serta perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat, telah menyebabkan makin tinggi dan
bervariasinya aktivitas, mobilitas, dan pergerakan penduduk dalam sebuah wilayah. Lebih
lanjut, keadaan ini mendorong meningkatnya kebutuhan akan transportasi. Kebutuhan akan
hal ini pada dasarnya merupakan kalkulasi perbandingan antara kebutuhan manusia dengan
ketersediaan sarana dan prasarana transportasi itu sendiri. Di sinilah pangkal permasalahan
munculnya permasalahan transportasi suatu wilayah, yaitu di satu sisi faktor-faktor
kebutuhan terus meningkat, namun di sisi lain kondisi sarana dan prasarana serta perangkat
lainnya tidak menunjang. Akhirnya, muncul ketidakseimbangan (inequilibrium) dalam
sistem transportasi suatu wilayah.

Keberhasilan pembangunan sangat dipengaruhi oleh peran transportasi sebagai urat


nadi kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Sistem jaringan
transportasi dapat dilihat dari segi efektivitas, dalam arti selamat, aksesibilitas tinggi, terpadu,
kapasitas mencukupi, teratur, lancar dan cepat, mudah dicapai, tepat waktu, nyaman, tarif
terjangkau, tertib, aman, rendah polusi serta dari segi efisiensi dalam arti beban publik rendah
dan utilitas tinggi dalam satu kesatuan jaringan sistem transportasi. Oleh karena itu,
pengembangan transportasi sangat penting artinya dalam menunjang dan menggerakkan
dinamika pembangunan, karena transportasi berfungsi sebagai penghantar dalam mendukung
pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah.

5
Berdasarkan data informasi dari dinas perhubungan kalimantan timur, salah satu
pendukung dalam pergerakan manusia yang ada diimbangi dengan bertambahnya jumlah
penduduk yang membengkak diperlukan adanya perluasan dan penambahan salah satu simpul
trasnsportasi dalam mengayomi permintaan transportasi yang ada di Kalimantan Timur.
Informasi data terkait dengan jumlah simpul berbagai tipe terminal yang ada Kalimantan
Timur masih memiliki jumlah yang maksimum, dapat dikatakan tidak seimbang dengan
pertumbuhan penduduk. Data tahun 2007 terdapat 2 unit simpul transportasi tipe A yang
beroperasi, 6 unit tipe B dan 11 unit tipe C. Kondisi ini menunjukkan bahwa perlu adanya
perluasan wilayah akan pengembangan simpul trasnportasi yang perlu direncanakan pada
masa mendatang.

1.2 Perumusan Masalah

Bagaimana rencana pengembangan kesesuaian tipe A, B, dan C terminal di Kalimantan


Timur dengan seimbangnya perkembangan penduduk yang telah diproyeksikan pada tahun
2025?

1.3 Variabel-variabel yang digunakan

a. Jaringan Jalan yang sudah ada

b. Penggunaan Lahan (Landuse)

c. Simpul yang sudah ada, yaitu terminal

d. Kemiringan Lereng

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Sistem Transportasi

Sistem transportasi merupakan suatu sistem yang memiliki fungsi untuk


memindahkan orang maupun barang dari suatu tempat ke tempat lain dalam upaya mengatasi
hambatan jarak geografis maupun topografis. Transportasi memiliki dimensi yang kompleks
karena tidak hanya berfungsi memindahkan orang atau barang dari suatu tempat ke tempat
lain tetapi juga menyangkut kebutuhan lainnya, seperti kebutuhan ekonomi, sosial dan
politik. Sistem adalah gabungan beberapa komponen atau objek yang saling berkaitan. Dalam
setiap organisasi sistem, perubahan pada satu komponen akan memberikan perubahan pada
komponen lainnya (Tamin, 2000; 26).
Transportasi menurut Stopher dan Meyburg (1978:8) mendefinisikan sebagai
pergerakan barang atau manusia dalam dimensi ruang, waktu, dan nilai (dalam bukunya, nilai
disebut State, yang maksudnya adalah nilai pasar, sebagai contah: nilai suatu barang dalam
waktu yang berlainan atau dalam tempat yang berbeda akan mempunyai nilai yang berbeda
pula). Pergerakan barang atau manusia tersebut belum bisa berlangsung tanpa adanya sarana
dan prasarana yang mendukungnya, maka pendekatan sistem lebih tepat digunakan dalam
memahami transportasi. Sedangkan Miro mengartikan transportasi sebagai suatu usaha
memindahkan, menggerakkan, mengangkut, atau mengalihkan suatu objek dari suatu tempat
ke tempat lain, dimana di tempat lain ini objek tersebut lebih bermanfaat atau dapat berguna
untuk tujuan-tujuan tertentu (Miro, 2005:4).
Sistem transportasi terdiri dari sistem kegiatan, sistem pergerakan lalu lintas, sistem
jaringan prasarana transportasi dan sistem kelembagaan. Hubungan antar elemen sistem
transportasi dapat dilihat pada diagram berikut ini :

Gambar 2.1 Sistem Transportasi Makro

7
Ditinjau dari aspek alat pendukung proses pergerakan, sistem transportasi mencakup
beberapa unsur/sub sistem (Miro, 2005:5), yaitu :

 Ruang untuk bergerak (jalan).

 empat awal/akhir pergerakan (terminal).

 yang bergerak (alat angkut/kendaraan dalam bentuk apapun).

 Pengelolaan: yang mengkoordinasikan ke tiga unsur sebelumnya.

Pergerakan lalu lintas timbul karena adanya proses pemenuhan kebutuhan. Pergerakan
terjadi karena adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi oleh suatu tempat. Setiap tata guna
lahan atau sistem kegiatan mempunyai suatu jenis kegiatan tertentu yang akan
membangkitkan pergerakan dan akan menarik pergerakan dalam proses pemenuhan
kebutuhan. Sistem tersebut merupakan sistem pola kegiatan tata guna lahan yang terdiri dari
pola kegiatan sosial, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Interaksi yang terjadi antara sistem
kegiatan dengan sistem jaringan menghasilkan manusia dan/atau barang dalam bentuk
pergerakan kendaraan dan/atau orang (pejalan kaki). Sistem pergerakan yang aman, cepat,
nyaman, murah, handal dan sesuai dengan lingkungannya dapat tercipta jika pergerakan
tersebut diatur oleh sistem rekayasa dan manajemen lalu intas yang baik (Tamin, 2000, 28).

Perubahan yang terjadi pada masing-masing sistem akan berdampak pada sistem yang
lainnya. Dalam usahanya untuk mewujudkan suatu pergerakan yang aman, nyaman, lancar
maka diperlukan suatu sistem yang mampu memenaje sistem-sistem yang telah ada yaitu
sistem kelembagaan (Tamin, 2000; 29).

2.2 Interaksi Tata Guna Lahan dengan Transportasi

Transportasi bukan merupakan tujuan Akhir yang ingin kita capai tetapi merupakan
sarana perantara untuk memudahkan manusia mencapai tujuan akhir yang sebenarnya, seperti
pergi ke toko untuk membeli pakaian, makanan dan barang-barang untuk keperluan hidup,
pergi ke kantor untuk bekerja mencari uang, pergi ke sekolah untuk menuntut ilmu pergi
rekreasi untuk refresing dan lain sebagainya. Oleh sebab itu kebutuhan akan jasa transportasi
adalah kebutuhan yang diturunkan dari kebutuhan kita akan tujuan akhir yang dimaksud
(derived demand) yang timbul akibat adanya tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup manusia
(Miro, 1997:13-14).

8
Tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup tertuang dalam berbagai aktivitas yang
dilakukan oleh penduduk seperti aktivitas bekerja, sekolah, olah raga, belanja, dan bertamu
yang berlangsung diatas sebidang tanah (kantor, pabrik, pertokoan, rumah, dan lain-lain).
Potongan lahan ini biasanya disebut tata guna lahan. Untuk memenuhi kebutuhannya,
manusia melakukan perjalanan antar tata guna lahan tersebut dengan menggunakan sistem
jaringan transportasi (misalnya berjalan kaki atau naik angkutan umum). Hal ini
menimbulkan perjalanan arus manusia, kendaraan dan barang (Tamin, 2000:30).

Pergerakan arus manusia, kendaraan, dan barang mengakibatkan berbagai macam


interaksi. Interaksi tersebut dapat berupa interaksi antara pekerja dengan tempat bekerjanya,
interaksi antara ibu rumah tangga dan pasar, antara pelajar dengan sekolah dan antara pabrik
dan lokasi bahan mentah serta pasar lain sebagainya. Dari penjelasan diatas dapat kita
simpulkan bahwa perangkutan dan tata guna lahan adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Sebaran geografis antara tata guna lahan (sistem kegiatan) serta kapasitas dan
lokasi dari fasilitas transportasi (sistem jaringan) digabungkan untuk mendapatkan arus dan
pola pergerakan lalu lintas di daerah perkotaan (sistem pergerakan). Besarnya arus dan pola
pergerakan lalu lintas sebuah kota dapat memberikan umpan balik untuk menetapkan lokasi
tata guna lahan yang tentunya membutuhkan prasarana baru pula (Tamin, 2000:50-51).

Keberadaan transportasi dan guna lahan di perkotaan tidak bisa dipisahkan satu sama
lain, ke duanya memiliki keterkaitan dan ketergantungan yang tinggi. Transportasi dan tata
guna lahan oleh para perencana kota sering diibaratkan sebagai ”dua sisi mata uang logam”,
karena tempat masuk dan keluarnya transportasi diperlukan agar sebidang tanah memiliki
fungsi produktif, dan jalur lalu lintas tidak akan bermanfaat kecuali bila jalur tersebut
melayani kegiatan baru ataupun yang telah ada pada ke dua ujungnya (Branch, 1995; 580).
Tata guna lahan merupakan salah satu penentu utama timbulnya pergerakan dan aktivias.
Aktivitas yang dikenal dengan bangkitan perjalanan akan menentukan fasilitas-fasilitas
transportasi apa saja yang akan dibutuhkan untuk melakukan pergerakan. Ketersediaan
fasilitas akan meningkatkan aksesibilitas, yang pada akhirnya akan mempengaruhi guna
lahan (Khisty dan Lall, 2005).

Dengan demikian, setiap perubahan guna lahan pada suatu daerah akan berpengaruh
pada sistem tranportasi. Dalam perkembangan suatu kawasan tidak dapat diperkirakan mana
yang lebih dahulu ada antara penggunaan lahan dengan kebutuhan perjalanan, karena kedua
variabel tersebut saling mempengaruhi. Satu pihak dapat dianggap sebagai penyebab bagi
9
perkembangan yang lain, kalau suatu kawasan di bangun jaringan jalan maka akan menarik
orang untuk berkreativitas pada kawasan tersebut, demikian juga dengan dibukanya suatu
kawasan maka akan diikuti oleh perkembangan transportasi. Transportasi dan tata guna lahan
berhubungan sangat erat sehingga biasanya dianggap membentuk suatu land use system.
Pengembangan lahan tidak akan terjadi tanpa pengembangan suatu sistem transportasi,
sedangkan sistem transportasi tidak mungkin disediakan apabila tidak melayani kepentingan
ekonomi atau aktivitas pembangunan. Agar tata guna lahan dapat terwujud dengan baik maka
kebutuhan transportasinya harus terpenuhi dengan baik, sistem transportasi yang macet
tentunya akan menghalangi tata guna lahannya. Sebaliknya, transportasi yang tidak melayani
suatu tata guna lahan akan kurang bermanfaat. (Tumewu, 1997:12).

2.3 Perencanaan Transportasi

Perencanaan transportasi adalah suatu kegiatan perencanaan sistem transportasi yang


sistematis bertujuan menyediakan layanan trasnportasi baik sarana maupun prasarana
disesuaikan dengan kebutuhan transportasi. Dalam perencanaan ini mempleajari berbagai
faktor yang mempengaruhi kebutuhan akan pergerakan orang, barang, dan jasa. Faktor
tersebut berupa tat guna lahan, ekonomi, sosial budaya, dan teknologi transportasi.
Perkembangan terakhir mengarah pasa perencenaan sistem trasnportasi yang berkelanjutan
yaitu memadukan antara efisiensi trasnportasi, pertumbuhna ekonomi dan kelestarian
sumberdaya.

Terdapat tiga komponen utama yang saling mempengaruhi dalam sistem trasnportasi
yaitu:

a. Sub sistem tata guna lahan

Komponen ini mengamati penggunaan lahan tempat aktivitas-aktivitas


masyarakat, seperti tipe, struktur, dan ukuran intensitas aktifitas sosial ekonomi
(berupa: populasi, tenaga kerja, output, industri)

b. Sub sistem transportasi supply, sub sistem ini merupakan penghubung fisik antara
tata guna lahan dan perilaku manusia masyarakat. Penyediaan ini meliputi
berbagai moda transportasi seperti: jalan raya, rel kereta, rute bus dan lain-lain.
Selain itu sub sistem ini menyediakan karakteristik operasional moda seperti:
waktu tempuh, biaya, dan frekuensi pelayanan.

10
c. Lalu Lintas

Lalu lintas merupakan akibat langsung dari interaksi antara tata guna lahan dan
transportasi supply yang berupa pergerakan barang dan jasa. Pembangunan area
lahan dapat menyebabkan timbulnya lalu lintas yang akan mempengaruhi
prasarana transportasi. Sebaliknya, adanya prasarana transportasi yang baik akan
mempengaruhi pola pemanfaatan lahan.

Interaksi ketiga sistem di atas di pengaruhi oleh peraturan dan kebijakan.

Gambar 2.3c Interaksi Tata Guna Lahan-Transportasi

Sumber: www.dishub.go.id

2.4 Sistem Jaringan Jalan

Jalan merupakan salah satu akses mencapai suatu wilayah tertentu mempunyai peran
yang penting dalam memberikan ‘pelayanan’ bagi pengguna jalan yang melintasinya. Oleh
sebab itu untuk menghindari ‘keruwetan’ penggunaan jaringan jalan, maka perlu
pengklasifikasian jaringan jalan yang disesuaikan dengan fungsi ruas jalan tersebut. Sistem
jaringan jalan menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 38 Tahun 2004 tentang jalan
terdiri atas sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder, yaitu:

 Jalan Primer, merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi
barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan
menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan.

 Jalan Sekunder, merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi
barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan.

Sedangkan menurut fungsinya (Menurut UU No. 38/2004 Pasal 8), jalan umum
dapat dikelompokkan ke dalam jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan,
yaitu:

11
 Jalan arteri, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan
ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi
secara berdaya guna.

 Jalan kolektor, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul
atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan
jumlah jalan masuk dibatasi.

 Jalan lokal, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat
dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan
masuk tidak dibatasi.

 Jalan Lingkungan, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan


lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.

2.5 Terminal

Mengacu pada keputusan menteri perhubungan tentang terminal transportasi jalan


nomor 31 tahun 1995. Dalam ketentuan ini ditentukan pada pasal 1 bahwa:
a. Terminal Penumpang adalah prasarana transportasi jalan untuk keperluan menurunkan
dan menaikkan penumpang, perpindahan intra dan/atau antar moda transportasi serta
mengatur kedatangan dan pemberangkatan kendaraan umum;
b. Terminal Barang adalah prasarana transportasi jalan untuk keperluan membongkar
dan memuat barang serta perpindahan intra dan/atau antar moda transportasi;
Dalam bab II Pasal 2 juga dijelaskan terkait dengan Tipe dan Fungsi Terminal:
2. Tipe terminal penumpang terdiri dari:
 terminal penumpang tipe A;
 terminal penumpang tipe B;
 terminal penumpang tipe C.
3. Terminal penumpang tipe A sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, berfungsi
melayani kendaraan umum untuk angkutan antar kota antar propinsi dan/atau angkutan
lintas batas negara, angkutan antar kota dalam propinsi, angkutan kota dan angkutan
pedesaan.
4. Terminal penumpang tipe B sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, berfungsi
melayani kendaraan umum untuk angkutan antar kota dalam propinsi, angkutan kota
dan/atau angkutan pedesaan.

12
5. Terminal penumpang tipe C sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf C, berfungsi
melayani kendaraan umum untuk angkutan pedesaan.
Lokasi terminal dijelaskan dalam pasal 9 bahwa:
a. Penentuan lokasi terminal penumpang dilakukan dengan memperhatikan rencana
kebutuhan lokasi simpul yang merupakan bagian dari rencana umum jaringan
transportasi jalan.
Lokasi terminal penumpang tipe A, tipe B dan tipe C, ditetapkan dalam pasal 10 dengan
memperhatikan:
a. Rencana umum tata ruang;
b. Kepadatan lalu lintas dan kapasitas jalan di sekitar terminal;
c. Keterpaduan moda transportasi baik intra maupun antar moda;
d. Kondisi topografi lokasi terminal;
e. Kelestarian lingkungan.
Dalam pasal 11 dijelaskan penetapan lokasi terminal penumpang tipe A selain harus
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10, harus memenuhi
persyaratan:
a. Terletak dalam jaringan trayek antar kota antar propinsi dan/atau angkutan lalu lintas
batas negara;
b. Terletak di jalan arteri dengan kelas jalan sekurang-kurangnya kelas IIIA;
c. Jarak antara dua terminal penumpang tipe A, sekurang-kurangnya 20 km di Pulau
Jawa, 30 km di Pulau Sumatera dan 50 km di pulau lainnya;
d. Luas lahan yang tersedia sekurang-kurangnya 5 ha untuk terminal di Pulau Jawa dan
Sumatera, dan 3 ha di pulau lainnya;
e. Mempunyai akses jalan masuk atau jalan keluar ke dan dari terminal dengan jarak
sekurang-kurangnya 100 m di Pulau Jawa dan 50 m di pulau lainnya, dihitung dari
jalan ke pintu keluar atau masuk terminal.
Dalam pasal 12 penetapan lokasi terminal penumpang tipe B selain harus memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, harus memenuhi persyaratan:
a. Terletak dalam jaringan trayek antar kota dalam propinsi;
b. Terletak di jalan arteri atau kolektor dengan kelas jalan sekurang-kurangnya kelas
IIIB;
c. Jarak antara dua terminal penumpang tipe B atau dengan terminal penumpang tipe A,
sekurang-kurangnya 15 km di Pulau Jawa dan 30 km di Pulau lainnya;

13
d. Tersedia lahan sekurang-kurangnya 3 ha untuk terminal di Pulau Jawa dan Sumatera,
dan 2 ha untuk terminal di pulau lainnya;
e. Mempunyai akses jalan masuk atau jalan keluar ke dan dari terminal dengan jarak
sekurang-kurangnya 50 m di Pulau Jawa dan 30 m di pulau lainnya, dihitung dari
jalan ke pintu keluar atau masuk terminal.
Pada pasal 13 dijelaskan penetapan lokasi terminal penumpang tipe C selain harus
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, harus memenuhi
persyaratan:
a. Terletak di dalam wilayah Kabupaten daerah Tingkat II dan dalam jaringan trayek
pedesaan;
b. Terletak di jalan kolektor atau lokal dengan kelas jalan paling tinggi kelas IIIA;
c. Tersedia lahan sesuai dengan permintaan angkutan;
d. Mempunyai akses jalan masuk atau keluar ke dan dari terminal, sesuai kebutuhan
untuk kelancaran lalu lintas di sekitar terminal.

Pada pasal 24 di jelaskan bahwa terminal barang berfungsi melayani kegiatan bongkar
dan/atau muat barang, serta perpindahan intra dan /atau moda transportasi. Terkait dengan
lokasi terminal barang dijelaskan pada pasal 27 dilakukan dengan memperhatikan rencana
kebutuhan lokasi simpul yang merupakan bagian dari rencana umum jaringan transportasi
jalan. Penentuan lokasi terminal barang dilakukan dengan memperhatikan:
a. Rencana umum tata ruang
b. Kepadatan lalu lintas dan kapasitas jalan di sekitar terminal;
c. Keterpaduan moda transportasi baik intra maupun antar moda;
d. Kondisi topografi lokasi terminal;
e. Kelestarian lingkungan.
Lokasi terminal barang selain harus memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28, harus memenuhi persyaratan:
a. Terletak dalam jaringan lintas angkutan barang;
b. Terletak di jalan arteri dengan kelas jalan sekurang-kurangnya kelas IIIA;
c. Tersedia lahan sekurang-kurangnya 3 Ha untuk terminal di Pulau Jawa, dan 2 Ha
untuk terminal di pulau lainnya;

14
d. Mempunyai akses jalan masuk atau jalan keluar ke dan dari terminal dengan jarak
sekurang-kurangnya 50 m di Pulau Jawa dan 30 m di pulau lainnya, dihitung dari
jalan ke pintu keluar atau masuk terminal.
2.6 Kemiringan Lereng

Klasifikasi lereng merupakan salah satu variabel penentu dalam perencanaan


pengembangan simpul transportasi yang harus disesuaikan dengan lokasi terminal dalam
suatu wilayah, hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam UU dinas perhubungan, bahwa
lokasi yang relatif memiliki lereng rendah berpotensi dijadikan sebagai lokasi dalam
pembangunan terminal (simpul transportasi). Dalam penentuan lokasi perencanaan
pembangunan simpul transportasi (terminal) klasifikasi lereng dibagi

Klasifikasi lereng dalam penentuan Kesesuaian Wilayah Terminal

Kelas Lereng Penentuan Potensi Lokasi


Terminal
<10% Sangat berpotensi
>10% Tidak berpotensi

Tabel 2.6 Sumber: kursus evaluasi sumber daya lahan

2.7 Penggunaan Tanah /Land Use

Penggunaan lahan adalah merupakan variasi dari region yang memiliki batas yang jelas
serta dihuni oleh organisme biotik maupun abiotik sekitar yang mempengaruhi dalam
perencanaan salah satu simpul transportasi salah satunya sebagai subjek penggerak dalam
ruang yang bergerak dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Variasi dari penggunaan lahan yang
diterapakan sebagai variabel tersebut meliputi, pemukiman, lahan kosong, dan hutan. Dalam
penentuan pengembangan perencanaan pembangunan simpul trasnportasi yaitu terminal,
jenis penggunaan lahan yang digunakan meliputi:

Jenis Penggunaan lahan Potensi Kesesuaian Wilayah Terminal

Lahan Kosong dan Pemukiman Sangat Berpotensi

Hutan Tidak Brpotensi

Tabel 2.7 Sumber: kursus evaluasi sumber daya lahan

15
2.8 Sistem Informasi geografis

Sistem Informasi Geografis pada dasarnya adalah jenis khusus sistem informasi, yang
memperhatikan representasi dan manipulasi realita geografi. SIG mentransformasikan data
menjadi informasi dengan mengintegrasikan sejumlah data yang berbeda, menerapkan
analisis fokus, dan menyajikan output dalam rangka mendukung pengambilan keputusan
(Juppenlatz & Tian, 1996: bab 1). Kemampuan SIG dalam penyimpanan, analisis, pemetaan
dan membuat model mendorong aplikasi yang luas dalam berbagai disiplin ilmu, dari
teknologi informasi hingga sosial-ekonomi maupun analisis yang berkaitan dengan populasi
(Martin, 1996: 4-5).

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Perencanaan pengembangan prasarana transportasi ini (simpul transportasi) pada


penelitian ini terdapat di Provinsi Kalimantan Timur yang terletak diantara garis lintang
4o24’LU 2o25LS dan garis bujur 113o44’BT 119o00’BB, mencakup 14 kabupaten dengan
16
total luas 198.441,17 km2 diantaranya: Kutai, Kutai Barat, Kutai Timur, Balikpapan,
Samarinda, Nunukan, Tarakan, Kutai Kartanegara, Berau, Bulongan, Bontang, Malinau,
Pasir, dan Penajam Paser Utara.

3.2 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup substansial dari penelitian / kajian ini diharapkan dapat mencakup beberapa
dimensi transportasi sebagai berikut:

1. Perencanaan Kesesuaian Terminal dan Pelabuhan

2. Prasarana yag dimiliki antara lain terminal dan halte.

3. Jaringan (trayek/rute) baik angkutan darat.

3.3 Data Variabel

Variabel data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder
merupakan data yang diperoleh dari berbagai media informasi seperti jurnal, skripsi, tesis dan
informasi dari website pemertintahan Kalimantan Timur. Sumber data tersebut berupa
kondisi transportasi yang sudah ada, UU transportasi, dan data yang akan dijadikan variabel
kesesuaian pengembangan transportasi seperti jaringan jalan, land use, simpul yang sudah
ada, kemiringan lereng dan jenis tanah.

Adapun dari beberapa data sekunder di atas dituangkan dalam bentuk peta yang terdiri
dari:

 Peta Administrasi Provinsi Kalimantan Timur Skala 1 : 750.000

 Peta Penggunaan Lahan Provinsi Kalimantan Timur Skala 1 : 750.000

 Peta Jaringan Jalan Kalimantan Timur Skala 1: 750.000

 Peta Bahan Simpul Terminal dan Pelabuhan Kalimantan Timur 1: 750.000

 Peta Kemiringan Lereng Kalimantan Timur 1: 750.000

3.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara
mengumpulkan data-data berupa teori tentang penentuan perencanaan pengembangan

17
transportasi, UU, Keputusan Pemerintah, dan wilayah kesesuaian akan pengembangan
transportasi. Hampir dalam pengumpulan data ini berasal dari peningggalan tertulis yang
relevan terkait dengan tema penelitian seperti hasil skripsi, tesis dan jurnal serta sumber
buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan
masalah penelitian (Rachman,1995:96).

3.5 Matriks Kesesuaian


Berikut adalah tabel klasifikasi wilayah kesesuaian pengembangan simpul trasnportasi
pada tahun 2025 sesuai dengan proyeksi penduduk yang ada disertai dengan variabel data
lain yang mempengaruhi, dalam proses pengklasifikasian matriks dilakukan dengan inisiatif
penulis sesuai referensi dan dipertimbangkan dengan realitas dalam sebuah wilayah di
Provinsi Kalimantan Timur yang akan dijadikan sebagai lokasi pengembangan simpul
transportasi.

Variabel pendukung Matriks Kesesuaian

Sangat Berpotensi Tidak Berpotensi

Jaringan Jalan Arteri 50-100m 0-50m


(untuk tipe terminal
A)

Jaringan Jalan 30-50m 0-30m


Arteri-Kolektor
(untuk tipe terminal
B)

Jaringan Jalan 15-30m 0-15m


Lokal-Kolektor
(untuk tipe terminal
C)

Penggunaan Lahan Lahan terbuka dan Hutan


permukiman

Simpul Transportasi 50-100km 0-50km


Tipe A

18
Simpul Transportasi 30-50km 0-30km
Tipe B

Simpul Transportasi 15-30km 0-15km


Tipe B

Kemiringan lereng 0-8% >8%

Tabel 3.2 Matriks Kesesuaian


3.6 Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan tahap yang paling penting dalam penentuan wilayah
kesesuaian setelah semua data di atas tersedia, proses pengolahan yang akan menuangkan
dalam peta ini menggunakan software Arcgis 9.3. Adapun proses pengolahan data
dilakukan dengan langkah-langkah di bawah ini:

a. Proses pembuatann peta-peta variabel yang digunakan, yaitu menggunakan data


tematik yang sudah ada meliputi penggunaan lahan, data simpul transportasi yang
ada, data jenis tanah dan jaringan jalan. Dalam langkah ini menghasilkan output peta
masing-masing variabel yang kemudian akan di export dalam bentuk JPG.

b. Langkah selanjutnya adalah proses overlay, langkah awal dari proses overlay adalah

 Multiple Buffer jaringan jalan

 Multiple Buffer simpul transportasi

 Overlay penggunaan lahan dengan kemiringan lereng

Dari langkah di atas akan menghasilkan OV1 (overlay buffer jalan dan buffer
simpul transportasi) dan OV2 (hasil overlay penggunaan lahan, jenis tanah dan
kemiringan lereng), dan output akhir adalah hasil overlay OV1 dan OV2 yaitu
OV3.

c. Langkah terakhir adalah menu select, langkah ini merupakan proses untuk
menentukan kesesuaian wilayah akan pengembangan simpul transportasi.

19
3.7 Bagan E-R

Gambar 3.7 bagan E-R

3.8 Model Builder

20
21
3.9 Tabel Query

Klasifikasi Query

Sangat Berpotensi Tipe “landuse”=”lahan terbuka or “landuse”= permukiman”


Terminal A AND “lereng”=”<8%” AND “simpul”=”>50km” AND
“jaringan jalan”=”>100m”

Sangat Berpotensi Tipe “landuse”=”lahan terbuka or “landuse”= permukiman”


Terminal B AND “lereng”=”<8%” AND “simpul”=”>30km” AND
“jaringan jalan”=”>50m”

Sangat Berpotensi Tipe “landuse”=”lahan terbuka or “landuse”= permukiman”


Terminal C AND “lereng”=”<8%” AND “simpul”=”>15km” AND
“jaringan jalan”=”>30m”

Tabel 3.9 Query

3.10 Analisis Data

Analisa data yang dilakukan penulis yaitu interpretasi serta dari hasil pengolahan data
secara detail dari masing–maisng variabel penentu wilayah kesesuaian pengembangan simpul
transportasi. Selain itu dengan menghubungkan keterkaitan antara satu variabel dengan
variabel lainnya yans saling berpengaruh sesuai dengan referensi.

22
BAB IV
PEMBAHASAN
5.1 Wilayah Kesesuaian Pengembangan Terminal Tipe A di Setiap Kabupaten di Provinsi
Kalimantan Timur
Luasan(km2) Wilayah Kesesuaian Terminal Tipe A
Nama Kabupaten sesuai Tidak Sesuai Jumlah
Berau 537,2 1.899,60 2.436,80

Bulungan 285,7 1.673,10 1.958,80

Kutai Barat 606,8 5.850,90 6.457,70

Kutai Kertanegara 17.110,80 3.530,50 20.641,30

Kutai Timur 1.556,20 5.826 7.382,20

Malinau 0 6.231,10 6.231,10

Nunukan 69,2 7.515,80 7.585,00

Paser 4.404,80 3.286,80 7.691,60

Penajam Paser Utara 1.480,20 2.361,40 3.841,60

Balikpapan 236,5 773,9 1.010,40

Bontang 6,5 180,5 187,00

Samarinda 114,9 299,5 414,40

Tarakan 0,9 13,2 14,10

23
Total 26.409,70 39.442,30 65.852,00

Tabel 4.1 kesesuaian perencanaan pengembangan terminal tipe A


Setelah dilakukan pengolahan dengan Arcgis, terlihat pada peta dalam lampiran peta
no. 6 bahwa kabupaten Kutai Kertanegara memiliki potensi wilayah kesesuaian untuk
perencanaan pembangunan simpul transportasi Tipe A. Hal ini jika dianalisis berdasarkan
realita pada peta bahwa jalan arteri terletak mendominasi pada Kabupaten Kutai Kertanegara.
Selain itu dipengaruhi akan faktor penggunaan tanah yang relatif masih kosong, kemiringan
lereng yang landai serta terdapatnya simpul yang sudah ada sehingga mudah untuk
mempertimbangkan pembangunan simpul yang direncanakan. Luas wilayah yang sesuai
untuk perencanaan pembangunan sebesar 17.110,80 km2. sedangkan kabupaten Malinau
merupakan salah satu kabupaten yang tidak berpotensi untuk pembangunan perencanaan
simpul transportasi tipe A. Hal ini sesuai bahwa di Kabupaten ini tidak adanya jaringan jalan
arteri.
5.2 Wilayah Kesesuaian Pengembangan Terminal Tipe B di Setiap Kabupaten di Provinsi
Kalimantan Timur
Luasan(Ha) Wilayah Kesesuaian Terminal Tipe B
Nama Kabupaten sesuai Tidak Sesuai Jumlah
Berau 642,4 734,8 1377,2

Bulungan 251,5 247,7 499,2

Kutai Barat 1.009,20 434,3 1443,5

Kutai Kertanegara 17.640,70 4428,9 22069,6

Kutai Timur 615,9 363,1 979

Malinau 0 109 109

Nunukan 44,6 296,9 341,5

Paser 735,9 557,6 1293,5

Penajam Paser Utara 1.011,30 548,5 1559,8

Balikpapan 33,6 36,3 69,9

Bontang 1,9 0,6 2,5

Samarinda 83,7 122,9 206,6

Tarakan 0,5 0,9 1,4

Total 22.071,30 29.841,10 51.912,40

Tabel 4.2 Kesesuaian perencanaan pengembangan terminal tipe B


24
Keseseuaian terminal tipe B dapat dilihat pada peta hasil no.7, wilayah yang memiliki
potensi paling tinggi terdapat pada Kabupaten Kutai Barat yaitu 17.640,7 km2. Beberapa
indikator yang menunjukkan hal ini adalah meratanya jalan arteri dan jalan kolektor di
Kabupaten tersebut serta kabupaten ini memiliki kemiringan lereng yang cukup landai. Selian
itu seperti yang kita ketahui bahwa penggunaan lahan di Kalimantan timur pada umumnya
masih didominasi oleh penggunaan lahan yang kosong. Sedangkan pada Kabupaten Malinau
juga tidak berpotensi akan perencanaan pembangunan terminal tipe B, jika dianalisis hal ini
dipengaruhi bukan pada faktor landuse, kemiringan lereng dan simpul yang sudah ada, akan
tetapi di Kabupaten Malinau ini masih jarang akan jaringan transportasi khususnya jaringan
jalan arteri dan kolektor.

5.3 Wilayah Kesesuaian Pengembangan Terminal Tipe C di Setiap Kabupaten di Provinsi


Kalimantan Timur
Luasan(Ha) Wilayah Kesesuaian Terminal Tipe C
Nama Kabupaten Sesuai Tidak Sesuai Jumlah
Berau 143,9 2713,1 2857

Bulungan 3,9 881 884,9

Kutai Barat 0 4.008,10 4008,1

Kutai Kertanegara 2.281,30 7.536,40 9817,7

Kutai Timur 129,7 3.880,70 4010,4

Malinau 0 1.238 1238

Nunukan 5,4 341,5 346,9

Paser 213,5 1.151,50 1365

Penajam Paser Utara 138,1 878,9 1017

Balikpapan 10,7 46,1 56,8

Bontang 0,2 1,1 1,3

Samarinda 21,6 48,1 69,7

Tarakan 0,9 1,4 2,3

Total 2.948,40 22.726,10 25.674,50

Tabel 4.3 Kesesuaian perencanaan pengembangan terminal tipe C


Perencanaan pembangunan terminal tipe C memiliki potensi wilayah yang sesuai
terdapat di Kabupaten Kutai Kertanegara yaitu sebesar 2.281,30km2.(dapat dilihat pada peta
25
no. 8) Hal ini dipengaruhi oleh adanya kompleksifitas jaringan jalan lokal dan jalan kolektor,
penggunaan lahan yang mendukung yaitu yang didominasi lahan kosong dan pemukiman
serta kemiringan lereng yang relatif datar dalam mendukung perencanaan pembangunan tipe
terminal tersebut. Terdapat dua Kabupaten yang tidak memiliki kesesuaian potensi dalam
perencanaan pembangunan terminal C yaitu Kabupaten Malinau dan Kuta barat. Hal ini juga
dipengaruhi penggunaan lahan yang relatif didominasi hutan, selain itu kemiringan lereng
yang curam serta tidak adanya persebaran terminal yang ada.

5.4 Tabel Keseluruhan Wilayah Kesesuaian pengembangan Jenis Terminal di


Kalimantan Timur

Luasan Total Kesesuaian Wilayah Pengembangan Terminal


Kesesuaian
(Km2)
Sesuai 51.429,40
Tidak Sesuai 147.011,77
Luas Kalimantan Timur 198.441,17
Tabel 4.4 Total Kesluruhan Wilayah Kesesuaian Terminal

26
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Perencanaan pengembangan simpul trasnportasi (terminal) Tipe A, Tipe B dan Tipe
C di provinsi Kalimantan Timur hampir seluruh wilayah memiliki keksesuaian yang relatif
menyeluruh dan merata. Adapun hanya terdapat satu daerah yang tidak sesuai untuk
perencanaan akan pembangunan semua tipe jenis terminal adalah Kabupaten Malinau. Hal
tersebut sesaui dengan kondisi trasnportasi yang rendah dan kondisi jaringan jalan yang
belum memadai. Sedangkan Kabupaten Kutai Barat tidak memiliki potensi wilayah untuk
perencanaan pembangunan jenis terminal tipe C, kondisi ini karena jarang ditemukannya
jalan lokal dan yang ada hanya jalan arteri yang menghubungkan ke Provinsi kalimantan
Tengah.

27
Daftar Pustaka

Arif, Firgani. 2009. Tesis:Kajian Pelayanan Rute Angkutan Umum Di Kota Palembang.
Semarang: Magister Teknik Pembangunan Wilayah Dan Kota Universitas Diponegoro.

Munawar, Ahmad. 2007. Pengembangan Transportasi Yang Berkelanjutan. Yogyakarta: Fakultas


Teknik Universitas Gadjah Mada.

Departemen Perhubungan Direktorat Perhubungan Darat


Badan Penelitian Dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun:2006.
UU pemerintah no. 38 tahun 2004
www.hubdat.web.id
www.bps.go.id

28
Lampiran Peta:
1. Peta Administrasi

PETA 1

29
2. Peta Jaringan Jalan

PETA 2

30
3. Peta Simpul Transportasi

PETA 3

31
4. Peta Penggunaan Tanah

PETA 4

32
5. Peta Kemiringan Lereng
6. Peta Wilayah Kesesuaian Pembangunan Terminal Tipe A

PETA 5

PETA 6

33
7. Peta Wilayah Kesesuaian Pembangunan Terminal Tipe B

PETA 7

34
8. Peta Wilayah Kesesuaian Pembangunan Terminal Tipe C

PETA 8

35

Anda mungkin juga menyukai