TERMINAL PENUMPANG
Disusun oleh:
DEPARTEMEN GEOGRAFI
UNIVERSITAS INDONESIA
2010
1
Daftar Isi
2
BAB 4. PEMBAHASAN .............................................................................................. 23
Daftar Pustaka
Lampiran
Lampiran Tabel
Tabel 2.6 Sumber: kursus evaluasi sumber daya lahan
Tabel 2.7 Sumber: kursus evaluasi sumber daya lahan
Tabel 3.2 Matriks Kesesuaian
Tabel 3.9 Query
Tabel 4.1 kesesuaian perencanaan pengembangan terminal tipe A
Tabel 4.2 kesesuaian perencanaan pengembangan terminal tipe B
3
Tabel 4.3 kesesuaian perencanaan pengembangan terminal tipe C
Tabel 4.4 Total Kesluruhan Wilayah Kesesuaian Terminal
Lampiran Gambar
Gambar 2.1 Sistem Transportasi Makro
Gambar 2.3c Interaksi Tata Guna Lahan-Transportasi
Gambar 3.7 bagan E-R
4
BAB I
PENDAHULUAN
Pergerakan ekonomi, jaringan distribusi dan sistem logistik barang dan jasa di
Indonesia masih sangat tergantung pada sistem transportasi. Demikian juga pergerakan
penumpang intra dan antar wilayah. Awal tahun 1999, mobilitas ekonomi di seluruh
Indonesia tergambar dalam tingkat utilisasi jalan nasional dan jalan provinsi sebesar 664,6
juta penumpang-km dan 144 juta ton-km per-hari, suatu peningkatan masing-masing 21 %
dan 6,7 % dibanding tahun sebelumnya. Oleh karena itu sistem jaringan transportasi yang
stabil dan handal sangat menentukan efisiensi perekonomian.
Dalam kerangka pikir yang lebih luas dapat dijelaskan bahwa perkembangan
penduduk, pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial budaya masyarakat, serta perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat, telah menyebabkan makin tinggi dan
bervariasinya aktivitas, mobilitas, dan pergerakan penduduk dalam sebuah wilayah. Lebih
lanjut, keadaan ini mendorong meningkatnya kebutuhan akan transportasi. Kebutuhan akan
hal ini pada dasarnya merupakan kalkulasi perbandingan antara kebutuhan manusia dengan
ketersediaan sarana dan prasarana transportasi itu sendiri. Di sinilah pangkal permasalahan
munculnya permasalahan transportasi suatu wilayah, yaitu di satu sisi faktor-faktor
kebutuhan terus meningkat, namun di sisi lain kondisi sarana dan prasarana serta perangkat
lainnya tidak menunjang. Akhirnya, muncul ketidakseimbangan (inequilibrium) dalam
sistem transportasi suatu wilayah.
5
Berdasarkan data informasi dari dinas perhubungan kalimantan timur, salah satu
pendukung dalam pergerakan manusia yang ada diimbangi dengan bertambahnya jumlah
penduduk yang membengkak diperlukan adanya perluasan dan penambahan salah satu simpul
trasnsportasi dalam mengayomi permintaan transportasi yang ada di Kalimantan Timur.
Informasi data terkait dengan jumlah simpul berbagai tipe terminal yang ada Kalimantan
Timur masih memiliki jumlah yang maksimum, dapat dikatakan tidak seimbang dengan
pertumbuhan penduduk. Data tahun 2007 terdapat 2 unit simpul transportasi tipe A yang
beroperasi, 6 unit tipe B dan 11 unit tipe C. Kondisi ini menunjukkan bahwa perlu adanya
perluasan wilayah akan pengembangan simpul trasnportasi yang perlu direncanakan pada
masa mendatang.
d. Kemiringan Lereng
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
Ditinjau dari aspek alat pendukung proses pergerakan, sistem transportasi mencakup
beberapa unsur/sub sistem (Miro, 2005:5), yaitu :
Pergerakan lalu lintas timbul karena adanya proses pemenuhan kebutuhan. Pergerakan
terjadi karena adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi oleh suatu tempat. Setiap tata guna
lahan atau sistem kegiatan mempunyai suatu jenis kegiatan tertentu yang akan
membangkitkan pergerakan dan akan menarik pergerakan dalam proses pemenuhan
kebutuhan. Sistem tersebut merupakan sistem pola kegiatan tata guna lahan yang terdiri dari
pola kegiatan sosial, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Interaksi yang terjadi antara sistem
kegiatan dengan sistem jaringan menghasilkan manusia dan/atau barang dalam bentuk
pergerakan kendaraan dan/atau orang (pejalan kaki). Sistem pergerakan yang aman, cepat,
nyaman, murah, handal dan sesuai dengan lingkungannya dapat tercipta jika pergerakan
tersebut diatur oleh sistem rekayasa dan manajemen lalu intas yang baik (Tamin, 2000, 28).
Perubahan yang terjadi pada masing-masing sistem akan berdampak pada sistem yang
lainnya. Dalam usahanya untuk mewujudkan suatu pergerakan yang aman, nyaman, lancar
maka diperlukan suatu sistem yang mampu memenaje sistem-sistem yang telah ada yaitu
sistem kelembagaan (Tamin, 2000; 29).
Transportasi bukan merupakan tujuan Akhir yang ingin kita capai tetapi merupakan
sarana perantara untuk memudahkan manusia mencapai tujuan akhir yang sebenarnya, seperti
pergi ke toko untuk membeli pakaian, makanan dan barang-barang untuk keperluan hidup,
pergi ke kantor untuk bekerja mencari uang, pergi ke sekolah untuk menuntut ilmu pergi
rekreasi untuk refresing dan lain sebagainya. Oleh sebab itu kebutuhan akan jasa transportasi
adalah kebutuhan yang diturunkan dari kebutuhan kita akan tujuan akhir yang dimaksud
(derived demand) yang timbul akibat adanya tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup manusia
(Miro, 1997:13-14).
8
Tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup tertuang dalam berbagai aktivitas yang
dilakukan oleh penduduk seperti aktivitas bekerja, sekolah, olah raga, belanja, dan bertamu
yang berlangsung diatas sebidang tanah (kantor, pabrik, pertokoan, rumah, dan lain-lain).
Potongan lahan ini biasanya disebut tata guna lahan. Untuk memenuhi kebutuhannya,
manusia melakukan perjalanan antar tata guna lahan tersebut dengan menggunakan sistem
jaringan transportasi (misalnya berjalan kaki atau naik angkutan umum). Hal ini
menimbulkan perjalanan arus manusia, kendaraan dan barang (Tamin, 2000:30).
Keberadaan transportasi dan guna lahan di perkotaan tidak bisa dipisahkan satu sama
lain, ke duanya memiliki keterkaitan dan ketergantungan yang tinggi. Transportasi dan tata
guna lahan oleh para perencana kota sering diibaratkan sebagai ”dua sisi mata uang logam”,
karena tempat masuk dan keluarnya transportasi diperlukan agar sebidang tanah memiliki
fungsi produktif, dan jalur lalu lintas tidak akan bermanfaat kecuali bila jalur tersebut
melayani kegiatan baru ataupun yang telah ada pada ke dua ujungnya (Branch, 1995; 580).
Tata guna lahan merupakan salah satu penentu utama timbulnya pergerakan dan aktivias.
Aktivitas yang dikenal dengan bangkitan perjalanan akan menentukan fasilitas-fasilitas
transportasi apa saja yang akan dibutuhkan untuk melakukan pergerakan. Ketersediaan
fasilitas akan meningkatkan aksesibilitas, yang pada akhirnya akan mempengaruhi guna
lahan (Khisty dan Lall, 2005).
Dengan demikian, setiap perubahan guna lahan pada suatu daerah akan berpengaruh
pada sistem tranportasi. Dalam perkembangan suatu kawasan tidak dapat diperkirakan mana
yang lebih dahulu ada antara penggunaan lahan dengan kebutuhan perjalanan, karena kedua
variabel tersebut saling mempengaruhi. Satu pihak dapat dianggap sebagai penyebab bagi
9
perkembangan yang lain, kalau suatu kawasan di bangun jaringan jalan maka akan menarik
orang untuk berkreativitas pada kawasan tersebut, demikian juga dengan dibukanya suatu
kawasan maka akan diikuti oleh perkembangan transportasi. Transportasi dan tata guna lahan
berhubungan sangat erat sehingga biasanya dianggap membentuk suatu land use system.
Pengembangan lahan tidak akan terjadi tanpa pengembangan suatu sistem transportasi,
sedangkan sistem transportasi tidak mungkin disediakan apabila tidak melayani kepentingan
ekonomi atau aktivitas pembangunan. Agar tata guna lahan dapat terwujud dengan baik maka
kebutuhan transportasinya harus terpenuhi dengan baik, sistem transportasi yang macet
tentunya akan menghalangi tata guna lahannya. Sebaliknya, transportasi yang tidak melayani
suatu tata guna lahan akan kurang bermanfaat. (Tumewu, 1997:12).
Terdapat tiga komponen utama yang saling mempengaruhi dalam sistem trasnportasi
yaitu:
b. Sub sistem transportasi supply, sub sistem ini merupakan penghubung fisik antara
tata guna lahan dan perilaku manusia masyarakat. Penyediaan ini meliputi
berbagai moda transportasi seperti: jalan raya, rel kereta, rute bus dan lain-lain.
Selain itu sub sistem ini menyediakan karakteristik operasional moda seperti:
waktu tempuh, biaya, dan frekuensi pelayanan.
10
c. Lalu Lintas
Lalu lintas merupakan akibat langsung dari interaksi antara tata guna lahan dan
transportasi supply yang berupa pergerakan barang dan jasa. Pembangunan area
lahan dapat menyebabkan timbulnya lalu lintas yang akan mempengaruhi
prasarana transportasi. Sebaliknya, adanya prasarana transportasi yang baik akan
mempengaruhi pola pemanfaatan lahan.
Sumber: www.dishub.go.id
Jalan merupakan salah satu akses mencapai suatu wilayah tertentu mempunyai peran
yang penting dalam memberikan ‘pelayanan’ bagi pengguna jalan yang melintasinya. Oleh
sebab itu untuk menghindari ‘keruwetan’ penggunaan jaringan jalan, maka perlu
pengklasifikasian jaringan jalan yang disesuaikan dengan fungsi ruas jalan tersebut. Sistem
jaringan jalan menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 38 Tahun 2004 tentang jalan
terdiri atas sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder, yaitu:
Jalan Primer, merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi
barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan
menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan.
Jalan Sekunder, merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi
barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan.
Sedangkan menurut fungsinya (Menurut UU No. 38/2004 Pasal 8), jalan umum
dapat dikelompokkan ke dalam jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan,
yaitu:
11
Jalan arteri, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan
ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi
secara berdaya guna.
Jalan kolektor, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul
atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan
jumlah jalan masuk dibatasi.
Jalan lokal, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat
dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan
masuk tidak dibatasi.
2.5 Terminal
12
5. Terminal penumpang tipe C sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf C, berfungsi
melayani kendaraan umum untuk angkutan pedesaan.
Lokasi terminal dijelaskan dalam pasal 9 bahwa:
a. Penentuan lokasi terminal penumpang dilakukan dengan memperhatikan rencana
kebutuhan lokasi simpul yang merupakan bagian dari rencana umum jaringan
transportasi jalan.
Lokasi terminal penumpang tipe A, tipe B dan tipe C, ditetapkan dalam pasal 10 dengan
memperhatikan:
a. Rencana umum tata ruang;
b. Kepadatan lalu lintas dan kapasitas jalan di sekitar terminal;
c. Keterpaduan moda transportasi baik intra maupun antar moda;
d. Kondisi topografi lokasi terminal;
e. Kelestarian lingkungan.
Dalam pasal 11 dijelaskan penetapan lokasi terminal penumpang tipe A selain harus
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10, harus memenuhi
persyaratan:
a. Terletak dalam jaringan trayek antar kota antar propinsi dan/atau angkutan lalu lintas
batas negara;
b. Terletak di jalan arteri dengan kelas jalan sekurang-kurangnya kelas IIIA;
c. Jarak antara dua terminal penumpang tipe A, sekurang-kurangnya 20 km di Pulau
Jawa, 30 km di Pulau Sumatera dan 50 km di pulau lainnya;
d. Luas lahan yang tersedia sekurang-kurangnya 5 ha untuk terminal di Pulau Jawa dan
Sumatera, dan 3 ha di pulau lainnya;
e. Mempunyai akses jalan masuk atau jalan keluar ke dan dari terminal dengan jarak
sekurang-kurangnya 100 m di Pulau Jawa dan 50 m di pulau lainnya, dihitung dari
jalan ke pintu keluar atau masuk terminal.
Dalam pasal 12 penetapan lokasi terminal penumpang tipe B selain harus memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, harus memenuhi persyaratan:
a. Terletak dalam jaringan trayek antar kota dalam propinsi;
b. Terletak di jalan arteri atau kolektor dengan kelas jalan sekurang-kurangnya kelas
IIIB;
c. Jarak antara dua terminal penumpang tipe B atau dengan terminal penumpang tipe A,
sekurang-kurangnya 15 km di Pulau Jawa dan 30 km di Pulau lainnya;
13
d. Tersedia lahan sekurang-kurangnya 3 ha untuk terminal di Pulau Jawa dan Sumatera,
dan 2 ha untuk terminal di pulau lainnya;
e. Mempunyai akses jalan masuk atau jalan keluar ke dan dari terminal dengan jarak
sekurang-kurangnya 50 m di Pulau Jawa dan 30 m di pulau lainnya, dihitung dari
jalan ke pintu keluar atau masuk terminal.
Pada pasal 13 dijelaskan penetapan lokasi terminal penumpang tipe C selain harus
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, harus memenuhi
persyaratan:
a. Terletak di dalam wilayah Kabupaten daerah Tingkat II dan dalam jaringan trayek
pedesaan;
b. Terletak di jalan kolektor atau lokal dengan kelas jalan paling tinggi kelas IIIA;
c. Tersedia lahan sesuai dengan permintaan angkutan;
d. Mempunyai akses jalan masuk atau keluar ke dan dari terminal, sesuai kebutuhan
untuk kelancaran lalu lintas di sekitar terminal.
Pada pasal 24 di jelaskan bahwa terminal barang berfungsi melayani kegiatan bongkar
dan/atau muat barang, serta perpindahan intra dan /atau moda transportasi. Terkait dengan
lokasi terminal barang dijelaskan pada pasal 27 dilakukan dengan memperhatikan rencana
kebutuhan lokasi simpul yang merupakan bagian dari rencana umum jaringan transportasi
jalan. Penentuan lokasi terminal barang dilakukan dengan memperhatikan:
a. Rencana umum tata ruang
b. Kepadatan lalu lintas dan kapasitas jalan di sekitar terminal;
c. Keterpaduan moda transportasi baik intra maupun antar moda;
d. Kondisi topografi lokasi terminal;
e. Kelestarian lingkungan.
Lokasi terminal barang selain harus memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28, harus memenuhi persyaratan:
a. Terletak dalam jaringan lintas angkutan barang;
b. Terletak di jalan arteri dengan kelas jalan sekurang-kurangnya kelas IIIA;
c. Tersedia lahan sekurang-kurangnya 3 Ha untuk terminal di Pulau Jawa, dan 2 Ha
untuk terminal di pulau lainnya;
14
d. Mempunyai akses jalan masuk atau jalan keluar ke dan dari terminal dengan jarak
sekurang-kurangnya 50 m di Pulau Jawa dan 30 m di pulau lainnya, dihitung dari
jalan ke pintu keluar atau masuk terminal.
2.6 Kemiringan Lereng
Penggunaan lahan adalah merupakan variasi dari region yang memiliki batas yang jelas
serta dihuni oleh organisme biotik maupun abiotik sekitar yang mempengaruhi dalam
perencanaan salah satu simpul transportasi salah satunya sebagai subjek penggerak dalam
ruang yang bergerak dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Variasi dari penggunaan lahan yang
diterapakan sebagai variabel tersebut meliputi, pemukiman, lahan kosong, dan hutan. Dalam
penentuan pengembangan perencanaan pembangunan simpul trasnportasi yaitu terminal,
jenis penggunaan lahan yang digunakan meliputi:
15
2.8 Sistem Informasi geografis
Sistem Informasi Geografis pada dasarnya adalah jenis khusus sistem informasi, yang
memperhatikan representasi dan manipulasi realita geografi. SIG mentransformasikan data
menjadi informasi dengan mengintegrasikan sejumlah data yang berbeda, menerapkan
analisis fokus, dan menyajikan output dalam rangka mendukung pengambilan keputusan
(Juppenlatz & Tian, 1996: bab 1). Kemampuan SIG dalam penyimpanan, analisis, pemetaan
dan membuat model mendorong aplikasi yang luas dalam berbagai disiplin ilmu, dari
teknologi informasi hingga sosial-ekonomi maupun analisis yang berkaitan dengan populasi
(Martin, 1996: 4-5).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Ruang lingkup substansial dari penelitian / kajian ini diharapkan dapat mencakup beberapa
dimensi transportasi sebagai berikut:
Variabel data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder
merupakan data yang diperoleh dari berbagai media informasi seperti jurnal, skripsi, tesis dan
informasi dari website pemertintahan Kalimantan Timur. Sumber data tersebut berupa
kondisi transportasi yang sudah ada, UU transportasi, dan data yang akan dijadikan variabel
kesesuaian pengembangan transportasi seperti jaringan jalan, land use, simpul yang sudah
ada, kemiringan lereng dan jenis tanah.
Adapun dari beberapa data sekunder di atas dituangkan dalam bentuk peta yang terdiri
dari:
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara
mengumpulkan data-data berupa teori tentang penentuan perencanaan pengembangan
17
transportasi, UU, Keputusan Pemerintah, dan wilayah kesesuaian akan pengembangan
transportasi. Hampir dalam pengumpulan data ini berasal dari peningggalan tertulis yang
relevan terkait dengan tema penelitian seperti hasil skripsi, tesis dan jurnal serta sumber
buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan
masalah penelitian (Rachman,1995:96).
18
Simpul Transportasi 30-50km 0-30km
Tipe B
Pengolahan data merupakan tahap yang paling penting dalam penentuan wilayah
kesesuaian setelah semua data di atas tersedia, proses pengolahan yang akan menuangkan
dalam peta ini menggunakan software Arcgis 9.3. Adapun proses pengolahan data
dilakukan dengan langkah-langkah di bawah ini:
b. Langkah selanjutnya adalah proses overlay, langkah awal dari proses overlay adalah
Dari langkah di atas akan menghasilkan OV1 (overlay buffer jalan dan buffer
simpul transportasi) dan OV2 (hasil overlay penggunaan lahan, jenis tanah dan
kemiringan lereng), dan output akhir adalah hasil overlay OV1 dan OV2 yaitu
OV3.
c. Langkah terakhir adalah menu select, langkah ini merupakan proses untuk
menentukan kesesuaian wilayah akan pengembangan simpul transportasi.
19
3.7 Bagan E-R
20
21
3.9 Tabel Query
Klasifikasi Query
Analisa data yang dilakukan penulis yaitu interpretasi serta dari hasil pengolahan data
secara detail dari masing–maisng variabel penentu wilayah kesesuaian pengembangan simpul
transportasi. Selain itu dengan menghubungkan keterkaitan antara satu variabel dengan
variabel lainnya yans saling berpengaruh sesuai dengan referensi.
22
BAB IV
PEMBAHASAN
5.1 Wilayah Kesesuaian Pengembangan Terminal Tipe A di Setiap Kabupaten di Provinsi
Kalimantan Timur
Luasan(km2) Wilayah Kesesuaian Terminal Tipe A
Nama Kabupaten sesuai Tidak Sesuai Jumlah
Berau 537,2 1.899,60 2.436,80
23
Total 26.409,70 39.442,30 65.852,00
26
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Perencanaan pengembangan simpul trasnportasi (terminal) Tipe A, Tipe B dan Tipe
C di provinsi Kalimantan Timur hampir seluruh wilayah memiliki keksesuaian yang relatif
menyeluruh dan merata. Adapun hanya terdapat satu daerah yang tidak sesuai untuk
perencanaan akan pembangunan semua tipe jenis terminal adalah Kabupaten Malinau. Hal
tersebut sesaui dengan kondisi trasnportasi yang rendah dan kondisi jaringan jalan yang
belum memadai. Sedangkan Kabupaten Kutai Barat tidak memiliki potensi wilayah untuk
perencanaan pembangunan jenis terminal tipe C, kondisi ini karena jarang ditemukannya
jalan lokal dan yang ada hanya jalan arteri yang menghubungkan ke Provinsi kalimantan
Tengah.
27
Daftar Pustaka
Arif, Firgani. 2009. Tesis:Kajian Pelayanan Rute Angkutan Umum Di Kota Palembang.
Semarang: Magister Teknik Pembangunan Wilayah Dan Kota Universitas Diponegoro.
28
Lampiran Peta:
1. Peta Administrasi
PETA 1
29
2. Peta Jaringan Jalan
PETA 2
30
3. Peta Simpul Transportasi
PETA 3
31
4. Peta Penggunaan Tanah
PETA 4
32
5. Peta Kemiringan Lereng
6. Peta Wilayah Kesesuaian Pembangunan Terminal Tipe A
PETA 5
PETA 6
33
7. Peta Wilayah Kesesuaian Pembangunan Terminal Tipe B
PETA 7
34
8. Peta Wilayah Kesesuaian Pembangunan Terminal Tipe C
PETA 8
35