ketidakseimbangan
Pengenalan Konsep
Akomodasi
Aplikasi Konsep
Organisasi
Pengembangan fase-fase LC dari 3 fase menjadi 5 atau 6 fase pun masih tetap berkorespondensi
dengan mental functioning dari Piaget. Fase engagement dalam LC 5E termasuk dalam proses
asimilasi, sedangkan fase evaluation masih merupakan proses organisasi.
Walaupun fase-fase LC dapat dijelaskan dengan teori Piaget, LC juga pada dasarnya lahir dari
paradigma konstruktivisme belajar yang lain termasuk teori konstruktivisme sosial Vygotsky dan
teori belajar bermakna Ausubel (Dasna, 2005). LC melalui kegiatan dalam tiap fase mewadahi
pebelajar untuk secara aktif membangun konsep-konsepnya sendiri dengan cara berinteraksi
dengan lingkungan fisik maupun sosial. Implementasi LC dalam pembelajaran sesuai dengan
pandangan kontruktivis yaitu:
1. Siswa belajar secara aktif. Siswa mempelajari materi secara bermakna dengan bekerja dan
berpikir. Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman siswa.
2. Informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa. Informasi baru yang
dimiliki siswa berasal dari interpretasi individu
3. Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan pemecahan
masalah. (Hudojo, 2001)
Dengan demikian proses pembelajaran bukan lagi sekedar transfer pengetahuan dari guru ke
siswa, seperti dalam falsafah behaviorisme, tetapi merupakan proses pemerolehan konsep yang
berorientasi pada keterlibatan siswa secara aktif dan langsung. Proses pembelajaran demikian
akan lebih bermakna dan menjadikan skema dalam diri pebelajar menjadi pengetahuan
fungsional yang setiap saat dapat diorganisasi oleh pebelajar untuk menyelesaikan masalah-
masalah yang dihadapi. Hasil-hasil penelitian di perguruan tinggi dan sekolah menengah tentang
implementasi LC dalam pembelajaran sain menunjukkan keberhasilan model ini dalam
meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa (Budiasih dan Widarti, 2004; Fajaroh dan
Dasna, 2004). Marek dan Methven (dalam Iskandar, 2005) menyatakan bahwa siswa yang
gurunya mengimplementasikan LC mempunyai ketrampilan menjelaskan yang lebih baik dari
pada siswa yang gurunya menerapkan metode ekspositori. Cohen dan Clough (dalam Soebagio,
2000) menyatakan bahwa LC merupakan strategi jitu bagi pembelajaran sain di sekolah
menengah karena dapat dilakukan secara luwes dan memenuhi kebutuhan nyata guru dan siswa.
Dilihat dari dimensi guru penerapan strategi ini memperluas wawasan dan meningkatkan
kreatifitas guru dalam merancang kegiatan pembelajaran. Sedangkan ditinjau dari dimensi
pebelajar, penerapan strategi ini memberi keuntungan sebagai berikut:
1. meningkatkan motivasi belajar karena pebelajar dilibatkan secara aktif dalam proses
pembelajaran
2. membantu mengembangkan sikap ilmiah pebelajar
3. pembelajaran menjadi lebih bermakna
Adapun kekurangan penerapan strategi ini yang harus selalu diantisipasi diperkirakan sebagai
berikut (Soebagio, 2000):
1. efektifitas pembelajaran rendah jika guru kurang menguasai materi dan langkah-langkah
pembelajaran
2. menuntut kesungguhan dan kreativitas guru dalam merancang dan melaksanakan proses
pembelajaran
3. memerlukan pengelolaan kelas yang lebih terencana dan terorganisasi
4. memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun rencana dan melaksanakan
pembelajaran.
Bagaimana Mengembangkan Learning Cycle dalam Pembelajaran?
Aktivitas belajar yang dikembangkan dalam tiap fase LC bergantung kepada tujuan
pembelajaran. Tabel 1 menyajikan beberapa aktivitas belajar atau metode yang dapat dilakukan
dalam tiap fase LC 5E.
Elaboration (extention) : siswa menerapkan konsep dan ketrampilan dalam situasi baru. •
Demontrasi lanjutan
• Praktikum lanjutan
• Problem solving
Evaluation : evaluasi terhadap efektifitas fase-fase sebelumnya ; evaluasi terhadap pengetahuan,
pemahaman konsep, atau kompetensi pebelajar dalam konteks baru yang kadang-kadang
mendorong pebelajar melakukan investigasi lebih lanjut. • Refleksi pelaksanaan pembelajaran
• Tes tulis
• Problem solving
Dalam membuat rencana pembelajaran berbasis LC, kegiatan-kegiatan yang dipilih dalam tiap
fase harus ditelaah melalui pertanyaan « Konsep apa yang akan diberikan ? » atau « Kompetensi
apakah yang harus dikuasai siswa ? » dan « Aktivitas-aktivitas yang bagaimanakah yang harus
dikelola dalam tiap fase agar tercapai pemahaman konsep atau terkuasainya kompetensi
tersebut ? ». Kegiatan-kegiatan dalam tiap fase harus dirangkai sedemikian rupa sehingga tujuan
pembelajaran tercapai. Kompetensi yang bersifat psikomotorik dan afektif misalnya akan lebih
efektif bila dikuasai siswa melalui kegiatan semacam praktikum.
Lingkungan belajar yang perlu diupayakan agar LC berlangsung konstruktivistik adalah :
1. Tersedianya pengalaman belajar yang berkaitan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa
2. Tersedianya berbagai alternatif pengalaman belajar jika memungkinkan
3. Terjadinya transmisi sosial, yakni interaksi dan kerja sama individu dengan lingkungannya
4. Tersedianya media pembelajaran
5. Kaitkan konsep yang dipelajari dengan fenomena sedemikian rupa sehingga siswa terlibat
secara emosional dan sosial yang menjadikan pembelajaran berlangsung menarik dan
menyenangkan. (Hudojo, 2001)
Berikut ini akan disajikan contoh penerapan LC dalam pembelajaran kimia di SMA.
1. Siklus 1
Skenario
TPK: Siswa dapat menjelaskan tujuan pemanfaatan zat pewarna makanan, klasifikasi serta aturan
pemakaian zat pewarna makanan
Membimbing diskusi kelas dan menggiring siswa untuk sampai pada kesimpulan bahwa:
(1) penambahan zat pewarna tersebut semata-mata tidak mempengaruhi nilai gizi makanan tapi
agar penampilan makanan tersebut lebih menarik untuk memancing selera dan mungkin untuk
meningkatkan rasa makanan,
(2) perlunya aturan pemakaian zat pewarna,
(3) ciri-ciri zat pewarna sintetis, (4) kelebihan dan kerugian pemakaian zat pewarna makanan
Menugaskan siswa menjelaskan cara membedakan pewarna sistetis dan alami secara percobaan
(LKS 1 No. 1.5)
Melaksanakan Kegiatan I
Diskusi Kelompok
LKS 1
1.1 Tuliskan nama dan warna “jajanan” yang tersedia pada kelompok Anda!
1.2 Menurut Anda dari bahan pewarna pada “jajanan” tersebut? (bahan pewarna sintetis atau
alami). Jelaskan Jawaban anda!
1.3 Bagaimana ciri-ciri bahan pewarna sintetis dan alami? Bandingkan warna makanan dari
kunir atau daun suji dengan warna saus “tanpa merk”!
1.4 Bagaimana cara Anda membedakan bahan makanan yang mengandung zat pewarna sintetis
dengan bahan makanan yangmengandung zat pewarna alami?
1.5 Kerjakan kegiatan berikut ini:
Pilih 4 orang anggota kelompokmu, sebut saja siswa A, B, C, dan D
Siswa A : ambil sedikit saos tomat merk “Indofood” lalu oleskan pada telapak tangan kirimu.
Biarkan saos tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Siswa B : Ambillah sedikit saos tomat dalam botol besar merk “X” lalu oleskan pada telapak
tangan kirimu. Biarkan saos tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Siswa C : Ambillah sedikit saos tomat “tanpa merk” lalu oleskan pada telapak tangan kirimu.
Biarkan saos tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Siswa D : Geruslah sedikit tomat sampai halus, lalu oleskan pada telapak tangan kirimu. Biarkan
tomat halus tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Kemudian cucilah tangan Anda dan catat warna yang membekas pada tangan Anda. Tarik
kesimpulan percobaan Anda!
2. Siklus II
Skenario
TPK: Siswa dapat menjelaskan dampak pemakaian pewarna berbahaya bagi kesehatan
Fase Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
1
5 Memancing keingintahuan siswa tentang efek interaksi dinding usus sapi dengan bermacam-
macam pewarna dengan mengingatkan kembali hasil percobaan 1.5 (pengolesan bermacam-
macam pewarna makanan pada kulit).
Menugaskan siswa melaksanakan praktikum efek interaksi dinding usus sapi dengan rhodamin-B
(pewarna tekstil), saos bermerk A dan B (LKS 2).
Melaksanakan praktikum
Presentasi kelompok
Diskusi Kelas
Diskusi Kelas
Memberikan soal:
Sebutkan cara-cara fisik dan kimia yang dapat dilakukan untuk mendeteksi pewarna berbahaya
pada makanan!
Diskusi kelas
Praktikum
Presentasi kelompok
LKS 3
DAFTAR PUSTAKA
Abraham, M.R., Renner J.W.. 1986.The Sequence of Learning Cycle Activity in High School
Chemistry. J. of Research in Science Teaching. Vol 23 (2), pp 121-143.
Arifin, M. 1995. Pengembangan Program Pengajaran Bidang Studi Kimia. Surabaya: Airlangga
University Press.
Budiasih, E. , Widarti, H.R. 2004. Penerapan Pendekatan Daur Belajar (Learning Cycle) dalam
Pembelajaran Matakuliah Praktikum Kimia Analisis Instrumen. Jurnal Pendidikan dan
pembelajaran Vol 10 (1), hal 70-78.
Dasna, I.Wayan.2005. Kajian Implementasi Model Siklus Belajar (Learning Cycle) dalam
Pembelajaran Kimia. Makalah Seminar Nasional MIPA dan Pembelajarannya. FMIPA UM –
Dirjen Dikti Depdiknas. 5 September 2005.
Fajaroh, F., Dasna, I.W. 2003. Penggunaan Model Pembelajaran Learning Cycle Untuk
Meningkatkan Motivasi Belajar Dan Hasil Belajar Kimia Zat Aditif Dalam Bahan Makanan Pada
Siswa Kelas Ii Smu Negeri 1 Tumpang – Malang. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Vol 11
(2) Oktober 2004, hal 112-122.
Iskandar, S.M. 2005. Perkembangan dan Penelitian Daur Belajar. Makalah Semlok Pembelajaran
Berbasis Konstruktivis. Jurusan Kimia UM. Juni 2005.
Lorsbach, A. W. 2002. The Learning Cycle as A tool for Planning Science Instruction. Online
(http://www.coe.ilstu.edu/scienceed/lorsbach/257lrcy.html, diakses 10 Desember 2002).
Renner, J.W., Abraham M.R.,Birnie, H.H. 1988. The Necessity of Each Phase of The Learning
Cycle ini Teaching High School Physics. J. of Research in Science Teaching. Vol 25 (1), pp 39-
58.
Soebagio dkk. 2000. Penggunaan Siklus belajar dan Peta Konsep untuk Peningkatan Kualitas
Pembelajaran Konsep Larutan Asam-Basa. PPGSM.