Anda di halaman 1dari 10

PEMBELAJARAN DENGAN MODEL SIKLUS BELAJAR (LEARNING CYCLE)

Fauziatul Fajaroh dan I Wayan Dasna


Jurusan Kimia FMIPA UM

Apa Siklus Belajar (Learning Cycle) itu?


Siklus Belajar (Learning Cycle) atau dalam penulisan ini disingkat LC adalah suatu model
pembelajaran yang berpusat pada pebelajar (student centered). LC merupakan rangkaian tahap-
tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga pebelajar dapat menguasai
kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperanan aktif.
LC pada mulanya terdiri dari fase-fase eksplorasi (exploration), pengenalan konsep (concept
introduction), dan aplikasi konsep (concept application) (Karplus dan Their dalam Renner et al,
1988). Pada tahap eksplorasi, pebelajar diberi kesempatan untuk memanfaatkan panca inderanya
semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan melalui kegiatan-kegiatan seperti
praktikum, menganalisis artikel, mendiskusikan fenomena alam, mengamati fenomena alam atau
perilaku sosial, dan lain-lain. Dari kegiatan ini diharapkan timbul ketidakseimbangan dalam
struktur mentalnya (cognitive disequilibrium) yang ditandai dengan munculnya pertanyaan-
pertanyaan yang mengarah pada berkembangnya daya nalar tingkat tinggi (high level reasoning)
yang diawali dengan kata-kata seperti mengapa dan bagaimana (Dasna, 2005, Rahayu, 2005).
Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus merupakan indikator kesiapan siswa untuk
menempuh fase berikutnya, fase pengenalan konsep. Pada fase ini diharapkan terjadi proses
menuju kesetimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki pebelajar dengan konsep-
konsep yang baru dipelajari melalui kegiatan-kegiatan yang membutuhkan daya nalar seperti
menelaah sumber pustaka dan berdiskusi. Pada tahap ini pebelajar mengenal istilah-istilah yang
berkaitan dengan konsep-konsep baru yang sedang dipelajari. Pada fase terakhir, yakni aplikasi
konsep, pebelajar diajak menerapkan pemahaman konsepnya melalui kegiatan-kegiatan seperti
problem solving (menyelesaikan problem-problem nyata yang berkaitan) atau melakukan
percobaan lebih lanjut.. Penerapan konsep dapat meningkatkan pemahaman konsep dan motivasi
belajar, karena pebelajar mengetahui penerapan nyata dari konsep yang mereka pelajari.
Implementasi LC dalam pembelajaran menempatkan guru sebagai fasilitator yang mengelola
berlangsungnya fase-fase tersebut mulai dari perencanaan (terutama pengembangan perangkat
pembelajaran), pelaksanaan (terutama pemberian pertanyaan-pertanyaan arahan dan proses
pembimbingan) sampai evaluasi. Efektifitas implementasi LC biasanya diukur melalui observasi
proses dan pemberian tes. Jika ternyata hasil dan kualitas pembelajaran tersebut ternyata belum
memuaskan, maka dapat dilakukan siklus berikutnya yang pelaksanaannya harus lebih baik
dibanding siklus sebelumnya dengan cara mengantisipasi kelemahan-kelemahan siklus
sebelumnya, sampai hasilnya memuaskan.
LC tiga fase saat ini telah dikembangkan dan disempurnakan menjadi 5 dan 6 fase. Pada LC 5
fase, ditambahkan tahap engagement sebelum exploration dan ditambahkan pula tahap
evaluation pada bagian akhir siklus. Pada model ini, tahap concept introduction dan concept
application masing-masing diistilahkan menjadi explaination dan elaboration. Karena itu LC 5
fase sering dijuluki LC 5E (Engagement, Exploration, Explaination, Elaboration, dan Evaluation)
(Lorsbach, 2002). Pada LC 6 fase, ditambahkan tahap identifikasi tujuan pembelajaran pada awal
kegiatan (Johnston dalam Iskandar, 2005). Tahap engagement bertujuan mempersiapkan diri
pebelajar agar terkondisi dalam menempuh fase berikutnya dengan jalan mengeksplorasi
pengetahuan awal dan ide-ide mereka serta untuk mengetahui kemungkinan terjadinya
miskonsepsi pada pembelajaran sebelumnya. Dalam fase engagement ini minat dan
keingintahuan (curiosity) pebelajar tentang topik yang akan diajarkan berusaha dibangkitkan.
Pada fase ini pula pebelajar diajak membuat prediksi-prediksi tentang fenomena yang akan
dipelajari dan dibuktikan dalam tahap eksplorasi. Pada fase exploration, siswa diberi kesempatan
untuk bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil tanpa pengajaran langsung dari guru untuk
menguji prediksi, melakukan dan mencatat pengamatan serta ide-ide melalui kegiatan-kegiatan
seperti praktikum dan telaah literatur. Pada fase explanation, guru harus mendorong siswa untuk
menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri, meminta bukti dan klarifikasi dari
penjelasan mereka, dan mengarahkan kegiatan diskusi. Pada tahap ini pebelajar menemukan
istilah-istilah dari konsep yang dipelajari. Pada fase elaboration (extention), siswa menerapkan
konsep dan ketrampilan dalam situasi baru melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum lanjutan
dan problem solving. Pada tahap akhir, evaluation, dilakukan evaluasi terhadap efektifitas fase-
fase sebelumnya dan juga evaluasi terhadap pengetahuan, pemahaman konsep, atau kompetensi
pebelajar melalui problem solving dalam konteks baru yang kadang-kadang mendorong
pebelajar melakukan investigasi lebih lanjut. Berdasarkan tahapan-tahapan dalam metode
pembelajaran bersiklus seperti dipaparkan di atas, diharapkan siswa tidak hanya mendengar
keterangan guru tetapi dapat berperan aktif untuk menggali dan memperkaya pemahaman
mereka terhadap konsep-konsep yang dipelajari. Berdasarkan uraian di atas, LC dapat
dimplementasikan dalam pembelajaran bidang-bidang sain maupun sosial.

Mengapa Menggunakan Learning Cycle?


LC patut dikedepankan, karena sesuai dengan teori belajar Piaget (Renner et al, 1988), teori
belajar yang berbasis konstruktivisme. Piaget menyatakan bahwa belajar merupakan
pengembangan aspek kognitif yang meliputi: struktur, isi, dan fungsi. Struktur intelektual adalah
organisasi-organisasi mental tingkat tinggi yang dimiliki individu untuk memecahkan masalah-
masalah. Isi adalah perilaku khas individu dalam merespon masalah yang dihadapi. Sedangkan
fungsi merupakan proses perkembangan intelektual yang mencakup adaptasi dan organisasi
(Arifin, 1995). Adaptasi terdiri atas asimilasi dan akomodasi. Pada proses asimilasi individu
menggunakan struktur kognitif yang sudah ada untuk memberikan respon terhadap rangsangan
yang diterimanya. Dalam asimilasi individu berinteraksi dengan data yang ada di lingkungan
untuk diproses dalam struktur mentalnya. Dalam proses ini struktur mental individu dapat
berubah, sehingga terjadi akomodasi. Pada kondisi ini individu melakukan modifikasi dari
struktur yang ada, sehingga terjadi pengembangan struktur mental. Pemerolehan konsep baru
akan berdampak pada konsep yang telah dimiliki individu. Individu harus dapat menghubungkan
konsep yang baru dipelajari dengan konsep-konsep lain dalam suatu hubungan antar konsep.
Konsep yang baru harus diorganisasikan dengan konsep-konsep lain yang telah dimiliki.
Organisasi yang baik dari intelektual seseorang akan tercermin dari respon yang diberikan dalam
menghadapi masalah. Karplus dan Their (dalam Renner et al, 1988) mengembangkan strategi
pembelajaran yang sesuai dengan ide Piaget di atas. Dalam hal ini pebelajar diberi kesempatan
untuk mengasimilasi informasi dengan cara mengeksplorasi lingkungan, mengakomodasi
informasi dengan cara mengembangkan konsep, mengorganisasikan informasi dan
menghubungkan konsep-konsep baru dengan menggunakan atau memperluas konsep yang
dimiliki untuk menjelaskan suatu fenomena yang berbeda. Implementasi teori Piaget oleh
Karplus dikembangkan menjadi fase eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep . Unsur-
unsur teori belajar Piaget (asimilasi, akomodasi, dan organisasi) mempunyai korespondensi
dengan fase-fase dalam LC (Abraham et al, 1986). Hubungan tersebut disajikan seperi Gambar 1
(Marek dan Cavallo dalam Dasna, 2005).
Laerning Cycle Phases Mental Functioning
Eksplorasi
Asimilasi

ketidakseimbangan

Pengenalan Konsep
Akomodasi

Aplikasi Konsep
Organisasi

Gambar 1 Hubungan Fase-fase dalam LC dengan Teori Piaget

Pengembangan fase-fase LC dari 3 fase menjadi 5 atau 6 fase pun masih tetap berkorespondensi
dengan mental functioning dari Piaget. Fase engagement dalam LC 5E termasuk dalam proses
asimilasi, sedangkan fase evaluation masih merupakan proses organisasi.
Walaupun fase-fase LC dapat dijelaskan dengan teori Piaget, LC juga pada dasarnya lahir dari
paradigma konstruktivisme belajar yang lain termasuk teori konstruktivisme sosial Vygotsky dan
teori belajar bermakna Ausubel (Dasna, 2005). LC melalui kegiatan dalam tiap fase mewadahi
pebelajar untuk secara aktif membangun konsep-konsepnya sendiri dengan cara berinteraksi
dengan lingkungan fisik maupun sosial. Implementasi LC dalam pembelajaran sesuai dengan
pandangan kontruktivis yaitu:
1. Siswa belajar secara aktif. Siswa mempelajari materi secara bermakna dengan bekerja dan
berpikir. Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman siswa.
2. Informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa. Informasi baru yang
dimiliki siswa berasal dari interpretasi individu
3. Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan pemecahan
masalah. (Hudojo, 2001)
Dengan demikian proses pembelajaran bukan lagi sekedar transfer pengetahuan dari guru ke
siswa, seperti dalam falsafah behaviorisme, tetapi merupakan proses pemerolehan konsep yang
berorientasi pada keterlibatan siswa secara aktif dan langsung. Proses pembelajaran demikian
akan lebih bermakna dan menjadikan skema dalam diri pebelajar menjadi pengetahuan
fungsional yang setiap saat dapat diorganisasi oleh pebelajar untuk menyelesaikan masalah-
masalah yang dihadapi. Hasil-hasil penelitian di perguruan tinggi dan sekolah menengah tentang
implementasi LC dalam pembelajaran sain menunjukkan keberhasilan model ini dalam
meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa (Budiasih dan Widarti, 2004; Fajaroh dan
Dasna, 2004). Marek dan Methven (dalam Iskandar, 2005) menyatakan bahwa siswa yang
gurunya mengimplementasikan LC mempunyai ketrampilan menjelaskan yang lebih baik dari
pada siswa yang gurunya menerapkan metode ekspositori. Cohen dan Clough (dalam Soebagio,
2000) menyatakan bahwa LC merupakan strategi jitu bagi pembelajaran sain di sekolah
menengah karena dapat dilakukan secara luwes dan memenuhi kebutuhan nyata guru dan siswa.
Dilihat dari dimensi guru penerapan strategi ini memperluas wawasan dan meningkatkan
kreatifitas guru dalam merancang kegiatan pembelajaran. Sedangkan ditinjau dari dimensi
pebelajar, penerapan strategi ini memberi keuntungan sebagai berikut:
1. meningkatkan motivasi belajar karena pebelajar dilibatkan secara aktif dalam proses
pembelajaran
2. membantu mengembangkan sikap ilmiah pebelajar
3. pembelajaran menjadi lebih bermakna
Adapun kekurangan penerapan strategi ini yang harus selalu diantisipasi diperkirakan sebagai
berikut (Soebagio, 2000):
1. efektifitas pembelajaran rendah jika guru kurang menguasai materi dan langkah-langkah
pembelajaran
2. menuntut kesungguhan dan kreativitas guru dalam merancang dan melaksanakan proses
pembelajaran
3. memerlukan pengelolaan kelas yang lebih terencana dan terorganisasi
4. memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun rencana dan melaksanakan
pembelajaran.
Bagaimana Mengembangkan Learning Cycle dalam Pembelajaran?
Aktivitas belajar yang dikembangkan dalam tiap fase LC bergantung kepada tujuan
pembelajaran. Tabel 1 menyajikan beberapa aktivitas belajar atau metode yang dapat dilakukan
dalam tiap fase LC 5E.

Tabel 1 Aktivitas Belajar dalam Tiap Fase LC 5E

Fase Aktivitas Belajar/ Metode


Engagement: menyiapkan (mengkondisikan) diri pebelajar, mengetahui kemungkinan terjadinya
miskonsepsi, membangkitkan minat dan keingintahuan (curiosity) pebelajar • Demonstrasi oleh
guru atau siswa
• Tanya jawab dalam rangka mengeksplorasi pengetahuan awal, pengalaman, dan ide-ide
pebelajar
• Pebelajar diajak membuat prediksi-prediksi tentang fenomena yang akan dipelajari dan
dibuktikan dalam tahap eksplorasi
Exploration: pebelajar bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil, menguji prediksi,
melakukan dan mencatat pengamatan serta ide-ide • Demonstrasi
• Praktikum
• Mengerjakan LKS (Lembar Kegiatan Siswa)
Explaination: siswa menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri, guru meminta bukti dan
klarifikasi dari penjelasan mereka dan mengarahkan kegiatan diskusi, pebelajar menemukan
istilah-istilah dari konsep yang dipelajari. • Mengkaji literatur
• Diskusi Kelas

Elaboration (extention) : siswa menerapkan konsep dan ketrampilan dalam situasi baru. •
Demontrasi lanjutan
• Praktikum lanjutan
• Problem solving
Evaluation : evaluasi terhadap efektifitas fase-fase sebelumnya ; evaluasi terhadap pengetahuan,
pemahaman konsep, atau kompetensi pebelajar dalam konteks baru yang kadang-kadang
mendorong pebelajar melakukan investigasi lebih lanjut. • Refleksi pelaksanaan pembelajaran
• Tes tulis
• Problem solving
Dalam membuat rencana pembelajaran berbasis LC, kegiatan-kegiatan yang dipilih dalam tiap
fase harus ditelaah melalui pertanyaan « Konsep apa yang akan diberikan ? » atau « Kompetensi
apakah yang harus dikuasai siswa ? » dan « Aktivitas-aktivitas yang bagaimanakah yang harus
dikelola dalam tiap fase agar tercapai pemahaman konsep atau terkuasainya kompetensi
tersebut ? ». Kegiatan-kegiatan dalam tiap fase harus dirangkai sedemikian rupa sehingga tujuan
pembelajaran tercapai. Kompetensi yang bersifat psikomotorik dan afektif misalnya akan lebih
efektif bila dikuasai siswa melalui kegiatan semacam praktikum.
Lingkungan belajar yang perlu diupayakan agar LC berlangsung konstruktivistik adalah :
1. Tersedianya pengalaman belajar yang berkaitan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa
2. Tersedianya berbagai alternatif pengalaman belajar jika memungkinkan
3. Terjadinya transmisi sosial, yakni interaksi dan kerja sama individu dengan lingkungannya
4. Tersedianya media pembelajaran
5. Kaitkan konsep yang dipelajari dengan fenomena sedemikian rupa sehingga siswa terlibat
secara emosional dan sosial yang menjadikan pembelajaran berlangsung menarik dan
menyenangkan. (Hudojo, 2001)
Berikut ini akan disajikan contoh penerapan LC dalam pembelajaran kimia di SMA.

Contoh Penerapan Learning Cycle dalam Pembelajaran


Uraian dalam paragrap ini menyajikan penerapan LC 5E dalam pembelajaran zat aditif di SMA
(Fajaroh dan Dasna, 2004) yang terdiri atas 3 siklus.

1. Siklus 1
Skenario

TPK: Siswa dapat menjelaskan tujuan pemanfaatan zat pewarna makanan, klasifikasi serta aturan
pemakaian zat pewarna makanan

Fase Kegiatan Guru Kegiatan


1

5 Memancing siswa dengan pertanyaan-pertanyaan untuk membangkitkan motivasi belajar dan


menjajagi pengetahuan dan wawasan siswa tentang:
1. kebiasaan yang biasanya dilakukan orang dalam mengolah makanan dalam kaitannya dengan
zat pewarna makanan.
2. tujuan penambahan zat pewarna pada pengolahan makanan tersebut
3. kaitan antara penambahan zat pewarna makanan dengan peningkatan nilai gizi makanan.
4. perlu tidaknya aturan pemakaian zat pewarna makanan
5. bagaimana membedakan pewarna alami dan sintetis
Membimbing siswa melaksanakan Kegiatan I (Klasifikasi Zat Pewarna Makanan) yakni LKS 1
No. 1.1 sampai 1.4.

Membimbing diskusi kelas dan menggiring siswa untuk sampai pada kesimpulan bahwa:
(1) penambahan zat pewarna tersebut semata-mata tidak mempengaruhi nilai gizi makanan tapi
agar penampilan makanan tersebut lebih menarik untuk memancing selera dan mungkin untuk
meningkatkan rasa makanan,
(2) perlunya aturan pemakaian zat pewarna,
(3) ciri-ciri zat pewarna sintetis, (4) kelebihan dan kerugian pemakaian zat pewarna makanan

Menugaskan siswa menjelaskan cara membedakan pewarna sistetis dan alami secara percobaan
(LKS 1 No. 1.5)

Memberikan soal tes:


(1) Sebutkan minimal 2 alasan mengapa orang menggunakan pewarna makanan sebagai zat
aditif?
(2) Sebutkan minimal 3 contoh pewarna alami
(3) Apa kelebihan pewarna sintetis dibanding alami?
(4) Apa kekurangan pewarna sintetis disbanding alami? Diskusi kelas

Melaksanakan Kegiatan I
Diskusi Kelompok

Presentasi kelompok dan Diskusi Kelas

Melakukan percobaan 1.5


Diskusi Kelompok

Menyelesaikan soal tes secara individual

LKS 1

Jawab pertanyaan-pertanyaan berikut secara berkelompok pada Lembar Jawaban/Pengamatan


yang telah disediakan!

1.1 Tuliskan nama dan warna “jajanan” yang tersedia pada kelompok Anda!
1.2 Menurut Anda dari bahan pewarna pada “jajanan” tersebut? (bahan pewarna sintetis atau
alami). Jelaskan Jawaban anda!
1.3 Bagaimana ciri-ciri bahan pewarna sintetis dan alami? Bandingkan warna makanan dari
kunir atau daun suji dengan warna saus “tanpa merk”!
1.4 Bagaimana cara Anda membedakan bahan makanan yang mengandung zat pewarna sintetis
dengan bahan makanan yangmengandung zat pewarna alami?
1.5 Kerjakan kegiatan berikut ini:
Pilih 4 orang anggota kelompokmu, sebut saja siswa A, B, C, dan D
Siswa A : ambil sedikit saos tomat merk “Indofood” lalu oleskan pada telapak tangan kirimu.
Biarkan saos tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Siswa B : Ambillah sedikit saos tomat dalam botol besar merk “X” lalu oleskan pada telapak
tangan kirimu. Biarkan saos tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Siswa C : Ambillah sedikit saos tomat “tanpa merk” lalu oleskan pada telapak tangan kirimu.
Biarkan saos tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Siswa D : Geruslah sedikit tomat sampai halus, lalu oleskan pada telapak tangan kirimu. Biarkan
tomat halus tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Kemudian cucilah tangan Anda dan catat warna yang membekas pada tangan Anda. Tarik
kesimpulan percobaan Anda!

2. Siklus II
Skenario
TPK: Siswa dapat menjelaskan dampak pemakaian pewarna berbahaya bagi kesehatan
Fase Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
1

5 Memancing keingintahuan siswa tentang efek interaksi dinding usus sapi dengan bermacam-
macam pewarna dengan mengingatkan kembali hasil percobaan 1.5 (pengolesan bermacam-
macam pewarna makanan pada kulit).

Menugaskan siswa melaksanakan praktikum efek interaksi dinding usus sapi dengan rhodamin-B
(pewarna tekstil), saos bermerk A dan B (LKS 2).

Membimbing diskusi hasil percobaan.

Mengajak siswa mendiskusikan fenomena penyalahgunaan zat warna di masyarakat serta


dampaknya bagi kesehatan.

Memberikan soal tes:


(1) Sebutkan cara-cara membedakan pewarna sintetis dan alami
(2) Apa yang dimaksud dengan penyalahgunaan zat warna?
(3) Apa dampaknya bagi kesehatan? Menjawab pertanyaan guru secara berkelompok

Melaksanakan praktikum

Presentasi kelompok
Diskusi Kelas

Diskusi Kelas

Menyelesaikan soal tes


LKS 2
Lakukan Kegiatan Berikut secara Berkelompok dan Catat Hasil Pengamatan Anda pada Lembar
yang Tersedia!
1. Siapkan 10 g saos merk Indofood, Cherry, dan tomat halus, masing-masing larutkan dalam 10
mL air
2. Masukkan larutan-larutan saos tersebut masing-masing ke dalam potongan usus sapi yang
sudah diikat salah satu ujungnya.
3. Ikat ujung usus lainnya, kemudian gantung pada statif dan diamkan selama 45 menit.
4. Keluarkan saos dari usus, cuci usus sampai bersih, amati kemungkinan ada tidaknya zat warna
yang tertinggal pada dinding usus, catat hasil pengamatanmu pada lembar pengamatan!
5. Tarik kesimpulan dari percobaan ini
3. Siklus 3
Skenario

TPK: siswa dapat mengidentifikasi pewarna berbahaya pada makanan

Fase Kegiatan Guru Kegiatan Siswa


1

5 Memancing siswa dengan pertanyaan-pertanyaan untuk menjajagi pengetahuan dan wawasan


siswa tentang berbahaya tidaknya penyalahgunaan zat-zat pewarna non-makanan untuk
makanan.

Menugaskan siswa melaksanakan praktikum identifikasi kandungan pewarna berbahaya


(Rhodamin-B) pada bermacam-macam saos dengan teknik kromatografi kertas dan spot test
(LKS 3).

Membimbing diskusi hasil percobaan.

Memberikan pertanyaan kepada kelompok siswa:


(1) Apakah teknik kromatografi kertas dapat digunakan untuk mendeteksi zat pewarna pada
makanan selain Rhodamin-B?mengapa?
(2) Apakah teknik spot test dapat digunakan untuk mendeteksi zat pewarna pada makanan selain
Rhodamin-B?mengapa?

Memberikan soal:
Sebutkan cara-cara fisik dan kimia yang dapat dilakukan untuk mendeteksi pewarna berbahaya
pada makanan!
Diskusi kelas
Praktikum

Presentasi kelompok

Diskusi dan presentasi

Menyelesaikan soal tes

LKS 3

3.1 Identifikasi Rhodamin-B pada Sampel dengan Tes Warna


a. Isi 4 lubang pada pelat tetes masing-masing dengan 1 tetes larutan Rhodamin-B
b. Tambahkan lubang 1 dengan setetes H2SO4
Tambahkan lubang 2 dengan setetes HCl
Tambahkan lubang 3 dengan setetes NaOH
Tambahkan lubang 4 dengan setetesNH4OH
c. Biarkan campuran tersebut kurang lebih 2 menit dan amati perubahan warna yang terjadi
d. Lakukan langkah a s.d. c untuk menguji perubahan warna larutan sampel X dan Y bila ditetesi
dengan larutan-larutan H2SO4, HCl, NaOH, dan NH4OH
e. Apakah larutan X dan Y mengandung Rhodamin-B

3.2 Identifikasi Rhodamin-B pada Sampel dengan Kromatografi Kertas


a. Ke dalam beaker glass yang dinding bagian dalamnya telah dilapisi kertas saring, masukkan
25 mL larutan eluen
b. Siapkan kertas kromatografi dan buatlah garis melintang sekitar 1 cm
dari kedua ujungnya.
c. Siapkan titik noda larutan Rhodamin-B, larutan X, dan larutan Y pada
salah satu garis melintang tersebut dengan pipa kapiler. Atur ketiga noda tersebut sedemikian
rupa sehingga tidak berimpit.
d. Lakukan proses elusi sampai eluen mencapai tanda batas.
e. Angkat dan keringkan kertas dengan cara diangin-anginkan.Bandingkan Rf noda Rhodamin-B,
X, dan Y.
f. Tarik kesimpulan dari percobaan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abraham, M.R., Renner J.W.. 1986.The Sequence of Learning Cycle Activity in High School
Chemistry. J. of Research in Science Teaching. Vol 23 (2), pp 121-143.

Arifin, M. 1995. Pengembangan Program Pengajaran Bidang Studi Kimia. Surabaya: Airlangga
University Press.

Budiasih, E. , Widarti, H.R. 2004. Penerapan Pendekatan Daur Belajar (Learning Cycle) dalam
Pembelajaran Matakuliah Praktikum Kimia Analisis Instrumen. Jurnal Pendidikan dan
pembelajaran Vol 10 (1), hal 70-78.
Dasna, I.Wayan.2005. Kajian Implementasi Model Siklus Belajar (Learning Cycle) dalam
Pembelajaran Kimia. Makalah Seminar Nasional MIPA dan Pembelajarannya. FMIPA UM –
Dirjen Dikti Depdiknas. 5 September 2005.

Fajaroh, F., Dasna, I.W. 2003. Penggunaan Model Pembelajaran Learning Cycle Untuk
Meningkatkan Motivasi Belajar Dan Hasil Belajar Kimia Zat Aditif Dalam Bahan Makanan Pada
Siswa Kelas Ii Smu Negeri 1 Tumpang – Malang. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Vol 11
(2) Oktober 2004, hal 112-122.

Hudojo, H. 2001. Pembelajaran Menurut Pandangan Konstruktivisme. Makalah Semlok


Konstruktivisme sebagai Rangkaian Kegiatan Piloting JICA. FMIPA UM. 9 Juli 2001.

Iskandar, S.M. 2005. Perkembangan dan Penelitian Daur Belajar. Makalah Semlok Pembelajaran
Berbasis Konstruktivis. Jurusan Kimia UM. Juni 2005.

Lorsbach, A. W. 2002. The Learning Cycle as A tool for Planning Science Instruction. Online
(http://www.coe.ilstu.edu/scienceed/lorsbach/257lrcy.html, diakses 10 Desember 2002).

Rahayu, S., Prayitno. 2005. Penggunaan Strategi Pembelajaran Learning Cycle-Cooperative


Learning 5E (LCC-5E). Makalah Seminar Nasional MIPA dan Pembelajarannya. FMIPA UM –
Dirjen Dikti Depdiknas. 5 September 2005.

Renner, J.W., Abraham M.R.,Birnie, H.H. 1988. The Necessity of Each Phase of The Learning
Cycle ini Teaching High School Physics. J. of Research in Science Teaching. Vol 25 (1), pp 39-
58.

Soebagio dkk. 2000. Penggunaan Siklus belajar dan Peta Konsep untuk Peningkatan Kualitas
Pembelajaran Konsep Larutan Asam-Basa. PPGSM.

Anda mungkin juga menyukai