Silvya khairunnisa 0806332603 Kelompok 1 1. Bagaimana arsitektur berperan dalam budidaya kehidupan perkotaan dalam arti luas?
2. Bagaimana mungkin kita menyeimbangkan kehidupan
perkotaan kita dengan struktur masyarakat?
Keyword : everyday, empowerment, urban life, society structure
Jika berbicara tentang peran arsitektur dalam budidaya
kehidupan perkotaan dalam arti luas, konteks manusia berubah dari objek individu menjadi bagian dari sebuah kelompok (komunal) dimana manusia hidup dan berinteraksi dengan sesamanya dan alam. Disini manusia dihadapkan dengan berbagai pemenuhan kebutuhan dan keinginan akan ruang. Kota tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya elemen manusia sebagai pembentuk didalamnya. Ruang-ruang didalam kota terbentuk akibat aktivitas manusia yang beragam. Kota dan manusia saling memberikan timbal balik dalam hubungannya dalam arsitektur. Menurut Jane Jacobs dalam bukunya The Deth And Life Of The Great Americans Cities, Kota memiliki tiga tingkatan yaitu : 1. Jalan : merupakan hal terpenting bahkan ada ungkapan yang menyatakan bahwa “road is more important than town”. Jalan merupakan sebuah void yang menghubungkan manusia ke satu tempat ke tempat lain. Tak ada jalan, maka manusia tidak dapat mencapai ke tempat-tempat pemenuhan kebutuhannya. 2. Disctrict : Kawasan, dihubungkan oleh jalan-jalan 3. Keberagaman : Kota terdiri dari berbagai macam golongan masyarakat dan aktivitas manusia. Kota juga memiliki konteks ruang dan waktu. Kota dapat berkembang seiring dengan kemajuan dan kebutuhan zaman. Salah satu peran arsitektur dalam budidaya kota adalah dengan cara sprawl. Di dalam bukunya, Architecture Must Burn Aaron Betszky menyatakan bahwa sprawl adalah suatu intervensi manusia terhadap sesuatu terhadap tuntutan zaman (modernisasi) berdasarkan kebutuhan manusia akan suatu space baru. Sesuatu yang menggantikan sesuatu yang lama sebagai media yang menyelesaikan kebutuhan manusia. Sprawl dapat memiliki dampak yang baik dan buruk. Salah satu contohnya adalah saat revolusi industri yang memunculkan kaum-kaum kapitalis dan pekerja. Lahan sebelum perang dunia kedua, kurang memiliki arti, namun setelah perang, banyak golongan-golongan pekerja yang beraktivitas dengan memanfaatkan ruang-ruang terbuka. Kaum kapitalis memanfaatkan momen tersebut dengan menggeser fungsi lahan yang tadinya sebagai tempat memproduksi ruang, lahan penyerapan air menjadi sesuatu yang bernilai konsumsi dengan membangun perumahan dan tempat tamasya.
produksi konsumsi
May be good.. May be no..
Fenomena tersebut bisa memiliki dua nilai. Positif jika
memang yang pergeseran tersebut tepat sasaran dan sesuai konteks lingkungan, negatif jika pergeseran lahan malah menimbulkan maslaah-masalah baru. Contoh pergeseran fungsi lahan yang negatif dalam kehidupan sehari-hari adalah pemerintah kita semkain lama semakin komersil. Lahan-lahan hijau untuk penyerapan air yang tersisa hampir semuanya dijadikan pemukiman baru bagi pendatang di wilayah pinggiran kota. Dampaknya, berkurangnya lahan resapan air, sumber oksigen yang akhirnya berdampak pada ekologi dan merugikan masyarakat. Sudah seharusnya perencanaan kota menjadi hal yang sangat penting bagi kelangsungan kehidupan manusia. Contoh pergerseran fungsi lahan ke arah yang positif adalah taman. Kebutuhan manusia untuk bersosialisasi di combine dengan kebutuhan lingkungan hijau. Namun hal ini juga dipengaruhi dengan pengolahan taman yang baik. Jane Jacobs menuturkan, elemen taman yang terpenting adalah intersesi (melibatkan kompleksitas), center (pusat kegiatan orang banyak), sun (cahay untuk memenuhi kebutuhan manusia didalamnya), enclosed (dilingkupi oleh bangunan yang akhirnya akan membentuk bayangan pada taman). Arsitektur harus sustainable dalam membudidayakan kota. Dikaitkan dengan konteks kekinian, tantangan terbesar arsitek adalah menghadapi fenomena global warming yang menuntut arsitek untuk lebih peka terhadap lingkungannya. Jika lingkungan tidak diperhatikan, maka kelangsungan kehidupan manusia pun akan rusak. Sustainable , green architecture erat kaitannya dengan teknologi. Sebenarnya manusia sangat terbantu dengan hal ini namun, didalam buku Architecture Participation, Jon Broome menuturkan bahwa teknologi hanya berperan 20% dalam keberhasilan Arsitektur yang berkelanjutan. 80 % ditentukan oleh manusia. Oleh karena itu, manusia memegang peranan penting dalam keberhasilan proses sustainable tersebut. Kemungkinan untuk meyeimbangkan perkotaan dengan struktur sosial di masyarakat itu ada. Sebelumnya saya ingin mengacu kepada arsitektur modern yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan manusia setelah Perang Dunia kedua. Arsitektur moderen ditandai dengan lahirnya revolusi industri yang lebih ditekankan pemenuhan kebutuhan dengan adanya penemuan mesin-mesin dan bahan yang diproduksi massal di pabrik. Dari hal itu, sebenanya terlihat upaya pemenuhan kehidupan bertinggal melalui pembangunan besar-besaran. Namun terdapat kekurangan, karena dapat memproduksi secara massal akhirnya hampir semua tempat memakai bahan yang sama di tambah arsitektur modern yang cenderung bersifat objektif, mementingkan ego perancang semata. Euforia revolusi industri membuat semua orang di berbagai wilayah meniru saling meniru gaya arsitektur, salah satu contohnya ialah international style. Tanpa melihat konteks site, semua bangunan di anggap sama saja, bisa berdiri di semua tempat. Memang hal ini bisa diapresiasi sebagai penyeimbang kelangsungan hidup manusia terutama perkotaan. Bayangkan saja, jika saat itu tidak ada suatu usaha untuk memperbaiki keadaan yang sudah hancur lebur akibat Perang Dunia kedua. Memang setiap zaman pasti ada metode baru untuk mendefinisikan arsitektur. Menurut saya, arsitektur modren merupakan pereduksian arti arsitektur yang di pengaruhi oleh ideologi formalism, function, dan rational. Mereka berpikir “olah bentuk” dan bukan “olah rasa”, sehingga akhirnya timbul kebosanan yang ujungnya melahirkan arsitektur postmoderen yang mencoba memberi variasi baru dalam aliran Arsitektur. Namun, perlu adanya kritik arsitektur yang dapat memperbaiki kondisi arsitektur moderen tersebut. Roger Scrton dalam tulisannya, Architectural Principles In An Age Of Nihilism mengatakan bahwa kegagalan arsitektur modern merupakan kesalahan karena hanya terlalu memikirkan fungsi dibanding pengertian estetik berupa rasa, penilaian dan kritik.
“Through aesthetic reflection we endeavour to create a
world in which we are at home with others and with ourselves”.- Roger Scruton
Seperti yang kita tau, Arsitektur bukanlah objek yang berdiri
sendiri dan dipandang objektif, melainkan ada hal-hal lain yang akan mempengaruhinya. Didalam tulisannya juga, kita diajak untuk menilai arsitektur secara subjektif. Terlebih jika konteksnya dikaitkan dengan perkotaan, pasti akan ada banyak hal yang akan mempengaruhi perancangan suatu ruang. Yang paling penting, pahamilah dimana Arsitektur itu berada, apa konteksnya, siapa yang akan memakainya. Suatu karya arsitektur dapat didukung dan ditolak oleh lingkungannya. Jadikanlah arsitektur sebagai seseorang yang dapat diterima dalam sebuah komunitas, jika tidak dia seperti benda yang sia-sia, tidak ada artinya. Lalu bagaimana keseimbangan perkotaan dan struktur sosial masyarakat ? Saya tertarik dengan pembahasan Jane Jacob dengan bukunya The Death And Life Of Great American Cities. Ia sangat jeli melihat solusi dari permasalahan-permasalahan perkotaan. Ia mencontohkan janganlah kita merusak sebuah kawasan yang ditinggali oleh masyarakat miskin dan kaya dengan mengusir si miskin dan membiarkan yang kaya berkembang. Hal itu menurutnya akan mematikan interaksi sosial karena tidak adanya proses yang membutuhkan dan pemenuhannya (interaksi jual beli). Ketidakstabilan populasi yang melahirkan pemukiman warga kumuh, harus dikendalikan dengan cara pemberdayaan masyarakat bukan malah mengusir pemukiman kumuh tersebut. Menurutnya, pemerintah harusnya meng “encourage” warga kumuh untuk bisa mandiri terutama dari segi finansial misalnya, pajak, pinjaman dana agar mereka bisa mengembangkan daerah mereka dengan baik dan tentu saja jika hal ini berhasil akan membantu usaha pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Jane Jacobs sangat suka keberagaman didalam suatu kota sehingga ia memiliki ide unutk menyatukan semua kegiatan dalam satu tempat. Menurutnya juga, kemacetan yang terjadi akibat penyatuan kegiatan bukan karena populasi tetapi akibat adanya kendaraan. Ia juga memaparkan bagaimana meningkatkan kinerja kota : 1. Diadakannya tempat tinggal bersubsidi bagi masyarakat kumuh 2. Memahami jalan tidak hanya sebagai bagian dari lalu lintas kendaraan tetapi sebagai ruang yang hidup, dapat dilalui oleh manusia. Di jalan, manusia dapat berinteraksi dengan orang-orang yang lewat. Ia juga menambahkan bahwa interaksi yang baik adalah inetraksi yang spontan, dijalanlah hal itu terjadi. Hal itu juga yang membuat jalan sangat penting bagi sebuah kota. 3. Perbaikan tatanan sosial tanpa mengorbankan keberagaman 4. Mendesain ulang pemerintahan dan kabupaten Menurut saya poin-poin diats merupakan hal-hal yang dapat menunjang penyeimbangan perkotaan dan struktur sosial di masyarakat. Dari itu, kita sebetulnya bisa melihat bahwa arsitektur tidak dapat berdiri sendiri tetapi dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti politik, ekonomi, dan sosial. Namun menurut saya, ada beberapa hal yang dikemukakan oleh jane yang agak sulit ditemukan dan dirubah didunia nyata. Kejeliannya memang baik namun perealisasiannya di lingkungan masih terlalu sulit mungkin membutuhkan waktu yang banyak unutk mengubah itu semua. Berhadapan dengan perkotaan seolah-olah berarti kita diodorkan unutk merapikan kembali benang-benang yang kusut tanpa harus memutuskan benang itu sendiri. Intinya, keseimbangan hanya akan terjadi jika kita melihat pada semua elemen yang berkaitan dengan arsitektur dan mengolahnya dengan baik. Hal ini diutarakan Roger Scruton dalam tulisannya, prinsip arsitektur di era nihilisme nomor 5 :
“Architecture must respect the constraints, which are
imposed on it by human nature. Thise constraints are two of kinds- the animal and the personal. As animals, we orient ourselves visually, move and live in a upright position, and are vulnerable to injury. As a person we live and fulfil ourselves through morality, law, religion, learning, commerce and politics.the reality and validity of those personal concern can be affirmed and denied by the architecture thet surrounds us, just as our animal needs may be either fulfilled or thwarted. Building must respect both animal and personal sides of nature. They must be ‘person suited to the publc realm. If not, they define no place for our habitation.”
Roger scruton juga menambahkan sebagai calon arsitek, kita
harus melihat dunia ini dengan mata kita dan belajar unutk melihat dari mata orang lain. Kemampuan untuk menyadari, menggambarkan, membandingkan dan mengkritik detail merupakan “ability” yang harus diasah dan harus dikombinasikan secara harmonis dalam sebuah perancangan.