15308070
Radiasi Nuklir adalah perambatan gelombang elektromaknetik yang diakibatkan karena terjadinya proses
reaksi inti atom. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang diberitakan menggunakan bahan bakarnya
Uranium 235, tentu saja akan mengeluarkan radiasi nuklir terus-menerus dengan waktu yang sangat lama dan
hal ini akan membahayakan jiwa manusia bila tidak dikontrol dengan baik.
Uranium 235 yang menjadi bahan bakar PLTN adalah sejenis zat radioaktif yang diketemukan oleh Arthur
Jeffrey pada tahun 1935, dan zat radioaktif ini mempunyai waktu paruh (half life) selama 700 juta tahun dan
mengeluarkan energy sebesar 202,5 MeV. Artinya, besaran radiasi yang dipancarkan oleh uranium 235 akan
berkurang separuhnya setiap 700 juta tahun dst. Sampai radiasi yang dipancarkan uranium ini habis dimakan
waktu.
Bilamana radiasi nuklir ini berinteraksi terhadap tubuh manusia dan terjadi proses ionisasi, maka bagian
tubuh yang terkena radiasi tersebut akan menimbulkan efek biologis yang dapat membunuh jaringan sel-sel
yang berada didalam tubuh.
Satuan dosis untuk mengukur besaran paparan radiasi yang banyak digunakan adalah Sievert (Sv). Dosis
ini menyatakan evaluasi kuantitatif mengenai dampak biologi dari radiasi pengion seperti pada aspek fisik. 1 Sv
= 1000 mSv (milli Sieverts) = 1,000,000 μSv (micro Sieverts) = 100 rem = 100,000 m rem (milli rem), sebagai
contoh; dosis yang diizinkan untuk penambang uranium adalah 1 m Sv dalam satu tahun. Artinya, dosis yang
diterima si penambang uranium merupakan dosis akumulasi dalam satu tahun hanya sebesar 1m Sv dan bukan
dosis yang diterima sekaligus. Bahaya radiasi dapat pula berdampak pada efek somatic dan efek genetic
tergantung dari sel-sel mana saja yang terkena radiasi.
Gambar rekator nuklir Fukushima sebelum (kiri) dan setelah gempa (kanan)
Di dalam reaktor Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) terdapat reaksi berantai secara terkendali dari
bahan dasarnya yakni uranium. International Nuclear Event Scale (INES) dikeluarkan untuk mengetahui level
bencana kecelakaan PLTN. Skala INES menjelaskan pentingnya peristiwa dalam berbagai kegiatan, termasuk
penggunaan sumber radiasi oleh industri dan medis, juga operasi instalasi nuklir dan pengangkutan zat
radioaktif.
Skala kebencanaan dibagi dalam 7 level. Suatu peristiwa yang masuk dalam level 1-3 disebut insiden
(incident). Sedangkan jika sudah masuk ke level 4-7 disebut kecelakaan (accident). Peristiwa terkait nuklir di
PLTN yang tidak membahayakan keselamatan disebut sebagai 'penyimpangan' dan masuk dalam klasifikasi
skala/ level 0.
Level 1 (anomali). Paparan radiasi berada di atas ambang batas. Terdapat masalah kecil dengan komponen
pengamanan dan berdampak minimal. Misalnya terjadi ketika ada pelanggaran operasi fasilitas nuklir.
Level 2 (insiden). Paparan radiasi ke publik mencapai 10 mSV. Tingkat radiasi di daerah operasi lebih dari 50
mSv. Terdapat kegagalan signifikan terkait ketentuan keselamatan namun tidak ada konsekuensi.
Contohnya terjadi di Atucha, Argentina, pada 2005. Kala itu pekerja di reaktor nuklir terpapar radiasi yang
melebihi ambang batas. Juga terjadi di Cadarache, Prancis, pada 1993, ketika kontaminasi radioaktif
menyebar di lingkungan sekitar tanpa sengaja.
Level 3 (insiden serius). Paparan radiasi sepuluh kali dari batas aman pekerja. Tidak mematikan namun
memberikan dampak kesehatan.
Level 4 (kecelakaan dengan dampak lokal). Terjadinya kebocoran radioaktif dalam jumlah kecil. Setidaknya
satu orang tewas akibat radiasi. Bahan bakar meleleh atau kerusakan bahan bakar, menghasilkan kebocoran
lebih dari 0,1% pasokan inti.
Level 5 (kecelakaan dengan dampak lebih luas). Kebocoran radioaktif dalam jumlah terbatas sehingga
membutuhkan tindakan penanganan. Beberapa orang tewas akibat radiasi. Beberapa kerusakan terjadi di
reaktor inti. Kebocoran radiasi dalam jumlah besar terjadi dalam instalasi, hal itulah yang memungkinkan
publik terpapar. Hal ini bisa timbul akibat kecelakaan besar atau kebakaran.
Level 6 (kecelakaan serius). Terjadi kebocoran radioaktif dalam jumlah cukup besar yang membutuhkan
tindak penanganan.
Level 7 (kecelakaan besar). Kebocoran radioaktif dengan jumlah besar terjadi sehingga berdampak luas
pada kesehatan dan lingkungan. Karena itu butuh respons dan tindakan jangka panjang. Contoh kasusnya
dialami oleh PLTN Chernobyl, Ukraina, pada 1986. Kala itu reaktor nomor empat meledak. Akibatnya
terjadilah kebakaran dan bocornya radioaktif dalam jumlah besar. Lingkungan dan masyarakat terpapar
radiasi ini. Uap radioaktif itu mengandung yodium 131, cesium 137 dan xenon yang volumenya 100 kali bom
atom Hiroshima. Uap radioaktif menyebar ke Uni Soviet, Eropa Timur, Eropa Barat dan Eropa Utara.
Sebagian besar warga di Ukraina, Belarusia dan Rusia diungsikan. Kala itu lebih dari 336.000 orang
mengungsi.
Dari kebocoran reaktor Fukushima diketahui bahwa ledakan reaktor nuklir dapat menyebabkan : pusing-
pusing, nafsu makan berkurang atau hilang, diare, demam, berat badan turun, kanker darah atau leukimia,
meningkatnya denyut jantung atau nadi. Dampak radiasi pada tubuh tergantung pada material radioaktif yang
dilepaskan dan durasi paparan. Level paparan yang tinggi bisa menyebabkan sindrom radiasi akut, bahkan
kematian. Sindrom tersebut akan menimbulkan gejala mual, muntah, kelelahan, rambut rontok, serta diare.
Pada level yang lebih tinggi, korban yang terpapar bisa meninggal dalam hitungan minggu.
Pengamanan :
1. Evakuasi penduduk yang tinggal pada radius dekat dengan PLTN dan kemudian melakukan pengukuran di
lingkungan dengan Geiger-Muller atau ioinization chamber kemudian bandingkan dengan standar atau
ambang batas radiasi yang diperbolehkan untuk mencegah timbulnya korban jiwa akibat tidak adanya
tindakan terhadap penduduk yang terpapar.
2. Segera dilakukan perbaikan sistem cadangan pendinginan akibat sistem pendinginan reaktor yang tidak
berfungsi. Kondisi ini menyebabkan terjadinya reaksi antara zirkonium dan air menghasilkan gas hidrogen
hingga tekanan dalam ruang reaktor naik. Hal ini mendorong dibukanya saluran keluar. Ledakan terjadi
karena gas hidrogen dari dalam reaktor bertemu dengan oksigen di luar. Pembukaan saluran itu
mempertimbangkan arah angin yang mengarah ke laut. Hasil pengukuran radiasi di sekitar PLTN yang
dilakukan Badan Pengawas Nuklir Jepang (NISA) menunjukkan, tidak terpantau emisi radiasi nuklir ke udara.
Ledakan hidrogen dapat mengurangi kenaikan suhu pada ledakan reaktor sehingga tidak menimbulkan
risiko kesehatan bagi para pengungsi meskipun ledakan terjadi.
3. Pada saat bencana nuklir, partikel radioaktif yang ada di udara dapat dicegah masuk ke paru-paru dengan
tetap berada di dalam rumah atau dengan memakai topeng dengan penyaring udara yang sesuai.
4. Penyerapan isotop yang dicerna lewat saluran makanan dapat dicegah dengan zat mukoprotein tertentu
yang memiliki afinitas permukaan tinggi untuk menyerap strontium dan zat lain. Natrium alginat dari kelp
rumput laut mengandung mukoprotein demikian. Mungkin juga dengan kimia khusus bisa menghilangkan
semua strontium radioaktif dari susu sapi tanpa mempengaruhi komponen nutrisinya. Zat chelata tertentu
seperti EDTA dapat bereaksi dengan strontium dan menyelubungi atom ini. Sebagai hasilnya, keberadaan
EDTA dalam darah dapat mengurangi pengendapan strontium di tulang (menghilangkan isotop yang sudah
tertumpuk secara dipercepat). Sayangnya, EDTA dan agen chelata lainnya tidak hanya menyerang
strontium. Mereka juga menyerang kalsium, unsur penting bagi tubuh. Akibatnya, penggunaan EDTA sangat
memerlukan pengawasan medis ahli dan terbatas dalam efektivitasnya. Asupan yodium radioaktif oleh
kelenjar tiroid dapat dikurangi dengan pencernaan sejumlah besar yodium stabil yang relatif tidak beracun,
kecuali bagi mereka yang sensitif. Beberapa zat kimia yang berguna melindungi dari radiasi nuklir
dinyatakan dalam tabel berikut.
Daftar Pustaka
http://berita.liputan6.com/luarnegeri/201103, tanggal akses 26 Maret 2011
http://besteasyseo.com/berita-terbaru-pltn-fukushima-jepang-2011-status-terkini-reaktor-nuklir-jepang-pasca-
gempa-tsunami/2867, tanggal akses 26 Maret 2011
http://green.kompasiana.com/polusi/2011/03/18/awas-ancaman-bahaya-radiasi-nuklir/, tanggal akses 26
Maret 2011
http://kliping.warunggue.com/2011/03/19/apa-yang-sebenarnya-terjadi-di-tokyo-radiasi-nuklir/, tanggal akses
26 Maret 2011
http://kmkimia.mipa.ugm.ac.id/, tanggal akses 26 Maret 2011
http://visimaya.com/berita-275-bahaya-nuklir-di-jepang--kenali-skala-level-bencana-kecelakaan-pltn.html,
tanggal akses 26 Maret 2011
Pengaruh Iodium terhadap Radiasi
Demi mencegah dampak buruk yang lebih luas akibat kebocoran reaktor nuklir Fukushima Daiichi,
Pemerintah Jepang memberikan kalium iodida kepada warga di sekitar lokasi. Kalium iodida adalah bentuk
umum dari garam, dengan istilah kimia KI.
Keistimewaannya, zat ini dapat melindungi kelenjar tiroid dari efek buruk proses radiasi. Sebab, yodium
radioaktif pada proses radiasi dapat memicu kanker kelenjar tiroid.
Dalam melindungi kelenjar tiroid, kalium iodida akan memenuhi kelenjar dengan yodium non-radioaktif.
Yodium ini berfungsi untuk mengurangi penyerapan yodium radioaktif yang berbahaya bagi tubuh manusia.
Produk garam dapur yang biasa digunakan untuk keperluan memasak, biasanya sudah mengandung zat
kalium iodida dalam takaran yang berbeda. Selain terdapat pada produk garam dapur, kalium iodida juga dapat
ditemukan pada vitamin bayi yang dijual secara umum. Kalium iodida berperan penting pada pengembangan
neurokognitif normal anak. Para peneliti meyakini, pemberian zat ini dapat mencegah keterbelakangan mental
pada anak.
Namun akan lebih baik jika pengurangan dampak radiasi nuklir diiringi dengan larangan memakan
makanan yang berasal dari hewan ternak seperti daging, karena radiasi nuklir dapat jatuh ke tanah yang
ditumbuhi rumput yang dimakan oleh hewan ternak.
Daftar Pustaka