Anda di halaman 1dari 6

A.

Pengantar

Menyusul kelahiran post-modernisme dan post-strukturalisme dalam filsafat modern, tidak bisa
dipungkiri bahwa perbincangan tentang bahasa, lebih-lebih pada satu dasawarsa terakhir,
menarik minat banyak kalangan dari berbagai disiplin. Mereka juga mengaitkan bahasa dengan
berbagai disiplin atau bidang lainnya, seperti politik, hukum, sosial, budaya, filsafat dan
sebagainya. Seakan-akan tidak mau ketinggalan, sekarang kita membicarakan bahasa kaitannya
dengan transformasi sosial.
Peminat studi bahasa meyakini bahwa sebagai realitas simbolik, bahasa menempati posisi
sentral dalam kehidupan manusia. Sebab, ia memperlihatkan aspek majemuk yang mencakup
aspek psikologis, politis, kultural, biologis, sosial dan sebagainya. Bahasalah yang menjadi
pembeda antara manusia dan makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Bahasa bukan sekadar alat
komunikasi atau sebuah sistem kode atau nilai yang secara sewenang-wenang menunjuk sebuah
realitas monolitik, tetapi bahasa adalah suatu kegiatan sosial. Secara sosial ia terikat,
dikonstruksi, dan direkonstruksi dalam kondisi khusus dan setting sosial tertentu, ketimbang
tertata menurut hukum yang diatur secara ilmiah dan universal (Latif, 1996: 18).

Begitu besar peran bahasa bagi kehidupan manusia, sampai-sampai Confucius pernah
mendapatkan pertanyaan, apa yang akan dilakukan seandainya diberi kesempatan memimpin
negara. “Membenahi bahasa”, demikian jawaban Confusius singkat. Bahasa menurut filsuf
Timur ini bukan sekadar cermin keteraturan berpikir, tetapi bahkan akan menentukan
keteraturan dan malah ketidak-teraturan sosial (Rahardjo, 2001: 5).
Namun sebelum berbicara lebih jauh tentang tema tersebut, perlu dipertegas dulu judul tulisan
ini. Tema yang diberikan panitia kepada saya adalah Bahasa dan Sastra dalam Konteks
Transforamasi Sosial. Agar pembicaraan lebih terfokus, tema tersebut perlu dibatasi pada
bahasa dalam transformasi sosial. Saya sengaja tidak memasukkan sastra dalam pembicaraan
ini, sebab selain agar terfokus, sastra merupakan bidang tersendiri yang layak untuk dibicarakan
tersendiri pula. Terdapat dua kata kunci yang menurut saya perlu diberi konsep yang jelas, yakni
bahasa dan transformasi sosial. Bahasa yang dimaksudkan di sini adalah bahasa Indonesia.

Meminjam Sturtevant (1947), Masinambow (2000: 7) mendefinisikan bahasa sebagai “... a


system of arbitrary vocal symbols by which members of a social group cooperate and interact.”
Dalam definisi tersebut terdapat dua perangkat konsep penting yang dalam sejarah teori
linguistik telah mengalami batasan-batasan yang berbeda baik di dalam masing-masing
perangkat itu sendiri maupun hubungan antara perangkat pertama dan yang kedua. Perangkat
pertama adalah “ system of arbitrary vocal symbols” dan yang kedua adalah “by which members
of a social group cooperate and interact”. Perkembangan linguistik modern bersumber dari
konsep pemikiran teoritis dan metodologis dari perangkat konsep pertama. Sedangkan
perhatian para ahli bahasa pada konsep kedua baru muncul menyusul kelahiran sosiolinguistik,
sebagai disiplin baru yang terpisah dari linguistik sekitar pertengahan abad ke-20.

Sedangkan transformasi sosial diartikan sebagai perubahan yang menyangkut berbagai aspek
kehidupan, seperti tata nilai, pranata sosial, wawasan, cara berpikir, atau kebiasaan yang telah
lama terjadi di masyarakat dan sebagainya (Dahlan, 1994: 1). Perubahan tersebut ada kalanya
sangat mendasar, tetapi bisa juga bersifat umum. Transformasi sosial bukan sekadar perubahan
seperti disebutkan di atas, melainkan juga perubahan mutu kehidupan sosial, budaya, politik,
dan ekonomi masyarakat. Tulisan ini akan membahas bagaimana kaitan bahasa dengan
transformasi (baca: perubahan) sosial.

B. Bahasa dan Transformasi Sosial

Tak seorang dapat menyangkal bahwa sejak diproklamirkan sebagai bahasa persatuan, bahasa
Indonesia telah mengalami dinamika historis politis yang cukup panjang. Bahasa Indonesia telah
berkembang dari bahasa politik untuk menggalang kekuatan mengusir penjajah dan sebagai
pernyataan keyakinan dan tekad bangsa Indonesia untuk hidup sebagai sebuah bangsa yang
merdeka menjadi bahasa negara yang akhirnya juga terjerat menjadi bahasa penguasa,
khususnya Orde Baru. Sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia mampu menjadi perantara
dan bahasa pergaulan antarsuku dan antardaerah. Bahasa Indonesia juga berkembang seiring
dengan lahirnya sastrawan-sastrawan terkemuka di negeri ini, seperti Marah Rusli, Ahdijat
Kartamihardja, S. Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar dan sebagainya. Bahasa Indonesia telah
menjadi piranti handal para penyair untuk memperkaya kemampuan ekspresif dan imaginatif
mereka sehingga melahirkan karya-karya sastra berbobot yang dapat memperkaya khasanah
kebudayaan Indonesia. Tak pelak, bahasa Indonesia telah berhasil menjadi bahasa kebudayaan
nasional.

Masyarakat terus berubah, pun juga bahasa, sehingga bahasa dan realitas sosial tidak bisa
dipisahkan. Karena itu, perubahan bahasa terjadi karena perubahan sosial baik yang disengaja
maupun yang tidak disengaja. Sebaliknya, perubahan sosial berimplikasi pada perubahan
bahasa. Karenanya, bahasa tidak hanya dibentuk dan ditentukan, tetapi juga membentuk dan
menentukan realitas sosial. Bahasa bukan sekadar alat untuk mengungkapkan pikiran, tetapi
wahana komunikasi umat manusia.
Kehadiran bahasa dalam kehidupan manusia tidak bisa dianggap secara tiba-tiba, tetapi melalui
proses sistem kode atau lambang yang disepakati oleh warga suatu masyarakat atau kelompok
secara bersama-sama. Karenanya, bahasa juga dianggap berdimensi sosial. Sebab, bahasa
merupakan aspek kegiatan kehidupan sosial manusia.
Tidak banyak yang menyadari bahwa perkembangan bahasa—tentu saja termasuk
perubahannya---mengungkapkan banyak tentang keadaan masyarakat tempatnya bahasa
digunakan. Masalah-masalah yang berkaitan dengan perkembangan bahasa memang dapat
ditinjau semata-mata dari sisi teknis, misalnya bagaimana menyebarluaskan kosa kata, ejaan,
pemenggalan kata dan pola kalimat yang benar. Tetapi dari sisi lain, bahasa dapat ditinjau
berkaitan dengan perkembangan dalam masyarakat yang lebih mendasar, misalnya mengenai
dinamika perubahan sosial, pembentukan dan pergeseran nilai-nilai sosial, bahkan dalam
perubahan politik. Semua yang terjadi di masyarakat terungkap sejelas-jelasnya dalam bahasa.
Dengan kata lain, bahasa merupakan cermin paling jelas keadaan masyarakat penggunanya.
Situasi yang terjadi di masyarakat hampir selalu tercermin di dalam praktik berbahasa. Sebab,
salah satu peran bahasa adalah untuk membangun dan memelihara hubungan sosial, untuk
pengungkapan peranan-peranan sosial, termasuk peranan komunikasi yang diciptakan oleh
bahasa itu sendiri (Paina, 2000). Karenanya, situasi yang aman dan damai akan melahirkan
simbol-simbol kebahasaan yang mantap dan stabil atau konstan dalam kosa katanya.
Sebaliknya, situasi yang bergejolak dan tidak menentu juga akan tercermin dalam ungkapan-
ungkapan bahasa yang bersifat ambigu dan makna yang simpang siur. Kesimpangsiuran dan
keambiguan makna yang demikian ini merupakan fenomena kebahasaan yang timbul karena
adanya gejolak kehidupan di masyarakat.

C. Fenomena Kebahasaan (Indonesia) Pasca-Orde Baru

Pasca-Orde Baru pemerhati bahasa tidak saja masih menyaksikan eufemisme sebagai warisan
politik makna Orde Baru, tetapi juga sarkasme dan pelesetan dalam bahasa Indonesia. Melalui
eufemisme yang digunakan oleh pejabat resmi pemerintah, penguasa Orde Baru berhasil
memainkan simulasi realitas untuk menyembunyikan realitas yang sesungguhnya dan
merekayasa realitas sedemikian rupa sehingga tidak dapat dibedakan lagi antara realitas yang
asli dan yang tiruan.

Meminjam ungkapan Latif dan Ibrahim (1996: 36) lewat eufemisme para petinggi negara bukan
hanya menyembunyikan atau menciptakan realitas, tetapi juga bersembunyi dari realitas dan
perilaku yang sesungguhnya. Selain itu, menurut Muchtar Lubis (1989) bahasa yang eufemistik
tidak akan pernah mencapai sasaran dan karenanya eufemisme memiliki paling tidak dua
dampak buruk: meniadakan kontrol sosial dan mendidik masyarakat tidak jeli melihat apa yang
sesungguhnya sedang terjadi.

Kini model simulasi realitas tampaknya masih berlangsung. Menurut Suparno (Kompas,
10/10/00), ungkapan-ungkapan seperti “menaikkan harga” yang di masa Orde Baru disebut
“penyesuaian harga” saat ini disebut “pengalihan subsidi”, tanpa diketahui subsidi tersebut
dialihkan ke mana. Begitu juga kata “sikat” yang terkenal pada masa Orde Baru yang ditujukan
kepada lawan-lawan politiknya, kini juga masih sering kita dengar di antara pejabat pemerintah.
Malah Presiden Abdurrahman Wahid (ketika itu) dengan enteng menyebut sarjana sebagai
“maling” dan anggota DPR sebagai “murid TK”. Kata-kata seperti diamankan, dimintai
keterangan, kesalahan administrasi, dana bantuan dan sebagainya pun masih mewarnai praksis
berbahasa di masyarakat kita.

Sebagai realitas simbolik, bahasa tidak bisa dipisahkan dari dunia batin pemakainya dan setting
sosial politik yang ada. Karenanya, ketika euforia politik melanda bangsa ini akibat
terkungkungnya kehidupan sosial-politik selama hampir tiga puluh dua tahun praktik berbahasa
pun kini dijiwai oleh ekspresi yang bebas yang tidak lagi mengindahkan tata krama dan santun
berbahasa. Akibatnya, penggunaan sarkasme dalam bahasa Indonesia muncul demikian
derasnya di kalangan masyarakat, termasuk di kalangan elit politik. Ungkapan-ungkapan seperti
maling, preman politik, biang kerok, Presiden segera dibawa ke Psikiater, Presiden bohong, gak
dadi presiden gak pathe’en, Presiden Tak Jewer, negeri seperti keranjang sampah, institusi
busuk dan sebagainya muncul di kalangan elit politik negeri ini.

Tak pelak kondisi demikian mengundang reaksi berbagai pihak. Surya (30/6/00) menyebut
dalam berbahasa sensibilitas masyarakat terhadap kata-kata terasa sudah di ambang
kekhawatiran. Dalam berbahasa orang tidak lagi memikirkan apakah kata yang akan diucapkan
menyakiti atau melukai hati orang yang mendengarkannya. Tampaknya orang tidak lagi perduli
dengan apa yang diucapkan.

Menurut Eros Jarot, dalam berbahasa banyak yang saat ini ngomong asal-asalan (Kompas,
16/6/00) tanpa memikirkan bagaimana perasaan lawan bicaranya dan dampaknya bagi
masyarakat luas ketika kata-kata cacian dan hujatan dilontarkan. Menurut Bachtiar Aly kondisi
demikian diperparah lagi oleh media massa, sebagai salah satu pemegang komando berbahasa,
dengan memberi contoh buruk berbahasa melalui ungkapan-ungkapan yang tidak santun.
Contohnya, ada headline sebuah surat kabar yang berbunyi, “Tommy …Disodomi”. Karenanya,
media massa juga berperan sekecil apapun dalam carut-marut persoalan bangsa ini karena turut
menyebarkan kata-kata kotor, keras, dan vulgar.

Tampaknya, para elit politik dan politisi kita kurang menyadari bahwa mereka adalah cermin dan
panutan masyarakat, termasuk perilaku berbahasanya. Lebih-lebih dalam budaya yang masih
paternalistik, perilaku elit akan dengan cepat ditiru oleh masyarakat. Contohnya, ketika Presiden
Abdurrahman Wahid (ketika itu) menyebut “gitu saja kok repot”, “biang kerok” dengan cepat
dan gampang ungkapan tersebut ditiru oleh warga masyarakat hampir di semua lapisan.

Menurut tokoh post-modernisme Foucault (1972) kendati manusia menguasai bahasa tidak
berarti dia bebas mengekspresikan apa saja yang dia kehendaki. Dia mesti berpikir apa dampak
yang akan muncul atas ucapannya itu. Lihat saja apa yang terjadi di masyarakat menyusul
ucapan Presiden Amerika Serikat George W. Bush bahwa tiga negara Irak, Iran, dan Korea Utara
merupakan porosnya setan. Sedangkan Lee Kuan Yew mengatakan di Indonesia teroris
berkeliaran dengan bebas.

Di tengah perkembangan wacana dalam bahasa Indonesia yang cenderung berkembang secara
paradoksal tersebut, praktik berbahasa Indonesia Pascaorde Baru ditandai pula oleh
semaraknya pelesetan, sebagai sebuah fenomena kebahasaan yang lain. Jika eufemisme
diucapkan dengan maksud amat halus sehingga mengaburkan makna aslinya dan sarkasme
merupakan pengucapan yang dilakukan dengan amat kasar sebagai siasat perlawanan para elit
politik, maka pelesetan adalah bentuk perlawanan simbolik melalui permainan kata yang
mengundang tawa karena makna kata menjadi konyol.
Misalnya, SDM yang semula merupakan kependekan Sumber Daya Manusia menjadi Semua Dari
Makasar. Pelesetan ini muncul ketika Presiden B.J. Habibie waktu itu mengganti beberapa
pejabat negara dengan orang-orang kelahiran Makasar, seperti A.A. Baramuli, Andi M. Ghalib,
Tanri Abeng. KKN yang resminya bermakna Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menjadi Kanan Kiri
Nuntun, yang sangat jelas diarahkan kepada siapa.

Demikian pula UNS yang artinya Universitas Negeri Surakarta menjadi Untuk Ngadili Soeharto,
IDT yang semula adalah Inpres Desa Tertinggal menjadi Ikilo Duwite Teko, SDSB yang resminya
singkatan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah dipelesetkan menjadi Soeharto Dalang Segala
Bencana dan masih banyak lagi yang lain.
Menurut Ariel Heryanto (1996) pelesetan seperti di atas merupakan siasat untuk
mengekspresikan kejengkelan, ketidakpercayaan, dan frustasi masyarakat terhadap penguasa.
Karenanya, pelesetan bukan sekadar permainan kata untuk mengundang tawa dan pelepas
kesumpekan sehari-hari, tetapi merupakan akrobatik kata untuk menjungkirbalikkan kebenaran,
dan demikian juga kehormatan, dan kuasa. Betapa nama yang atau singkatan resmi penguasa
dijungkirbalik menjadi ungkapan yang konyol. Kata kutukan dan umpatan dijungkirbalik menjadi
gagah dan terhormat. Tujuannya adalah untuk membela yang tertindas, miskin, dan terhina.
Pelesetan dengan demikian merupakan bentuk perlawanan simbolik masyarakat lapis bawah
terhadap penguasa yang semena-mena.

Munculnya eufemisme, sarkasme, dan pelesetan dalam praktik berbahasa menunjukkan bahwa
praktik berbahasa sangat terkait dengan kondisi kehidupan sosial masyarakat. Tampaknya,
setiap zaman memiliki tipe praktik berbahasa sendiri-sendiri yang menggiring kita kepada jalur
pemikiran tertentu. Di zaman Orde Lama, misalnya, masyarakat digiring untuk mengobarkan
semangat revolusioner untuk melawan penjajah, sehingga praktik berbahasa banyak diwarnai
oleh ungkapan-ungkapan yang bernilai revolusioner. Di zaman Orde Baru, yang diklaim sebagai
orde pembangunan, masyarakat digiring untuk menjiwai dan ‘terlibat’ dalam praktik
pembangunan, sehingga praktik bahasa banyak diwarnai ungkapan-ungkapan yang “beretos
pembangunan” dan berbau “teknokratis”.

Orde Baru juga dikenal sebagai rezim yang memonopoli konstruksi, produksi, reproduksi, dan
distribusi wacana publik. Akibatnya, kompetisi, interaksi, dan transaksi wacana antara negara
dan masyarakat di ruang publik macet, bahkan tidak terjadi. Wacan hokum, misalnya, hanya
menjadi perpanjangan tangan kekuasaan dan sarana normalisasi, legitimasi, dan pengabsahan
tindakan dan perilaku penguasa. Bahasa Indonesia tampil dihalus-haluskan, bahkan dikabur-
kaburkan maknanya guna menyembunyikan perilaku dan tindakan penguasa. Akibatnya,
timbullah fenomena eufemisasi, bombasisasi pada satu sisi, dan pada sisi yang lain timbul
ironisasi dan sarkasisasi, bahkan vulgarisasi wacana oleh negara (Saryono, 1999: 13).

Bahasa Indonesia menjadi mandul, sebab masyarakat tidak mampu (berani) mengonstruksi,
memproduksi, mereproduksi, atau mendistribusikan wacana alternatif atau setidak-tidaknya
wacana kritik dan negasi terhadap wacana negara. Jika terjadi, penguasa pasti memberangus
wacana tersebut, sekalipun sesunggguhnya wacana itu menghargai harkat dan martabat bangsa.
Ini setidak-tidaknya bia dilihat pada pelarangan edar atas karya-karya Pramoedya Ananta Toer
yang dianggap kekiri-kirian dan juga karya-karya Mochtar Lubis yang sering memberi wacana
kritik kepada penguasa.

Tak mengherankan selama tiga puluh dua tahun kekuasaan Orde Baru, wajah bahasa Indonesia
menajdi bopeng, sebab penguasa melakukan monopoli dan hegemoni wacana publik.
Akibatnya, bahasa menjadi piranti kekuasaan, bukan piranti interaksi manusia yang berjalan
alami. Meminjam ungkapan Baudrillard, Saryono (1999: 13) menyatakan penjajahan
sesungguhnya bukanlah dengan militer dan birokrasi, melainkan dengan wacana (The real
monopoly is never that of technical means but that of speech). Orde Baru telah melakukan
penjajahan simbolik lewat bahasa. Ke depan tampaknya kita masih akan menyaksikan wajah
bopeng bahasa lewat ungkapan-ungkapan keras, vulgar dan kotor yang diproduksi oleh para elit
negeri ini.

D. Penutup

Kajian interdisipliner tentang bahasa tampaknya semakin mendesak untuk digarap secara serius.
Permainan politik bahasa gencar menjangkau ufuk terjauh dari cita-rasa dan panorama di ruang
publik. Manusia hidup dalam dunia citra. Dengan bahasa, ternyata manusia bukan hanya
mampu berpikir dan memahami dunia, tetapi lebih dari itu ia membentuk realitas. Upaya
pengendalian makna (baca: hegemoni) realitas bisa dilakukan lewat penguasaan dan manipulasi
dunia simbol yang disebut bahasa. Secara praksis, bahasa kita (Indonesia) terus terwarnai
(belum mewarnai) dinamika dan panggung politik serta sejarah Indonesia klasik maupun
kontemporer. Dengan kata lain, bahasa Indonesia belum mampu menjadi piranti utama
transformasi sosial, tetapi masih hanyut oleh transformasi itu sendiri akibat kuatnya hegemoni
negara terhadap rakyat di berbagai agenda dan ruang publik.

WILAYAH JABAR

Ketua : Aam Syamsudin


Sekertaris : Iwan Rijwan .ST
Bendahara : Drh. Suarna
Bidang Da'wah : Salim Abdul Bar
Muamalah : Dr. Roni  
                   Masudin .S.Pd
Kepanduan : Uus Musana .S.Ag.
                   Undang Misbah

Sekretariat Kp. Babakan Jeungjing Rt03/04 Desa cangkuang  Rancaekek

Anda mungkin juga menyukai