Anda di halaman 1dari 14

AKALASIA 2011

AKALASIA

A. PENDAHULUAN
Akalasia merupakan suatu gangguan motilitas primer esofagus yang
ditandai oleh kegagalan sfingter esofagus bagian distal yang hipertonik untuk
berelaksasi pada waktu menelan makanan dan hilangnya peristalsis esofagus.
Kelainan ini menyebabkan obstruksi fungsional dari batas esofagus dan
lambung. Akibatnya, terjadi stasis makanan dan selanjutnya timbul dilatasi
esofagus. Keadaan ini akan menimbulkan gejala dan komplikasi tergantung dari
berat dan lamanya kelainan yang terjadi. Secara klinis akalasia dibagi menjadi
akalasia primer dan sekunder yang dihubungkan dengan etiologinya. (1,4,10,14,16)

B. INSIDENS
Insidens terjadinya akalasia adalah 1 dari 100.000 jiwa pertahun dengan
perbandingan jenis kelamin antara pria dan wanita 1 : 1. Akalasia lebih sering
ditemukan orang dewasa berusia 20 - 60 tahun dan sedikit pada anak-anak
dengan persentase sekitar 5% dari total akalasia.(2,4,6,15)

1
KKS RADIOLOGI RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI
AKALASIA 2011

C. EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini relatif jarang dijumpai. Dari data divisi Gastroenterologi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM didapatkan 48 kasus dalam kurun
waktu 5 tahun (1984-1988). Di Amerika Serikat ditemukan sekitar 2000 kasus
akalasia setiap tahun. Suatu penelitian internasional melaporkan bahwa dari 28
populasi di 26 negara, angka kematian tertinggi tercatat di Selandia Baru dengan
angka kematian standar 239 dan yang terendah dengan angka kematian standar
0. Angka ini diperoleh dari seluruh kasus akalasia baik primer maupun sekunder.
Kelainan akalasia tidak diturunkan dan biasanya memerlukan waktu bertahun-
tahun hingga menimbulkan gejala.(4,11)

D. ETIOLOGI
Etiologi dari akalasia tidak diketahui secara pasti. Tetapi, terdapat bukti
bahwa degenerasi plexus Auerbach menyebabkan kehilangan pengaturan
neurologis. Beberapa teori yang berkembang berhubungan dengan gangguan
autoimun, penyakit infeksi atau kedua-duanya. (1,4,6,16)
Menurut etiologinya, akalasia dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu : (4,11)
A. Akalasia primer (yang paling sering ditemukan). Penyebab yang jelas
tidak diketahui. Diduga disebabkan oleh virus neurotropik yang berakibat
lesi pada nukleus dorsalis vagus pada batang otak dan ganglia
mienterikus pada esofagus. Disamping itu, faktor keturunan juga cukup
berpengaruh pada kelainan ini.
B. Akalasia sekunder (jarang ditemukan). Kelainan ini dapat disebabkan
oleh infeksi, tumor intraluminer seperti tumor kardia atau pendorongan
ekstraluminer seperti pseudokista pankreas. Kemungkinan lain dapat
disebabkan oleh obat antikolinergik atau pascavagotomi.

E. ANATOMI
Esofagus merupakan suatu organ silindris berongga dengan panjang sekitar 25
cm dan garis tengah 2 cm. Terbentang dari hipofaring hingga kardia lambung
Esofagus terletak posterior terhadap jantung dan trakea, anterior terhadap
vertebra dan berjalan melalui lubang pada diafragma tepat anterior terhadap
aorta.(7,9,14)

2
KKS RADIOLOGI RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI
AKALASIA 2011

Otot esofagus bagian sepertiga atas adalah otot rangka yang berhubungan
erat dengan otot-otot faring sedangkan dua pertiga bawah adalah otot polos
yang terdiri dari otot sirkuler dan otot longitudinal seperti yang terdapat pada
organ saluran cerna yang lain.Berbeda dengan bagian saluran cerna yang lain,
bagian luar esofagus tidak memiliki lapisan serosa ataupun selaput peritonium
melainkan terdiri atas jaringan ikat jarang yang menghubungkan esofagus
dengan struktur-struktur yang berdekatan.(14)
Esofagus mengalami penyempitan di tiga tempat yaitu setinggi cartilago
cricoideus pada batas antara faring dan esofagus, rongga dada bagian tengah
akibat tertekan lengkung aorta dan cabang bronkus utama kiri, serta pada hiatus
esofagus diafragma.(9)
Pada kedua ujung esofagus terdapat otot sfingter. Krikofaringeus
membentuk sfingter bagian atas yang terdiri dari serabut-serabut otot rangka.
Sfingter esofagus bagian bawah ,walaupun secara anatomis tidak nyata
,bertindak sebagai sfingter dan berperan sebagai sawar terhadap refluks isi
lambung ke dalam esofagus.(14)
Distribusi darah esofagus mengikuti pola segmental. Bagian atas disuplai
oleh cabang-cabang a. thyroidea inferior dan a. subclavia. Bagian tengah disuplai
oleh cabang-cabang segmental aorta dan a.bronkiales, sedangkan bagian
subdiafragmatika disuplai oleh a.gastrika sinistra dan a. frenica inferior. (9,14)
Aliran darah vena juga melalui pola segmental. Vena-vena esofagus
bagian leher mengalirkan darah ke v.azygos dan v. Hemiazygos sedangkan vena-
vena esofagus bagian subdiafragmatika masuk ke dalam v.gastrica sinistra. (9,14)
Persarafan utama esofagus dilakukan oleh serabut-serabut simpatis dan
parasimpatis dari sistim saraf otonom. Serabut saraf simpatis dibawa oleh n.
vagus. Selain serabut saraf ekstrinsik, terdapat jala-jala serabut saraf intramural
intrinsik di antara lapisan otot sirkuler dan longitudinal ( pleksus mienterikus
Auerbach ) dan pleksus Meissner yang terletak pada submukosa esofagus. (14,16)

F. PATOFISIOLOGI
Kontraksi dan relaksasi sfingter esofagus bagian bawah diatur oleh
neurotransmitter perangsang seperti asetilkolin dan substansi P, serta

3
KKS RADIOLOGI RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI
AKALASIA 2011

neurotransmitter penghambat seperti nitrit oxyde dan ,vasoactive intestinal


peptide (VIP).(16)
Menurut Castell ada dua defek penting pada pasien akalasia :(4,11)
a. Obstruksi pada sambungan esofagus dan lambung akibat peningkatan
sfingter esofagus bawah (SEB) istirahat jauh di atas normal dan gagalnya
SEB untuk relaksasi sempurna. Beberapa penulis menyebutkan adanya
hubungan antara kenaikan SEB dengan sensitifitas terhadap hormon
gastrin. Panjang SEB manusia adalah 3-5 cm sedangkan tekanan SEB
basal normal rata-rata 20 mmHg. Pada akalasia tekanan SEB meningkat
sekitar dua kali lipat atau kurang lebih 50 mmHg.
Gagalnya relaksasi SEB ini disebabkan penurunan tekanan sebesar 30-
40% yang dalam keadaan normal turun sampai 100% yang akan
mengakibatkan bolus makanan tidak dapat masuk ke dalam lambung.
Kegagalan ini berakibat tertahannya makanan dan minuman di esofagus.
Ketidakmampuan relaksasi sempurna akan menyebabkan adanya
tekanan residual. Bila tekanan hidrostatik disertai dengan gravitasi dapat
melebihi tekanan residual, makanan dapat masuk ke dalam lambung.
b. Peristaltik esofagus yang tidak normal disebabkan karena aperistaltik dan
dilatasi ⅔ bagian bawah korpus esofagus. Akibat lemah dan tidak
terkoordinasinya peristaltik sehingga tidak efektif dalam mendorong
bolus makanan melewati SEB. Dengan berkembangnya penelitian ke arah
motilitas, secara obyektif dapat ditentukan motilitas esofagus secara
manometrik pada keadaan normal dan akalasia.

G. DIAGNOSIS
1. Gambaran Klinik
Gejala utama akalasia berupa disfagia yang sering diperburuk oleh stress
emosional ataupun makan yang terburu-buru. Penderita mula-mula mengeluh
terasa ditikam oleh bolus makanan, resa penuh terasa di bagian bawah sternum.
Sifatnya pada permulaan hilang timbul yang dapat terjadi bertahun-tahun
sebelum diagnosis ditegakkan. Serangan ini datang berulang kali dan makin
sering. Pasien akan makan secara perlahan-lahan dan selalu minum yang banyak.
Gejala ini didapatkan pada 90% kasus.(1,4,9,11)

4
KKS RADIOLOGI RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI
AKALASIA 2011

Gejala lain yang sering didapatkan adalah regurgitasi pada sekitar 70%
kasus. Regurgitasi ini berhubungan dengan posisi pasien dan sering terjadi pada
malam hari oleh karena adanya akumulasi makanan pada esofagus yang
melebar. Hal ini berhubungan dengan posisi berbaring pasien. Sebagai tanda
bahwa regurgitasi berasal dari esofagus adalah pasien tidak merasa asam atau
pahit.(4,9,11)
Penurunan berat badan merupakan gejala ketiga yang sering ditemukan.
Hal ini disebabkan pasien takut makan akibat timbulnya odinofagi. Bila keadaan
ini berlangsung lama akan dapat terjadi kenaikan berat badan kembali karena
pelebaran esofagus akibat retensi makanan. Keadaan ini akan meningkatkan
tekanan hidrostatik yang akan melebihi tekanan sfingter esofagus bagian bawah.
Gejala ini berlangsung dalam 1-5 tahun sebelum diagnosis ditegakkan dan
ditemukan pada 50% kasus.(4,11)
Sekitar 25 – 50 % kasus dengan disfagia juga disertai dengan nyeri dada
yan biasanya tidak begitu dirasakan oleh pasien. Sifat nyeri dengan lokasi
substernal dan dapat menjalar ke belakang . bahu, rahang, dan tangan yang
biasanya dirasakan bila minum air dingin.(4,11)
Gejala lain yang dapat ditemukan adalah komplikasi retensi makanan
dalam bentuk batuk-batuk dan pneumonia aspirasi. Pemeriksaan fisis tidak
banyak membantu dalam menentukan gejala objektif yang nyata.(4,9,11)

2. Gambaran Radiologi
Pada pemeriksaan dengan foto polos dada akan menunjukkan gambaran
kontur ganda di atas mediastinum bagian kanan, seperti mediastinum melebar
dan adanya gambaran batas cairan udara (air fluid level ) tampak retrocardia
yang didapatkan pada pasien stadium lanjut.(4,11,16,17)

5
KKS RADIOLOGI RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI
AKALASIA 2011

Foto toraks posisi PA dan lateral menunjukkan gambaran esofagus yang


mengalami dilatasi dengan air fluid level.

Gambaran gelembung udara dalam lambung akan berkurang akibat


volume udara yang melewati sfingter esofagus bagian bawah berkurang. (16)
Pada pemeriksaan dengan barium kontras terlihat gambaran
penyempitan dan stenosis pada kardia esofagus dengan dilatasi esofagus bagian
proksimal.
Pada akalasia berat akan terlihat dilatasi esofagus , sering berkelok-kelok
dan memanjang dengan ujung distal yang meruncing disertai permukaan yang
halus memberikan gambaran paruh burung ( bird’s beak appearrance ). Bagian
esofagus yang berdilatasi tampak hipertropi dengan dinding yang menipis dan
pada stadium lanjut menunjukkan tanda elongasi.(12,13,16)

6
KKS RADIOLOGI RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI
AKALASIA 2011

Memperlihatkan gambahan akalasia berupa bird’s beak deformity dan dilatasi


esophagus
Pada pemeriksaan dengan fluoroskopi terlihat tidak adanya kontraksi
korpus esofagus. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah skintigrafi
dengan memberikan makanan yang mengandung radioisotop dan akan
memperlihatkan dilatasi esofagus tanpa kontraksi. Di samping itu, terdapat
pemanjangan waktu pemindahan makanan ke dalam lambung akibat gangguan
pengosongan esofagus.(13,16,17)
Pada kebanyakan pasien, dengan pemeriksaan esofagoskopi ditemukan
gambaran mukosa normal, kadang-kadang didapatkan hiperemia ringan difus di
bagian distal esofagus. Juga didapatkan gambaran bercak putih pada mukosa,
erosi dan ulkus akibat retensi makanan. Dengan pemeriksaan ini dapat
disingkirkan kelainan karena striktur atau keganasan. Endoskopi pada akalasia
selain untuk diagnosis juga dapat membantu terapi, sebagai alat pemasangan
kawat penunjuk arah sebelum tindakan dilatasi pneumatik.(4,11)

3. Patologi Anatomi
7
KKS RADIOLOGI RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI
AKALASIA 2011

Gambaran histopatologik akalasia ditandai dengan degenerasi ganglia


pleksus Auerbach yang mengatur motilitas esofagus. Selain itu, terjadi dilatasi
dan hipertrofi esofagus.
Auerbach di gastro-esophageal junction. a)tampak sedikit infiltrasi
limfosit. b) inflamasi ringan pleksus mienterikus Auerbach. Infiltrasi sedang
limfosit, sel ganglion dapat teridentifikasi. c) inflamasi sedang : tampak infiltrasi
limfosit. Hilangnya sel ganglion. d) Radang berat mienterikus dengan gambaran
limfosit banyak.
Bila hasil dalam pemeriksaan radiologi masih membingungkan, maka
dapat dilakukan pemeriksaan manometri.(4,11)
Kriteria Manometrik :
a. Keadaan normal :
 Tekanan SEB 10-26 mmHg dengan relaksasi normal
 Amplitudo peristaltik esofagus distal 50-110 mmHg
 Tidak dijumpai kontraksi spontan, repetitif, atau simultan
 Gelombang tunggal
 5 waktu gelombang peristaltik esofagus distal rata-rata 30
detik
b. Pada akalasia :
 Tekanan SEB meningkat >26 mmHg atau >30 mmHg
 Relaksasi SEB tidak sempurna
 Aperistaltik korpus esophagus
 Tekanan intraesofagus meningkat (>lambung)

H. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding akalasia primer adalah : (4)
 Penyakit Chagas juga dapat memberikan gambaran akalasia, akan tetapi
biasanya disertai megakolon, megaureter, dan penyakit miokardial.
 Skleroderma juga dapat memberikan gambaran seperti akalasia, akan
tetapi gangguannya hanya pada kontraksi saja tanpa gangguan SEB.
 Akalasia sekunder seperti adenokarsinoma gaster yang meluas ke
esofagus. Untuk dapat membedakan akalasia primer dan akalasia

8
KKS RADIOLOGI RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI
AKALASIA 2011

sekunder dapat dilihat dari gejala klinisnya seperti pada tabel berikut:

Tabel 2 Perbandingan Gejala Klinis Akalasia Primer dan Sekunder

AKALASIA
GEJALA
Primer Sekunder
s
Disfagia Ringan /d berat (>1 thn) Sedang s/d berat (<6 bln)
Nyeri dada Ringan sampai sedang Jarang
Berat badan turun Ringan (5 kg) Berat (15 kg)
Regurgitasi Sedang s/d berat Ringan
Komplikasi paru Sedang jarang

I. PENATALAKSANAAN
Pengobatan akalasia antara lain dengan cara medikamentosa oral, dilatasi
atau peregangan sfingter esophagus bawah (SEB), esofagomiotomi dan injeksi
toksin botulinum (botox) ke sfingter esophagus.1

Medikamentosa Oral
Preparat oral yang digunakan dengan harapan dapat merelaksasikan SEB
antara lain nitrat (isosorbit dinitrat) dan calcium channel blocker (nifedipin,
verapamil). Meskipun pasien dengan kelainan ini khususnya pada fase awal
mendapat perbaikan klinis tetapi sebagian besar pasien tidak berespon bahkan
efek samping obat lebih banyak ditemukan. Umumnya pengobatan ini digunakan
untuk jangka pendek untuk mengurangi keluhan pasien.
Pengobatan medikamentosa untuk memperbaiki proses pengosongan
esophagus pada akalasia, pertama dengan pemberian amil nitrit pada waktu
pemeriksaan esofagogram yang akan berakibat relaksasi pada daerah kardia.
Saat ini isosorbid dinitrat dapat menurunkan tekanan SEB dan meningkatkan
pengosongan esophagus. Obat-obat lain yang akan memberikan efek lain seperti
di atas adalah tingtur beladona, atrofin sulfat pada beberapa kasus. Dengan
ditemukan obat antagonis kalsium nifedipin 10 – 20 mg peroral dapat
menurunkan secara bermakna tekanan SEB pasien dengan akibat perbaikan
pengosongan esophagus. Dengan pengobatan ini didapatkan perbaikan gejala
klinis pasien sampai dengan 18 bulan bila debandingkan dengan placebo.

9
KKS RADIOLOGI RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI
AKALASIA 2011

Pemakaian preparat sublingual, 15 – 30 menit sebelum makan memberikan hasil


yang lebih baik.1,2,14

Dilatasi Sfingter Esofagus Bagian Bawah


Pengobatan dengan cara dilatasi secara bertahap akan mengurangi
keluhan sementara. Cara yang sederhana dengan businasi Hurst, yang terbuat
dari bahan karet yang berisi air raksa dalam satuan ukuran F (French)
mempunyai 4 jenis ukuran. Prinsip kerjanya berdasarkan gaya berat dipakai dari
ukuran yang terkecil sampai yang terbesar secara periodic. Keberhasilan
businasi ini hanya pada 50% kasus tanpa kambuh, 35 % terjadi kambuh,
sedangkan 15 % gagal.14
Cara yang di anjurkan adalah dilatasi SEB dengan alat yang dinamakan
dilatasi pneumatic. Cara ini dipakai lebih dari 30 tahun dengan hasil yang cukup
baik. Pasien dipuasakan sejak malam hari dan keesokan harinya dilakukan
pemasangan dengan panduan flouroskopi. Posisi balon setengah berada di atas
hiatus diafragmatika dan setengah lagi dalam gaster. Balon dikembangkan secara
maksimal dan secepat mungkin agar pengembangan SEB seoptimal mungkin,
selama 60 detik setelah itu dikempiskan. Selanjutnya setelah 60 detik balon
dikembangkan kembali untuk beberapa menit lamanya. Untuk satu kali
pengobatan pengembangan balon tidak melebihi 2 kali.
Tanda – tanda pengobatan berhasil bila pasien merasakan nyeri bila
balon ditiup dan segera menghilang bila balon dikempiskan. Bila nyeri menetap,
kemungkinan adanya perforasi. Sesudah dilator dikeluarkan dimasukan kontras
barium sebanyak 15 – 30 ml sampai bagian distal esophagus melalui tuba
nasogastrik, dengan posisi pasien berdiri.
Bila pada pemeriksaan barium didapatkan perforasi kecil, harus
dilakukan observasi secermat mungkin. Bila tetap tanpa gejala dan terdapat
kenaikan suhu, perlu segera diberikan antibiotic. Pada keadaan ini cukup dengan
pengobatan konservatif saja. Akan tetapi bila terjadi barium mengisi
mediastinum dan dada kiri, perlu segera dilakukan tindakan operasi. 14

Esofagomiotomi

10
KKS RADIOLOGI RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI
AKALASIA 2011

Tindakan bedah esofagomiotomi dianjurkan bila terdapat: 1). Beberapa


kali (>2 kali) dilatasi pneumatic tidak berhasil, 2). Adanya ruptur esophagus
akibat dilatasi, 3). Kesukaran menempatkan dilator pneumatic karena dilatasi
esophagus yang sangat hebat, 4). Tidak dapat menyingkirkan kemungkinan
tumor esophagus, 5). Akalasia pada anak berumur kurang dari 12 tahun.
Operasi esofagomiotomi distal (prosedur Heller) juga memberikan hasil
yang memuaskan. Perbaikan gejala didapatkan pada 80 – 90 % kasus.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah masih menetapnya gejala – gejala disfagia
karena miotomi yang tidak adekuat atau refluks esophageal. 14

Tindakan pembedahan memberikan hasil yang memuaskan dan dalam


jangka lama dapat menghilangkan disfagia. Akan tetapi komplikasi refluks
esofagitis cukup tinggi. Dalam pengobatan akalasia ini sebaiknya sebagai
pengobatan awal dilakukan dilatasi pneumatic dan bila tidak berhasil
dilanjutkan dengan tindakan pembedahan.

Injeksi Toksin Botulinum


Pengobatan terakhir yang sering digunakan saat ini adalah penyuntikan
toksin botulinum ke SEB yang lemah dengan menggunakan endoskopi. Terapi ini
lebih aman tetapi hanya berjangka pendek dan perlu penyuntikan yang berulang.
Pilihan terapi ini sangat bermanfaat pada pasien dengan resiko tinggi untuk
menjalani operasi atau pasien yang sudah lanjut usia.14
J. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS

11
KKS RADIOLOGI RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI
AKALASIA 2011

Pasien akalasia mempunyai respon yang baik terhadap pengobatan.


Sehingga bila ditangani secara dini, prognosis pasien baik. Komplikasi yang
paling sering muncul pada akalasia yang lama adalah karsinoma esofagus. (4,11)

DAFTAR PUSTAKA

12
KKS RADIOLOGI RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI
AKALASIA 2011

1. Achalasia. [Online]. 2007 Feb 10 [cited 2007 September 29]; Available


from: URL:http://en.wikipedi.org/wiki/achalasia
2. Achalasia. [Online ]. 2007 September 29 ; Available from; URL:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000267.htm
3. Adnan,Misbahuddin, Frans Liyadi S. Radiologi 3. Makassar ; Bagian
Radiologi FKUH.1980. p.12.
4. Bakry F. Akalasia. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Jakarta: Pusat
Penerbitan, Departemen Ilmu penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2006. p. 322-324. (vol 1).
5. Ekayuda I. Radiology anak. Radiologi diagnostic. 2nd ed. Jakarta; 2005. p.
393-394.
6. Fisichella, P Marco. Achalasia. [Online] 2006 Oct 10 [cited 2007 Sept 29].
Available from URL: http://www.emedicine.com/med/topic16.htm
7. Forbes A, MisiewiczJJ, Compton CC, Levine MS, Quraishy MS, Rubesin SE,
et al. The esophagus. Atlas of clinical gastroenterology. 3rd ed. Edinburgh:
Elsevier Mosby; 2005. p. 23-26.
8. Goyal,Ray K. Disease of the Esofagus. Principles of the Internal Medicine
vol 2. 16th ed. New York ; Mac Graw-Hill Book Company; 2000. p.
9. Hafid A, Syukur A, Achmad IA, Ridad AM, Ahmadsyah I, Airiza AS, et al.
Esofagus dan diafragma. Buku ajar ilmu bedah. Sjamsuhidajat R, de JonG
W, editors. 2nd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. p. 499.
10. Hirano,Ikuo. Pathophysiology of achalasia and diffuse esophageal spasm.
[Online]cited 2007 September 29; Available from :
http://www.nature.com/gimo/contents/pt1/full/gimo22.html#f1
11. Manan, Chudahman. Akalasia. Gastroenterologi Hepatologi. Jakarta : CV
Infomedika ; 1990. p. 141-146.
12. Meschan I. Oropharynx, laringopharynx, and esophagus. Roentgen sign in
diagnostic imaging. 2nd ed. Philadelphia: W. B. Saunders Company; 1984.
p. 522,525-526. (Abdomen; vol 1).

13
KKS RADIOLOGI RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI
AKALASIA 2011

13. Paul and Juhl’s. The Abdomen and Gastrointestinal Tract. Essential of
Rontgen Interpretation. 4th ed. Cambridge : Harper & Row Publishers ;
1981. p.529-530.
14. Price SA, Wilson LM. Esofagus. Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit. 4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995. p. 357-
358,363-365. (vol 1).
15. Robbins SL, Kumar V. Traktus gastrointestinalis. Buku ajar patologi II. 4th
ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995. p. 235-236.
16. Sawyer MAJ. Achalasia. [Online]. 2006 Jun 22 [cited 2007 September 29];
Available from: URL: http://www.emedicine.com/radio/topic6.htm
17. Teplick,J.George, Marvin E. Haskin. Disease of the Digestive System.
Rontgenologic Diagnosis vol 2. 3rd ed.Phyladelphia; WB Saunders
Company ; 1976. p.889 – 891.
18. Achalasia.[Online]. Cited 2007 September 29. Available from URL:
http://www.med.wayne.edu/diagRadiology/TF/GI/GI09.html

14
KKS RADIOLOGI RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI

Anda mungkin juga menyukai