Penyakit yang masih 'asing' ini sering menyerang anak usia balita. Jika
dibiarkan lewat dari 10 hari, pasien bisa mengalami komplikasi jantung.
Sudah tiga hari ini Tommy (2 tahun) menderita demam. Suhu badannya
bahkan sempat mencapai 40 oC. Meski Tommy sudah dibawa ke dokter umum
dan diberi antibiotik, kondisinya tak mengalami perubahan berarti.
Malah, ketika memasuki hari keempat, mata dan mulut Tommy terlihat
memerah, bibir pecah-pecah, diikuti ruam di derah pantat dan kelamin.
Keadaan itu berlangsung hingga tiga hari berikutnya, sementara demamnya
tak juga turun. Begitu telapak kaki Tommy mulai bengkak dan kulitnya
mengelupas, Icha, sang ibu, segera membawanya ke dokter spesialis anak.
Setelah diperiksa, Tommy dinyatakan menderita campak. Dokter pun memberi
obatan-obatan untuk mengatasi campak.
Tapi, setelah enam hari minum obat, kondisi Tommy masih sama saja.
Melihat kondisi anaknya yang tak kunjung membaik selama 13 hari itu,
Icha kembali membawa buah hatinya ke dokter spesialis anak yang lain.
Ternyata, kata dokter itu, Tommy bukannya menderita campak, melainkan
penyakit Kawasaki, dan perlu segera dites darah maupun diperiksa
jantungnya dengan echocardiogram. "Penyakit Kawasaki? Apa itu, Dok?"
Icha hanya bisa terkesima dengan air muka penuh tanya.
Awalnya, penyakit Kawasaki ini diduga lebih banyak diderita oleh ras
Mongoloid, karena angka kejadian Penyakit Kawasaki di negara Jepang,
Korea, dan Cina cukup banyak. Tetapi, penelitan belakangan ini
menunjukkan, penyakit ini tak memandang ras atau etnis tertentu. Bahkan
diungkapkan Najib, ada beberapa pasien Penyakit Kawasaki di RSCM yang ia
tangani beberapa waktu belakangan ini. Tidak sedikit penderitanya
berasal etnis seperti Betawi dan Tapanuli. Ia sendiri sudah menangani
pasien penyakit Kawasaki sejak sembilan tahun silam. "Berarti di
Indonesia pun, penyakit ini sebenarnya bukan hal yang baru," tambahnya.
Mirip Campak
Penyakit Kawasaki dikenal juga sebagai mucocutaneous lymph node
syndrome, karena penyakit ini menyerang membran mukosa (dinding mulut
dan saluran nafas), kulit, dan kelenjar limfa.
Pada fase awal penyakit, gejala umum penyakit Kawasaki ini tak jauh
berbeda dengan campak. Misalnya demam selama 5 hari dengan suhu badan
bisa mencapai 40 oC. Lalu timbulnya bintik-bintik merah di daerah pantat
dan kelamin, tapi tidak disertai gatal-gatal dan lepuhan. Ukuran
bintik-bintik merah ini bervariasi, ada yang besar dan kecil. Gejala
batuk pilek yang kuat seperti dalam penyakit campak, tidak ditemui pada
penyakit Kawasaki.
Gejala lain yang khas yaitu memerahnya mata, bibir, dan lidah, serta
rongga mulut. Pada lidah timbul benjolan-benjolan kecil merah seperti
stroberi, yang diselimuti lapisan putih. "Mata merah pada penyakit
Kawasaki tidak disertai keluarnya belek. Ini beda dengan campak, dimana
mata merah selalu diikuti keluarnya belek." Warna merah pada rongga
mulut pun tidak menimbulkan rasa sakit saat makan. Warna merah juga
terjadi pada punggung tangan dan kaki, disertai pembengkakan dan
pengelupasan kulit, dimulai dari daerah kuku. Selanjutnya, terjadi
pembengkakan kelenjar getah bening pada leher kiri atau kanan.
Menurut Najib, selain gejala yang mirip penyakit campak, ada gejala lain
yang sifatnya lebih khusus, yakni nyeri persendian, sakit perut,
disertai diare. "Karena penyakit ini juga mempengaruhi sistem saraf,
akibatnya anak selalu gelisah, rewel, dan sering menangis. Untuk
menghentikan tangis dan rewelnya pun sukar sekali."
Pada penyakit Kawasaski, demam, merah pada mata dan mulut sebenarnya
bukan kondisi yang mengkhwatirkan. Pasalnya, gejala itu bisa hilang
dengan sendirinya jika diberi obat-obatan. Yang mengkhawatirkan jika
terjadi komplikasi. "Yakni, jika dilakukan pemeriksaan darah serta
pengamatan lebih mendalam dengan Elektro Kardiogram (EKG), ada yang lain
pada jantung anak."
Infus Gamaglobulin
Karena gejala umum penyakit Kawasaki mirip dengan campak, dokter
seringkali menyimpulkan penyakit yang diderita anak adalah campak biasa.
Padahal, jika penyakit ini tidak terdiagnosa dengan tepat dan tidak
ditangani sebagaimana mestinya, saat anak berusia belasan atau dua
puluhan tahun, penyakit ini kemungkinan bisa timbul kembali dalam bentuk
serangan jantung mendadak. Karena di kalangan dokter Indonesia penyakit
Kawasaki juga masih tergolong baru, diagnosa penyakit ini seringkali
belum terlaksana dengan benar. "Akibatnya, terjadi fenomea gunung es
pada penyakit ini. Jumlah penderita penyakit Kawasaki yang bisa
diketahui jauh lebih kecil dibanding yang tidak diketahui," tambah
Najib.
Karena untuk biaya obatnya saja sudah tinggi, banyak pasien yang tidak
melanjutkan pengobatan. Padahal, jika dalam sepuluh hari pertama pasien
penyakit Kawasaki tak segera diobati, pasien akan mengalami serangan
jantung mendadak, yang berujung pada hilangnya nyawa atau mengalami
cacat jantung. Serangan jantung mendadak ini terjadi pada 25% pasien.
Kalau keadaan jantungnya sudah parah karena telat ditangani dan tidak
bisa diobati, dengan terpaksa harus dilakukan operasi jantung koroner
yang biaya sekitar Rp 60 juta.
Masih Misterius
Sampai sekarang, para dokter belum dapat mengetahui berapa lama masa
inkubasi penyakit Kawasaki. Yakni, periode ketika anak terkena penyebab
penyakit sampai timbulnya gejala. Karena penyebabnya juga masih belum
diketahui, belum ada cara yang jelas bagaimana mencegah penyakit ini.
Sebagian peneliti percaya, penyakit ini disebabkan oleh agen
penginfeksi, misalnya virus. Namun belum pernah ditemukan kasus penyakit
Kawasaki yang menular dari orang ke orang. Karena penyakit ini juga
jarang menyerang lebih dari 1 anak dalam keluarga, diduga penyakit ini
tidak berkaitan dengan keturunan.