Anda di halaman 1dari 5

Pattani Negeri yang Selalu Resah

Written by Redaksi

27 Jul 2007

Gerakan perlawanan kaum muslim Melayu Pattani bukanlah ledakan yang mendadak. Bahkan
akar-akarnya bisa ditelusuri sampai abad ke-18. Bagaimana solusi damai untuk menghentikan
kekerasan di bekas kerajaan-kerajaan Melayu itu?

Asap mengepul dari sebuah masjid berdinding bata, di pinggiran Kota Pattani. Rumah ibadah itu
rusak berat akibat rentetan tembakan yang dimuntahkan aparat keamanan. Semuanya tewas,
ketika tentara menyerang masjid itu. Mayat-mayat yang berlumuran darah itu dilemparkan begitu
saja ke atas truk-truk. Di tempat-tempat lain di Pattani, kendaraan lapis baja militer berpratoli di
jalan-jalan, sementara helikopter terbang rendah.

Bentrokan antara aparat keamanan Thailand dan kelompok muslim militan Pattani, memang
sudah sering terjadi. Yang paling berdarah-darah adalah pada 28 April 2004 itu, yang merenggut
paling sedikit 127 jiwa penduduk muslim. Inilah bentrokan senjata yang paling banyak
merenggut jiwa dalam sejarah kerusuhan di wilayah yang selalu bergolak itu.

Sejak perang Dunia II wilayah Thailand Selatan memang selalu bergolak, dan pemerintah, baru
bisa menumpasnya pada tahun 1980-an. Perlawanan kaum muslim di Selatan itu kemudian
berkobar kembali tiga tahun yang lalu, dan masih berlangsung sampai sekarang meskipun dalam
skala yang lebih kecil. Gerakan pemisahan muslim melayu Pattani sesungguhnya bukanlah
ledakan yang mendadak, bahkan akar-akarnya bisa ditelusuri pada abad ke-18 yang lalu. Hanya
saja, tidak banyak informasi mengenai sejarah kawasan ini, yang sekarang terdiri dari provinsi-
provinsi Pattani, Nawathirat, Yala dan Satun. Kebanyakan laporan yang berkaitan dengan sejarah
muslim Melayu, adalah laporan jurnalistik yang memuat kegiatan terorisme atau laporan resmi.
Laporan-laporan pemerintah, yang secara taat diikuti oleh media massa, memang selalu
menyebutkan perlawanan kaum muslim di Selatan itu sebagai aksi terror, dalam rangka
pemisahan diri.
Syahdan, wilayah yang sekarang terbagi dalam empat provinsi itu dahulu tergabung dalam
kerajaan Siam. Pada tahun 1785 Maha Uparat Rama I (putra mahkota) melakukan penyerbuan
besar-besaran kearah Selatan. Pattani pun takluk tanpa syarat, menjadi bagian integral dari
Kerajaan Siam. Bukan lagi negara bagian yang memberi upeti sebagaimana Laos dan Kamboja.

Cengkeraman Siam atas Pattani semakin ketat. Akibatnya muncul pemberontakan-


pemberontakan pada tahun 1789-1791. Setelah itu Siam melakukan pengaturan kembali terhadap
negara-negara taklukannya di Semenanjung. Bangkok-pun mengurangi kekuatan dan status semi
independent Pattani, melalui politik “divide et empera”. Pattani pun dipecah-pecah menjadi
negara-negara kecil (Mueng): Pattani, Nongchik, Saiburi (Teluban), Yala (Jala), Yaring (Jambu),
Rangae (Legeh) dan Rahman. Ketujuh negara itu merupakan propinsi-propinsi kelas tiga atau
empat, dan ketuanya ditunjuk secara langsung oleh Raja Siam untuk masing-masing negara.
Kebijakan ini menimbulkan kemarahan luar biasa di kalangan penguasa Melayu. Akibatnya,
sejak abad ke 19 ketujuh negara itu berusaha memberontak melawan Bangkok.

Pada tahun 1906 wilayah tujuh negara bagian itu secara administrative digabung menjadi sebuah
kesatuan baru yang disebut “Lingkaran Pattani”. Sejak itu dan seterusnya, kesultanan Pattani
dengan cepat diintegrasikan ke dalam administrasi provinsi Siam. Maka begitulah, propinsi
Rahman disatukan dengan Yala, Yaring dengan Nongchik dan Pattani. Setelah penggabungan ini
ketujuh negara bagian tadi dibagi kembali menjadi empat provinsi: Pattani, Yala, Saiburi
(Teluban) dan Narathiwat. Setiap provinsi dibawah kewenangan komisi pengawas.

Pada tahun 1909 Inggris menandatangani perjanjian dengan Siam. Pakta ini mengalihkan
penguasaan Kedah, Kelantan, Trengganu dan Perlis dari Siam ke Inggris, dan penguasaan Siam
terhadap daerah utara perbatasan (Pattani, Narathiwat, Yala, Saiburi) termasuk Satun.

Bertahun-tahun setelah penandatanganan pakta tersebut, boleh dibilang tidak ada pemberontakan
dalam skala besar. Meski demikian, kemarahan tetap berkobar dikalangan para pemimpin di
negara-negara bagian, khususnya yang berkaitan dengan wakil-wakil kerajaan dan masalah
keagamaan. Pemberontakan sporadis itu berkembang menjadi pemberontakan yang luas pada
1922, ketika penduduk Melayu di kampung-kampung provinsi Pattani bersatu melawan
kekuasaan Siam, dengan menolak membayar pajak dan sewa tanah. Mereka dilaporkan
membentuk sebuah gerakan pembebasan Pattani. Para penguasa Siam percaya, bahwa gerakan
ini berasal dari Kelantan dan dipimpin oleh Tengku Abdul Kadir, bekas raja Pattani, dan para
pengikutnya. Tahun 1931 status provinsi Saiburi diturunkan menjadi distrik dan digabungkan
dengan Pattani. Setahun kemudian, ketika Siam menjadi kerajaan konstitusional, sistem
“lingkaran“ dihapuskan. Dan setiap provinsi berada dibawah pengawasan langsung Departemen
Dalam Negeri Bangkok.

Dengan perubahan struktur administrasi local itu, praktis kesultanan-kesultanan yang ada
sebelumnya, berada dibawah administrasi langsung para penguasa Siam, sebagai provinsi-
provinsi biasa. Dengan demikian, pemerintah Siam ingin memperlakukan wilayah ini sama
dengan daerah lainnya, dan menyerap penduduknya menjadi warga Siam biasa. Untuk itu Siam
mengambil sejumlah langkah untuk mengasimilasikan kaum muslim Melayu.

Tapi, gencarnya asimilasi yang dilakukan rezim nasionalis militan Phibun Songkhram, telah
menimbulkan kemarahan kaum muslimin di Selatan. Bahasa dan kebudayaan melayu sangat
didiskriminasikan, hukum Islam tentang perkawinan dan pewarisan, dikesampingkan oleh
undang-undang negara, pakaian melayu dilarang dan penggunaan pakaian barat blus dan
pantalon diwajibkan; penduduk Melayu didesak untuk mengganti nama-nama mereka dengan
nama-nama Siam, serta mengunyah biji pinang-pun dilarang. Dalam suasana semacam ini,
golongan muslim melayu merasa, bahwa mereka dijauhkan dari segala kesempatan untuk
menerima pendidikan atau memegang posisi-posisi tinggi dalam birokrasi.

Ketika pecah perang pasifik (PD II) Desember 1941, Siam tergabung di pihak Jepang. Sebagai
balas budinya, Jepang memberikan negara-negara bagian Melayu sebelah utara, yaitu Kedah,
Perlis, Kelantan dan Trengganu untuk dikuasai kembali oleh Siam.

Perang Pasifik yang berakhir tahun 1945, tidak pelak lagi telah menaikkan semangat
nasionalisme di negara-negara jajahan di Asia Tenggara. Maka, begitulah golongan Melayu di
Malaya untuk pertama kali bersatu melawan Inggris. Gerakan nasionalisme ini juga
mempengaruhi kaum muslim di Siam Selatan, dan menimbulkan gejolak di luar Siam bagi
penyatuan seluruh Malaya di Semenanjung. Diantara muslim Melayu tersebut berharap, bahwa
Siam akan diperlakukan sebagai negara yang kalah perang dan akibatnya Pattani, Narathiwat,
Yala dan Satun akan dipersatukan ke dalam Malaya – Inggris. Namun harapan ini tidak
terwujud.

Perubahan pemerintahan pada tahun 1946 memang sedikit memperbaiki situasi di empat provinsi
berbasis bahasa Melayu. Berbagai keistimewaan yang biasa dinikmati oleh orang Melayu
sebelum masa Phibun, yang menyangkut hukum keluarga dan warisan, dikembalikan. Meski
demikian, muslim Melayu masih menginginkan untuk memperoleh otonomi lokal yang lebih
besar, disamping tuntutan lain. Mereka membentuk sebuah komite, yang diketuai oleh para
pemimpin agama yang terkemuka, untuk mendesak pemerintah agar mengabulkan sejumlah
tuntutan mereka. Sebagai jawabannya, pemerintah Siam membuat sebuah komisi khusus untuk
menyelidiki situasi di empat provinsi tersebut. Hasilnya ternyata tidak memuaskan kaum muslim
Melayu.

Seperti diduga, reaksi pemerintah Siam ternyata negatif. Pada November 1947 ketika militer
mengambil alih kekuasaan yang menyebabkan Phibun memerintah kembali, kaum muslim
Melayu takut bahwa Phibun akan kembali menjalankan pemerintahannya seperti dulu.
Merekapun mengirim utusan ke London dan meminta pemerintah Inggris tidak mengakui
pemerintah yang baru, dan membantu membebaskan empat provinsi. Tetapi Inggris tetap
mengakui Phibun dan ini tentu saja mengecawakan kaum muslim Melayu.

Dalam pada itu, pemerintah Siam melakukan beberapa perbaikan menyangkut hukum dan
administrasi lokal. Tetapi, upaya tersebut sangat lambat dan tidak efektif, sehingga muslim
Melayu merasa, bahwa ini semua merupakan pertanda kelonggaran. Akibatnya muncul
perlawanan diantara kaum muslim Melayu.

Meskipun perlawanan kaum muslim Melayu melemah menyusul kematian Haji Sulong pada
tahun 1954, setelah beberapa tahun mendekam di penjara, pemerintah Siam, baru benar-benar
memadamkan mereka pada tahun 1980-an. Tapi kemudaian sejarah perlawanan kaum muslimin
di Thailand Selatan pun berulang kembali dua dasawarsa kemudian, yang juga dihadapi dengan
tindakan yang brutal oleh pihak keamanan. Sudah dapat diduga, asap pun mengepul kembali dari
masjid di pinggiran kota itu.

Gerakan Seributahunan

Menurut Nidhi Aesrivongse dalam tulisannya jurnal Sinlapa Watthanatham (Juni 2004), gerakan
di Thailand Selatan harus dipahami sebagai pemberontakan “millenarian” dalam abad ke-21.
Gerakan millenarian merupakan perlawanan rakyat kecil pada tingkat local, misalnya petani,
buruh penyadap dalam hutan rimba, nelayan pantai, peternak hewan berkeliling, buruh tambang,
orang pribumi dan lain-lain. Rakyat kecil ini secara regular melakukan perlawanan terhadap
perubahan yang tidak begitu mereka mengerti, mereka beranggapan bahwa perubahan-perubahan
yang berasal dari luar, telah menghancurkan kehidupan mereka. Kekuatan dari luar itu, sering
dari pemerintah pusat atau petugasnya, pedagang luar, kapital dan kapitalis (karena mereka
mempunyai cara untuk memusnahkan para kapitalis lokal, misalnya menuduh mereka sebagai
hantu menghisap darah), organisasi agama baru dan lain sebagainya.

Jadi apa yang dialami rakyat kecil di provinsi Selatan bagian bawah, ungkap sejarawan Thai
terkemuka itu, adalah kemiskinan dalam semua bidang. Mereka tidak berhasil merespon
perubahan yang selalu mengganggu dan membebani mereka secara luar biasa. Sumber terakhir
yang mereka lihat adalah sistem pendidikan, tetapi jalan itu tidak begitu terbuka untuk mereka.
“Salah seorang warga desa di kabupaten Yaring mengatakan, bahwa sekarang banyak orang
muslim yang ingin belajar tetapi tidak ada tempat bagi mereka. Jadi meskipun mereka berusaha
menyesuaikan dirinya dengan sistem kapitalis, tetap saja tidak ada peluang untuk mereka. Tidak
ada masa depan untuk mereka, karena mereka tidak tahu bagaimana cara hidup dalam perubahan
yang mereka tidak dapat menimpalinya,” tulis Nidhi.

Mantan guru besar Universitas Chiang Mai itu mengungkapkan, siapa pun setuju, bahwa kita
sebaiknya memecahkan masalah dengan “cara damai”. Tetapi istilah ini, kata dia, maksudnya
jauh lebih dari sekedar untuk tidak membunuh rakyat dengan senjata; tetapi seharusnya
memasukkan penghentian semua kekerasan sama sekali. Dia berpendapat, kekurangan
“perdamaian” di Selatan, disebabkan kebijakan pembangunan pemerintah yang membolehkan
penetrasi kapital, yang berakibat pada peniadaan akses rakyat kecil terhadap sumber-sumber
alam; sedangkan negara tidak punya kemampuan maupun keinginan untuk mengontrol situasi
dan menghasilkan cara pemecahan yang adil. Pada waktu yang sama, negara tidak memberi
peluang (dalam pelaksanaannya) untuk membantu rakyat kecil menyesuaikan sedikit demi
sedikit, dan membangun kemampuan-kemampuan yang akan membolehkan mereka bertanding
dalam pasar kapitalis tanpa kerugian pihak lain. Semua faktor ini merupakan kekerasan, dan jauh
dari makna “damai” yang sejati.****

Sc/27-04-07.

Oleh: Suryana Sudrajat

Anda mungkin juga menyukai