Anda di halaman 1dari 14

Bung Karno Tentang Marxisme

Ditulis oleh Suar Suroso Senin, 06 November 2006 00:00

Sejak muda Bung Karno sudah jadi pengagum Marxisme. Dalam usia dua puluh lima tahun,
dengan tujuan mempersatukan kekuatan bangsa melawan kolonialisme, Bung Karno sudah
mengemukakan arti penting Marxisme dan menilai pentingnya kekuatan kaum Marxis di
Indonesia. Dalam karyanya, Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, yang diterbitkan tahun
1926, Bung Karno menulis: Partai Boedi Oetomo, ‘marhum’ Nationaal Indische Partij yang kini
masih ‘hidup’, Partai Sarekat Islam, Perserikatan Minahasa, Partai Komunis Indonesia, dan
masih banyak partai-partai lain ... itu masing-masing mempunyai rokh Nasionalisme, rokh
Islamisme, atau rokh Marxisme adanya. Dapatkah roch-roch ini dalam politik jajahan bekerja
bersama-sama menjadi satu Rokh yang Besar, Roch Persatuan? Rokh Persatuan yang akan
membawa kita ke-lapang ke-Besaran?[1]

Bung Karno dengan tegas menjawab bahwa ketiga aliran itu dapat bersatu. Terhadap kaum
nasionalis Bung Karno menyatakan:

Bukannya kita mengharap, yang Nasionalis itu supaya berobah faham jadi Islamis atau Marxis,
bukannya maksud kita menyuruh Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi Nasionalis, akan
tetapi impian kita yalah kerukunan, persatuan antara tiga golongan itu.[2]

Terhadap kalangan Islam Bung Karno menulis:

Islam yang sejati tidaklah mengandung azas anti-nasionalis; Islam yang sejati tidaklah
bertabiat anti-sosialistis. Selama kaum Islamis memusuhi faham-faham Nasionalisme yang luas-
budi dan Marxisme yang benar, selama itu kaum Islamis tidak berdiri diatas Sirothol Mustaqim;
selama itu tidaklah ia bisa mengangkat Islam dari kenistaan dan kerusakan tahadi ! Kita sama
sekali tidak mengatakan yang Islam itu setuju pada Materialisme atau perbendaan; sama sekali
tidak melupakan yang Islam itu melebihi bangsa, super-nasional. Kita hanya mengatakan,
bahwa Islam yang sejati itu mengandung tabiat-tabiat yang sosialistis dan menetapkan
kewajiban-kewajibannya nasionalis pula! [3]

Kekagumannya terhadap ajaran-ajaran Marx dituangkannya dalam kalimat berikut ini:

Kaum buruh dari semua negeri, kumpullah menjadi satu!. Riwayat dunia belumlah pernah
menceriterakan pendapat dari seorang manusia, yang begitu cepat masuknya dalam keyakinan
satu golongan pergaulan hidup, sebagai pendapatnya kampiun kaum buruh ini. Dari puluhan
menjadi ratusan, dari ratusan menjadi ribuan, dari ribuan menjadi laksaan, jutaan ... begitulah
jumlah pengikutnya bertambah-tambah. Sebab, walaupun teori-teorinya ada sangat sukar dan
berat untuk kaum yang pandai dan terang-fikiran, tetapi amatlah ia gampang dimengerti oleh
kaum yang tertindas dan sengsara: kaum melarat yang berkeluh kesah itu.... Berlainan dengan
Ferdinand Lassale yang teriaknya itu ada suatu teriak perdamaian, maka Karl Marx, yang
dalam tulisan-tulisannya tidak satu kali mempersoalkan kata asih atau kata cinta, membeberkan
pula faham pertentangan golongan; faham klassenstrijd, dan mengajarkan pula, bahwa
lepasnya kaum buruh dari nasibnya itu, yalah oleh perlawanan-zonder-damai terhadap pada
kaum ‘bursuasi’, satu perlawanan yang tidak boleh tidak, musti terjadi oleh karena peraturan
yang kapitalistis itu adanya.... Jasanya ahli-fikir ini yalah: -- ia mengadakan suatu pelajaran
gerakan fikiran yang bersandar pada perbendaan (Materialistische Dialectiek); -- ia
membentangkan teori, bahwa harganya barang-barang itu ditentukan oleh banyaknya ‘kerja’
untuk membikin barang-barang itu, sehingga ‘kerja’ ini yalah ‘wert-bildende Substanz’, dari
barang-barang itu (arbeids-waarde-leer); -- ia membeberkan teori, bahwa hasil pekerjaan kaum
buruh dalam pembikinan barang itu adalah lebih besar harganya daripada yang ia terima
sebagai upah (meerwaarde); -- ia mengadakan suatu pelajaran riwayat yang berdasar peri-
kebendaan, yang mengajarkan, bahwa ‘bukan budi-akal manusialah yang menentukan
keadaannya, tetapi sebaliknya keadaannya berhubungan dengan pergaulan-hiduplah yang
menentukan budi-akalnya’ (materialistische geschiedenisopvatting); -- ia mengadakan teori,
bahwa oleh karena ‘meerwaarde’ itu dijadikan kapital pula, maka kapital itu makin lama makin
menjadi besar (kapitaals-accumulatie), sedang kapital-kapital yang kecil sama mempersatukan
diri jadi modal yang besar (kapitaals-centralisatie), dan bahwa, oleh karena persaingan,
perusahaan yang kecil sama mati terdesak oleh perusahaan-perusahaan yang besar, sehingga
oleh desak-desakan ini akhirnya cuma tinggal beberapa perusahaan sahaja yang amat besarnya
(kapitaals-concentratie); -- dan ia mendirikan teori, yang dalam aturan kemodalan ini nasibnya
kaum buruh makin lama makin tak menyenangkan dan menimbulkan dendam-hati yang makin
lama makin sangat (Verelendungstheorie)... [4]

Bung Karno memperingatkan bahwa kaum Marxis harus ingat bahwa pergerakannya itu, tak
boleh tidak, pastilah menumbuhkan rasa Nasionalisme dihati-sanubari kaum buruh Indonesia,
oleh karena modal di Indonesia itu kebanyakannya yalah modal asing , dan oleh karena budi
perlawanan itu menumbuhkan suatu rasa tak senang dalam sanubari kaum-buruhnya rakyat
di-‘bawah’ terhadap pada rakyat yang di-‘atas’-nya, dan menumbuhkan suatu keinginan pada
nationale machtspolitiek dari rakyat sendiri . ... Niscaya mereka ingat pula akan teladan-teladan
pemimpin-pemimpin Marxis di lain-lain negeri, yang sama bekerja bersama-sama dengan
kaum-kaum nasionalis atau kebangsaan. Niscaya mereka ingat pula akan teladan pemimpin-
pemimpin Marxis di negeri Tiongkok, yang dengan ridla hati sama menyokong usaha kaum
Nasionalis, oleh sebab mereka insyaf bahwa negeri Tiongkok itu pertama-tama butuh persatuan
nasional dan kemerdekaan nasional adanya. Demikian pula, tak pantaslah kaum Marxis itu
bermusuhan dan berbentusan dengan pergerakan Islam yang sungguh-sungguh).[5]
Memperhatikan perkembangan teori Marxisme, Bung Karno menulis: adapun teori Marxisme
sudah berobah pula. Memang seharusnyalah begitu! Marx dan Engels bukanlah nabi-nabi, yang
bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk segala zaman. Teori-teorinya
haruslah diobah, kalau zaman berobah; teori-teorinya harus diikutkan pada perobahannya
dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut. Marx dan Engels sendiripun mengerti akan hal ini;
mereka sendiripun dalam tulisan-tulisannya sering menunjukkan perobahan faham atau
perobahan tentang kejadian-kejadian pada zaman mereka masih hidup.[6]

Sejak awal Bung Karno sudah bersikap memihak Marxisme. Dalam membela kaum Marxis dari
serangan kaum agama, Bung Karno menyatakan, agar bisa memahami Marxisme kita harus
membedakan Historis-Materialisme dan materialisme-filsafat. Historis-Materialisme—
materialisme historis—adalah penerapan materialisme dialektik dalam ilmu sosial—penerapan
filsafat materialisme dalam ilmu sosial; dalam memandang perkembangan sejarah. Bung Karno
menulis, kita harus membedakan Historis- Materialisme itu dari pada Wijsgerig– Materialisme,
kita harus memperingatkan, bahwa maksudnya Historis-Materialisme itu berlainan dari pada
maksudnya Wijsgerig-Materialisme tahadi. Wijsgerig-Materialisme memberi jawaban atas
pertanyaan: bagaimanakah hubungannya antara fikiran (denken) dengan benda (materie),
bagaimana fikiran itu terjadi, Sedang Historis-Materialisme memberi jawaban atas soal: sebab
apakah fikiran itu dalam suatu zaman ada begitu atau begini; wijsgerig-materialisme
menanyakan ada (wezen) fikiran itu; historis-materialisme menanyakan sebab-sebabnya fikiran
itu berobah; wijsgerig-materialisme mencari asal nya fikiran, historis-materialisme
mempelajari tumbuhnya fikiran; wijsgerig-materialisme adalah wijsgerig, historis-materialisme
adalah historis. Dua faham ini oleh musuh-musuhnya Marxisme di Eropah, terutama kaum
gereja, senantiasa ditukar-tukarkan, dan senantiasa dikelirukan satu sama lain. Dalam
propagandanya anti-Marxisme mereka tak berhenti-henti mengusahakan kekeliruan faham itu;
tak berhenti-henti mereka menuduh-nuduh, bahwa kaum Marxisme itu yalah kaum yang
mempelajarkan, bahwa fikiran itu hanyalah suatu pengeluaran sahaja dari otak, sebagai ludah
dari mulut dan sebagai empedu dari limpa; tak berhenti-henti mereka menamakan kaum Marxis
suatu kaum yang menyembah benda, suatu kaum yang bertuhankan materi [7].

Menghadapi Ir. Baars yang membelot dari Marxisme, Bung Karno dengan tangguh membela
Marxisme. Baars menyatakan, bahwa ia kini oleh pengalaman-pengalamannya di negeri Russia,
sudah ‘bertobat’ dari faham, yang bertahun-tahun menyerapi budi-akalnya: komunisme. Berkali-
kali Baars dalam tulisannya memperingatkan, janganlah mendekati komunisme itu; berkali-kali
ia mengatakan, bahwa apa yang ia alami di Russia itu hanyalah kekalutan dan kesengsaraan
sahaja. Bung Karno tidak percaya terhadp tulisan Baars itu. Bung Karno menilai Baars sebagai
seorang bekas–komunis yang sekarang bukan saja anti-komunisme, tetapi juga anti-sosialisme,
dan juga anti-marxisme dalam umumnya. Bung Karno menulis, untuk adilnya kita punya
hukuman terhadap pada ‘prakteknya’ faham Marxisme itu, maka haruslah kita ingat, bahwa
‘failliet’ dan ‘kalang-kabut’nya negeri Russia itu adalah dipercepat pula oleh penutupan atau
blokade oleh semua negeri-negeri musuhnya; dipercepat pula oleh hantaman dan serangan
pada empatbelas tempat oleh musuh-musuhnya sebagai Inggeris, Perancis dan jenderal-
jenderal Koltchak, Denikin, Yudenitch dan Wrangel; dipercepat pula oleh anti-propaganda yang
dilakukan oleh hampir semua surat-kabar di seluruh dunia.....

Bagaimanakah sikap kita, kaum nasionalis, terhadap pada sosialisme atau komunisme itu dalam
umumnya? Sosialisme, sosial-demokrasi, komunisme adalah suatu reaksi, suatu faham
perlawanan terhadap pada kapitalisme, suatu faham-perlawanan yang dilahirkan oleh
kapitalisme itu juga. Ia adalah anaknya kapitalisme, tetapi ia adalah pula suatu kekuatan yang
mencoba menghancurkan kapitalisme itu juga. Ia tidak bisa berada dalam suatu negeri, dimana
kapitalisme belum berdiri, dan ia tentu ada suatu negeri, jikalau negeri itu mempunyai aturan
kemodalan, ia tentu ada suatu negeri, jikalau negeri itu susunan-pergaulan hidupnya ada
kapitalistis ...Dan begitulah, maka walaupun sosialisme itu atau komunisme itu diperangi
sehaibat-haibatnya atau ditindas sekeras-kerasnya, walaupun pengikut-pengikutnya dibui,
dibuang, digantung, didrel atau dibagaimanakan juga; walaupun oleh penindasan yang keras
dan pemerangan yang haibat ia kadang-kadang seolah-olah bisa binasa dan tersapu sama
sekali, maka tiada henti-hentinya ia muncul lagi dinegeri yang kapitalistis, tiada henti-
hentinyalah ia membikin gemparnya kaum yang dimusuhinya, menyatakan diri didalam riwayat
dunia, sebagai ditahun 1848, ditahun 1871, ditahun 1905 dan ditahun 1917, -- tiada henti-
hentinya ia memperingatkan juru-riwayat yang menulis tambonya negeri-negeri Perancis,
Jerman, Inggeris, Rusia, Amerika... Dan di Indonesia? Dinegeri tumpah-darah kita? Indonesia-
pun tak akan hindar dari pada jurusan-jurusan atau tendenz-tendenz yang dilalui oleh negeri-
negeri lain. Indonesia pun tak akan hindar dari pada sociaal–economische praedestinatie , yang
juga sudah menjadi nasibnya negeri-negeri Asia yang lain, tak akan bisa hindar dari pada
keharusan-keharusan yang sudah pula menetapkan jalan-jalannya susunan pergaulan hidup
negeri-negeri lain, yakni keharusan-keharusannya hukum evolusi , artinya: Indonesia juga akan
menaiki semua tingkat-tingkat susunan pergaulan hidup yang sudah dinaiki oleh negeri-negeri
itu, -- Indonesia juga akan meninggalkan tingkat susunan-pergaulan hidup yang sekarang ini,
dan akan naik keatas tingkat susunan pergaulan-hidup yang kemudian, masuk kealam zaman
kepabrikan, masuk kedalam zaman kapitalisme yang sebenar-benarnya, sebagaimana yang
sekarang memang sudah kentara adanya, Indonesia oleh karena itu juga tak luput mengenali
‘pengikutnya’ kapitalisme itu, suatu pergerakan yang berazaskan sosialisme atau komunisme,
sebagaimana yang memang sudah kita alamkan permulaannya pula.[8]

Pada kesempatan ulang tahun ke-50 wafatnya Karl Marx, Bung Karno menyatakan pujian yang
tinggi pada Marx. Soekarno menulis sebagai berikut:

Dari muda sampai wafatnya, manusia yang haibat ini tiada berhenti-hentinya membela dan
memberikan penerangan pada si miskin, bagaimana mereka itu sudah menjadi sengsara, dan
bagaimana jalannya mereka itu akan mendapat kemenangan: tiada kesal dan capainya ia
bekerja dan berusaha untuk pembelaan itu: selagi duduk diatas kursinya, dimuka meja-tulisnya,
begitulah ia pada 14 Maret 1883, -- limapuluh tahun yang lalu --, melepaskan nafasnya yang
penghabisan. .....Berlainan dengan sosialis-sosialis lain, yang mengira bahwa cita-cita
sosialisme itu dapat tercapai dengan cara pekerjaan-bersama antara buruh dan majikan,
berlainan dengan umpamanya; Ferdinand Lassale, yang teriaknya ada suatu teriak-
perdamaian, maka Karl Marx, yang dalam tulisan-tulisannya tidak satu kali memakai kata kasih
atau kata cinta, membeberkanlah faham pertentangan-kelas; faham klassenstrijd, faham
perlawanan-zonder-damai sampai habis-habisan. Dan bukan itu sahaja! Ilmu dialektik
materialisme, ilmu nilai-kerja, ilmu harga lebih, ilmu historis materialisme, ilmu statika dan
dinamikanya kapitalisme, ilmu Verelendung, ---- semua itu adalah ‘jasanya’ Marx. Bung Karno
menulis, bahwa Kaum melarat-kepandaian yang berkeluh kesah itu dengan gampang segera
mengertinya.... Mereka dengan gampang mengerti seluk-beluknya dialektika: bahwa
perlawanan kelas adalah suatu keharusan riwayat, dan bahwa oleh karenanya, kapitalisme
adalah ‘menggali liang kuburnya’. Begitulah teori-teori yang dalam dan berat itu dengan
gampang sahaja masuk didalam keyakinan kaum yang merasakan stelsel yang ‘diteorikan’ itu,
yakni didalam keyakinannya kaum yang perutnya senantiasa keroncongan. Sebagai tebaran
benih yang ditebarkan oleh angin kemana-mana dan tumbuh pula dimana ia jatuh, maka benih
Marxisme ini berakar dan subur bersulur dimana-mana. Benih yang ditebar-tebarkan di Eropah
itu sebagian telah diterbangkan pula oleh tofan-zaman ke arah khatulistiwa, terus ke Timur,
jatuh dikanan kirinya sungai Sindu dan Gangga dan Yang Tse dan Hoang Ho, dan dikepulauan
yang bernama kepulauan Indonesia. Nasionalisme di dunia Timur itu lantas ‘berkawinlah’
dengan Marxisme itu, menjadi satu nasionalisme baru, satu ilmu baru, satu iktikad baru, satu
senjata-perjuangan yang baru, satu sikap-hidup yang baru. Nasionalisme-baru inilah yang kini
hidup dikalangan rakyat Marhaen Indonesia.[9].

Bung Karno memahami ajaran Marx mengenai kepeloporan klas buruh dalam revolusi. Sesudah
Konferensi Partindo di Mataram tahun 1933 mengambil 9 butir kesimpulan mengenai Marhaen
dan Proletar, Bung Karno menjelaskan hubungan Marhaenisme dengan pandangan Marx tentang
kepeloporan klas buruh dalam revolusi sosial sebagai berikut:

Kaum proletar sebagai kelas adalah hasil-langsung daripada kapitalisme dan imperialisme.
Mereka adalah kenal akan paberik, kenal akan mesin, kenal akan listrik, kenal akan cara
produksi kapitalisme, kenal akan segala kemoderenannya abad keduapuluh. Mereka ada pula
lebih langsung menggenggam mati-hidupnya kapitalisme didalam mereka punya tangan, lebih
direct mempunyai gevechtswaarde anti-kapitalisme. Oleh karena itu, adalah rasionil jika
mereka yang didalam perjoangan anti-kapitalisme dan imperialisme itu berjalan dimuka, jika
mereka yang menjadi pandu, jika mereka yang menjadi ‘voorlooper’ – jika mereka yang
menjadi ‘plopor’. Memang ! Sejak adanya soal ‘Agrarfrage’ alias ‘soal kaum tani’, sejak
adanya soal ikutnya sitani didalam perjoangan melawan stelsel kapitalisme yang juga tak
sedikit menyengsarakan sitani itu, maka Marx sudah berkata bahwa didalam perjoangan tani &
buruh ini, kaum buruhlah yang harus menjadi ‘revolutionaire voorhoede’ alias ‘barisan-muka
yang revolusioner’, kaum tani harus dijadikan kawannya kaum buruh, dipersatukan dan
dirukunkan dengan kaum buruh, dihela dalam perjoangan anti-kapitalisme agar jangan nanti
menjadi begundalnya kaum kapitalisme itu – tetapi didalam perjoangan bersama ini kaum
buruhlah ‘menjadi pemanggul panji-panji revolusi sosial’. Sebab, memang merekalah yang,
menurut Marx, sebagai klasse ada suatu ’sociale noodwendigheid’, dan memang kemenangan
ideologi merekalah yang nanti ada suatu ‘historische noodwendigheid’, suatu keharusan
riwayat, suatu kemustian didalam riwayat.[10].

Mengenai sikap suatu kelas terhadap kekuasaannya, Bung Karno bepegang pada ajaran Marx
yang menyatakan:

Tak pernahlah suatu kelas suka melepaskan hak-haknya dengan ridlanya kemauan sendiri, ---
'nooit heeft een klasse vrijwillig van haar bevoorrechte positie afstand gedaan’, begitulah Karl
Marx berkata. ---- Selama Rakyat Indonesia belum mengadakan suatu macht yang maha
sentausa, selama Rakyat itu masih sahaja tercerai berai dengan tiada kerukunan satu sama lain,
selama Rakyat itu belum bisa mendorongkan semua kemauannya dengan suatu k e k u asaan
yang teratur dan tersusun, -- selama itu maka kaum imperialisme yang mencahari untung
sendiri itu akan tetaplah memandang kepadanya sebagai seekor kambing yang menurut, dan
akan terus mengabaikan segala tuntutan-tuntutannya. Sebab, tiap-tiap tuntutan Rakyat
Indonesia adalah merugikan kepada imperialisme, tiap-tiap tuntutan Rakyat Indonesia tidaklah
akan diturutinya, kalau kaum imperialisme tidak terpaksa menurutinya. Tiap-tiap kemenangan
Rakyat Indonesia adalah buahnya desakan yang Rakyat itu jalankan, -- tiap-tiap kemenangan
Rakyat Indonesia itu adalah suatu afgedwongen concessie.[11].

Mengenai dirinya sendiri Bung Karno menulis:

Ada orang yang mengatakan Sukarno itu nasionalis, ada orang mengatakan Sukarno bukan lagi
nasionalis, tetapi Islam, ada lagi yang mengatakan dia bukan nasionalis, bukan Islam, tapi
Marxis, dan ada lagi yang mengatakan dia bukan nasionalis, bukan Islam, bukan Marxis, tetapi
seorang yang berfaham sendiri. Golongan yang tersebut belakangan ini berkata: mau disebut
dia nasionalis, dia tidak setuju dengan apa yang biasanya nasionalisme; mau disebut dia Islam,
dia mengeluarkan faham-faham yang tidak sesuai dengan fahamnya banyak orang Islam; mau
disebut Marxis, dia .... sembahyang; mau disebut bukan Marxis, dia ‘gila’ kepada Marxisme itu!
Kini saya menjadi pembantu tetap dari ‘Pemandangan’, dan oleh karena artikel-artikel saya
nanti tentu akan membawa corak jiwa Sukarno, maka baiklah saya tuturkan kepada Tuan,
betapakah ... Sukarno itu. Apakah Sukarno itu ? Nasionaliskah ? Islam-kah ? Marxis-kah ?
Pembaca-pembaca, Sukarno adalah ...campuran dari semua isme itu![12]

Selanjutnya Bung Karno menulis,

Dr Tjiptomangunkusumo dua bulan yang lalu telah menulis didalam surat-khabar ‘Hong Po’,
bahwa Marxisme adalah ‘membakar Sukarno punya jiwa‘ Saya mengucap terima kasih atas
kehormatan yang Dr Tjiptomangunkusumo limpahkan atas diriku itu. Memang ! sejak saya
sebagai ‘anak plonco’ buat pertama kali belajar kenal dengan teori Marxisme dari mulutnya
seorang guru H.B.S. yang berhaluan sosial-demokrat (C.Hartogh namanya), sampai
memahamkan sendiri teori itu dengan membaca banyak-banyak buku Marxisme dari semua
corak, sampai bekerja didalam actieve politiek, sampai sekarang, maka teori Marxisme begitu
adalah satu-satunya teori yang saya anggap competent buat memecahkan soal-soal sejarah,
soal-soal politik, soal-soal kemasyarakatan. Marxisme itulah yang membuat saya punya
nasionalisme berlainan dengan nasionalismenya nasionalis Indonesia yang lain, dan Marxisme
itulah yang membuat saya dari dulu mula benci kepada fasisme.....Dulu saya cinta kepada
Marxisme; kini menjadilah ia sebagian dari sayapunya kepuasan jiwa. Tetapi bagaimanakah
akurnya Marxisme itu dengan Islam yang juga mengisi sayapunya jiwa? Tidakkah orang
berkata, bahwa agama dan Marxisme itu seteru-bebuyutan satu sama lain, mengingkari satu
sama lain dan membantah satu sama lain? Buat orang lain, barangkali begitu! Tetap buat saya,
maka Marxisme dan Islam dapatlah berjabatan tangan satu sama lain didalam satu sintese yang
lebih tinggi. Buat saya Islam satu agama yang rasionil , satu agama yang bersandar kepada
kemerdekaan akal , yang berbeda setinggi langit dengan agama-agama yang lain. .... Saya
punya faham tentang Islam itu adalah satu faham yang merdeka, -- begitu merdeka, sehingga
sering tabrakan dengan fahamnya orang-orang Islam yang lain !! (Cetak tebal dari penulis).[13]

Apakah Marxisme itu? Orang mengatakan Marxisme adalah seolah-olah ‘satu agama sendiri’,
orang mengatakan dia satu star systeem pula, orang malah mengatakan dia semacam satu
hocus-pocus yang dikira bisa dipakai buat menyelami semua dalam-dalamnya rokh dan jiwa, --
pada hal dia hanyalah satu metode sahaja untuk memecahkan soal-soal ekonomi, sejarah,
politik, dan kemasyarakatan, atau ilmu–perjoangan didalam hal ekonomi, politik,
kemasyarakatan. Suatu metode berfikir dan sesuatu ilmu – perjoangan tidak musti harus
bertentangan dengan sesuatu agama, apalagi kalau agama itu adalah agama rasionil seperti
yang saya visikan itu.[14]

Bung Karno sangat memperhatikan perkembangan peristiwa di Uni Sovyet, termasuk perbedaan
dan pertikaian antara Stalin dan Trotski. Bung Karno menulis:

Apakah fatsal pertikaian ini? Marilah saya terangkan kepada Tuan garis-garis-besarnya seperti
pertikaian Stalin-Trotzky seluruhnya lebih dulu. ....Stalin beranggapan bahwa dapat dan
mungkin didirikan sosialisme didalam satu negeri sahaja (yakni di Rusia saja), tetapi Trotzky
menamakan anggapannya Stalin itu anggapan orang gila: Sosialisme tak dapat didirikan tegak,
tak mungkin, tak bisa, manakala internationaal kapitalisme tidak diruntuhkan lebih dulu sama
sekali. ..... Sebab internationaal kapitalisme itu adalah berhubungan satu dengan yang lain,
‘organisch verbonden’ satu dengan yang lain. ...Bukankah gila pula mau mendirikan sosialisme
di satu negeri pertanian seperti Rusia, dimana kaum buruhnya kalau tidak mendapat bantuan
kaum buruh negeri luaran, mungkin bisa dikalahkan oleh kaum-kaum tani yang masih kolot dan
besar jumlahnya itu ? Tidak ! kata Trotzky revolusi yang telah menyala di negeri Rusia itu tidak
boleh berhenti dimuka pagar-pagarnya negeri-negeri yang mengelilinginya, revolusi itu harus
menjalar terus menjadi satu internationale wereldrevolutie, dan dinegeri Rusia serta masing-
masing negeri lain itu, revolusi ini tidak boleh bersifat satu kejadian yang ‘sekali jadi, sudah’ ,
tetapi haruslah bersifat satu revolusi terus menerus yang mengerjakan semua etappe–
etappenya, dari a sampai z. Maka faham internationale wereldrevolutie yang melalui semua
etappe-etappenya terus menerus dari a sampai z ini oleh Trotzky dinamakanlah faham
‘permanente revolutie’.

Stalin pada hakekatnya tidak anti perjoangan melawan kapitalisme internationaal itu. Ia pada
hakekatnya tidak anti wereldrevolutie, ia pro aksi kaum proletar di mana-mana. Dapatkah
orang menunjukkan seorang komunis yang anti wereldrevolutie itu ? Tetapi Stalin katanya tidak
mau melupakan satu kenyataan yang sudah ada -- satu realiteit. Apakah realiteit ini ? Realiteit
ini ialah, kata Stalin,.bahwa pada dewasa ini perlu dijaga keselamatan ‘benteng Rusia’. Pada
dewasa ini kaum proletar seluruh dunia hanyalah mempunyai satu benteng sahaja, satu citadel,
‘satu pusat-kekuasaan’, yakni Sovyet Rusia. Perkuatlah pusat-kekuasaan ini, jagalah
keselamatannya. Perkuatlah negara Sovyet Rusia, haibatkanlah ia punya industrialisasi,
haibatkanlah ia punya tenaga militer, haibatkanlah ia punya barisan dalam, haibatkanlah ia
punya barisan luar. Seluruh dunia kapitalisme dari Barat dan Timur, dari dekat dan dari jauh,
mau menjatuhkan satu-satunya citadel kaum proletar ini, -- jagalah jangan ia jatuh.
Haibatkanlah negara Soyet Rusia ini menjadi satu negara yang kerasnya seperti baja, supaya
tiap-tiap musuh yang menyerangnya akan hancur menjadi debu dimuka pintu-pintu-gerbangnya
dan dimuka meriam-meriamnya ...Nah, kata Stalin, satu negeri yang demikian luasnya, satu
benua, yang penduduknya ratusan milyun, yang tradisi pergerakan kaum buruh telah langsung
berpuluh-puluh tahun, dapatlah mendirikan sosialisme didalam pagarnya sendiri! ... Asal
sahaja negara Rusia itu tidak dirusakkan orang dari luar , asal saja dia mampu menangkis tiap-
tiap serangan musuh dari luar, maka pekerjaan mendirikan sosialisme itu bisa langsung dan
berhasil.” ...... “Kini, kini datanglah ujiannya sejarah. Pelor-pelornya Hitler dan dinamit-
dinamitnya Hitler menghantam kepada tembok-temboknya benteng Russia itu. Bumi
bergoncang, udara laksana akan terbelah, karena haibatnya hantaman ini. Kini malaekatnya
sejarah mengkilatkan pedangnya dan menggunturkan suaranya. Kini Stalin dibawa oleh
malaekat sejarah itu kehadapan Mahkamatnya, diuji kebenarannya ia punya ‘teori benteng’.
Akan kuatkah benteng Stalin menahan serangan musuh?... Stalin kini berdiri dimuka Mahkamat
itu. Dengan tandas ia akan mengulangi apa yang berkali-kali ia telah katakan: Ini , serangan
dari luar inilah , yang ia khawatirkan dan jagakan dari dulu![15]. Stalin benar atau Stalin
salah, Trotzky benar atau Trotzky salah, -- pada saat ini soal itu menjadikanlah satu soal
akademis, yang terdorong ke belakang oleh soal mati-hidup yang baru timbul, yakni soal: akan
mampukan Stalin menghantam Hitler ini terjungkel patah sehingga tidak bisa berdiri lagi?[16]
Tulisan Bung Karno ini dimuat dalam Pemandangan pada tahun 1941, pada saat berkecamuknya
serangan militer Nazi Jerman terhadap Uni Sovyet.. Sejarah menunjukkan, bekerjasama dengan
pasukan Sekutu dalam Perang Dunia kedua, Tentara Merah Uni Sovyet dibawah pimpinan Stalin
berhasil memukul mundur serangan Hitler, sampai Nazi bertekuk lutut.

Sebagai penganut Marxisme, Bung Karno tegas sejak semula sudah bercita-cita membangun
sosialisme di Indonesia. Tapi, Bung Karno menyatakan:

Sekarang memang belum tiba saatnya buat kita untuk mengadakan sosialisme, -- belum tiba
kemungkinanya buat kita untuk mengadakan sosialisme --, sekarang Revolusi kita masih
Revolusi Nasional, tetapi itu tidak berarti bahwa Negara Nasional yang hendak kita dirikan dus
satu negara yang burgerlijk. .... Negara Nasional Indonesia yang hendak kita dirikan itupun
tidak bersifat burgerlijk dan juga belum bersifat sosialis, melainkan bolehlah diibaratkan satu
‘fase-peralihan’ antara fase burgerlijk dan fase sosialis ... Negara kita adalah satu ‘negara
peralihan’ , satu negara yang dengan sedar memperjuangkan peralihan, -- satu negara yang
revolusioner. Untuk itu Bung Karno sadar bahwa musuh yang dihadapi adalah imperialisme
internasional.

Selanjutnya Bung Karno menyatakan:

Perjoangan kita adalah satu bagian dari perjoangan besar di seluruh dunia menentang
imperialisme; saru perjoangan yang hasil-akibatnya ialah melemahkan imperialisme; satu
perjoangan yang revulusioner. Perjoangan-kemerdekaan sesuatu rakyat-jajahan atau setengah-
jajahan janganlah ditinjau dalam ‘keadaannya sendiri’, tetapi haruslah ditinjau dalam
hubungan-sedunia. Jangan ditinjau terlepas dari hubungan itu, tetapi harus ditinjau dalam
hubungan itu: Harus ditinjau di atas gelanggang perjoangan anti-imperialisme sedunia...
Perjoangan kemerdekaan rakyat-jajahan atau setengah-jajahan melemahkan imperialisme-
internasional, lemahnya imperialisme-internasional melemahkan kapitalisme-internasional;
tiap-tiap perjoangan-kemerdekaan rakyat-jajahan atau setengah jajahan adalah dus
revolusioner dan pantas dibantu, wajib dibantu oleh semua tenaga anti-kapitalis di seluruh
dunia. Golongan-golongan yang membenarkan dan membantu perjoangan-kemerdekaan rakyat-
rakyat jajahan atau setengah jajahan, mereka adalah pula golongan-golongan yang
revolusioner. Sebaliknya, golongan-golongan apapun, yang tidak membantu, tidak
membenarkan perjoangan-kemerdekaan sesuatu bangsa jajahan atau setengah-jajahan, -- meski
dengan memakai alasan-alasan demokrasi formil, meski ia menamakan diri ‘progresif’, atau
‘demokrat’, atau ‘sosialis --, ia adalah reaksioner. Ia hakekatnya mempertahankan
imperialisme, ia dus mempertahankan kapitalisme. Ia terang reaksioner, dan kalau ia ‘sosialis’,
maka ia ‘sosialis’ yang terang-terang mendurhakai sosialisme! ..... – ya, dinegeri Belanda
sendiripun ada golongan-golongan sosialis (bukan dari Partij van den Arbeid !) yang membela
kita. Apa sebab golongan-golongan ini membela kita ? Mereka yakin akan kebenaran ajaran
Marx yang berbunyi: ‘ Een volk dat een ander volk onderdrukt, kan niet vrij zijn ‘. -- Satu rakyat
yang menindas rakyat lain, tak mungkin merdek.[17]

Mengenai masalah membangun sosialisme, Bung Karno menulis:

Karl Marx sendiri didalam salah satu tulisannya menyatakan dengan tegas, bahwa runtuhnya
kapitalisme itu tidak automatis berarti berdirinya sosialisme. Sosialisme hanyakah berdiri
jikalau didirikan. Ji kalau tidak ada tenaga-tenaga yang mendirikan sosialisme itu, maka
runtuhnya kapitalisme yang tidak boleh tidak pasti akan terjadi itu, (historisch noodwendig),
niscayalah akan diikuti oleh khaos yang tiada hingganya dan tiada taranya berpuluh-puluh
tahun ! Memang banyak orang yang mengira bahwa perkataan ‘keharusan sosial-historis’
mengandung arti, bahwa (pada suatu tingkatan evolusi) kapitalisme pasti dengan sendirinya
diganti oleh sosialisme. Pada hal sebagai dinyatakan oleh Marx tadi tidak demikian !
Kapitalisme (pada suatu tingkatan evolusi) pasti diganti oleh sosialisme, bilamana rakyat-jelata
bertindak untuk menggantinya dengan sosialisme. Yang ‘pasti’ itu hanyalah adanya anasir-
anasir objektif pada suatu tingkatan evolusi: anasir-anasir objektif guna runtuhnya kapitalisme,
anasir-anasir objektif guna berdirinya sosialisme.[18]

Bung Karno memahami adanya dua tingkat revolusi, yaitu revolusi nasional dan revolusi
sosialis. Disamping itu, juga memahami bahwa sosialisme adalah teori, adalah ilmu. Bung Karno
sangat menilai tinggi arti penting ‘teori sosialisme’. Dia menuls:

Saya bercita-cita sosialis, maka saya menulis buku ini. Justru oleh karena saya mengidam-
idamkan masyarakat sosialis, maka kita harus mengetahui bagaimana caranya kita dapat
sampai dimasyarakat sosialis itu. Justru oleh karena kita ingin menuju kepada masyarakat
sosialis, maka kita harus dari sekarang berfikir dan bertindak dengan tuntutan teori sosialis itu.
Sosialisme bukan saja satu sistim masyarakat, sosialisme adalah pula satu teori, satu ilmu, satu
tuntunan-perjoangan, satu cara-berfikir, satu denkmethode. Teori sosialisme lah yang
membawa kita kepada pengertian tentang keadaan-keadaan objektif didalam masyarakat
Indonesia sekarang dan masyarakat-dunia Teori sosialisme lah yang memberi pengetahuan
kepada kita bahwa tingkatan Revolusi kita sekarang tak mungkin lain daripada tingkatan
Nasional. Teori sosialisme lah dan bukan teori burjuis, yang menunjukkan, bahwa bagi kita
sekarang belum datang kemungkinan untuk melaksanakan sosialisme .... Itulah ‘jasa’ teori
sosialisme kepada kita. Apa sebab kita sekarang nasionalis? Justru karena sosialisme itulah,
maka kita sekarang nasionalis, dan nasionalisme kita terangkat naik ketingkatan yang bernama
sosio-nasionalisme. Justru karena sosialisme itulah, maka kita menjalankan perjoangan kita itu
secara yang sekarang ini; memusatkan, membulatkan, mengkonsentrasikan segenap tenaga
rakyat kepada perjoangan Nasional, menghantamkan segenap tenaga-perjoangan daripada
segenap rakyat itu kepada benteng kolonialisme asing untuk memerdekakan Indonesia dari
penjajahan -- mempraktekkan satu Persatuan Nasional-Revolusioner untuk mendirikan satu
Negara Nasional, yang didalamnya bukan saja berkembang sesegar-segarnya satu Demokrasi
yang Sosio-Demokrasi, tetapi pula terbangun syarat-syarat-tehnis minimum untuk nanti
menelorkan satu pergaulan-hidup yang sosialis. Semua itu berkat ‘jasa’ teori sosialisme, sesuai
dengan kebenaran bahwa ‘tiada gerakan revolusioner dengan tiada teori revolusioner.[19]
Oleh karena itu, janganlah kita sekedar berangan-angan sosialisme, -- meski sosialisme yang
‘okjektif’ sekalipun! – tetapi kita harus memfahami teori sosialisme, memfahami cara berfikir
sosialisme, berilmu sosialisme. Berilmu sosialisme, agar supaya tahu caranya berjoang
mencapai sosialisme! (Cetak tebal, penulis).[20]

Dalam perjuangan membangun sosialisme itu, Bung Karno mengakui bahwa Indonesia terlambat
dalam perkembangan ideologi dan Konsepsi Nasional. Beliau menganalisis bahwa sebab
musabab keterlambatan itu adalah:

Di dalam negeri disebabkan oleh dualisme dan kompromisme, di luar negeri disebabkan oleh
apa? Beberapa tahun sesudah proklamasi Kemerdekaan kita, maka terjadilah diluar negeri—
kemudian juga meniup diangkasa kita—apa yang dinamakan ‘perang dingin’. Perang dingin ini
sangat memuncak pada kira-kira tahun 1950, malah hampir-hampir saja memanas menjadi
perang panas. Ia amat menghambat pertumbuhan-pertumbuhan kekuatan progressif diberbagai
negara. Tadinya, segera sesudah selesainya Perang Dunia yang ke-II, aliran-aliran progressif
dimana-mana mulailah berjalan pesat. Tetapi pada kira-kira tahun 1950, sebagai salah satu
penjelmaan daripada perang dingin yang menghebat itu, aliran-aliran progressif mudah sekali
dicap ‘Komunis’. Anti kolonialisme – Komunis. Anti exploitation d l’homme par l’homme –
Komunis. Anti feodalisme – Komunis. Anti kompromis – Komunis. Konseken revolusioner –
Komunis. Ini banyak sekali mempengaruhi orang-orang, terutama sekali fikirannya orang-
orang yang memang jiwanya kintel. Dan inipun terus dipergunakan (diambil manfaatnya) oleh
orang-orang Indonesia yang memang jiwanya jiwa kapitalis, feodalis, federalis, kompromis,
blandis, dan lain-lain sebagainya. Dus: Orang-orang yang jiwanya negatif menjadilah
menderita penyakit ‘takut kalau-kalau disebut kiri’, ‘takut kalau-kalau disebut Komunis’. Kiri-
phobi dan komunisto-phobi membuat mereka menjadi konservatif dan reaksioner dalam soal-
soal politik dan soal-soal pembangunan sosial-ekonomis..[21]

Bung Karno yang tak henti-hentinya menggalakkan penggalangan persatuan nasional,


mengobarkan semangat Gotong Royong. Bung Karno menyatakan:

Telah masyhur dimana-mana, sampai diluar negeri sekalipun, bahwa jiwa Gotong Royong
adalah salah satu corak dari pada Kepribadian Indonesia. Tidak ada satu negeri dikolong langit
ini yang disitu Gotong Royong adalah satu kenyatan hidup didesa-desa, satu living reality,
seperti di Indonesia ini. Tidak ada satu bangsa yang didalam hidup-keigamaannya begitu
toleran seperti bangsa Indonesia ini. Tetapi juga tidak ada satu bangsa yang didalam kehidupan
politiknya kadang-kadang mendurhakai prinsip Gotong Royong itu, seperti bangsa
Indonesia!” ... di lapangan perjoangan bangsa kita harus menggembleng dan menggempurkan
persatuan daripada segala kekuatan-kekuatan revolusioner, -- menggembleng dan
menggempurkan ‘de samenbundeling van alle revolutionnaire krachten in de natie’. ....Gotong
Royong adalah juga satu keharusan dalam perjoangan melawan imperialisme dan kapitalisme,
baik dizaman dulu maupun dizaman sekarang. Tanpa mempraktekkan samenbundeling van alle
revolutionnaire krachten untuk digempurkan kepada imperialisme dan kapitalisme itu,
janganlah ada harapan perjoangan bisa menang! Dan kita toh ingin menang? Dan kita toh
harus menang ? Karena itu maka saya selalu menganjurkan Gotong Royong juga dilapangan
politik. Karena itu Manifesto Politik-USDEK bersemangat ke Gotong Royongan – bulat
dilapangan politik. Karena itu di Solo beberapa pekan yang lalu saya tegaskan perlunya
persatuan dan ke Gotong Royongan antara golongan Islam, Nasional dan Komunis. Ini adalah
konsekwensi-politik yang terpenting bagi semua pendukung Manifesto Politik dan USDEK, satu
konsekwensi-politik yang tidak plintat-plintut atau plungkar-plungker bagi semua orang yang
setia kepada Revolusi Agustus 1945.[22]

Selanjutnya Bung Karno menegaskan: bBukalah tulisan-tulisan saya dari zaman penjajahan.
Bacalah tulisan saya panjang-lebar dalam majalah ‘Suluh Indonesia Muda’ tahun 1926, tahun
gawat-gawatnya perjoangan menentang Belanda. Didalam tulisan itupun saya telah
menganjurkan, dan membuktikan dapatnya, persatuan antara Islam, Nasionalisme, dan
Marxisme. Saya membuka topi kepada Saudara Kiyai Haji Muslich, tokoh alim-ulama Islam
yang terkemuka, yang menyatakan beberapa pekan yang lalu persetujuannya kepada persatuan
Islam-Nasional-Komunis itu, oleh karena persatuan itu memang perlu, memang mungkin,
memang dapat.[23] Persatuan tiga aliran itulah yang dinamakan Nasakom. Menghadapi kekuatan
yang menentang gagasan Nasakom, Bung Karno menyatakan: sebetulnya, yang menjadi sumber
anti-Nasakom itu ialah .... Komunisto-phobi, takut momok komunis! Sumber-sebab yang
sebenarnya itu disembunyikan dibelakang macam-macam omongan tetapi sumbernya yang
sebenarnya ialah .... takut momok komunis.[24]

Dengan menjadikan Manipol/USDEK sebagai Konsep Sosialisme Indonesia, mengenai


pembangunan sosialisme Indonesia, Bung Karno menyatakan: Saya ulangi lagi: resapkanlah
sosialisme Indonesia sampai kemana-mana. Camkanlah, bahwa tulang-punggung, darah daging
sosialisme Indonesia ialah pelaksanaan didaerah. Disanalah harus bertumbuh percobaan
sosialisme Indonesia, disanalah harus berkembang pengalaman sosialisme Indonesia.
Disanalah kita akan melihat secara pragmatis prakteknya pelaksanaan sosialisme Indonesia,
dan dari cara pemimpin didaerah-daerah, didesa-desa, diploksok-ploksok diminta segala
kemampuan (vindingsrijkheid) untuk menemukan cara-cara yang baik dalam pelaksanaan
Manipol/USDEK. Karena itu maka tiap kegiatan kita harus kita dasarkan atas Konsep Sosial
kita yang jelas, yaitu Konsep Manipol/USDEK, Konsep Sosialisme Indonesia.[25]

Mengenai hubungan antara Angkatan Bersenjata dan Konsepsi Nasional Manipol/USDEK, Bung
Karno

Mereka adalah alat Revolusi, mereka adalah Angkatan Bersenjataya Revolusi. Mereka harus
mengabdi kepada Rakyat, mendahulukan kepentingan Rakyat daripada kepentingan lain-lain.
Mereka tak boleh melukai perasaan dan hati Rakyat, mereka harus menjadi Angkatan
Bersenjata yang disukai dan dicintai Rakyat. Sebagai dimuka sudah saya katakan, Rakyat sudah
menerima Manipol sebagai pimpinan politiknya, maka Angkatan Bersenjatapun harus menerima
Manipol juga, dan menerimanya dengan sepenuh-penuh hati. Rakyat sudah dipimpin oleh
Manipol, maka Angkatan Bersenjatapun harus dipimpin oleh Manipol. Sekali lagi saya ulangi
disini: bukan Angkatan Bersenjata atau bedil yang memimpin Manipol, tetapi Manipol yang
memimpin Angkatan Bersenjata dan bedil!.... Ingat sekali lagi, kita semua dipimpin oleh
Manipol, kita semua harus menuju kepada sosialisme ! Tentang pengertian sosialisme dan
pelaksanaan sosialisme tak boleh ada antagonisme dan Konradiksi dikalangan pemimpin-
pemimpin kita, baik pemimpin preman maupun pemimpin militer.[26].

Berkali-kali Bung Karno menyerukan penyatuan semua kekuatan revolusioner untuk


kemenangan revolusi. Bung Karno menyatakan:

’Alle revolutionnaire krachten’ – ‘semua, sekali lagi semua, tenaga revolusioner didalam
Bangsa’! Dus: segala penggolongan termasuk swasta (asal revolusioneer) dalam masyarakat
kita persatukan. Dus: ‘Nasakom’. Sebab Nasakom adalah kenyataan-kenyataan-hidup yang tak
dapat dibantah, living realities – didalam masyarakat Indonesia kita ini. Mau tidak mau, senang
atau tidak senang, kita harus menerima kenyataan-kenyataan itu .... Janganlah kita masuk
terjerumus dalam peang dingin. Jangan kita ikut-ikut perang-dingin itu ! Hal ini sudah saya
peringatkan dalam salah satu pidato 17 Agustus yang terdahulu Kenapa masih saja ada
golongan Rakyat Indonesia yang sadar atau tidak sadar masuk terjerumus dalam perang-dingin
orang lain?[27
mengenai hubungan antara Panca Sila dan Nasakom Bung Karno menyatakan:

Siapa yang setuju kepada Panca Sila, harus setuju kepada Nasakom; siapa yang tidak setuju
kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Panca Sila ! Sekarang saya tambah: Siapa
setuju kepada Undang-Undang Dasar ’45 harus setuju kepada Nasakom; siapa tidak setuju
kepada Nasakom, sebenarnya tidak setujui kepada Undang-Undang Dasar ’45![28]

Tentang Marhaenisme Bung Karno menulis:

Saya sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Marxisme. Malahan ajarannya Karl Marx tentang
historis-materialisme saya gemari dan saya setujui sepenuhnya dan saya gunakan, ya ..... saya
‘toepassen’, saya ‘trap’kan kepada situasi masyarakat Indonesia. Dan sebagai hasil daripada
penggunaan, atau ‘toepassing’ atau pentrapan historis-materialisme Karl Marx dimasyarakat
Indonesia dengan ia punya kondisi sendiri dengan ia punya situasi sendiri, dengan ia punya
sejarah sendiri, dengan ia punya kebudayaan sendiri dan sebagainya lagi itu, maka saya datang
kepada ajaran Marhaenisme. Maka dari itu saya selalu menganjur-anjurkan kepada seluruh
Front Marhaenis, bahwa untuk dapat memahami Marhaenisme ajaran saya itu, kita minimal,
paling sedikit harus menguasai dua pengetahuan: pertama: pengetahuan tentang situasi dan
kondisi Indonesia, dan kedua pengetahuan tentang Marxisme. Siapa yang secara minimal tidak
menguasai dua hal, tak akan dapat memahami Marhaenisme ajaran saya, apalagi meyakini
kebenaran Marhaenisme ajaran saya.[29].

Menjawab berbagai pertanyaan tentang penggunaan kata ‘Nasakom’, Bung Karno berkata:

Kenapa ‘Kom’? Kenapa kok tidak seperti tahun duapuluh enam waktu Bung Karno buat
pertama kali mencetuskan ide persatuan dari pada tenaga-tenaga revolusioner ini? Nasionalis,
Islam, Marxisme atau Nasionalis, Agama, Marxis, kenapa Bung Karno tidak memakai
perkataan Nasamarx? Kok pakai perkataan Nasakom? Kenapa ‘Kom’? Kenapa tidak ‘Sos’?
Kenapa tidak ‘Marx’? Nasamarx atau Nasasos? Kok Bung Karno memakai perkataan
Nasakom? Jelaslah di sini saudara-saudara, dengarkan, perkataan yang paling dicatut, dicatut
oleh pencoleng-pencoleng politik, oleh coro-coro politik, perkataan yang paling dicatut
pencoleng-pencoleng dan coro-coro ini yalah perkataan Marxisme saudara-saudara. Saudara-
saudara mengetahui bahwa misalnya PSI, Partai Soslalis Indonesia yang sudah saya bubarkan
itu, PSI itu selalu menepuk-nepuk dada: Kami Marxis, kami Marxis, Kami Marxis!~ Saya
berkata mereka bukan Marxis! Mereka adalah pencoleng dari pada Marxisme. Karena itu aku
tidak mau memakai perkataan Nasamarx. Kalau aku memakai perkataan Nasamarx, jangan-
jangan nanti orang-orang PSI juga ikut-ikut di dalam Nasamarx itu saudara-saudara. Padahal
mereka adalah kontra-revolusioner, padahal mereka adalah revisionis tulen, pada hal mereka
adalah pencoleng Marxisme![30]

Bung Karno memeras Pancasila menjadi Trisila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-
nasionalisme dan Sosio-demokrasi.. Kebangsaan disatukan dengan Peri-kemanusiaan menjadi
Sosio-nasionalisme, dan Kedaulatan Rakyat disatukan dengan Keadilan Sosial menjadi Sosio-
demokrasi. Trisila bisa diperas menjadi Ekasila, eka artinya satu, Ekasila artinya Gotong
Royong. Kemudian, Bung Karno berkata: Nah, Saudara-saudara, belakangan, belakangan aku
juga berkata bahwa Pancasila ini bisa juga diperas lagi secara lain, bukan secara Ketuhanan
Yang Maha Esa, Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi, tetapi bisa diperas pula secara lain, dan
perasan secara lain ini adalah Nasakom. Nasakom adalah pula perasan dari Pancasila, dan
Nasakom adalah sebenarnya juga gotong-royong, adalah de totale perasan dari pada Pancasila.
Jikalau Nasakom adalah perasan dari Pancasila, maka perasan Nasakom adalah gotong royong
pula.[31].

Catatan

[1] Ir. Sukarno: NASIONALISME, ISLAMISME DAN MARXISME, dalam buku DIBAWAH
BENDERA REVOLUSI, jilid pertama, hal. 3, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA
REVOLUSI, 1959.
[2] Ibid, hal, 5
[3] Ibid, hal. 10.
[4] Ibid, hal. 15-16.
[5] Ibid, hal. 20.
[6] Ibid, hal 19.
[7] Ibid, hal 21
[8] Bung Karno: BERHUBUNG DENGAN TULISANNYA Ir. A.BAARS, dalam buku
DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, jilid I, hal. 57-61, Panitya Penerbit DIBAWAH
BENDERA REVOLUSI, 1959
[9] Bung Karno: MEMPERINGATI 50 TAHUN WAFATNYA KARL MARX, dalam buku
DIBAWAH BENDERA REVOLUSI jilid I, hal, 219-221
[10] Bung Karno: MARHAEN DAN PROLETAR, dalam buku DIBAWAH BENDERA
REVOLUSI, jilid I, hal. 255, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI 1959.
[11] Bung Karno: MENCAPAI INDONESIA MERDEKA, dalam buku DIBAWAH BENDERA
REVOLUSI , hal. 297-298, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, 1959.
[12] Bung Karno: MENJADI PEMBANTU ‘PEMANDANGAN’ – Sukarno Oleh .... Sukarno
Sendiri --, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, hal. 508, Panitya Penerbit
DIBAWAH BENDERA REVOLUSI 1959.
[13] Ibid, hal. 511-512.
[14] Ibid, hal 512.
[15] Bung Karno: SATU UJIAN SEJARAH, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI
JILID I, hal. 523-525, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, 1959
[16] Ibid, hal. 530.
[17] Bung Karno: SARINAH—Kewajiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia,
tjetakan ketiga, hal. 279-292, Panitya Penerbit buku-buku Karangan Presiden Sukarno, 1963.
[18] Ibid, hal. 294.
[19] Ibid, hal. 297-298.
[20] Ibid, hal 300.
[21] Bung Karno: LAKSANA MALAEKAT YANG MENYERBU DARI LANGIT,
JALANNYA REVOLUSI KITA !, dalam Buku DIBAWAH BEDNDERA REVOLUSI, jilid
kedua, hal. 406, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, 1964.
[22] Ibid, hal. 413
[23] Ibid, hal. 414.
[24] Bung Karno: RE-SO-PIM, -- REVOLUSI—SOSIALISME INDONESIA—PIMPINAN
NASIONAL, Amanat Presiden Sukarno pada ulang tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia,
17 Agustus 1961, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, jilid kedua, hal. 467,
Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI 1964.
[25] Bung Karno: RE-SO-PIM,-- REVOLUSI—SOSIALISME INDONESIA—PIMPINAN
NASIONAL, Amanat Presiden Sukarno pada ulang tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia,
17 Agustus 1961, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, jilid kedua, hal. 459,
Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI 1964.
[26] Ibid, hal. 466
[27] Ibid, hal. 467.
[28] Ibid, hal.468
[29] Bung Karno: AMALKANLAH MARHAENISME !, Amanat kepada Front Marhaenis 4 Juli
1963, dalam brosur NYALAKAN TERUS API MARHAENISME!, Seri I, hal 40, Departemen
Penerangan – Propaganda DPP Partai Nasional Indonesia.
[30] Bung Karno: SUBUR, SUBUR, SUBURLAH PKI, Pidato Presiden Sukarno pada rapat
raksasa Ulangtahun ke-45 PKI, hal. 11-12, Jajasan PEMBARUAN , Djakarta, 1965.
[31] Bung Karno: PERTJAJALAH PADA BENARNYA NASAKOM !, Amanat-Indoktrinasi
Presiden Sukarno Pada Pembukaan Kursus Kilat Kader Nasakom, tanggal 1 Juni 1965, di Istora
Bung Karno, Senajan, Djakarta, hal. 13, Departemen Penerangan R.I. 1965.

Suar Suroso, kontributor Rumahkiiri.net

Anda mungkin juga menyukai