Dalam artikel ini akan dicoba untuk menjawab pertanyaan yang begitu mendasar, yaitu
“mengapa kita musti percaya kepada Tuhan? Dan kalau kita percaya, Tuhan yang mana yang
harus kita percayai? Apakah banyak tuhan ataukah Tuhan yang esa?…. Mungkin ada banyak
orang di Indonesia yang tidak pernah terlintas untuk memikirkan atau mencoba untuk menjawab
pertanyaan ini. Hal ini disebabkan karena agama sudah mendarah daging di dalam masyarakat
Indonesia. Untuk mempertanyakan hal ini kepada orang tua, mungkin ada rasa jengah. Bertanya
kepada guru atau pastor, takut dikira tidak punya iman. Namun pertanyaan mendasar seperti ini
patut diberikan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan, karena manusia pada dasarnya
mempunyai kodrat untuk “ingin tahu“.
Mari sekarang kita meneliti pembuktian pertama, yaitu dari pergerakan.[9] St. Thomas
mengambil contoh dari pergerakan, karena pergerakan terjadi dimana saja, kapan saja, dan bisa
diamati dalam kejadian sehari-hari. Sebagai contoh, pada waktu mobil saya mogok, tetap bisa
bergerak karena mobil saya ditarik oleh mobil derek. Namun mobil derek ini bisa bergerak
karena adanya koordinasi sistem mesin yang begitu rumit. Walaupun demikian, mobil tidak akan
bergerak, kalau tidak ada tangan manusia yang memasukkan kunci dan “menstarter” mobil itu.
Tangan digerakkan oleh sistem kerja tubuh yang melibatkan miliaran sel, dimana
dikoordinasikan oleh otak. Namun siapa yang menggerakkan otak? Karena ada kehidupan, ada
jiwa yang tinggal di dalam tubuh manusia. Siapa yang membuat kehidupan dan jiwa tetap
bertahan… dan seterusnya, sampai ada suatu titik, kita dapat mengambil kesimpulan ada
“unmoved mover” atau penggerak yang tidak digerakkan oleh yang lain, karena Dia adalah
sumber dari pergerakan itu. Sumber pergerakan inilah yang dinamakan “Tuhan”.
Pembuktian ke dua adalah dari “Prinsip sebab akibat.” Semua orang di dunia ini tahu kalau
sesuatu terjadi dikarenakan oleh sesuatu. Prinsip ini begitu sederhana, sehingga bayipun dapat
menerapkan prinsip ini. Bayi tahu kalau dia lapar, maka dia akan menangis. Dia tahu bahwa
tangisannya akan menyebabkan ibunya datang dan kemudian menyusui dia. Ibu ini mau
menyusui anaknya, walaupun kadang terjadi pagi-pagi buta, karena dia menyayangi anaknya.
Dia sayang, karena anak itu lahir dari rahimnya, dan terjadi karena buah kasih sayang dengan
suaminya. Komitmen untuk membentuk rumah tangga dikarenakan keinginan untuk
mendapatkan kebahagian. Dan kebahagiaan, kalau ditelusuri terus-menerus akan sampai pada
suatu titik, yang disebabkan oleh “uncaused cause” atau penyebab yang tidak disebabkan oleh
sesuatu yang lain. Sumber dari penyebab inilah yang disebut orang “Tuhan“.
Dari pembuktian pertama dan kedua, orang bisa mengatakan bahwa “tapi sesuatu bisa terjadi
tanpa batas“. Namun keberatan ini dapat disanggah dengan membagi semua pergerakan dan
semua sebab akibat menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah “saat ini (current
movement/change).” Bagian ke dua adalah deretan yang terhingga dari gerak dan sebab, atau
yang disebut “bagian tengah / inter-mediate cause(s)“. Dan kemudian bagian yang terakhir
adalah “bagian awal / first mover / causel“. Nah, bagian awal inilah yang disebut “Tuhan, Sang
Alfa.”
Kemudian pembuktian yang ketiga adalah “dari mahluk yang bersifat sementara (contingent
beings) dan yang kekal (necessary beings)“. Di dunia ini, tidak mungkin semuanya bersifat
sementara, karena kalau demikian maka ada suatu waktu semuanya akan lenyap. Bayangkan
orang tua kita cuma hidup sekitar 80 tahun. Terus kakek kita mungkin 90 tahun. Kakek dari
kakek kita mungkin 100 tahun. Mau berapa panjang usia nenek moyang kita, mereka toh pada
akhirnya telah meninggal. Jika ditelusuri terus, maka garis keturunan kita akan sampai pada
manusia pertama. Pertanyaannya adalah, bagaimana manusia pertama itu bisa ada dan hidup?
Tidak mungkin dia terjadi begitu saja dari ketidak-adaan. Sebab sesuatu yang tidak ada tidak
mungkin menghasilkan sesuatu yang ada/nyata. Jadi disimpulkan bahwa kalau semua mahluk
tidak kekal, maka harus ada “Mahluk lain” yang keberadaannya kekal[10] dan tidak mungkin
hilang. KekekalanNya membuat mahluk yang tidak kekal terus bertahan dan memenuhi bumi,
sehingga kehidupan tidak punah. Kekekalan yang tidak disebabkan oleh yang lain inilah yang
disebut “Tuhan, Sang Kekal.”[11]
Pembuktian ke empat adalah dari sisi “derajat kesempurnaan.” Kalau kita amati, semua yang
ada di dunia ini ada tingkatannya. Ada yang miskin, kaya, konglomerat. Kasih, kebajikan,
kebaikan, keindahan, kebenaran, semuanya ada tingkatannya. Peribahasa “kasih anak sepanjang
galah dan kasih ibu sepanjang jalan,” secara tidak langung menunjukkan ada tingkatan dan
derajat kasih. Jadi, kalau semua ada tingkatannya, tentu ada yang paling tinggi tingkat
kesempurnaanya. Jadi, semua tingkatan berpartisipasi dalam sesuatu yang tingkatannya paling
tinggi. Sebagai contoh, kalau kita menaruh besi di dalam api, maka besi itu menjadi panas.
Namun panasnya besi bukan karena akibat dari besi itu sendiri, melainkan karena partisipasi besi
itu dalam api.
Contoh di atas membuka suatu prinsip yang sangat penting, yaitu “seseorang atau sesuatu tidak
dapat memberi apa yang dia tidak punya.” Air dingin tidak bisa membuat besi menjadi panas,
karena air dingin tidak mempunyai sifat panas. Semua yang ada di dunia ini tidaklah sempurna,
namun semuanya ada karena partisipasi dalam sesuatu yang tingkatannya paling tinggi, dan yang
tingkatannya paling tinggi inilah yang di sebut “Tuhan, Sang Maha Sempurna.”
Pembuktian yang terakhir adalah dari sisi “desain dunia ini dan tujuan akhir“. Ini adalah
sesuatu yang dapat dibuktikan di dalam hidup kita sehari-hari. Kita setiap hari melihat jalan
setapak, jalan raya, dan juga jalan layang. Apakah mungkin kalau kita mengatakan bahwa jalan
itu memang ada dengan sendirinya, tanpa ada yang mendesain dan membangun. Bagaimana
dengan desain rumah, desain tata kota, dll. Semua terjadi karena ada yang mendesain dan tidak
mungkin terjadi dengan sendirinya. Kalau kita percaya bahwa rumah kita tidak terjadi dengan
sendirinya, namun didesain oleh diri sendiri atau seorang arsitek, apakah kita dapat menyangkal
bumi ini, sistem grafitasi, dan juga sistem tata surya terjadi dengan sendirinya? Apakah mungkin
kita berpendapat bahwa pergerakan planet-planet dan bintang-bintang, yang semuanya berjalan
dengan keharmonisan tertentu dikarenakan karena faktor kebetulan? Desain alam semesta ini
jauh lebih rumit daripada desain rumah kita. Kalau kita percaya akan arsitek yang mendesain
rumah kita, maka kita harus percaya bahwa ada arsitek tata surya ini, yaitu Tuhan. Kalau kita
lebih percaya bahwa semuanya terjadi secara kebetulan, maka ini adalah argumen yang tidak
mungkin, karena kemungkinan bahwa semua itu terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang
mengatur adalah bisa dibilang “tidak mungkin.” Sama halnya seperti kalau kita bilang bahwa
rumah saya terjadi secara kebetulan tanpa ada yang merencanakan dan menbangunnya.
Bagaimana dengan mahluk yang tidak berakal budi, seperti tumbuhan dan binatang. Mereka
mempunyai suatu pola dalam hidup mereka. Siapa yang mengatur kehidupan mereka? Hukum
alam? Namun siapa yang mengatur hukum alam? Hanya mahluk rasional yang mungkin
mengatur sesuatu yang punya aturan tertentu dan menuju ke suatu tujuan tertentu.
Contoh lain adalah gravitasi bumi, dan pergerakan tata surya yang mempunyai nilai tertentu dan
tetap sepanjang sejarah. Jika nilai- nilai tersebut berubah sedikit saja, maka kacaulah segala
planet di tata surya ini. Maka jelaslah bahwa semua yang bergerak dan beroperasi menurut
urutan tertentu akan bergerak untuk mencapai tujuan akhir. Jadi dapat disimpulkan bahwa ada
“Mahluk Rasional” yang memelihara dan mengarahkan semua yang ada di alam ini ke tujuan
akhir. Inilah yang disebut “Tuhan, Sang Omega.” Dengan demikian lebih logis dan lebih
mungkin, kalau kita percaya bahwa ada sesuatu yang mengatur sistem alam semesta, yaitu
Tuhan Sang Pencipta.
Kemudian, variasi dari demonstrasi ke lima ini adalah dari sisi “aturan moral.” Kalau di atas
kita melihat bagaimana Tuhan mengatur mahluk yang tidak berakal budi dengan “hukum alam“,
maka berikut ini adalah demontrasi yang menunjukkan bahwa Tuhan juga mengatur mahluk
yang berakal budi, yaitu manusia melalui “hukum moral.” Kalau kita teliti lebih jauh, manusia
dengan latar belakang, kebangsaan, suku, ras yang berbeda, diatur oleh suatu hukum yang
dinamakan hukum moral yang secara alami tertulis di dalam hati nurani manusia.[12] Hukum
moral inilah yang membuat manusia dapat membedakan antara yang baik dengan yang jahat.
Hukum ini bersifat obyektif, dan mengikat manusia secara universal. Kita bisa melihat
bagaimana aturan baku di semua negara: anak harus menghormati orang tua, seorang ibu
mengasihi anaknya, seseorang akan merasa tidak enak hati kalau membalas kebaikan dengan
kejahatan, dll. Kalau orang melawan hukum universal ini, maka dia sebenarnya melawan hati
nuraninya sendiri.
Kata “hukum atau aturan” pada dasarnya adalah sesuatu yang terjadi karena tuntutan akal
(dictate of reason) yang dibuat untuk kepentingan umum oleh seseorang yang mempunyai
otoritas. Misalnya, kalau peraturan lalu lintas adalah peraturan dengan alasan yang logis untuk
keselamatan pengendara, yang dibuat oleh pihak kepolisian lalu lintas. Dengan menerapkan
prinsip “sebab akibat“, kita tahu bahwa hukum moral yang tertulis di setiap hati nurani manusia
tidaklah terjadi dengan sendirinya, namun diberikan oleh Sang Pemberi Hukum yaitu: “Tuhan,
Sang Maha Adil.” Jadi hukum moral ini juga dapat membuktikan keberadaan Tuhan, yang
memberikan aturan yang tertulis di dalam hati manusia untuk kepentingan umum.
CATATAN KAKI:
http://katolisitas.org/2008/06/10/bagaimana-membuktikan-bahwa-tuhan-itu-ada/