Anda di halaman 1dari 4

Berpikir Mendalam

-juga jalan untuk mencapai berpikir kritis-

Mungkin ada yang membayangkan bahwa seseorang yang sedang


berpikir mendalam adalah ia yang sedang duduk disudut ruangan yang
sepi, memegang kepalanya dengan kedua tangannya, merunduk dan
memejamkan mata, sendirian. Atau mungkin ada pula yang
menganggap bahwa berpikir mendalam hanya merupakan pekerjaan
para filosof, pekerjaan para professor, kiyai, ustad, atau siapapun
mereka yang berada pada level akademis-non orang kebanyakan. Jika
ini adalah paradigma yang juga dianut oleh kebanyakan manusia,
maka, ini adalah paaradigma yang keliru. Berpikir mendalam itu bisa,
dan harusnya, menjadi pekerjaan paling mendasar dan terpenting bagi
setiap manusia yang hidup di dunia ini, sebagai sebuah metode,
metode untuk mulai mengenali dirinya, mengenali siapa penciptanya,
apa maksud diciptakannya ia, kemudian mengetahui apa yang harus ia
lakukan ketika telah memahami segala macam kehebatan yang
dikaruniakan kepadanya, sebagai manusia.
Manusia adalah makhluk yang paling khas, berbeda segalanya
dari makhluk yang lain. Selain bentuk fisik yang fleksibel dan multi
fungsi, manusia mempunyai piranti hebat bernama otak, yang
didalamnya terdapat konsep-konsep, berkat cara kerja harmonis dari
system saraf yang rumit. Aristoteles (384 – 322/1 SM), filosof Yunani
kuno, pernah mengatakan bahwa, manusia adalah hewan yang berakal
budi. Namun, lebih dari itu, manusia merupakan sebuah konstruksi
paling sempurna dari segala macam bentuk paling estetis yang tiada
punya badingan. Sekalipun semua arsitek paling hebat diseluruh jejak
langkah kehidupan dimuka bumi ini, juga semua professional lain
dibidang konstruksi dan tata bentuk juga ahli sistem dikerahkan,
kehebatannya tak kan mampu menandingi segalanya yang ada dalam
diri manusia. Tak kan bakal bisa kemput memahaminya, makhluk
misterius bernama ; manusia.
Membicarakan manusia memang tiada habis-habisnya. Segala
yang timbul daripadanya menjadi sebuah pekerjaan tersendiri untuk
dapat direnungkan kembali dimasa-masa sesudahnya, sesudah
lahirnya buah pikir yang timbul dari manusia itu. Terlepas dari segala
apa yang telah terlahir dari segenap kemampuan pemikiran manusia,
sejatinya, kemampuan berfikir itu sendiri adalah sebuah tugas yang
nyata untuk direnungkan sendiri oleh manusia. Bahwa, kebanyakan
dari kita tidak pernah heran terhadap diri sendiri, terutama, pikirannya
sendiri, kemudian menanyakan, ‘mengapa’ pikiran kita bisa begitu
cepat menangkap suatu hal, membacanya, mendeskripsikan,
meneterjemahkan dengan cepat tepat apa yang telah kita dapat dari
kinerja alat indra.
Berangkat dari pertanyaan mendasar diatas, saya akan mencoba
memperkenalkan beberapa pemikiran para filosof terkait yang juga
telah memikirkan cara kerja pikiran manusia dan segalanya yang
berhubungan dengan realitas, baik fisik mupun metafisik. Namun
demikian, karena ini merupakan kajian filosofis, maka hasil
perenungan para filosof tersebut bersifat spekulatif, agak sukar, juga
tidak bisa dibuktikan secara empiris. Namun dapat dimengerti secara
rasional. Biarpun demikian, maksud saya, nanti setelah kita tahu
bagaimana perjalanan pemikiran dan gagasan mereka terhadap segala
kompleksitas permasalahan manusia, terutama kinerja pikiran dalam
mengenali realitas, kita dapat mulai mencoba merenungkan kembali
tentang hal-hal yang selama ini jarang, bahkan tidak pernah kita
pikirkan.
Maka nantinya kita, terlebih saya sendiri, akan dapat senantiasa
meningkatkan rasa syukur terhadap Allah SWT yang mengkaruniakan
berbagai kehebatan bagi kita, kehebatan kekuatan pikiran yang
mampu menembus ruang dan waktu. Selain itu, harapannya, kita
dapat memahami cara-cara para filosof berpikir, kemudian
merefleksikannya terhadap diri kita pribadi, untuk mencapai berpikir
kritis, sebuah metode berpikir yang mampu membebaskan kita dari
dogma-dogma kesesatan berpikir yang membahayakan.

Sebuah pertanyaan kecil, juga sederhana.

Misal : suatu ketika kita melihat motor Yamaha Mio, dilain waktu
kita melihat lagi motor Suzuki Spin dan Suzuki Shogun, disaat yang
bersamaan, kita mendapati motor bermerk lain lagi, Honda Beat atau
Honda MegaPro, misalnya. Pernahkah kita memikirkan, mengapa
setiap kita melihat motor dengan merk-merk yang berbeda, pikiran
kita dapat membacanya, bahwa kesemuanya yang kita lihat itu adalah
“motor”? padahal, visualisasi dari setiap motor yang kita lihat itu jelas-
jelas berbeda. Semuanya mempunyai ciri tersendiri dan berbeda jenis
satu sama lain. Tapi, mengapa pikiran kita mampu menangkapnya
sebagai sesuatu yang bernama umum “motor” ? Pernahkah kita
menyadari, sesuatu apakah yang menuntun pikiran kita untuk meng-
klaim bahwa beda-benda itu adalah jenis “motor”?
Berngkat dari contoh sederhana di atas, sekiranya kita dapat
mulai mencoba menyempatkan waktu untuk memikirkan hal-hal yang
kita anggap kecil dan sepele dan amat sering terjadi dalam kehidupan
kita. Contoh diatas begitu sederhana, begitu kita anggap ‘ringan’, dan
seringkali tidak terpikirkan oleh manusia pada umumnya. Kesibukan
memikirkan hal-hal praktis untuk sebuah kepentingan tertentu telah
menyita segenap perhatian kita, sehingga terhadap hal-hal kecil yang
begitu mengagumkan yang ternyata tersimpan disetiap pribadi
manusia itu sendiri, kita melupakannya
Plato (428/7 - 348 SM), seorang filosof Yunani kuno, mempunyai
sebuah gagasan besar tetang definisi realitas didunia ini. Menurutnya,
segalanya yang ada di alam, -yang kita sebut realitas- adalah fana,
hanya ilusi, hanya sebuah tiruan dari sebuah dunia lain yang amat
sangat sempurna adanya, gudang dari segala konsep yang ada di alam
realitas didunia ini, Plato menamakan dunia lain itu, dunia idea.
Menurutnya, didalam dunia idea itu terdapat berbagai macam
‘master’ konsep untuk segalanya yang dapat dikenali olah manusia di
dunia realitas ini. Secara sederhana, berdasarkn pemikiran Plato, kita
mengenali sesuatu yang ada di dunia realitas ini karena sebelumnya,
terlebih dahulu, kita telah mengenalinya di dunia idea. Misalnya : Ada
seseorang yag membuat ‘pisau’. Katakanlah ‘pisau’ tersebut adalah
‘pisau yang pertama kali dibuat dimuka bumi’. Menurut Plato, orang ini
tidak membuat ‘pisau’ dari ‘tidak ada’ menjadi ‘ada’. Tetapi, orang ini
hanya ‘meniru’ tentang ‘konsep pisau’ yang sudah ada terlebih dahulu
didunia idea. Konsep ‘pisau’ di dunia idea Plato sudah menyangkut
segalanya bentuk pisau, etah itu pisau yang tajam, atau pisau yang
tumpul. Pisau dari besi atau pisau dari baja, dan segalanya tentang
pisau. Menurut Plato, didalam dunia idea telah tersimpan konsep yang
paling sempurna dan paling ’ideal’ tentang sesuatu yang bernama
‘pisau’. Dari dunia idea inilah kemudian pembuat pisau itu men-
download konsep pisau, membuatnya secara fisik, untuk kemudian
digunakan didunia realitas, menjadi sebuah ‘pisau’ seperti yang kita
kenali saat ini. Jadi, didalam dunia idea Plato itu, sudah tersimpan
segala macam konsep, pabrik dari segalanya yang mampu kita
jangkau di alam realitas ini. Dunia idea Plato bak supermarket yang
maha lengkap dengan segala isinya yang siap kita pakai untuk
mengenali apapun yang ada di duia realitas ini. Bahkan, Plato
menganggap, justru dunia idea itulah yang harusnya disebut ‘realitas’,
bukan hal-hal yang mampu kita tangkap menggunakan alat indra
dalam alam semesta.
Sekarang, bagaimana degan contoh sederhana yang saya ajukan
tadi tentang ‘motor’, menurut konsep dunia idea Plato?
Kalau kita memakai perspektif Plato untuk memahami realitas dan
cara kerjanya, maka, contoh tentang pengenalan ‘motor’ tadi, juga
merupakan implikasi dari pengenalan yang terlebih dahulu, tentang
konsep ‘motor’ didunia idea. Mengapa kita dapat memahami berbagai
varian motor yang berbeda satu sama lain itu sebagai kesatuan
universal bernama ‘motor’?. Berdasarkan dunia idea Plato, karena
didunia idea terdapat suatu konsep sempurna dan ideal tentang
‘motor’. Jadi, meskipun kita melihat berbagai macam varian motor
yang berbeda itu, otak kita akan tetap mengenalinya sebagai ‘motor’,
karena, secara nirsadar, kita telah mengetahui ‘konsep motor’ yang
utuh sebagai satu kesatuan yang sempurna dan ideal, di dunia idea.
Kita baru mencoba memahami cara kerja pikiran manusia dalam
mengenali realitas dalam perspektif pemikiran Plato, filosof Yunani
kuno yang hidup di empat abad sebelum masehi. Sementara, selain
Plato, masih banyak filosof lain yang juga mempunyai pandangan-
pandangan besar dan unik dalam memahami realitas. Pemikiran filosof
semakin berkembang dari masa ke masa. Objek yang dipikirkan
mereka semakin kompleks, dan tentu saja, semakin menarik untuk kita
ketahui. Juga berkat pemikiran mereka, ilmu pengetahuan yang kita
kenali dan kita pakai hingga saat ini berkembang. Tentu saja dampak
yang ditimbulkan juga tidak kalah kompleksnya, dampak positif juga
negatif. Maka, dilain kesempatan saya akan mencoba memaparkannya
kembali.
Bersambung ,.

Anda mungkin juga menyukai