Anda di halaman 1dari 13

LATAR BELAKANG PERILAKU SEKS BEBAS DAN PERKEMBANGANNYA DALAM POLA

KEHIDUPAN MASYARAKAT Oleh Mia Neli

by AKU orang BALI on Thursday, January 21, 2010 at 12:57am

I. Latar Belakang Perilaku Seks Bebas

Seks pada hakekatnya merupakan dorongan narluri alamiah tentang

kepuasan syahwat. Tetapi banyak kalangan yang secara ringkas

mengatakan bahwa seks itu adalah istilah lain dari Jenis kelamin yang

membedakan antara pria dan wanita. Jika kedua jenis seks ini

bersatu, maka disebut perilaku seks. Sedangkan perilaku seks dapat

diartikan sebagai suatu perbuatan untuk menyatakan cinta dan

menyatukan kehidupan secara intim. Ada pula yang mengatakan

bahwa seks merupakan hadiah untuk memenuhi atau memuaskan

hasrat birahi pihak lain. Akan tetapi sebagai manusia yang beragama,

berbudaya, beradab dan bermoral, seks merupakan dorongan emosi

cinta suci yang dibutuhkan dalam angka mencapai kepuasan nurani

dan memantapkan kelangsungan keturunannya. Tegasnya, orang yang

ingin mendapatkan cinta dan keturunan, maka ia akan melakukan

hubungan seks dengan lawan jenisnya.

Perilaku seks merupakan salah satu kebutuhan pokok yang senantiasa

mewarnai pola kehidupan manusia dalam masyarakat. Perilaku seks

sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang berlaku dalam

masyarakat. Setiap golongan masyarakat memiliki persepsi dan batas

kepentingan tersendiri terhadap perilaku seks.

Bagi golongan masyarakat tradisional yang terikat kuat dengan nilai

dan norma, agama serta moralitas budaya, cenderung memandang


seks sebagai suatu perilaku yang bersifat rahasia dan tabu untuk

dibicarakan secara terbuka, khususnya bagi golongan yang dianggap

belum cukup dewasa. Para orang tua pada umumnya menutup

pembicaraan tentang seks kepada anak-anaknya, termasuk mereka

sendiri sebagai suami isteri merasa risih dan malu berbicara tentang

seks. Bagi kalangan ini perilaku seksual diatur sedemikian rupa

dengan ketentuan-ketentuan hukum adat, Agama dan ajaran moralitas,

dengan tujuan agar dorongan perilaku seks yang alamiah ini dalam

prakteknya sesuai dengan batas-batas kehormatan dan kemanusiaan.

Biasanya hubungan intim antara dua orang lawan jenis cenderung

bersifat emosional primer, dan apabila terpisah atau mendapat

hambatan, maka keduanya akan merasa terganggu atau kehilangan

jati dirinya.

Berbeda dengan hubungan intim yang terjadi dalam kehidupan masyarakat

modern, biasanya cenderung bersifat rasional sekunder.

Anak-anak yang mulai tumbuh remaja lebih suka berbicara seks

dikalangan teman-temannya. Jika hubungan intim itu terpisah atau

mendapat hambatan, maka mereka tidak akan kehilangan jati diri

dan lebih cepat untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan dalam

lingkungan pergaulan lainnya. Lembaga keluarga yang bersifat

universal dan multi fungsional, baik pengawasan sosial, pendidikan

keagamaan dan moral, memelihara, perlindungan dan rekreasi

terhadap anggota-anggota keluarganya, dalam berhadapan dengan

proses modernitas sosial, cenderung kehilangan fungsinya. Sebagai

konsekuensi proses sosialisasi norma-norma yang berhubungan


batas-batas pola dan etika pergaulan semakin berkurang, maka

pengaruh pola pergaulan bebas cenderung lebih dominan merasuk

kedalam kebiasaan baru. Seks sebagai kebutuhan manusia yang

alamiah tersebut dalam upaya pemenuhannya cenderung didominasi

oleh dorongan naluri seks secara subyektif. Akibatnya sering terjadi

penyimpangan dan pelanggaran perilaku seks di luar batas hak-hak

kehormatan dan tata susila kemanusiaan.

Latar belakang terjadinya perilaku seks bebas pada umumnya

dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Gagalnya sosialisasi norma-norma dalam keluarga, terutama

keyakinan agama dan moralitas;

2. Semakin terbukanya peluang pergaulan bebas; setara dengan

kuantitas pengetahuan tentang perilaku seks pada lingkungan

sosial dan kelompok pertemanan;

3. Kekosongan aktivitas-aktivitas fisik dan rasio dalam kehidupan

sehari-hari;

4. Sensitifitas penyerapan dan penghayatan terhadap struktur

pergaulan dan seks bebas relatif tinggi;

5. Rendahnya konsistensi pewarisan contoh perilaku tokoh-tokoh

masyarakat dan lembaga-lembaga sosial yang berwenang;

6. Rendahnya keperdulian dan kontrol sosial masyarakat;

7. Adanya kemudahan dalam mengantisipasi resiko kehamilan;

8. Rendahnya pengetahuan tentang kesehatan dan resiko

penyakit berbahaya;

9. Sikap perilaku dan busana yang mengundang desakan seks;

10. Kesepian, berpisah dengan pasangan terlalu lama, atau


karena keinginan untuk menikmati sensasi seks di luar

rutinitas rumah tangga;

11. Tersedianya lokalisasi atau legalitas pekerja seks.

Berdasarkan alasan tersebut, maka semakin terbukalah pergaulan

bebas antara pria dan wanita, baik bagi kalangan remaja maupun

kalangan yang sudah berumah tangga. Hal ini dimungkinkan karena

sosialisasi norma dalam keluarga tidak efektif, sementara cabang

hubungan pergaulan dengan berbagai pola perilaku seks di luar rumah

meningkat yang kemudian mendominasi pembentukan kepribadian

baru. Kalangan remaja pada umumnya lebih sensitif menyerap

struktur pergaulan bebas dalam kehidupan masyarakat. Bagi suami

isteri yang bekerja di luar rumah, tidak mustahil semakin banyak

meninggalkan norma-norma dan tradisi keluarga sebelumnya,

kemudian dituntut untuk menyesuaikan diri dalam sistem pergaulan

baru, termasuk pergaulan intim dengan lawan jenis dalam peroses

penyelesaian pekerjaan. Kondisi pergaulan semacam ini seseorang tidak

hanya mungkin menjauh dari perhitungan nilai harmonisasi keluarga,

akan tetapi selanjutnya semakin terdorong untuk mengejar karier

dalam perhitungan ekonomis material. Kenyataan ini secara implisit

melembaga, dimaklumi, lumrah, dan bahkan merupakan kebutuhan

baru bagi sebagian besar keluarga dalam masyarakat modern.

Kebutuhan baru ini menuntut seseorang untuk membentuk sistem

pergaulan modernitas yang cenderung meminimalisasi ikatan moral

dan kepedulian terhadap hukum-hukum agama. Sementara di pihak

lain, jajaran pemegang status terhormat sebagai sumber pewarisan


norma, seperti penegak hukum, para pemimpin formal, tokoh

masyarakat dan agama, ternyata tidak mampu berperan dengan

contoh-contoh perilaku yang sesuai dengan statusnya. Sebagai

konsekuensinya adalah membuka peluang untuk mencari kebebasan

di luar rumah. Khususnya dalam pergaulan lawan jenis pada

lingkungan bebas norma dan rendahnya kontrol sosial, cenderung

mengundang hasrat dan kebutuhan seks seraya menerapkannya secara

bebas.

Bagi kalangan remaja, seks merupakan indikasi kedewasaan yang

normal, akan tetapi karena mereka tidak cukup mengetahui secara

utuh tentang rahasia dan fungsi seks, maka lumrah kalau mereka

menafsirkan seks semata-mata sebagai tempat pelampiasan birahi,

tak perduli resiko. Kendatipun secara sembunyi-sembunyi mereka

merespon gosip tentang seks diantara kelompoknya, mereka menganggap

seks sebagai bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dari

kehidupan remaja. Kelakar pornografi merupakan kepuasan tersendiri,

sehinga mereka semakin terdorong untuk lebih dekat mengenal

lika-liku seks sesungguhnya. Jika immajinasi seks ini memperoleh

tanggapan yang sama dari pasangannya, maka tidak mustahil kalau

harapan-harapan indah yang termuat dalam konsep seks ini benarbenar

dilakukan.

II. Popularitas Perilaku Seks Bebas dalam kehidupan masyarakat

Pupulernya perilaku seks di luar nikah, karena adanya tekanan dari

teman-temannya atau mungkin dari pasangannya sendiri. Kemudian

disusul oleh dorongan kebutuhan nafsu seks secara emosional, di


samping karena rendahnya pemahaman tentang makna cinta dan

rasa keingintahuan yang tinggi tentang seks. Beberapa hasil

penelitian mengungkapkan bahwa gadis melakukan seks di luar nikah

karena tekanan teman-temannya sesama wanita. Teman-temannya

mengatakan bahwa:

"Semua gadis modern melakukannya, kalau tidak, ya.., termasuk gadir


kampungan";

"Jaman sekarang tak ada lagi perawan-perawanan, nikmati saja hidup ini dengan

keindahan".

Dengan demikian Ia melakukannya hanya untuk membuktikan

bahwa iapun sama normalnya dengan kelompok teman modernnya

yang telah terperangkap dalam penyimpangan moral. Ia ingin tetap

diterima oleh kelompok temannya secara berlebihan, sehingga

mengalahkan kepribadian dan citra diri. Pengakuan lain, bahwa

melakukan seks dengan alasan agar cinta pasangannya semakin

kuat, dan apabila aku tidak melakukannya, berarti aku tidak bisa

menunjukkan bukti cintaku kepadanya.

Kecuali itu, karena mereka telah beribu-ribu kali memperoleh

informasi tentang kehebatan dan kedahsyatan seks itu, baik dari

pergaulan sehari-hari maupun dari mass media, seperti televisi, film,

show, majalah dan brosur-brosur porno yang cenderung mengagungkan

kehidupan seks inkonvensional, dimana terdapat kemudahan untuk

berkencan intim, berpegangan, berpelukan, meraba, dan bahkan

tidur bersama. Gosip-gosip seks secara bertubi-tubi dan secara

berantai telah membakar rasa penasaran mereka terhadap seks,

sehingga timbul pertanyaan dalam hayal mereka:

"seperti apa sih rasanya seks itu"?,


"apa benar sedahsyat yang dikatakan orang"?

Dalam perasaan penasasan, mereka akhirnya mencari tahu sendiri

dengan riset partisipatif. Setelah seks itu ditemukan dalam praktek,

lalu semuanya terjawab dan ternyata sesuai dengan hipotesis, sehingga

terbentuklah perilaku yang namanya KETAGIHAN.

"kalau sudah basah, sekalian mandi saja; sekali terlanjur, lebih baik seterusnya".

Mantan perawan sekali nge-seks, sama artinya melakukan 6 atau 7

kali, toh perawan tak akan kembali, mengapa harus dibatasi? Di

sinilah awal mulanya tumbuh pernyataan perang dari mereka terhadap

segala macam norma yang membatasi kebebasan seks.

Secara teoritis memang hubungan cinta ada yang bersifat platonis,

yaitu cinta tanpa unsur nafsu badaniah terhadap kekasihnya. Cinta

semacam ini pada perinsipnya mengandung semangat "apa yang dapat

aku lakukan untukmu". Akan tetapi secara umum dalam

perkembangannya, seks lebih didambakan secara fisik, ketimbang

hubungan cinta dan kasih sayang. Sebagian pihak menganggap

hubungan cinta dianggap sebagai alasan untuk memperoleh kepuasan

seks semata. Di sinilah seks menjadi kepanjangan dari perasaan cinta.

Kisah cinta yang konvensional dianggap tidak variatif, cengeng,

ketinggalan jaman dan tidak jantan.

Menanggapi perkembangan pemahaman pola kehidupan seks tersebut,

dapat diasumsikan bahwa orang masa kini cenderung "lebih cepat

jatuh seks ketimbang jatuh cinta". Cinta dan seks dikondisikan

sebagai wujud sikap dan perilaku majemuk yang sekaligus mengandung

unsur nilai persahabatan, pergaulan intim, menikmati kebersamaan,


kasih sayang, hubungan seks, dan saling mempercayai antar

sesama lawan jenisnya tanpa batas yang tegas.

Dalam hubungan seks pada umumnya terdapat proses kesepakatan

bahwa masing-masing pelaku berbuat secara sukarela dan bebas dari

ikatan norma atau jaminan resiko jangka panjang. Semua perilaku

seks disepakati sebagai sebuah kemerdekaan yang bebas dari tuntutan

moral. Hubungan cinta cenderung tidak konsisten, tergantung kapan

datangnya letupan perasaan kebutuhan seksual. Keperdulian terhadap

kepentingan dan kegelisahan orang lain sering diwujudkan dalam katakata

dan tindakan yang semu sebagai dalih atau muslihat untuk

memperoleh hubungan seks. Kata-kata yang mengatasnamakan cinta

sering dilontarkan sebagai jebakan yang sebenarnya mengandung

unsur pemaksaan. Beberapa contoh pernyataan yang umum

dilontarkan untuk memperoleh kesepakatan hubungan seks, misalnya:

"Aku sudah terlalu lama menunggu, kalau malam ini kamu menolak, lupakan saja

semuanya".

"Aku bawa kondom sutra kok, tidak ada masalah".

"Kamu kan bagian dari hidupku, dan aku bagian dari hidupmu, ayo dong!".

"Toh tak ada bedanya isteri dan calon isteri. Kita toh siap kawin kalau ada apa-apa".

"Aku bisa saja dengan gadis lain, tapi aku hanya membutuhkan persatuan jiwa raga

dengan engkau seorang".

"Jika kamu benar-benar cinta, maka kamu tak akan tega menyiksa aku".

Ungkapan-ungkapan tersebut sebenarnya bermaksud agar pasangannya

tidak menunda-nunda hubungan seks yang dituntutnya. Jika

kebutuhan terpenuhi, maka sementara waktu berikutnya hubungan


komunikasi dan interaksi antar sesamanya menghambar. Dalam

kondisi demikian biasanya timbul pikiran-pikiran rasional,

perhitungan-perhitungan masa depan (what nexs), dan tuntutan

aktualisasi diri dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.

III. Karakteristik dan Pola Perkembangan Perilaku Seks Bebas

dalam Kehidupan Masyarakat

Ada sebagian kalangan yang menganggap bahwa perilaku seks pranikah

terpisah dari ukuran moral; artinya sah-sah saja sepanjang

dilakukan atas dasar kebutuhan bersama. Ukuran moral berbicara

tatkala hubungan seks terjadi melalui pemaksaan fisik. Seks

pernikahan secara formal dilakukan sebagai suatu dalih umum

lantaran sebelumnya terdapat hambatan atau kesulitan untuk mempeloleh

seks. Keserasian seks dalam rumah tangga diperhitungkan

melalui kuantitas pengalaman coba-coba bermain seks tersendiri

dengan berganti-ganti pasangan. Sedangkan kualitas keserasian seks

yang menyatu dalam kehidupan bersama antara dua pribadi yang utuh,

bersatu dalam pembinaan dan tanggungjawab keluarga berdasarkan

rambu-rambu hukum agama, moral dan budaya, dianggap sebagai

tapal batas penghalang kenikmatan hubungan seks.

Pola pikir dan perhitungan pria terhadap hubungan seks, cenderung

tidak didasarkan pada penilaian baik buruknya pribadi dan perilaku

pasangannya secara keseluruhan, atau jaminan kesetiaan hidup

bersama dalam perspektif masa depan, melainkan diukur semata-mata

karena selera tertarik dari segi fisik yang indah, montok dan menggiurkan.

Sementara dipihak wanita masa kini seolah memberikan

reaksi yang positif dengan sengaja bersikap, berperilaku (termasuk


mode busana) yang secara nyata menonjolkan dan membuka bagianbagian

tubuh yang diketahui mengundang birahi. Kalau diketahui

karakteristik

Penyebab Meningkatnya Seks Bebas Di Kalangan Remaja

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi remaja sehingga mereka nekat
melakukan seks bebas - seks pra nikah. Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut
barangkali bisa membantu para orang tua untuk menemukan solusi dalam
mengantisipasi prilaku - perilaku anak yang mengarak kepada perilaku seks bebas
ini.

Menurut Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi BKKBN, M Masri


Muadz, data itu merupakan hasil survei oleh sebuah lembaga survai yang
mengambil sampel di 33 provinsi di Indonesia pada 2008.

BKKBN merekomendasikan sebagaimana diungkapkan Direktur Remaja dan


Perlindungan Hak-Hak Reproduksi BKKBN, M Masri Muadz, ada beberapa faktor
yang mendorong remaja melakukan hubungan seks pra-nikah. Di antaranya, kata
Masrie, pengaruh liberalisme dan pergaulan bebas, kemudian lingkungan dan
keluarga, serta pengaruh media massa, khususnya TV dan internet.

"Data ini menunjukkan, kalau 10 tahun lalu tren free sex hanya di kota-kota besar,
kini bahkan mulai masuk di kota kecamatan".

Data dari Aliansi Selamatkan Anak Indonesia (ASA) yang disampaikan peneliti
Shakina Mirfa Nasution SE Mapp.Fin yang disampaikan dalam sebuah seminar
masalah remaja di BKKBN di Jabar, mengatakan, dampak psiko-sosialnya remaja
akibat pornografi mulai dari adiksi (ketagihan) sampai ekskalasi perilaku seksual
menyimpang seperti lesbian, incest, pedophilia, dan desensifitasi atau penurunan
sensivitas seks.
Menurut Shakina, kerusakan otak yang diakibatkan pornografi yang dilihat,
didengar dan dirasakan akan melebihi kokain karena pornografi akan mengaktifan
jaringan seks yang diciptakan tuhan untuk orang yang sudah menikah.

"Tuhan menciptakan enam jenis hormon yang aktif pada hubungan pasangan yang
sudah menikah. Kini hormon tersebut diaktifkan pada anak dan tanpa pasangan,
risikonya, bisa memicu stress tingkat tinggi dan menjadikan apatisme dan tidak
peka lingkungan," katanya

faktor Penyebab :

1. faktor lingkungan yang mendukung. contoh : lingkungan mahasiswa, udah jauh


dari rumah ga diawasi orang tua, banyak cewek cantik tergodalah imannya.

2. cewek yang berpakaian minim. contoh : jalan ke mall pake tanktop dan celana
hot pants ( bikin terangsang ). pake baju kaos ketat sehingga payudara keliatan
menonjol ( menggairahkan ). pake baju belahan dada rendah sehingga payudara
yang putih dan indah mudah bisa dinikmati di mana saja ( bikin tegang ). dan
pakaian lainnya yang memperlihatkan bagian tubuh wanita yang halus dan mulus
serta mengundang selera.

3. Faktor orang Tua. contoh : kurangnya perhatian dan bimbingan orang tua, orang
tua yang terlalu mengekang anaknya, orang tua yang selalu sibuk ama
pekerjaannya, orang tua yang tidak memberikan kasih sayang pada anaknya.

4. Media Cetak dan Elektronik. contoh : bayak beredar VCD porno yang bisa dibeli
dimana aja seperti kacang, buku2 porno terutama hentai, situs di internet, cerita
cerita seks, Tontonan di televisi dengan tema percintaan, pacaran, ciuman, dengan
dandanan artis cewek yang merangsang seperti pasrah untuk dinikmati semua
orang ( artis selalu umbar susu dan paha...bener gak kawan kawa, dosa ..dosa ).

5. Faktor Psikologis. contoh : seks atas nama cinta, kasih sayang adalah seks,
pacaran wajib ciuman, dan serangkaian alibi seperti diatas membutikan cinta is
seks ( Logika yang sungguh keliru ). pubertas yang terlalu dini sehingga belum
mampu untuk menahan gejolak emosianal pada tahapan dewasa. karna ada yang
menggolongkan usia kedewasaan itu adalah usia 21 tahun. ( usia minimal untuk
berpikiran matang dan dewasa secara psikologis ).

6. Zaman yang udah gila. karena tipisnya moralitas anak bangsa. kenapa....???
karena kalian semua pasti tahu bahwa seks itu nikmat. tapi kita pasti lupa bahwa
yang enak di dunia belum tentu menghasilkan sesuatu yang indah. anda mau free
seks....???? itu semua keputusan dan tanggung jawab ada di tangan anda.
Cara pencegahan

Setiap tahunnya, tanggal 1 Desember diperingati sebagai hari HIV/AIDS se-dunia. Di


Indonesia, momen ini ternyata punya sensitivitas tersendiri bagi sebagian kaum
muslim. Apalagi, setiap tahun, kampanye pencegahan HIV/AIDS biasanya dibarengi
dengan pembagian kondom gratis. Hal ini kemudian diartikan sebagai penghalalan
atas prilaku free sex, atau hubungan seks di luar pernikahan.

Menurut para pengusung penolakan kondom tersebut, solusi pencegahan penyakit


AIDS bukanlah dengan pemakaian kondom, namun lebih kepada membenahi
mental masyarakat untuk tidak melakukan free sex. Sebagaimana dikutip dari situs
eramuslim :

“Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus, juga menolak cara-cara pelegalan


seks bebas yang dibalut dengan kampanye anti AIDS. Sebab, secara sosial upaya
kondomisasi itu akan menimbulkan praktek perzinahan dan prostitusi secara
massif.

Oleh karena itu, FSLDK saat ini secara konsisten mengadakan pemberantasan
penyebaran AIDS dengan proses penyadaran moralitas di kalangan mahasiswa dan
remaja, melalui program pembinaan akhlak berupa mentoring keIslaman di lebih
dari 100 kampus di Indonesia.”

Pada kenyataannya, angka penyebaran penyakit AIDS di Indonesia sudah


sedemikian parahnya. Data statistik Departemen Kesehatan menunjukkan, angka
kasus AIDS pertahun sejak tahun 2001 hingga 2006 telah meningkat lebih dari 10
kali lipatnya. Bahkan pada tahun 2006, ditemukan tidak kurang dari 2800 kasus,
yang artinya : di Indonesia tiap 3 jam penderita AIDS bertambah 1 orang.

(sumber : Depkes RI)

Penulis setuju, pemberantasan Free Sex melalui pembinaan akhlak, dapat


memberangus laju penyebaran penyakit AIDS. Namun tentunya kita mafhum, hal
tersebut tidaklah mudah dilakukan, at least, tidak dapat menjadi solusi dalam
jangka waktu pendek. Terlebih, korban AIDS dari prilaku free sex, sebagian besar
adalah orang-orang yang tidak teredukasi, dan terisolasi dari pengetahuan tentang
kesehatan. Pembenahan mental dan spiritual sangat perlu dilakukan, khususnya
untuk long-term investment, atau investasi jangka panjang.

Penelitian ilmiah menunjukkan, pemakaian kondom dapat langsung mengurangi


resiko penularan penyakit AIDS melalui hubungan seks hingga 80%. Untuk itulah,
kampanye pengedukasian kondom juga perlu dilakukan. Mengutip kata pak Jusuf
Kalla : Untuk yang melakukan seks bebas, silakan pakai kondom. Kondom itu tidak
mengurangi dosa, tapi dengan itu, at least anda tidak menularkan penyakit ke
orang lain.

Kesimpulannya, tidak perlu dipertentangkan antara kampanye kondom dengan


pembinaan mental spiritual untuk menjauhi free sex. Dua-duanya sama-sama
penting, dan dua-duanya sama-sama saling mendukung. Yang satu melakukan
pencegahan jangka pendek, yang satu melakukan pembenahan jangka panjang

Anda mungkin juga menyukai