Anda di halaman 1dari 9

----- Forwarded Message ----

From: Blueberry Bella <blueberry_bella@ymail.com>


To: sahistyafadiar@yahoo.com
Sent: Sat, April 9, 2011 11:51:03 AM
Subject: contoh LO up 1
LEARNING OBJECTIVES :
1. Mengetahui etiologi keluron yang disebabkan oleh bakteri dan virus
2. Mengetahui cara diagnosa keluron
3. Mengetahui terjadinya keluron

PENJELASAN :
1. Etiologi keluron
1.1. BAKTERI
1.1.1. Brucellosis
Brucellosis adalah penyakit hewan menular yang secara primer menyerang sapi, kam
bing, babi dan sekunder beberapa jenis hewan lainnya dan manusia. Brucellosis di
sebabkan bakteri Brucella abortus. Abortus karena Br. abortus umumnya terjadi da
ri bulan ke-6 sampai ke-9 periode kebuntingan. Kejadian abortus berkisar antara
5-90% di dalam suatu kelompok ternak tergantung pada berat ringan infeksi, daya
tahan hewan bunting, virulensi organisme dan faktor-faktor lain (Toelihere, 1979
).
Tabel. Macam-macam Brucella sp.
Spesies Brucella

Hospes/ Penyakit yang ditimbulkan

Hospes lain/ Penyakit yang ditimbulkan


Br. abortus

Sapi/ aborsi, orchitis

- Domba, kambing, babi/ aborsi sporadik


- Kuda/ bursitis
- Manusia/ demam intermitten, penyakit sistemik
Br. melitensis

Kambing, domba/ aborsi, orchitis, arthritis


- Sapi/ aborsi sporadik, Brucella di susu
- Manusia/ demam malta, penyakit sistemik parah
Br. ovis

Domba/ epididimitis, aborsi sporadik

-
Br. suis

Babi/ aborsi, orchitis, arthritis, spondylitis, infertilitas

Manusia/ demam intermitten, penyakit sistemik


Br. canis

Anjing/ aborsi, epididimitis, discospondylitis, sterilitas pada anjing jantan

Manusia/ penyakit sistemik ringan


Br. neotomae

Tikus/ tidak diisolasi dari hewan domestik

-
(Quinn, 2002)
1.1.2. Leptospirosis
Leptospirosis pada sapi disebabkan oleh spirocheta yang kecil dan berbentuk fila
men, yang terpenting diantaranya adalah Leptospira pamona, L. hardjo, L. grippot
yphosa dan L. conicola. Organisme ini mudah dimusnahkan oleh panas, sinar mataha
ri, pengeringan, asam, dan desinfektan. Leptospira dapat hidup selama beberapa h
ari atau minggu dalam lingkungan yang lembab pada suhu sedang seperti di tambak,
aliran air yang macet atau di tanah basah (Toelihere, 1979).
Air merupakan media penyebaran utama untuk penyakit ini. Penularannya dapat pula
melalui luka, semen, baik perkawinan alamiah maupun perkawinan dengan IB. selai
n dapat menular ke ternak lain penyakit ini juga dapat menular ke manusia. Pemba
wa utama Leptospira adalah rodentia. Anjing dan babi dapat berfungsi sebagai pem
bawa potensial.
Penyebaran Leptospirosis bergantung pada keadaan luar, yaitu penyebarannya terut
ama melalui air dan lumpur. Hewan biasanya mengeluarkan Leptospira melalui air k
emih. Bila air kemih in tiba di dalam air atau lumpur yang sedikit alkali atau n
etral maka Leptospira itu dapat tinggal hidup berminggu-minggu. Bila hewan atau
orang kontak langsung dengan air atau lumpur ini maka ia terinfeksi. Leptospira
ini masuk ke dalam tubuh melalui selaput lendir konjungtiva, mulut, hidung dan l
uka kulit.
Patogenesis : Setelah infeksi terjadi pada sapi, Leptospira masuk dan berkembang
di dalam aliran darah. Masa inkubasi terjadi 4-10 hari dengan fase bakteremia y
ang akan berakhir kira-kira 7 hari, diikuti pengeluaran Leptospira dalam air sus
u dan terjadi kerusakan fungsi ginjal. Dengan terbentuknya antibody dalam sirkul
asi darah setelah 5-10 hari bakteremia berhenti, bakteri akan melokalisir dan me
netap di sejumlah organ tubuh terutama tubulus renalis ginjal dan alat kelamin d
ewasa. Selanjutnya Leptospira dikeluarkan dalam urine selama 20 bulan atau lebih
, tergantung pada serotype dan umur sapi. Pada induk sapi yang bunting maupun ti
dak bunting Leptospira akan menetap pada uterus pasca infeksi. Lokalisasi Leptos
pira pada uterus yang bunting dapat menulari fetus, diikuti dengan keluarnya kot
oran yang mengandung Leptospira dari alat kelamin sampai 8 hari pasca lahir. Lep
tospira dapat juga menetap di tuba falopii 22 hari setelah melahirkan (Hardjopra
njoto, 1995).
1.1.3. Camphylobacteriosis
Camphylobacteriosis yang disebabkan oleh Camphylobakter foetus veneralis (dahulu
disebut Vibrio fetus veneralis) adalah salah satu penyakit penyebab utama kegag
alan reproduksi pada sapi yang disebarkan melalui perkawinan. Umumnya ditemukan
kematian embrio dini atau abortus pada bulan ke-4 sampai akhir kebuntingan (Toel
ihere, 1979).
Penyebarannya lewat ingesti, masuk darah menyebabkan plasentitis dengan kotiledo
n hemoragik dan sekitar interkotiledonaria mengalami udema.
Patogenesis : Infeksi Camphylobacter fetus venerealis pada sapi betina akan diik
uti oleh endometritis, ditandai dengan adanya kerusakan pada endometrium yang me
ncapai puncaknya pada 8-13 minggu setelah penularan, disertai keluarnya cairan k
eruh kemudian berubah menjadi mukopurulen yang kadang-kadang diikuti salphingiti
s. Eksudat ditemukan dalam kelenjar uterus disertai infiltrasi limfosit ke dalam
rongga periglandular. Karena adanya endometritis, embrio akan memperoleh oksige
n lebih sedikit, sehingga akan mati dalam waktu yang singkat tanpa gejala yang j
elas. Abortus terjadi pada umur 2-3 bulan dengan selaput fetus yang utuh pada wa
ktu diabortuskan (Hardjopranjoto, 1995).
1.1.4. Salmonellosis
Pada babi disebabkan oleh Salmonella choleraesuis atau S. typhimurium. Simptom k
linik Salmonellosis pada babi : septikaemia, enteritis akut, enteritis sub-akut,
enteritis kronik. Bentuk yang paling sering dijumpai ialah enteritis kronik, be
rupa diarrhea yang tak kunjung sembuh, emaciatio, suhu badan naik-turun. Pada fe
ses, mencret, terkadang disertai adanya bercak darah, bagian selaput lendir, ter
kadang fesesnya kompak.
Pada domba disebabkan oleh Salmonella abortus ovis.
Cara penularannya melalui jalan pencernaan, dan sedikit melalui jalan koitus. Ke
jadian penyakit ini pada satu kawanan domba biasanya timbul bila ada hewan baru
mauk yang mungkin membawa penyakit masuk pada kawanan tersebut (Partodihardjo,
1987).
1.2. VIRUS
1.2.1. Equine Viral Rhinopneumonitis (EVR)
Penyakit virus ini menyerang kuda. Menimbulkan peradangan ringan pada bagian ata
s dari alat-alat pernafasan, mata, dan mulut. Jika menyerang kuda betina yang bu
nting dapat menyebabkan abortus. Karena ringannya, penyakit ini tidak menimbulka
n kematian (Partodihardjo, 1987).
Kuda dari semua umur dapat terkena penyakit ini. Setelah sembuh akan timbul keke
balan dan ini akan berlangsung selama 5-12 bulan (Partodihardjo, 1987).
Simptom : demam (38,5-39o C), conjunctivitis, batuk-batuk, nafsu makan tidak ter
ganggu, oedema dan diarrhea jarang didapatkan. (Partodihardjo, 1987).
1.2.2. Equine Viral Arteritis (EVA)
Penyakit ini menyerang kuda secara akut dan disebabkan oleh virus. Penyebab peny
akit EVA adalah virus yang mudah disaring. Tidak mati oleh antibiotika, tidak da
pat tumbuh pada telur ayam berembrio/ dalam hewan percobaan, tidak dapat menimbu
lkan hemaglutinasi (Partodihardjo, 1987).
Virus menyebabkan peradangan pada jalan pernafasan bagian atas termasuk hidung,
tenggorokan, pharynx, mata, dan mulut. Kuda yang terserang menjadi malas atau ta
k mau makan. Prosentasi abortus pada kuda betina yang bunting mencapai 50%. Terd
apat arteritis dalam rongga hidung (Partodihardjo, 1987).
1.2.3. Infectious Pustular Vulvovaginitis dan Infectious Bovine Rhinotrache
itis (IBR-IPV)
Penyebaran virus ini adalah melalui udara yaitu pada saat banyak hewan berkumpul
. Hingga sekarang hanya sapi yang diketahui peka terhadap penyakit ini. Infeksi
buatan dapat dilakukan denan inhalasi larutan yang mengandung virus di dalam hid
ung atau dengan injeksi intra tracheal (Ressang, 1984). Kejadian abortus dapat s
etiap saat, tetapi umumnya mulai bulan ke-4 sampai akhir kebuntingan (Prihatno,
2006).
Penularan penyakit ini dapat secara vertikal maupun horizontal. Secara vertical
dapat melalui infeksi intra uterine, sedangkan secara horizontal dapat melalui i
nhalasi dari cairan hidung dan melalui semen yang mengandung virus.
Patogenesis : Masa inkubasi virus ini berkisar antara 4-6 hari. Infeksi virus in
i menyebabkan lepuh-lepuh pada mukosa vulva dan vagina, yaitu dimulai dengan bin
tik-bintik merah sebesar jarum pentul yang dalam waktu 2-3 hari akan membesar. L
epuh-lepuh ini berdinding tipis dan berisi cairan. Sapi yang terinfeksi mengalam
i demam yang disertai radang vagina. Dari vulva akan keluar cairan yang mula-mul
a bening kemudian bersifat nanah. Infeksi virus ini juga menyebabkan lepuh-lepuh
pada fetus.dan nekrosis pada bagian korteks ginjal fetus (Hardjopranjoto, 1995)
.
1.2.4. Bovine Virus Diarrhea Mucosal Disease (BVD-MD)
Umumnya menyerang sapi dan menyebabkan infertilitas. Pada sapi bunting yang teri
nfeksi dapat menyebabkan abortus.abortus dapat terjadi pada usia kebuntingan 2-9
bulan dan sangat menular. Penularan dapat lewat oral atau parenteral, urin atau
feses. Infeksi pada fetus antara hari ke 45 dan 125 kebuntingan dan mungkin men
yebabkan kematian fetus, abortus, resorbsi, fetal immunotoleran, dan infeksi per
sisten. Gejala yang nampak adalah demam tinggi, depresi, anoreksia, diare, dan p
roduksi susu turun.
Patogenesis : Masa inkubasi secara alami berlangsung selam 21 hari. Virus masuk
ke dalam aliran darah setelah terjadinya penularan (viremia), kemudian diikuti d
engan timbulnya kerusakan-kerusakan sel epitel pada mukosa saluran pencernaan. P
ada hewan yang buting virus ini menyebabkan plasentitis yang diikuti oleh infeks
i pada fetus, kemudian diikuti abortus atau kelahiran anak yang abnormal (Hardjo
pranjoto, 1995).
1.2.5. Epizootic Bovine Abortion (EBA)
Epizootic Bovine Abortion (EBA) disebabkan oleh Chlamydia psittasi dan vektornya
adalah Ornithodoros coriaceus. Penyakit ini menyebabkan abortus yang tinggi (30
-40%) pada tri semester akhir kebuntingan pada sapi dara (Prihatno, 2006).
Penyakit ini terutama menyerang fetus dan menyebabkan abortus pada umur kebuntin
gan 7, 8, dan 9 bulan. Beberapa fetus dilahirkan mati atau anak sapi lahir hidup
tetapi lemah dan mati beberapa waktu kemudian. Gejala penyakit ini dapat diliha
t dengan adanya kerusakan menyolok pada fetus yang diabortuskan pada placenta ad
a bercak-bercak (Partodiharjo, 1987).
Patogenensis : Virus ini terutama menyerang fetus, ditandai adanya haemorrhagia
petechial pada mukosa konjungtiva, mulut dan kulit fetus. Terdapat cairan berwar
na jerami umumnya terdapat di dalam rongga tubuh. Infeksi virus ini pada fetus m
enyebabkan hati membengkak, berbungkul kasar dan berwarna kuning dan hampir semu
a kelenjar limfa membengkak dan oedematous (Toelihere, 1979).
2. Cara diagnosa keluron
2.1. Diagnosis keluron yang disebabkan oleh Brucella sp.
a. Screening Test, pengujian tapis untuk tahap pertama pengujian Brucellosis
dengan menggunakan Rose Bengal Plate Test (RBPT), dengan sampel: serum darah.
b. Confirmation Test, merupakan pengujian peneguhan setelah ternak positif diu
ji RBPT kemudian dilanjutkan dengan Complement Fixation Test (CFT). Apabila tern
ak positif CFT, maka ternak tersebut dinyatakan sebagai Reaktor Positif Brucello
sis, dengan sampel: serum darah (Sudibyo, 1990).
Untuk pengujian kelompok ternak, dengan cara pengambilan sampel susu dapat diamb
il dari TPS (Tempat Pengumpulan Susu) atau dari kelompok ternak. Kemudian akan d
ilakukan pengujian MRT (Milk Ring Test). Apabila ternak yang diduga terinfeksi m
aka akan dilanjutkan dengan pengujian secara individu ternak/sapi dengan mengamb
il sampel darah sapi. Sampel ini akan diuji serologis (RBPT dan CFT) untuk menen
tukan sapi/ternak mana yang terinfeksi kuman Brucella abortus atau disebut denga
n reaktor Brucellosis.
Penentuan Prevalensi Brucellosis dan identifikasi ternak
Penentuan prevalensi Brucellosis dilakukan dengan pengamatan secara cross-sectio
nal dan longitudinal study. Untuk menentukan positif ternak terhadap penyakit Br
ucellosis dilakukan tes serologis (Putra, A. 2006).
Dilakukan Uji RBPT Secara Random Sampling
Ternak yang positif RBPT diteruskan pengujiannya dengan CFT untuk menentukan pos
itif atau negatif. Prevalensi adalah jumlah ternak yang reaktor positif (CFT) di
bagi jumlah yang diuji (RBPT) dikali 100% (Amin, 2005).
Untuk Sapi Perah Dilakukan MRT
Dari susu yang ditampung di Milk Collecting Centre dan yang positif dilanjutkan
sampai individu sapi. Sapi yang positif MRT dilanjutkan dengan CFT untuk penentu
an prevalensi ini dapat dibantu dengan pengujian sapi dan kerbau yang dipotong d
i Rumah Potong Hewan (RPH).
Indentifikasi ternak positif perlu dilakukan agar dapat memudahkan pengendalian
penyakit di suatu daerah identifikasi tersebut dapat dilakukan dengan cara :
- Ternak yang RBPT positif diberi tanda khusua misalnya diberi cat sambil me
nunggu test CFT positif.
- Apabila CFT positif, maka dilakukan pengecapan dengan cap (S) di paha bela
kang kiri.
- Apabila dilakukan vaksinasi dengan dosis standar, maka diberi tanda lubang
telinga O di daun telinga kiri, sedangkan bila dengan dosis rendah diberi tanda l
ubang telinga O di daun telinga kanan (Samkhan, 2009).
c. Berdasarkan gejala klinis yaitu adanya abortus dan hygroma pada persendian
lutut, dan data epidemiologi. Reaktor Brucellosis sulit dikenal secara klinis.
d. Pemeriksaan mikroskopik
Bila jaringan korion yang masih segar dapat diperoleh, sebaiknya dibuat preparat
tempel dari permukaan epitel korion. Pada sel epitel sering dapat dilihat Bruce
lla dalam jumlah yang besar. Preparat tempel tersebut diwarnai dengan metode Kos
ter, yang prosesnya:
i. Preparat dikeringkan dan
difiksasi dengan jalan dipanaskan.
ii. Pengecatan (I) dengan laru
tan safranin alkali (1 menit).
iii. Preparat dicuci dengan air
mengalir.
iv. Teteskan 0,005% H2SO4 (15 de
tik).
v. Preparat dicuci dengan air
mengalir.
vi. Pengecatan kontras dilakukan
dengan cara menetesi preparat dengan
vii. larutan methyle-ne blue (15 d
etik).
viii. Preparat sekali lagi dicuci, l
alu dikeringkan.
Di bawah mikroskop Brucella tampak berwarna merah, dengan latar belakang yang be
rwarna biru (Subronto, 2003).
e. Pemeriksaan biakan bakteri
Media khusus untuk membiakkan bakteri digunakan persiapan dari pepton, serum inf
usi hati dan lain-lain. Antibiotik perlu ditambahkan untuk mencegah pencemaran s
ecara selektif (Subronto, 2003).
f. Uji antibodi fluoresen
Uji antibodi fluoresen merupakan cara yang cepat untuk mengetahui adanya Brucell
a dari preparat tempel yang diambil dari lambung janin, membran janin, dan sebag
ainya (Subronto, 2003).
g. Uji-uji serologik
o SAT (Serum Aglutination Test)
Uji aglutinasi merupakan uji yang masih digunkan secara luas untuk mendiagnosis
penyakit. Uji aglutinasi pada sapi dapat digunakan untuk mengenali IgM (Subronto
, 2003).
o CFT (Complement Fixation Test)
Uji ikat komplemen memiliki ketepatan dan kepekaan yang lebih besar daripada uji
aglutinasi serum. Uji ikat komplemen berguna untuk membedakan reaksi antibodi s
etelah vaksinasi yang belum lama dilakukan dengan reaksi tubuh terhadap infeksi.
Uji ini juga sangat berguna untuk menentukan status hewan-hewan yang tertular s
ecara kronik (Subronto, 2003).
o RBT (Rose Bengal Test)
Antigen uji rose bengal terdiri atas sel-sel Brucella yang diwarnai dengan rose
bengal dan kemudian disuspensikan di dalam larutan penyangga pada pH 3,6. Uji di
lakukan dalam suhu ruangan pada pelat yang digoyang-goyangkan dengan mesin atau
secara manual. Pada umumnya RBT dapat mengenali hewan yang tertular secara lebih
dini daripada uji lain, terutama uji aglutinasi serum (Subronto, 2003).
o MRT (Milk Ring Test)
Sebagai antigen dalam uji serologik ini digunakan suspensi bakteri Br. abortus y
ang telah dimatikan dan diwarnai dengan hematoksilin. Antigen digunakan untuk me
nge-tahui adanya antibodi terhadap Br. abortus dalam air susu dan rum. Uji cinci
n air susu memiliki kepekaan yang sangat tinggi, air susu yang positif yang tela
h sangat diencer-kan dengan air susu yang negatif yang berasal dari hewan yang t
idak tertular, masih tetap dapat dikenali (Subronto, 2003).
h. Dengan melakukan isolasi kuman penyebab leleran yang keluar dari vagina, fe
tus yang diabortuskan, cairan dari persendian yang mengalami peradangan, limfogl
andula( Dewa, 1997).
i. Diferensial Diagnosa
o Toxoplasmosis
o Leptospirosis
o Trichomoniasis
o Vibriosis (kampilobakeriosis)
2.2. Cara diagnosa Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR)
Melalui sejarah kesehatan dan gejala klinis yang terlihat. Selain itu dengan mel
akukan isolasi dan identifikasi dari eksudat mata, hidung, dan alat genital yang
dibiakkan dalam jaringan. Uji serologik dapat dilakukan dengan menggunakan uji
netralisasi serum. Pemeriksaan vulva diperksa dengan teknik antibody fluoresen u
ntuk menemukan virus (Toelihere, 1979).
3. Mekanisme terjadinya keluron
Misal : pada Brucella sp.
Patogenesis : Penularan penyakit ini dapat terjadi melalui ingesti makanan dan a
ir yang terkontaminasi oleh kotoran-kotoran dari alat kelamin hewan yang mengala
mi abortus. Disamping itu penularannya dapat juga terjadi melalui selaput lendir
mata dan melalui IB dengan semen terinfeksi. Anak sapi yang menyusu dari induk
yang tertular juga dapat tertulari (Toelihere, 1979).
Permulaan infeksi brucellosis terjadi pada kelenjar limfe supramamaria. Pada ute
rus, lesi pertama terlihat pada jaringan ikat antara kelenjar uterus mengarah te
rjadinya endometritis ulseratif, kotiledon kemudian terinfeksi disertai terbentu
knya eksudat pada lapisan allantokhorion. Brucella banyak terdapat pada vili kho
rion, karena terjadi penghancuran jaringan, seluruh vili akan rusak menyebabkan
kematian fetus dan abortus. Jadi kematian fetus adalah gangguan fungsi plasenta
disamping adanya endotoksin. Fetus biasanya tetap tinggal di uterus selama 24-72
jam setelah kematian. Selaput fetus menderita oedematous dengan lesi dan nekros
a (Hardjopranjoto, 1995).
(Quinn, 2002).

DAFTAR PUSTAKA
Amin, K. 2005. Prevalence of Brucella Antibodies in Sera of Cows in Bangladesh.
Journal of Veterinary Sciences, vol. 6 No. 3 September 2005.
Partodihardjo, Soebadi. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta : PT. Mustika Sumbe
r Widya
Quinn, P.J. 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Scien
ce
Ressang, AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Bogor : IPB Press
Samkhan. Dwi Hari S, Sri Niati. 2009. Menuju Pembebasan Brucellosis Di Pulau Ja
wa Dan Madura Tahun 2015. Buletin Laboratorium Veteriner. Balai Besar Veteriner
Wates Jogjakarta Vol. 9 No. 4 Th. 2009.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia). Yogyakarta : Gadjah Mada Univers
ity Press
Sudibyo, A. 1990. Korelasi dan Distribusi Titer Antibodi Brucella abortus pada S
api Sero-pisitif Brucellosis di Indonesia.
Toelihere, Mozes. 1979. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Bandung : Angkasa

Anda mungkin juga menyukai