Anda di halaman 1dari 45

Trauma Abdomen bahan 1

TRAUMA ABDOMEN DAN PENATALAKSANAAN OLEH


HERRY SETYA YUDHA UTAMA

PENDAHULUAN

Dibawakan pada Seminar Trauma 26 Oktober 2013 di Rumah Sakit Mitra Plumbon Cirebon

I.I Latar Belakang
Trauma adalah cedera fisik dan psikis, kekerasan yang mengakibatkan cedera.
Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis. Trauma penetrasi dan Trauma non
penetrasi.
Pukulan langsung, misalnya kena pinggir bawah stir mobil atau pintu yang masuk
(intruded) pada tabrakan kendaraan bermotor, dapat mengakibatkan cedera tekanan atau
tindasan pada isi abdomen. Kekuatan ini merusak bentuk organ padat atau berongga dan
dapat mengakibatkan ruptur, khususnya pada organ yang menggembung (misalnya uterus
yang hamil), dengan perdarahan sekunder dan peritonitis. Shearing injuries pada organ isi
abdomen merupakan bentuk trauma yang dapat terjadi bila suatu alat penahan (seperti sabuk
pengaman jenis lap belt atau komponen sabuk bahu)dipakai dengan cara yang salah.
Penderita yang cedera dalam tabrakan kendaraan bermotor juga dapat menderita
cedera deceleration karena gerakan yang berbeda dari bagian badan yang bergerak dan yang
tidak bergerak, pada hati dan limpa yang sering terjadi (organ bergerak) ditempat jaringan
pendukung (struktur tetap) pada tabrakan tersebut. Pada penderita yang dilakukan laparatomi
oleh karena trauma tumpul (blun injury), organ yang paling sering cedera, adalah limpa (40
55%), hati (35 45%)dan hematoma retroperitoneum (15%).

I.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas tentang anatomi abdomen, definisi, etiologi, patofisiologi,
klasifikasi, diagnosis, dan penatalaksanaan trauma abdomen.

I.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan referat ini adalah:
1. Memahami mengenai anatomi abdomen.
2. Memahami mengenai trauma abdomen.
3. Meningkatkan kemampuan menulis ilmiah di dalam bidang kedokteran khususnya bagian
ilmu bedah.
4. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas YARSI dan RSUD Arjawingaun.

I.4 Metode Penulisan
Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan mengacu kepada
beberapa literatur.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TRAUMA ABDOMEN
II.1 ANATOMI ABDOMEN
Cavum Abdominalis
Cavum abdominalis adalah rongga batang tubuh yang terdapat diantara diaphragma
dan apertura pelvis superior. Cavum abdominalis merupakan rongga yang terbesar dari ketiga
rongga tubuh yang terdiri atas cavum cranii, cavum thoracalis, dan cavum pelvicum. Cavum
abdominalis dibatasi oleh :
Kranial : diaphragma
Ventrolateral : otot dinding perut dan m. Illiacus
Dorsal : columna vertebralis
m. psoas major
m. psoas minor
m. quadratuslumborum
Kaudal : apertura pelvis superior mencakup pelvis major
Cavum abdominalis tidak sesuai dengan batas tulang yang membatasinya karena :
1. Diaphragma berbentuk kubah dan menjorok ke dalam cavum thoracalis sampai setinggi costa
V (di kanan) sedangkan di kiri kira kira 2,5 cm lebih rendah.
2. Dibagian kaudal cavum abdominalis juga menjorok sampai ke cavum pelvicum dan
mencakup pelvis major.

Lapisan Dinding Abdomen
1. Stratum superficialis (lapisan dangkal)
a. Cutis
b. Subcutis (fascia abdominalis superficialis)
Lamina superficialis (fascia camperi)
Lamina profunda (fascia scarpae)
2. Stratum intermedius (lapisan tengah)
a. Fascia abdominalis
b. Otot otot dinding perut
c. Aponeurosis otot dinding perut
d. Tulang
3. Stratum profunda (lapisan dalam)
a. Fascia transversalis
b. Panniculus adiposus preperitonealis
c. Peritoneum parietale

Otot-otot Dinding Perut
1. Musculi anterolaterales
a. mm. Obliqua (otot serong dinding anterior)
m. Obliqus externus abdominis
m. Obliqus internus abdominis
m. Transversus abdominis
b. mm. Recti (otot lurus dinding anterior)
m. Rectus abdominis
m. Pyramidalis
2. Musculi posteriores
a. m. psoas major
b. m. psoas minor
c. m.iliacus
Actio otot otot dinding perut :
1. Fixatio organa viscerales abdominales
2. Melakukan gerakan pada columna vertebralis, yaitu :
Anteflexio tubuh (m. Rectus abdominis)
Torsio batang tubuh (mm. Obliqus externus et internus abdominis)
3. Membantu akhir ekspirasi (mm. laterales)
4. Meningkatkan tekanan intra abdominal, misalnya pada pampat perut (buik-persen)

Vaskularisasi Dinding Abdomen
Pembuluh Nadi
Dinding abdomen diperdarahi oleh :
1. Aa. Intercostales VII XII
2. Aa. Lumbales
3. A. Epigastrica superior
4. A. Epigastrica inferior
5. Aa. Inguinales superficiales
6. A. Circumflexa ilium profunda
Aa. Intercostales dipercabangkan dari aorta thoracalis, lalu berjalan di dalam sulcus
costae. Setelah keluar dari sulcus costae maka ke-6 Aa. Intercostales terletak diantara m.
Transversus abdominis an m. Obliqus internus abdominis. Aa. Intercostales
mempercabangkan :
a. Rr. Posterior aa. Intercostales untuk otot punggung
b. Rr. Laterales aa. Intercostales
c. Rr. Anterior aa. Intercostales, mengurus dan memasuki vagina m. Rectus abdominis
Aa. Lumbales, biasanya empat pasang, dipercabangkan dari Aorta abdominalis
setinggi vertebrae lumbales I IV. Aa. Lumbales berjalan ke lateral pada corpora vertebrae
lumbales di sebelah dorsal truncus symphaticus.
A. epigastrica superior merupakan salah satu cabang akhir A. mammaria interna (A.
thoracica interna), dipercabangkan setinggi spatium intercostales VI. Setelah meninggalkan
cavum thoracis, A. epigastrica superior memasuki vagina m. Rectus abdominis di sebelah
dorsal cartilago costae VIII. Mula mula terletak dorsal terhadap m. Rectus abdominis lalu
menembus otot tersebut untuk beranastomosis dengan A. epigastrica inferior.
A. epigastrica inferior (A. epigastrica profunda) dipercabangkan dari A. iliaca externa
tepat kranial ligamentum inguinale Pouparti, lalu berjalan ke arah ventral di dalam jaringan
subperitoneal. Selanjutnya A. epigastrica inferior berjalan miring ke kranial di sepanjang tepi
medial annulus inguinalis profundus.
Setelah menembus fascia transversalis, A. epigastrica inferior berjalan di sebelah
ventral linea semicircularis Douglasi ke arah kranial di antara m. Rectus abdominis dan
lamina posterior vagina m. Rectus abdominis. Kranial terhadap umbilicus, A. epigastrica
superior dan Aa. Intercostales.
A.epigastrica inferior mempercabangkan :
cremasterica (A. spermatica externa)
R. pubicus a. epigastrica inferior
Rr. Musculares


Pembuluh Balik Dinding Abdomen
1. Vv. Superfcialies (pembuluh balik dangkal).
Membentik anyaman pembuluh balik yang luas di jaringan subkutis lalu bermuara ke dalam :
V. epigastrica superficialis, yang selanjutnya bermuara ke V. Femoralis
V. thoraco-epigastrica, bermuara ke dalam V. Axillaris
Disekita umbilikus terdapat pembuluh balik dangkal yang dinamakan Vv.
Paraumbilikalis Sappeyi dan berjalan disepanjang ligamentum teres hepatis mulai dari
umbilikus sampai ke dalam sisa V. Umbilikalis yang masih terbuka. Bila terjadi bendungan
pada V. Porta (misalnya pada hipertensi portal), Vv. Paraumbilikalis Sappeyi mengalami
varises dan membentuk gambaran yang dinamakan Caput Medussae.
2. Vv. Profundi, biasanya mengikuti pembuluh nadinya

Persarafan Dinding Abdomen
1. Nn. Thoracales VII XII
Rr.ventrales nn thoracales VII XII (Nn intercostales) berjalan diantara m. Obliqus
internus abdominis dan m. Transversus abdominis. Rr. Cutanei anteriores dipercabangkan
setelah menembus vagina M. Rectus abdominis, sedangkan RR cutanei laterales
dipercabangkan sekitar umbilikus.
Nn thoracales VII XII juga mempersarafi m. Rectus abdominis sehingga kerusaka
saraf tersebut dapat menimbulkan kelumpuhan m. Rectus abdominis.
Nn thoracalis VII mempersarafi kulit dinding abdomen setinggi proc. xiphoideus, Nn
thoracales VIII IX antara proc. xiphoideus dan umbilikus, N.thoracalis X setingi umbilikus
sedangkan N. Thoracalis XII mengurus pertengahan antara umbilikus dan symphisis osseus
pubis.

2. N. Lumbales I
N lumbalis I berjalan sejajar dengan Nn thoracales dan mempercabangkan :
N. iliohypogastricus
N. Iloinguinalis
Nn. Iliohypogastricus et ilioinguinales berjalan diantara m. Obliqusinternus abdominis
dan m. Transversus abdominis sampai spina iliaca anterior superior. Kira kira 2,5 cm
disebelah kranial annulus inguinalis superficialis, Nn. Iliohypogastricus menembus
aponeurosis otot serong dinding perut dan berubah menjadi saraf kulit.
N. Iloinguinalis berjalan di kanalis inguinalis lal mempersarafi kulit disekitar radix
penis, bagian ventral scrotum dan kulit tungkai atas didekatnya.
N thoracalis XII (N subcostalis) dan N lumbalis I merupakan saraf yang paling
penting karena keduanya mempersarafi alat alat penting di bagian kaudal dinding abdomen.

II.2 TRAUMA ABDOMEN
Definisi
Trauma adalah cedera fisik dan psikis, kekerasan yang mengakibatkan cedera.
Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis. Trauma penetrasi dan Trauma non
penetrasi.
1) Trauma penetrasi
a. Luka tembak
b. Luka tusuk
2) Trauma non-penetrasi
a. Kompresi
b. Hancur akibat kecelakaan
c. Sabuk pengaman
d. Cedera akselerasi

Trauma pada dinding abdomen terdiri kontusio dan laserasi :
1. Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi. Kontusio dinding abdomen
tidak terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah
dalam jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor.
2. Laserasi, jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga abdomen harus
dieksplorasi. Atau terjadi karena trauma penetrasi.


Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat
menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan
imonologi dan gangguan faal berbagai organ.


Trauma abdomen pada isi abdomen, menurut Sjamsuhidayat (1997) terdiri dari:
1.Perforasi organ viseral intraperitoneum
Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera pada dinding abdomen
2.Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen
Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli bedah.
3.Cedera thorak abdomen
Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri diafragma, atau sayap kanan
dan hati harus dieksplorasi.
Etiologi
1. Penyebab trauma penetrasi
- Luka akibat terkena tembakan
- Luka akibat tikaman benda tajam
- Luka akibat tusukan
2. Penyebab trauma non-penetrasi
- Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh
- Hancur (tertabrak mobil)
- Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut
- Cidera akselerasi / deserasi karena kecelakaan olah raga
Patofisiologi
Jika terjadi trauma penetrasi atau non-pnetrasi kemungkinan terjadi pendarahan intra
abdomen yang serius, pasien akan memperlihatkan tanda-tanda iritasi yang disertai
penurunan hitung sel darah merah yang akhirnya gambaran klasik syok hemoragik. Bila suatu
organ viseral mengalami perforasi, maka tanda-tanda perforasi, tanda-tanda iritasi peritonium
cepat tampak. Tanda-tanda dalam trauma abdomen tersebut meliputi nyeri tekan, nyeri
spontan, nyeri lepas dan distensi abdomen tanpa bising usus bila telah terjadi peritonitis
umum.
Bila syok telah lanjut pasien akan mengalami takikardi dan peningkatan suhu tubuh,
juga terdapat leukositosis. Biasanya tanda-tanda peritonitis mungkin belum tampak. Pada fase
awal perforasi kecil hanya tanda-tanda tidak khas yang muncul. Bila terdapat kecurigaan
bahwa masuk rongga abdomen, maka operasi harus dilakukan.
Manifestasi Klinis
Kasus trauma abdomen ini bisa menimbulkan manifestasi klinis meliputi: nyeri tekan
diatas daerah abdomen, distensi abdomen, demam, anorexia, mual dan muntah, takikardi,
peningkatan suhu tubuh, nyeri spontan.
Pada trauma non-penetrasi (tumpul) pada trauma non penetrasi biasanya terdapat adanya :
- Jejas atau ruktur dibagian dalam abdomen
- Terjadi perdarahan intra abdominal.
Apabila trauma terkena usus, mortilisasi usus terganggu sehingga fungsi usus tidak normal
dan biasanya akan mengakibatkan peritonitis dengan gejala mual, muntah, dan BAB hitam
(melena)
- Kemungkinan bukti klinis tidak tampak sampai beberapa jam setelah rauma.
- Cedera serius dapat terjadi walaupun tak terlihat tanda kontusio pada dinding abdomen.

Pada trauma penetrasi biasanya terdapat:
- Terdapat luka robekan pada abdomen
- Luka tusuk sampai menembus abdomen
- Penanganan yang kurang tepat biasanya memperbanyak perdarahan/memperparah keadaan
- Biasanya organ yang terkena penetrasi bisa keluar dari dalam andomen.

Diagnosa
Pada penderita hipotensi, tujuan sang dokter adalah secepatnya menentukan apakah
ada cedera abdomen dan apakah itu penyebab hipotensinya. Penderita yang normal
hemodinamiknya tanpa tanda tanda peritonitis dapat dilakukan evaluasi yang lebih teliti
untuk menentukan cedera fisik yang ada (trauma tumpul).
A. Riwayat trauma
Mekanisme peristiwa trauma sangat penting dalam menentukan kemungkinan cedera
organ intra-abdomen. Semua informasi harus diperoleh dari saksi mata kejadian trauma,
termasuk mekanisme cedera, tinggi jatuh, kerusakan interior dan eksterior kendaraan dalam
kecelakaan kendaraan bermotor, kematian lainnya di lokasi kecelakaan, tanda vital,
kesadaran, adanya perdarahan eksternal, jenis senjata, dan seterusnya.
B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan abdomen harus dilakukan dengan cara yang teliti dan sistematis dengan
urutan : inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi. Penemuannya, positif atau negatif , harus
direkam dengan teliti dalam catatan medis.
Pada saat kedatangan ke rumah sakit, mekanisme dan pemeriksaan fisik biasanya
akurat dalam menentukan cedera intra-abdomen pada pasien dengan kesadaran yang terjaga
dan responsif, meskipun terdapat keterbatasan pemeriksaan fisik. Banyak pasien dengan
perdarahan intra-abdomen yang moderat datang dalam kondisi hemodinamik yang
terkompensasi dan tidak memiliki tanda-tanda peritoneal
1. Inspeksi
Penderita harus ditelanjangi. Kemudian periksa perut depan dan belakang, dan juga
bagian bawah dada dan perineum, harus diperiksa untuk goresan, robekan, luka, benda asing
yang tertancap serta status hamil. Penderita dapat dibalikkan dengan hati hati untuk
mempermudah pemeriksaan lengkap.
2. Auskultasi
Melalui auskultasi ditentukan apakah bising usus ada atau tidak. Darah
intraperitoneum yang bebas atau kebocoran (ekstravasasi) abdomen dapat memberikan ileus,
mengakibatkan hilangnya bunyi usus. Cedera pada struktur berdektan seperti tulang iga,
tulang belakang, panggul juga dapat menyebabkan ileus meskipun tidak ada cedera di
abdomen dalam, sehingga tidak adanya bunyi usus bukan berarti pasti ada cedera intra-
abdominal.
3. Perkusi
Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat menunjukkan adanya
peritonitis yang masih meragukan. Perkusi juga dapat menunjukan bunyi timpani akibat
dilatasi lambung akut di kuadran atas atau bunyi redup bila ada hemiperitoneum.
4. Palpasi
Kecenderungan untuk menggerakan dinding abdomen (voluntary guarding) dapat
menyulitjan pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans muscular (involuntary guarding)
adalah tanda yang handal dari iritasi peritoneum. Tujuan palpasi adalah mendapatkan adanya
dan menentukan tempat dari nyeri tekan superfisial, nyeri tekan dalam atau nyeri lepas. Nyeri
lepas terjadi ketika tangan yang menyentuh perut dilepaskan tiba tiba, dan biasanya
menandakan peritonitis yang timbul akibat adanya darah atau isi usus. Dengan palpasi juga
dapat ditentukan uterus yang membesar dan diperkirakan umur janin.

C. Pemeriksaan penunjang
Selanjutnya, luka retroperitoneal dan panggul tidak dapat dikesampingkan hanya
didasarkan pada temuan fisik. Kami menganggap bahwa evaluasi abdomen yang objektif
diperlukan dan harus didapatkan dengan memanfaatkan salah satu modalitas diagnostik yang
tersedia di samping pemeriksaan fisik. Tes pilihan akan tergantung pada stabilitas
hemodinamik pasien dan keparahan cedera terkait.
Pasien hemodinamik stabil dengan trauma tumpul dan kondisi yang memadai dievaluasi oleh
studi USG abdomen atau CT, kecuali luka parah lain mengambil prioritas dan pasien harus
pergi ke ruang operasi sebelum evaluasi perut objektif. Dalam kasus seperti itu, peritoneal
lavage diagnostik biasanya dilakukan di ruang operasi untuk menyingkirkan cedera intra-
abdomen dan memerlukan eksplorasi bedah segera. Pasien trauma tumpul dengan
ketidakstabilan hemodinamik harus dievaluasi dengan USG di ruang resusitasi, jika tersedia,
atau dengan lavage peritoneum untuk menyingkirkan cedera intra-abdomen sebagai sumber
hilangnya darah dan hipotensi.

Pemeriksaan Rontgen
Pemeriksaaan ronsen servikal lateral, toraks anteroposterior (AP), dan pelvis adalah
pemeriksaan yang harus dilakukan pada penderita dengan multitrauma. Pada penderita yang
hemodinamik normal maka pemeriksaan ronsen abdomen dalam keadaan terlentang dan
berdiri (sambil melindungi tulang punggung) mungkin berguna untuk mengetahui uadara
ekstraluminal di retroperitoneum atau udara bebas di bawah diafragma, yang keduanya
memerlukan laparatomi segera. Hilangnya bayangan pinggang (psoas shadow) juga
menandakan adanya cedera retroperitoneum. Bila foto tegak dikontra-indikasikan karena
nyeri atau patah tulang punggung, dapat digunakan foto samping sambil tidur (left lateral
decubitus) untuk mengetahui udara bebas intraperitoneal.

Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL)
Diagnostik peritoneal lavage merupakan tes cepat dan akurat yang digunakan
untuk mengid entifikasi cedera intra-abdomen setelah trauma tumpul pada pasien
hipotensi atau tidak responsif tanpa indikasi yang jelas untuk eksplorasi abdomen.
Pemeriksaan ini harus dilakukan oleh tim bedah yang merawat penderita dengan
hemodinamik abnormal dan menderita multitrauma, teristimewa kalau terdapat situasi
sebagai berikut :
Perubahan sensorium cedera kepala,intoksikasi alkohol, penggunaan obat terlarang.
Perubahan perasaan cedera jaringan saraf tulang belakang.
Cedera pada struktur berdekatan tulang iga bawah, panggul, tulang belakang dari pinggang
bawah (lumbar spine).
Pemeriksaan fisik yang meragukan.
Antisipasi kehilangan kontak panjang dengan pasien

Pemeriksaan fisik awal abdomen sering gagal untuk mendeteksi cedera
abdomen yang signifikan dalam konteks trauma multisistem. Penundaan dalam mendiagnosis
menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan kematian, rawat inap berkepanjangan, dan
akhirnya, biaya kesehatan lebih besar. Pengenalan Diagnostik Peritoneal Lavagediagnostik
(DPL) pada tahun 1965 memberikan metode yang aman dan murah untuk dengan cepat
mengidentifikasi ancaman cedera intraperitoneal. Meskipun popularitas yang luas biasa dari
CT scan di Amerika Serikat dan ultrasonografi di Eropa dan Jepang, kami percaya DPL tetap
merupakan bagian integral dari evaluasi pasien trauma abdomen.
Ada tiga metode dasar memasukkan kateter DPL ke dalam rongga peritoneal.
Pendekatan tertutup terdiri dari memasukkan kateter dalam motode blind percutaneus.
Masalah utama dengan pendekatan ini adalah kedalaman penetrasi tidak dapat terukur, yang
membuat struktur intraperitoneal atau retroperitoneal mengalami risiko perforasi. Sayangnya,
teknik Seldinger wire pada orang dewasa masih kurang optimal karena kurangnya
pengembalian lavage. Prosedur terbuka, melintasi dinding perut dengan visualisasi langsung,
lebih aman, tapi menghabiskan lebih banyak waktu, dan udara dapat masuk ke dalam rongga
peritoneum. Kami lebih suka teknik semiopen dilakukan pada cincin infraumbilical sebagai
solusinya, pendekatan ini cepat, mudah, dan sangat dapat diandalkan. Prosedur yang sama
dapat digunakan pada pasien dengan fraktur panggul karena hematoma yang membesar di
anterior dibatasi oleh cincin infraumbilical. Sebelum memperkenalkan kateter dan DPL,
kandung kemih yang membesar didekompresi dengan NGT dan kateter Foley. Daerah
periumbilikalis dicukur, disiapkan dengan solusi povidone-iodida, dan dibungkus secara
steril. Daerah ini di anestesi dengan anestesi lokal (1% tanpa epinefrin Xylocaine). Sebuah
sayatan melengkung dibuat untuk satu sisi umbilikus, pada tingkat cincin infraumbilical.
Keuntungan dari membuat sayatan pada daerah ini adalah vaskularitas yang relatif sedikit,
kurangnya lemak preperitoneal, dan dinding dari peritoneum yang tidak keras karena
dihasilkan dari sisa-sisa arteri umbilikalis dan urachus. Sayatan dilakukan ke linea alba,
sambil memastikan hemostasis pasien secara teliti. Sebuah sayatan 5mm dibuat di linea alba,
dan ujung-ujung bebasnya difiksir dengan klem. Sementara meninggikan dinding perut
dengan traksi pada klem, kateter dialisis standar dengan trocar kemudian dimasukkan ke
dalam rongga peritoneum ke arah panggul. Setelah kateter dimasukkan ke dalam peritoneum,
trocar ditarik dan kateter diarahkan ke panggul
Kriteria standar untuk lavage peritoneal yang positif meliputi aspirasi
setidaknya 10 mL darah, lavage efluen berdarah, sel darah merah hitung lebih besar dari
100.000 / mm3, sel darah putih hitung lebih besar dari 500/mm3, amilase lebih besar dari 175
IU / dL, atau deteksi empedu, bakteri, atau serat makanan. Indikasi dan kontraindikasi untuk
peritoneal lavage tercantum dalam Kotak 20-3. Tes ini sangat sensitif terhadap adanya darah
intraperitoneal, namun, spesifisitas yang rendah dan karena tes positif mendorong eksplorasi
bedah, sejumlah besar eksplorasi akan nontherapeutic. Luka signifikan juga mungkin
terlewatkan oleh peritoneal lavage diagnostik. trauma diafragma, hematoma retroperitoneal,
dan ginjal, pankreas, kandung kemih luka duodenum, usus kecil, dan sering kurang
terdiagnosis oleh peritoneal lavage saja. Komplikasi jarang terjadi dan sebagian besar terkait
dengan cedera iatrogenik disebabkan selama penyisipan kateter ke dalam rongga perut.
Sebuah teknik semi-terbuka atau terbuka menjadi metode yang disukai untuk menghindari
atau mengurangi timbulnya komplikasi tersebut.
Diagnostik hasil lavage peritoneum dapat menyesatkan dengan adanya patah
tulang panggul. Hasil positif palsu diharapkan karena perdarahan dari retroperitoneum ke
dalam rongga peritoneal. Luka perut dan sisi anterior dapat secara akurat dievaluasi oleh
peritoneal lavage. Hasil positif palsu sering terjadi setelah peritoneal lavage karena
perdarahan dari dinding perut, sehingga meningkatkan jumlah eksplorasi negatif. Kelemahan
lain peritoneal lavage potensi adalah akurasi rendah dalam diagnosis cedera viskus berongga.
Masih ada perdebatan mengenai kriteria positif yang paling tepat untuk menentukan ambang
batas untuk eksplorasi bedah setelah menusuk luka perut. Jika jumlah sel darah merah
1000/mm3 dianggap, jumlah eksplorasi negatif mungkin di atas 20%. Jika hitungan 100.000 /
mm3 dianggap, tingkat cedera terjawab akan mendekati 5%. Tidak ada konsensus mengenai
hal ini, meskipun pusat-pusat trauma yang paling menggunakan ambang rendah (jumlah sel
antara 1000 dan 5000/mm3) untuk eksplorasi.
Diagnosis luka tusuk abdomen penetrasi perut anterior dapat dievaluasi dengan
diagnostik peritoneal lavage dalam upaya untuk menentukan apakah pasien berada dalam
keadaan gawat darurat atau tidak. Pasien dengan hemodinamik stabil disertai pemeriksaan
fisik yang normal diperiksa dan dievaluasi dengan peritoneal lavage tertutup. Jika jumlah sel
darah merah dalam cairan lavage lebih besar dari 1000/mm3, pasien dirawat untuk observasi.
Pasien dengan hemodinamik stabil disertai eviserasi tapi tanpa nyeri perut harus diobservasi
di ugd. Pada 44 pasien jumlah sel darah merah kurang dari 1000/mm3, 34 dipulangkan ke
rumah, dan tidak diperlukan laparotomi. Tiga puluh delapan pasien diamati karena jumlah sel
darah merah lebih besar dari 1000/mm3. Dari delapan pasien yang menunjukkan tanda-tanda
peritoneal dan menjalani laparotomi eksplorasi, ada lima pasien yang positif. Penulis
menyimpulkan bahwa pasien yang mempertahankan luka tusukan dapat pulang dengan aman
ke rumah jika jumlah sel darah merah kurang dari 1000/mm3, asalkan hemodinamik stabil
dan tidak memiliki indikasi yang jelas, berdasarkan pemeriksaan fisik, dan untuk intervensi
operatif. Tetapi pendekatan ini memerlukan validasi lebih lanjut.


Kriteria untuk trauma abdomen yang positif DPL berikut tumpul
Index Positive Equivocal
Aspirate
Blood >10 mL -
Fluid Enteric contents -
Lavage
Red blood cells >1.000.000 / mm
3
>20.000 / mm
3

White blood cells >1.000.000 / mm
3
>500 / mm
3

Enzyme Amylase >20 IU/L and
alkaline phosphatase >3
IU/L
Amilase >20 IU/L or
alkaline phosphatase >3
IU/L
Bile Confirmed
biomechanically
-





Ultrasound diagnostik (USG)
USG telah sering digunakan dalam beberapa tahun terakhir di
Amerika Serikat untuk evaluasi pasien dengan
trauma tumpul abdomen. Tujuan evaluasi USG untuk
mencari cairan intraperitonealbebas. Hal ini dapat dilakukan secepatnya, dan ini sama
akuratnya dengan diagnostik peritoneal lavage untuk mendeteksi hemoperitoneum. USG juga
dapat mengevaluasi hati dan limpa meskipun tujuan USG adalah untuk mencari cairan bebas
di intrapreitoneal. Mesin portabel dapat digunakan di ruangan resusitasiatau di gawat
darurat pada pasien dengan hemodinamik stabil tanpa menunda tindakan resusitasi pada
pasien tersebut. Keuntungan lain dari USG daripada diagnostik peritoneal lavage adalah USG
merupakan tindakan yang non-invasif. Tidak diperlukan adanya tindakan lebih
lanjut setelah USG dinyatakan negatifpada pasien yang stabil. Hasil CT
dari abdomen biasanya sama dengan USG bila hasilnya positif pada pasien yang
stabil. Keuntungan dan kerugian dari USG perut terdapat dalam Kotak 20-
4. Sensitivitasberkisar dari 85% sampai 99%, dan spesifisitas dari 97% sampai 100%.
Penggunaan USG untuk
evaluasi trauma tembus abdomen dilaporkan terbatas. Baru-baru ini, sebuah
studi prospektif dilakukan untuk mengevaluasi kegunaan USG sebagai tes skrining
pada trauma tembus dan pada trauma tumpul. Penelitian ini melibatkan luka tusuk serta luka
tembak. Sensitivitas USGkeseluruhan adalah 46% dan spesifisitas adalah 94%. Studi
ini menunjukkan bahwa USG pada trauma tembus tidak dapat diandalkan seperti pada trauma
tumpul. Jika USG positif, pasien harus dioperasi. Jikanegatif, pemeriksaan lebih lanjut harus
dilakukan.


Computed Tomography Abdomen (CT Scan Abdomen)
CT adalah metode yang paling sering digunakan untuk mengevaluasi pasien
dengan trauma abdomen tumpul yang stabil. Retroperitoneum dapat dievaluasi dengan baik
oleh CT. Indikasi dan kontraindikasi CT perut tercantum dalam Kotak 20-5. Kelemahan dari
CT adalah bahwa pasien harus dibawa ke ruangan radiologi, dan mahal dibandingkan dengan
tes lainnya. CT juga mengevaluasi cedera organ padat, dan pada pasien stabil dengan USG
positif itu diindikasikan cedera organ dan perlu untuk evaluasi dengan menggunakan
ekstravasasi kontras. Jika ekstravasasi media kontras terlihat, bahkan dalam trauma hepar
atau trauma limpa, maka suatu laparotomi eksplorasi atau, yang lebih baru lagi yaitu
angiografi dan embolisasi harus dilakukan. Indikasi lain untuk CT adalah dalam evaluasi
pasien dengan cedera organ padat yang awalnya dirawat dengan keadaan non-operatif yang
disertai adanya penurunan nilai hematokrit. Kekurangan CT yang paling utama adalah
ketidakmampuan untuk mendiagnosa cederal organ viskus berongga (Kotak 20-6). Biasanya,
adanya cairan bebas pada CT abdomen tanpa cedera organ padat harus diwaspadai adanya
cedera pada mesenterika, usus, atau kandung kemih, dan laparotomi eksplorasi harus segera
dilakukan.


Salah satu masalah yang paling menarik tentang evaluasi obyektif trauma
tumpul abdomen oleh CT adalah apa yang harus dilakukan ketika ditemukan adanya cairan
bebas tanpa tanda-tanda organ padat atau cedera mesenterika. Ditambah dengan sensitivitas
yang relatif kurang bagi CT untuk mendiagnosa cedera viskus berongga, itu menciptakan
dilema bagi dokter bedah. Pilihan yang baik untuk pasien adalah pembedahan eksplorasi
abdomen dan menerima tingkat resiko yang signifikan pada laparotomi nontherapeutic atau
untuk mengamati dan "bertindak" ketika tanda-tanda peritoneal berkembang, mengingat
bahwa keterlambatan dalam diagnosis cedera usus adalah fatal. Sebuah survei terbaru dari
dokter bedah trauma yang ditanya apa yang akan menjadi penatalaksanaan yang tepat pasien
dalam keadaan ini menunjukkan berbagai tanggapan: 42% akan melakukan diagnostik
peritoneal lavage, 28% akan mengamati pasien, 16% laparotomy eksplorasi, dan 12% akan
mengulangi CT perut. Keakuratan CT berkisar antara 92% sampai 98% dengan tingkat positif
palsu dan negatif palsu yang rendah.
Meskipun penggunaan CT abdomen dalam evaluasi trauma tembus abdomen
telah dibatasi karena sensitivitas rendah dalam mendiagnosis cedera usus dan cedera
diafragma, teknologi baru (CT spiral) telah dievaluasi dalam situasi ini dan dengan demikian
diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan penatalaksanaan nonoperative pada kasus
tertentu. Manajemen nonoperative luka tusukan di perut anterior telah ditekankan karena
tingkat morbiditas tinggi setelah laparotomi nontherapeutic. Dalam satu studi, triple kontras
heliks CT dievaluasi sebagai alat diagnostik pada cedera tembus abdomen. Penulis
menyimpulkan bahwa CT akurat untuk memprediksi kebutuhan laparotomi pada 95% pasien.




DPL VERSUS ULTRASOUND VERSUS CT SCAN PADA TRAUMA TUMPUL

DPL USG CT
Indikasi Menentukan adanya
perdarahan bila BP
Menentukan cairan
bila BP
Menentukan organ
cedra bila BP normal
Keuntungan Diagnostik cepat dan
sensitif, akurasi 98%
Diagnosis cepat,
tidak invasif dan
dapat diulang,
akurasi 86 97%
Paling spesifik untuk
cedera, akurasi 92
98%
Kerugian Invasif, gagal
mengetahui cedera
diafragma atau
cedera
retroperitoneum
Tergantung operator
distorsi gas usus dan
udara dibawah kulit,
gagal mengetahui
cedera diafragma
usus, dan pankreas
Membutuhkan biaya
dan waktu yang lebih
lama, tidak
mengetahui cedera
diafragma,pankreas
dan usus

Penatalaksanaan
Table 20-10--Liver Injury Scale 9 (1994 Revision)
GRADE
[*]

TYPE OF
INJURY DESCRIPTION OF INJURY
I Hematoma Subcapsular, <10% surface area
GRADE
[*]

TYPE OF
INJURY DESCRIPTION OF INJURY
Laceration Capsular tear, <1 cm in parenchymal depth
II Hematoma Subcapsular, 10%-50% surface area; intraparenchymal, <10 cm
in diameter
Laceration Capsular tear, 1-3 cm in parenchymal depth; <10 cm in length
III Hematoma Subcapsular, >50% surface area of ruptured subcapsular or
parenchymal hematoma; intraparenchymal hematoma, >10 cm or
expanding
Laceration 3 cm in parenchymal depth
IV Laceration Parenchymal disruption involving 25%-75% of the hepatic lobe
or 1-3 Couinaud segments
V Laceration Parenchymal disruption involving >75% of the hepatic lobe or >3
Couinaud segments within a single lobe
Vascular Juxtahepatic venous injuries, i.e., retrohepatic vena cava/central
major hepatic veins
VI Vascular Hepatic avulsion

Manajemen nonoperatif
Pada pasien cedera tumpul hepatik dengan hemodinamik stabil tanpa indikasi lain
untuk eksplorasipenanganan yang terbaik adalah dengan pendekatan konservatif
nonoperatif. Pasien yang stabil tanpa tanda-tanda peritoneal lebih baik dievaluasi dengan
menggunakan USG, dan jika ditemukan kelainan, CT scan dengan kontras harus
dilakukan. Dengan tidak adanya ekstravasasi kontras selama fase arteri CT scan, cedera yang
ada dapat ditangani secara nonoperatif. Kriteria klasik untuk penanganan nonoperative pada
trauma hepar diantaranya adalahstabilitas hemodinamik, status mental normal, tidak adanya
indikasi yang jelas untuk laparotomi seperti tanda peritoneum, trauma hepar kelas rendah
(kelas I-III), dan kebutuhan transfusi kurang dari 2 unit darah. Baru-baru ini, kriteria ini telah
ditantang dan indikasi yang lebih luas untuk manajemen nonoperative telah digunakan. Telah
menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang dipantau hematokritnya secara serial dan
tanda-tanda vital bukan oleh pemeriksaan abdomen serial, yang merupakan alasan mengapa
status mental yang utuh bukan sine qua nonuntuk manajemen nonoperative. Selanjutnya, jika
hematokrit turun, sebagian besar pasien akan menjalani CT scan ulang untuk mengevaluasi
dan mengukur hemoperitoneum tersebut. Keberhasilan melaporkan keseluruhan manajemen
nonoperative cedera tumpul hati sebesar 90%. Tingkat keberhasilan penanganan
nonoperatif dari nilai cedera I hingga III sekitar 95%, sedangkan untuk cedera kelas IV dan V
tingkat keberhasilan menurun menjadi 75% sampai 80%. Dengan menggunakan angiografi
dan embolisasi superselective pada pasien dengan perdarahan yang persisten, tingkat
keberhasilan mungkin sebenarnya lebih tinggi.
Embolisasi angiografik telah ditambahkan ke protokol untuk manajemen
nonoperative trauma hepar di beberapa institusi dalam upaya untuk mengurangi kebutuhan
untuk transfusi darah dan jumlah operasi.
Pasien dirawat di unit perawatan intensif untuk dipantau tanda-tanda vital dan
hematokritnya. Biasanya, setelah 48 jam pasien dipindahkan ke unit perawatan intermediate,
di mana mereka mulai diet oral, namun mereka tetap istirahat sampai hari ke 5 post-injury.
Aktivitas fisik dapat normal kembali setelah 3 bulan dari waktu cedera.
Sebuah studi multicenter baru-baru ini mencoba untuk menentukan faktor risiko
dini morbiditas setelah manajemen nonoperative pada trauma tumpul hepar yang parah (kelas
III-V). Para penulis melaporkan tingkat komplikasi dari masing-masing trauma hepar kelas
III, IV dan V yaitu 5%, 22%, dan 52%.
Saat ini, tidak ada kriteria seleksi tunggal dapat memprediksi pasien akan
gagal dalam manajemen nonoperatif.
Croce dan rekan melakukan analisa prospektif pada 112
pasien yang dirawat secara nonoperatif selama periode 22-bulan. Mereka melaporkan tingkat
kegagalan 11% (12 pasien), dengan lima kegagalan yang terkait hati. Tidak ada hubungan
antara kelas cedera dan meningkatnya tingkat kegagalan. Para penulis menyimpulkan bahwa
manajemen nonoperative aman terlepas dari keparahan cedera pada pasien hemodinamik
stabil; itu mengakibatkanlebih rendah terjadinya komplikasi septik perut dan kebutuhan
transfusi menurun. Mereka juga membandingkan 70 pasien dengan grade III-V
ditangani nonoperatif dengan 50 pasien yang menjalani intervensi bedah. Transfusi darah
pada 48 jam terdiri dari 2,2 dan 5,8 unit, dan kematian adalah 7% dan 4% untuk kontrol
nonoperative dan operasi. Meskipun kebutuhan transfusi sedikit lebih rendah pada kelompok
nonoperative, tidak ada perbedaan yang bermakna dalam hal mortalitas.
Manajemen pasien dengan ekstravasasi kontras selama fase arteri CT masih
diperdebatkan. Fang dan rekan mengusulkan sistem klasifikasi berdasarkan lokasi dan
karakter ekstravasasi dan penyatuan bahan kontras dari laserasi hati pada CT. Pada tipe 1, ada
kontras ekstravasasi ke rongga peritoneum. Semua pasien dalam kategori ini yang dibutuhkan
intervensi operasi. Tipe 2 terdiri dari hemoperitoneum dan ekstravasasi bahan kontras dalam
parenkim hati. Para penulis merekomendasikan bahwa pasien dalam kategori ini menjalani
angiografi dengan embolisasi, meskipun beberapa akan memerlukan intervensi operasi. Tipe
3 ditandai dengan tidak hemoperitoneum dan ekstravasasi bahan kontras dalam parenkim
hati.
Angiografi diperlukan dalam subkelompok pasien, dan hasilnya biasanya baik.
Ciraulo dan rekan kerja dianalisis kelompok dari 11 pasien yang membutuhkan resusitasi
cairan yang terus menerus, dengan 7 embolisasi yang membutuhkan. Semua upaya
embolisasi berhasil. Para penulis menyimpulkan bahwa hati embolisasi arteri merupakan
alternatif dalam pengelolaan pasien dengan cedera hati yang berat yang memerlukan
resusitasi cairan yang terus menerus, sehingga menjembatani pilihan terapeutik intervensi
operatif dan nonoperative
Perhatian yang paling penting dari manajemen nonoperative adalah potensi untuk
cedera terjawab, terutama perforasi viskus berongga. Keterlambatan dalam mendiagnosis
cedera viskus berongga dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan
meningkat.


Manajemen operatif
Rencana untuk melakukan operasi yang mendesak merupakan triage yang dilakukan
di UGD dan keputusan untuk operasi dibuat oleh ahli bedah trauma. Ruang operasi di banyak
rumah sakit tidak segera berdekatan dengan departemen gawat darurat dan dapat dihapus
lebih lanjut jika pasien harus menjalani evaluasi di departemen radiologi. Jadi, waktu
transportasi pasien ke ruang operasi sangat penting dan tergantung pada mekanisme cedera,
status fisiologis pasien dan respon terhadap resusitasi, hasil studi diagnostik kritis dan
konsultasi yang tepat, dan ketersediaan ruang operasi. Untuk pasien dengan syok refrakter
menyusul luka tembak perut dapat dirawat dalam unit gawat darurat tinggal dalam waktu
yang singkat (misalnya 10 sampai 15 menit), sedangkan pasien yang stabil dengan trauma
tumpul multisistem mungkin dapat tetap dirawat dalam ruang unit gawat darurat atau
departemen radiologi untuk beberapa waktu. Triase yang prematur untuk memasukkan pasien
ke ruang operasi dapat mengakibatkan laparotomy yang tidak perlu, penundaan dalam
evaluasi keadaan pasien, atau ancaman terhadap anggota tubuh sebagai cedera extra
abdominal. Namun, penundaan di unit gawat darurat dapat mengakibatkan kerusakan
fisiologis yang mengarah ke shock ireversibel dan koagulopati. Transfer ke ruang operasi
harus dilakukan oleh personel yang berpengalaman siap mengelola keadaan darurat akut.
Kesalahan umum meliputi manajemen jalan nafas yang tidak memadai, tabung oksigen, garis
aman, dan pemantauan pasien yang tidak baik. Setiap rumah sakit harus menetapkan protokol
untuk memastikan transportasi pasien tepat waktu, efisien, dan aman dari ruang resusitasi
gawat darurat menuju ke ruang operasi.
Rencana pengelolaan untuk pasien dengan trauma abdomen yang signifikan diuraikan pada
Gambar 22-3.

Pasien yang datang dengan tanda-tanda peritonitis atau massive hemoperitoneum
adalah diintubasi, resusitasi cairan, dan ditransfer ke ruang operasi untuk eksplorasi abdomen.
Pasien yang mengalami cedera akibat transfer energi yang tinggi, seperti ketika mabuk atau
dengan cedera kepala secara bersamaan, menjalani DPL sebagai evaluasi awal. DPL yang
positif pada pasien yang memiliki resiko tinggi seperti ini memerlukan eksplorasi abdomen
yang segera. Pasien dengan hemodinamik yang stabil yang memiliki hasil DPL samar-samar
(20,000-100,000 RBC/mm3) menjalani CT scan abdomen untuk menyingkirkan cedera organ
utama yang solid. Cedera limpa dan hati pada pasien dewasa dieksplorasi dan cedera yang
lebih ringan harus diamati. Pasien yang secara hemodinamik stabil mengalami cedera akibat
dari transfer energy rendah dievaluasi oleh CT scan abdomen dan diamati jika kelas <III
cedera organ visceral padat dikonfirmasi. Atau, jika CT scan tidak tersedia, atau ada beberapa
pasien, DPL digunakan sebagai tes skrining awal dengan hasil positif lebih lanjut ditandai
dengan CT scan. Mereka yang hadir> 12 jam setelah trauma diamati atau dievaluasi dengan
CT abdomen, tergantung pada pemeriksaan awal fisik dan cedera yang berhubungan.
Algoritma diagnostik memberikan pedoman umum untuk evaluasi awal, sebagai informasi
lebih lanjut, algoritma ini dimodifikasi sesuai kebutuhan dengan menyertakan intervensi
tambahan atau terapeutik diagnostik. Intervensi ini mungkin termasuk (1) x-ray mempelajari
tulang belakang, dada dan plevis, (2) CT scan kepala, (3) pyelography intravena, (4)
cystourethrography retrograd, (5) duodenography kontras, atau (6) diagnostik atau terapi
angiografi.
Algoritma keputusan juga dimodifikasi untuk pasien hamil atau pasien anak.
Kehamilan mengubah kedua kerentanan terhadap cedera tumpul dan respon fisiologis
terhadap cedera. Uterus gravid menempati panggul dan perut bagian bawah dan, karenanya,
rentan terhadap berbagai hasil dari pukulan langsung atau cedera sabuk pengaman. Ini
menyebabkan hasil dalam spektrum cedera dari ringan jaringan lunak kontusio gangguan
dinding rahim atau abrupsio plasental dan exsanguination potensial, serta keguguran janin.
Dengan demikian, tata laksana cedera minor dari pasien wanita seperti ini harus segera
dilakukan. Kami secara rutin menggunakan DPL (teknik terbuka) pada pasien hamil
sekaligus mengevaluasi uterus gravid dengan USG, pemantauan janin invasif, atau
amniosentesis.
Ketidakstabilan hemodinamik, ruptur uterus, plasenta, gawat janin, dan amniosentesis
berdarah indikasi untuk eksplorasi perut darurat dan evakuasi uterus, dengan kemungkinan
terburuk adalah histerektomi.
Evaluasi trauma pada pediatrik memberi tantangan khusus untuk para klinisi karena
dengan ukuran dan fisiologi yang unik dari anak-anak. Elastisitas tulang rusuk yang lebih
rendah dan ukuran dari rongga abdomen yang relatif besar meningkatkan kerentanan untuk
mengalami cedera intra-abdominal. Di sisi lain, pola cedera ditemui pada populasi pediatrik
dan potensi yang lebih besar untuk hemostasis spontan menjamin pendekatan yang lebih
selektif. Hepar dan limpa merupakan cedera yang umum dan sering orang tua setuju untuk
dilakukan tindakan non-operative, sedangkan fraktur pankreas merupakan kejadian yang
sering dan perforasi usus jarang terjadi. Terlepas dari kenyataan ini, kami mempertahankan
sikap agresif terhadap evaluasi abdomen karena keadaan fisiologis yang terbatas pada anak-
anak. DPL terlalu positif pada anak-anak dengan hemodinamik stabil dievaluasi lebih lanjut
dengan CT scan untuk memastikan cedera organ padat yang dapat dikelola. Namun,
eksplorasi abdomen awal dilakukan pada pasien dengan keadaan hemodinamik yang tidak
stabil, kebutuhan untuk transfusi darah sedang berlangsung, dan lavage peritoneal positif oleh
enzim.























BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

III.1 Kesimpulan
Pasien yang datang dengan tanda-tanda peritonitis atau massive hemoperitoneum
adalah diintubasi, resusitasi cairan, dan ditransfer ke ruang operasi untuk eksplorasi abdomen.
Pasien yang mengalami cedera akibat transfer energi yang tinggi, seperti ketika mabuk atau
dengan cedera kepala secara bersamaan, menjalani DPL sebagai evaluasi awal. DPL yang
positif pada pasien yang memiliki resiko tinggi seperti ini memerlukan eksplorasi abdomen
yang segera. Pasien dengan hemodinamik yang stabil yang memiliki hasil DPL samar-samar
(20,000-100,000 RBC/mm3) menjalani CT scan abdomen untuk menyingkirkan cedera organ
utama yang solid. Cedera limpa dan hati pada pasien dewasa dieksplorasi dan cedera yang
lebih ringan harus diamati. Pasien yang secara hemodinamik stabil mengalami cedera akibat
dari transfer energy rendah dievaluasi oleh CT scan abdomen dan diamati jika kelas <III
cedera organ visceral padat dikonfirmasi. Atau, jika CT scan tidak tersedia, atau ada beberapa
pasien, DPL digunakan sebagai tes skrining awal dengan hasil positif lebih lanjut ditandai
dengan CT scan.

III.2 Saran
Penegakan diagnosis secara dini pada trauma abdomen sangat penting sehingga perlu
pengetahuan dan pemahaman mengenai trauma abdomen. Dengan demikian, penatalaksanaan
dapat segera dilakuan untuk mencegah terjadinya komplikasi lanjut.












DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidayat. 1997, Buku Ajar Bedah,EC, Jakarta.
Doenges. 2000, Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan
Pendokumentasian perawatan pasien, Edisi 3, EGC, Jakarta.
Carpenito, 1998 Buku saku: Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis, Edisi 6,
EGC ; Jakarta.
Schwartz. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah Edisi 6. EGC. Jakarta: 2000.
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1.UI : Media Aesculapius
http://health.groups.yahoo.com/group/indofirstaid/24,04,2008 12.29am
http://www.primarytraumacare.org/ptcmam/training/ppd/ptc_indo.pdf/ 04,24,2008 13.10am

http://www.dokterbedahherryyudha.com/2012/05/abdominal-trauma.html#more

bahan 2
LAPORAN PENDAHULUAN DAN
ASUHAN KEPERAWATAN
TRAUMA ABDOMEN





Disusun oleh:

Lutfy Nooraini

4.0.11.1060


PRODI DIII KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN (FIKES)
UNIVERSITAS SAINS AL-QURAN (UNSIQ)
JATENG DI WONOSOBO
2014


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam era Modernisasi kemajuan dibidang tekhnologi trasnportasi dan
semakin berkembangnya mobilitas manusia berkendaraan di jalan raya, menyebabkan kecelakaan
yang terjadi semakin meningkat serta angka kematian semakin tinggi. Salah satu kematian akibat
kecelakaan adalah diakibatkan trauma abdomen. Kecelakaan laulintas merupakan penyebab
kematian 75 % trauma tumpul abdomen, sedangkan penyebab lainnya adalah penganiayaan,
kecelakaan olahraga dan terjatuh dari tempat ketinggian, sedangkan akibat dari penganiayaan
ini disebabkan oleh karena senjata tajam dan peluru. Oleh karena hal tersebut diatas akan
mengakibatkan kerusakan dan menimbulkan robekan dari organ organ dalam rongga abdomen
atau mengakibatkan penumpukan darah dalam rongga abdomen yang berakibat kematian. Di
Rumah Sakit data kejadian trauma abdomen masih cukup tinggi. Dalam kasus ini Waktu adalah
nyawa dimana dibutuhkan suatu penanganan yang professional yaitu cepat, tepat, cermat dan
akurat, baik di tempat kejadian ( pre hospital ), transportasi sampai tindakan definitif di rumah sakit.
Tindakan definitif dengan jalan pembedahan sangatlah penting dilakukan, oleh karena itu
dibutuhkan kerja sama antara pasien, keluarga pihak dokter maupun perawat sebagai mitra kerja
ataupun merupakan Team Work dalam melaksanakan tindakan pembedahan sekaligus memberikan
Asuhan Keperawatan. Perawat merupakan ujung tombak dan berperan aktif dalam memberikan
pelayanan membantu klien mengatasi permasalahan yang dirasakan baik dari aspek psikologis
maupun aspek fisiologi secara komprehensif. Mengingat kurangnya pengetahuan dan pengertian
klien maupun keluarga tentang penyakit atau sebab dan akibat dari trauma dan alasan tindakan
therapy pembedahan yang dilakukan, oleh karena itu sangatlah diperlukan informasi yang adequat.
Dengan demikian klien dan keluarga akan kooperatif dan tingkat kecemasan berkurang. Berdasarkan
alasan yang dikemukakan diatas, maka penulis tertarik untuk mengambil judul Asuhan
Keperawatan Klien Tn.T.dengan masalah keperawatan pre operatif trauma tumpul abdomen di
ruang yakud RSUD.H.DAMANHURI BARABAI.

B. TUJUAN
a) Memahami pengertian, penyebab, klasifikasi, anatomi fisiologi, perjalanan penyakit, Manifestasi
klinis, Komplikasi, Pemeriksaan diagnostic, dan pelaksanaan , beserta konsep dasar asuhan
keperawatan.
b) Menggunakan proses keperawatan sebagai kerangka kerja untuk perawatan pasien penderita
trauma abdomen
c) Menguraikan prosedur perawatan yang digunakan untuk pasien penderita trauma abdomen


BAB II
KONSEP DASAR

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Abdomen ialah rongga terbesar dalam tubuh. Bentuk lonjong dan meluas dari atas diafragma
sampai pelvis dibawah. Rongga abdomen dilukiskan menjadi dua bagian abdomen yang
sebenarnya, yaitu rongga sebelah atas dan yang lebih besar, dan pelvis yaitu rongga sebelah bawah
dan kecil.
Batasan batasan abdomen. Di atas, diafragma, Di bawah, pintu masuk panggul dari panggul
besar. Di depan dan kedua sisi, otot otot abdominal, tulang tulang illiaka dan iga iga sebelah
bawah. Di belakang, tulang punggung, dan otot psoas dan quadratrus lumborum.
Isi Abdomen. Sebagaian besar dari saluran pencernaan, yaitu lambung, usus halus, dan usus
besar. Hati menempati bagian atas, terletak di bawah diafragma, dan menutupi lambung dan bagian
pertama usus halus. Kandung empedu terletak dibawah hati. Pankreas terletak dibelakang lambung,
dan limpa terletak dibagian ujung pancreas. Ginjal dan kelenjar suprarenal berada diatas dinding
posterior abdomen. Ureter berjalan melalui abdomen dari ginjal. Aorta abdominalis, vena kava
inferior, reseptakulum khili dan sebagaian dari saluran torasika terletak didalam abdomen.
Pembuluh limfe dan kelenjar limfe, urat saraf, peritoneum dan lemak juga dijumpai dalam
rongga ini.

B. DEFINISI
Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional (Dorland, 2002).
Trauma abdomen adalah pukulan / benturan langsung pada rongga abdomen yang
mengakibatkan cidera tekanan/tindasan pada isi rongga abdomen, terutama organ padat (hati,
pancreas, ginjal, limpa) atau berongga (lambung, usus halus, usus besar, pembuluh pembuluh
darah abdominal) dan mengakibatkan ruptur abdomen. (Temuh Ilmiah Perawat Bedah Indonesia, 13
Juli 2000).
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus
serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
Trauma perut merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa
tembusnya dinding perut dimana pada penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan
dapat pula dilakukan tindakan laparatomi (FKUI, 1995).
Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat
menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan imonologi dan
gangguan faal berbagai organ (Sjamsuhidayat, 1997).

C. ETIOLOGI / FAKTOR PENYEBAB
Kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari ketinggian.
Menurut sjamsuhidayat, penyebab trauma abdomen adalah, sebagai berikut :
1. Penyebab trauma penetrasi
Luka akibat terkena tembakan
Luka akibat tikaman benda tajam
Luka akibat tusukan
2. Penyebab trauma non-penetrasi
Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh
Hancur (tertabrak mobil)
Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut
Cidera akselerasi / deserasi karena kecelakaan olah raga

KLASIFIKASI
Trauma pada dinding abdomen terdiri dari :
1. Kontusio dinding abdomen
Disebabkan trauma non-penetrasi. Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen,
kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa darah dapat
menyerupai tumor.
2. Laserasi
Jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga abdomen harus di eksplorasi. Atau
terjadi karena trauma penetrasi.
Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat menyebabkan
perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal
berbagai organ.
Trauma abdomen pada isi abdomen, menurut Suddarth & Brunner (2002) terdiri dari:
1. Perforasi organ viseral intraperitoneum
Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera pada
dinding abdomen.
2. Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen
Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli bedah.
3. Cedera thorak abdomen
Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri diafragma, atau
sayap kanan dan hati harus dieksplorasi

D. PATHOFISIOLOGI
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalulintas,
penganiayaan, kecelakaan olah raga dan terjatuh dari ketinggian), maka beratnya trauma
merupakan hasil dari interaksi antara faktor faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan
tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk)
untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan dari
jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini juga karakteristik dari
permukaan yang menghentikan tubuh juga penting. Trauma juga tergantung pada elastitisitas dan
viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan
yang sebelumnya. Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun
ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut..
Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati
ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah
posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra
abdominal yang disebabkan beberapa mekanisme :
Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan dari luar seperti
benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar dapat mengakibatkan terjadinya
ruptur dari organ padat maupun organ berongga.
Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae atau struktur
tulang dinding thoraks.
Terjadi gaya akselerasi deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya robek pada organ
dan pedikel vaskuler.

Pohon masalah:

Trauma
(kecelakaan)

Penetrasi & Non-Penetrasi

Terjadi perforasi lapisan abdomen
(kontusio, laserasi, jejas, hematom)

Menekan saraf peritonitis

Terjadi perdarahan jar.lunak dan rongga abdomen Nyeri

Motilitas usus

Disfungsi usus Resiko infeksi

Refluks usus output cairan berlebih

Gangguan cairan Nutrisi kurang dari
dan eloktrolit kebutuhan tubuh

Kelemahan fisik

Gangguan mobilitas fisik

(Sumber : Mansjoer,2001)

E. MANIFESTASI KLINIS
Kasus trauma abdomen ini bisa menimbulkan manifestasi klinis menurut Sjamsuhidayat
(1997), meliputi: nyeri tekan diatas daerah abdomen, distensi abdomen, demam, anorexia, mual dan
muntah, takikardi, peningkatan suhu tubuh, nyeri spontan.
Pada trauma non-penetrasi (tumpul) biasanya terdapat adanya:
Jejas atau ruftur dibagian dalam abdomen
Terjadi perdarahan intra abdominal.
Apabila trauma terkena usus, mortilisasi usus terganggu sehingga fungsi usus tidak normal dan
biasanya akan mengakibatkan peritonitis dengan gejala mual, muntah, dan BAB hitam (melena).
Kemungkinan bukti klinis tidak tampak sampai beberapa jam setelah trauma.
Cedera serius dapat terjadi walaupun tak terlihat tanda kontusio pada dinding abdomen.
Pada trauma penetrasi biasanya terdapat:
Terdapat luka robekan pada abdomen.
Luka tusuk sampai menembus abdomen.
Penanganan yang kurang tepat biasanya memperbanyak perdarahan/memperparah keadaan.
Biasanya organ yang terkena penetrasi bisa keluar dari dalam andomen.

Menurut (Hudak & Gallo, 2001) tanda dan gejala trauma abdomen, yaitu :
1. Nyeri
Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang berat. Nyeri dapat timbul di bagian yang
luka atau tersebar. Terdapat nyeri saat ditekan dan nyeri lepas.
2. Darah dan cairan
Adanya penumpukan darah atau cairan dirongga peritonium yang disebabkan oleh iritasi.
3. Cairan atau udara dibawah diafragma
Nyeri disebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limpa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi
rekumben.
4. Mual dan muntah
5. Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah)
Yang disebabkan oleh kehilangan darah dan tanda-tanda awal shock hemoragi.

F. KOMPLIKASI
Segera : hemoragi, syok, dan cedera.
Lambat : infeksi (Smeltzer, 2001).


G. PENATALAKSANAAN
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Foto thoraks
Untuk melihat adanya trauma pada thorak.
2. Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan Hb diperlukan untuk base-line data bila terjadi perdarahan terus menerus.
Demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit. Pemeriksaan leukosit yang melebihi 20.000/mm
tanpa terdapatnya infeksi menunjukkan adanya perdarahan cukup banyak kemungkinan ruptura
lienalis. Serum amilase yang meninggi menunjukkan kemungkinan adanya trauma pankreas atau
perforasi usus halus. Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan trauma pada hepar.
3. Plain abdomen foto tegak
Memperlihatkan udara bebas dalam rongga peritoneum, udara bebas retroperineal dekat
duodenum, corpus alineum dan perubahan gambaran usus.
4. Pemeriksaan urine rutin
Menunjukkan adanya trauma pada saluran kemih bila dijumpai hematuri. Urine yang jernih
belum dapat menyingkirkan adanya trauma pada saluran urogenital.
5. VP (Intravenous Pyelogram)
Karena alasan biaya biasanya hanya dimintakan bila ada persangkaan trauma pada ginjal.
6. Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL)
Dapat membantu menemukan adanya darah atau cairan usus dalam rongga perut. Hasilnya
dapat amat membantu. Tetapi DPL ini hanya alat diagnostik. Bila ada keraguan, kerjakan laparatomi
(gold standard).
1) Indikasi untuk melakukan DPL adalah sebagai berikut :
Nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya
Trauma pada bagian bawah dari dada
Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas
Pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat, alkohol, cedera otak)
Pasien cedera abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum tulang belakang)
Patah tulang pelvis
2) Kontra indikasi relatif melakukan DPL adalah sebagai berikut :
Hamil
Pernah operasi abdominal
Operator tidak berpengalaman
Bila hasilnya tidak akan merubah penatalaksanaan
7. Ultrasonografi dan CT Scan
Sebagai pemeriksaan tambahan pada penderita yang belum dioperasi dan disangsikan
adanya trauma pada hepar dan retroperitoneum.
Penatalaksanaan Medis :
1) Abdominal paracentesis
Menentukan adanya perdarahan dalam rongga peritonium, merupakan indikasi untuk laparotomi.
2) Pemeriksaan laparoskopi
Mengetahui secara langsung penyebab abdomen akut.
3) Pemasangan NGT
Memeriksa cairan yang keluar dari lambung pada trauma abdomen.
4) Pemberian antibiotik
Mencegah infeksi.
5) Laparotomi
Penatalaksanaan keperawatan:
1) Mulai prosedur resusitasi (memperbaiki jalan napas, pernapasan, sirkulasi) sesuai indikasi.
2) Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan ; gerakkan dapat menyebabkan fragmentasi
bekuan pada pada pembuluh darah besar dan menimbulkan hemoragi masif.
a) Pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan pernapasan serta sistem saraf.
b) Jika pasien koma, bebat leher sampai setelah sinar x leher didapatkan.
c) Gunting baju dari luka.
d) Hitung jumlah luka.
e) Tentukan lokasi luka masuk dan keluar.
3) Kaji tanda dan gejala hemoragi.
4) Kontrol perdarahan dan pertahanan volume darah sampai pembedahan dilakukan.
5) Aspirasi lambung dengan selang nasogastrik. Prosedur ini membantu mendeteksi luka lambung,
mengurangi kontaminasi terhadap rongga peritonium, dan mencegah komplikasi paru karena
aspirasi.
6) Tutupi visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan salin basah untuk mencegah
kekeringan visera.
7) Pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan kepastian adanya hematuria dan pantau
haluaran urine.
8) Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok, kehilangan darah, adanya udara
bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau hematuria.


BAB III
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Aktifitas/istirahat
Data Subyektif : Pusing, sakit kepala, nyeri, mulas,
Data Obyektif : Perubahan kesadaran, masalah dalam keseim Bangan cedera (trauma)
2. Sirkulasi
Data Obyektif: kecepatan (bradipneu, takhipneu), polanapas(hipoventilasi,hiperventilasi, dll).
3. Integritas ego
Data Subyektif : Perubahan tingkah laku/ kepribadian (tenang atau dramatis)
Data Obyektif : Cemas, Bingung, Depresi.
4. Eliminasi
Data Subyektif : Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi.
5. Makanan dan cairan
Data Subyektif : Mual, muntah, dan mengalami perubahan Selera makan.
Data Obyektif : Mengalami distensi abdomen.
6. Neurosensori.
Data Subyektif : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo
Data Obyektif : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental,Kesulitan dalam
menentukan posisi tubuh.
7. Nyeri dan kenyamanan
Data Subyektif : Sakit pada abdomen dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Data Obyektif : Wajah meringis, gelisah, merintih.
8. Pernafasan
Data Subyektif : Perubahan pola nafas.
9. Keamanan
Data Subyektif : Trauma baru/ trauma karena kecelakaan.
Data Obyektif : Dislokasi gangguan kognitif.
Gangguan rentang gerak.

B. Diagnosa Keperawatan
a. Defisit volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan perdarahan
b. Nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka penetrasi abdomen.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan, tidak adekuatnya pertahanan tubuh
d. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi dan perubahan status kesehatan
e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik

C. Perencanaan
a) Defisit Volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan perdarahan
Tujuan : Terjadi keseimbangan volume cairan.
K.H : Kebutuhan cairan terpenuhi
Intervensi :
1. Kaji tanda-tanda vital
R/ untuk mengidentifikasi defisit volume cairan
2. Pantau cairan parenteral dengan elektrolit, antibiotik dan vitamin
R/ mengidentifikasi keadaan perdarahan
3. Kaji tetesan infus
R/ awasi tetesan untuk mengidentifikasi kebutuhan cairan.
4. Kolaborasi : Berikan cairan parenteral sesuai indikasi.
R/ cara parenteral membantu memenuhi kebutuhan nuitrisi tubuh.
5. Tranfusi darah
R/ menggantikan darah yang keluar.

b) Nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka penetrasi abdomen.
Tujuan : Nyeri teratasi
K.H : Nyeri berkurang atau hilang.
Intervensi :
1. Kaji karakteristik nyeri
R/ mengetahui tingkat nyeri klien.
2. Beri posisi semi fowler.
R/ mengurngi kontraksi abdomen
3. Anjurkan tehnik manajemen nyeri seperti distraksi
R/ membantu mengurangi rasa nyeri dengan mengalihkan perhatian
4. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.
R/ analgetik membantu mengurangi rasa nyeri.
5. Managemant lingkungan yang nyaman
R/ lingkungan yang nyaman dapat memberikan rasa nyaman klien

c) Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan, tidak adekuatnya pertahanan tubuh.
Tujuan : Tidak terjadi infeksi
K.H : tidak ada tanda-tanda infeksi
Intervensi :
1. Kaji tanda-tanda infeksi
R/ mengidentifikasi adanya resiko infeksi lebih dini.
2. Kaji keadaan luka
R/ keadaan luka yang diketahui lebih awal dapat mengurangi resiko infeksi.
3. Kaji tanda-tanda vital
R/ suhu tubuh naik dapat di indikasikan adanya proses infeksi.
4. Perawatan luka dengan prinsip sterilisasi
R/ teknik aseptik dapat menurunkan resiko infeksi nosokomial
5. Kolaborasi pemberian antibiotik
R/ antibiotik mencegah adanya infeksi bakteri dari luar

d) Ansietas berhubungan dengan krisis situasi dan perubahan status kesehatan
Tujuan : Ansietas teratasi
K.H : Klien tampak rileks
Intervensi :
1. Kaji perilaku koping baru dan anjurkan penggunaan ketrampilan yang berhasil pada waktu lalu
R/ koping yang baik akan mengurangi ansietas klien.
2. Dorong dan sediakan waktu untuk mengungkapkan ansietas dan rasa takut dan berikan
penanganan
R/ mengetahui ansietas, rasa takut klien bisa mengidentifikasi masalah dan untuk memberikan
penjelasan kepada klien.
3. Jelaskan prosedur dan tindakan dan beri penguatan penjelasan mengenai penyakit
R/ apabila klien tahu tentang prosedur dan tindakan yang akan dilakukan, klien mengerti dan
diharapkan ansietas berkurang
4. Pertahankan lingkungan yang tenang dan tanpa stres
R/ lingkungan yang nyaman dapat membuat klien nyaman dalam menghadapi situasi
5. Dorong dan dukungan orang terdekat
R/ memotifasi klien

e) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik
Tujuan : Dapat bergerak bebas
K.H: Mempertahankan mobilitas optimal
Intervensi :
1. Kaji kemampuan pasien untuk bergerak
R/ identifikasi kemampuan klien dalam mobilisasi
2. Dekatkan peralatan yang dibutuhkan pasien
R/ meminimalisir pergerakan kien
3. Berikan latihan gerak aktif pasif
R/ melatih otot-otot klien
4. Bantu kebutuhan pasien
R/ membantu dalam mengatasi kebutuhan dasar klien
5. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi.
R/ terapi fisioterapi dapat memulihkan kondisi klien
BAB IV
PENUTUP

1. Kesimpulan
Trauma tumpul abdomen adalah pukulan / benturan langsung pada rongga abdomen yang
mengakibatkan cidera tekanan/tindasan pada isi rongga abdomen, terutama organ padat (hati,
pancreas, ginjal, limpa) atau berongga (lambung, usus halus, usus besar, pembuluh pembuluh
darah abdominal) dan mengakibatkan ruptur abdomen. Trauma abdomen disebabkan oleh
Kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari ketinggian.

2. Saran
Banyak faktor yang bisa menyebabkan terjadinya trauma abdomen, faktor tertinggi
biasanyadisebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, kemudian karena penganiayaan, kecelakaan
olahraga dan jatuh dari ketinggian. Agar tidak terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki, hendaknya kita
harus selalu berhati-hati dalam melakukan aktivitas, agar terhindar dari bahaya trauma maupun
cedera.


DAFTAR PUSTAKA

Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan Ed.31. Jakarta: EGC
Carpenito, 1998 Buku saku: Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis, Edisi 6.
Jakarta: EGC
Doenges. 2000.Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan
dan Pendokumentasian perawatan pasien, Edisi 3. Jakarta: EGC
FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Jakarta: Binarupa Aksara
Hudak & Gallo. 2001. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1.FKUI : Media Aesculapius
Sjamsuhidayat. 1998. Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth Ed.8 Vol.3. :
Jakarta: EGC.
Suddarth & Brunner. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta : EGC
Training. 2009. Primarytraumacare.(http
://www.primarytraumacare.org/ ptcman/training/ppd/ptc_indo.pdf/ 10, 17, 2009, 13.10 1m,
diakses: 12 september 2011)

Bahan 3

DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul
Kata Pengantar.
Daftar isi.
BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang .
B. Tujuan Penulisan .
C. Metode Penulisan .
D. Sistematika Penulisan ..

i
ii


1

2
2
BAB II Tinjaun Pustaka
I.Konsep Dasar Penyakit
A. Pengertian
B. Etiologi/Faktor Penyebab
C. Klasifikasi.
D. Anatomi dan Fisiologi .
E. Pathofisiologi ...
F. Manifestasi klinis.
G. Komplikasi
H. Pemeriksaan Diagnostik...
I. Penatalaksanaan
II. Konsep Dasar Askep
A. Pengkajian..
B. Diagnosa dan Intervensi keperawatan..
BAB III Penutup
Kesimpulan dan Saran ...
Daftar Pustaka

Contoh Askep

2


3

3
4

5
6

8
9

9
11


13

14

18
Iii
BAB I

PENDAHULUAN

1 LATAR BELAKANG
Dalam era Modernisasi kemajuan dibidang tekhnologi trasnportasi dan
semakin berkembangnya mobilitas manusia berkendaraan di jalan raya, menyebabkan kecelakaan
yang terjadi semakin meningkat serta angka kematian semakin tinggi. Salah satu kematian akibat
kecelakaan adalah diakibatkan trauma abdomen. Kecelakaan laulintas merupakan penyebab
kematian 75 % trauma tumpul abdomen, sedangkan penyebab lainnya adalah penganiayaan,
kecelakaan olahraga dan terjatuh dari tempat ketinggian, sedangkan akibat dari penganiayaan
ini disebabkan oleh karena senjata tajam dan peluru. Oleh karena hal tersebut diatas akan
mengakibatkan kerusakan dan menimbulkan robekan dari organ organ dalam rongga abdomen
atau mengakibatkan penumpukan darah dalam rongga abdomen yang berakibat kematian. Di Rumah
Sakit data kejadian trauma abdomen masih cukup tinggi. Dalam kasus ini Waktu adalah nyawa
dimana dibutuhkan suatu penanganan yang professional yaitu cepat, tepat, cermat dan akurat,
baik di tempat kejadian ( pre hospital ), transportasi sampai tindakan definitif di rumah sakit.
Tindakan definitif dengan jalan pembedahan sangatlah penting dilakukan, oleh karena
itu dibutuhkan kerja sama antara pasien, keluarga pihak dokter maupun perawat sebagai mitra kerja
ataupun merupakan Team Work dalam melaksanakan tindakan pembedahan sekaligus memberikan
Asuhan Keperawatan. Perawat merupakan ujung tombak dan berperan aktif dalam memberikan
pelayanan membantu klien mengatasi permasalahan yang dirasakan baik dari aspek psikologis
maupun aspek fisiologi secara komprehensif. Mengingat kurangnya pengetahuan dan pengertian
klien maupun keluarga tentang penyakit atau sebab dan akibat dari trauma dan alasan tindakan
therapy pembedahan yang dilakukan, oleh karena itu sangatlah diperlukan informasi yang adequat.
Dengan demikian klien dan keluarga akan kooperatif dan tingkat kecemasan berkurang. Berdasarkan
alasan yang dikemukakan diatas, maka penulis tertarik untuk mengambil judul Asuhan
Keperawatan Klien Tn.T.dengan masalah keperawatan pre operatif trauma tumpul abdomen di
ruang yakud RSUD.H.DAMANHURI BARABAI.

2 TUJUAN PENULISAN
a) memahami pengertian, penyebab, klasifikasi, anatomi fisiologi, perjalanan penyakit, Manifestasi
klinis, Komplikasi, Pemeriksaan diagnostic, dan pelaksanaan , beserta konsep dasar asuhan
keperawatan.
b) Menggunakan proses keperawatan sebagai kerangka kerja untuk perawatan pasien penderita
trauma abdomen
c) Menguraikan prosedur perawatan yang digunakan untuk pasien penderita trauma abdomen


3 BATASAN MASALAH
Dalam makalah ini kami hanya membahas tentang konsep dasar penyakit trauma abdomen.
yaitu pengertian trauma abdomen, penyebab, klasifikasi, Anatomi fisiologi area abdomen,
patofisiologi/ perjalanan penyakitnya, Manifestasi klinis, Komplikasi, Pemeriksaan diagnostic, dan
penalaksaan, beserta konsep dasar asuhan keperawatan dan asuhan keperawatan dari trauma
abdomen.


4 METODE PENULISAN
Metode yang dipakai dalam penulisan makalah ini adalah metode kepustakaan, dengan
menggunakan beberapa referensi dari buku- buku dan internet.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TRAUMA ABDOMEN

I. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. PENGERTIAN
Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional (Dorland, 2002).
Trauma abdomen adalah pukulan / benturan langsung pada rongga abdomen yang
mengakibatkan cidera tekanan/tindasan pada isi rongga abdomen, terutama organ padat (hati,
pancreas, ginjal, limpa) atau berongga (lambung, usus halus, usus besar, pembuluh pembuluh
darah abdominal) dan mengakibatkan ruptur abdomen. (Temuh Ilmiah Perawat Bedah Indonesia, 13
Juli 2000).
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus
serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
Trauma perut merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa tembusnya
dinding perut dimana pada penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan dapat pula
dilakukan tindakan laparatomi (FKUI, 1995).
Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat
menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan imonologi dan
gangguan faal berbagai organ (Sjamsuhidayat, 1997).


2. ETIOLOGI / FAKTOR PENYEBAB
Kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari ketinggian.
Menurut sjamsuhidayat, penyebab trauma abdomen adalah, sebagai berikut :
1. Penyebab trauma penetrasi
Luka akibat terkena tembakan
Luka akibat tikaman benda tajam
Luka akibat tusukan
2. Penyebab trauma non-penetrasi
Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh
Hancur (tertabrak mobil)
Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut
Cidera akselerasi / deserasi karena kecelakaan olah raga

3. KLASIFIKASI
Trauma pada dinding abdomen terdiri dari :
1. Kontusio dinding abdomen
disebabkan trauma non-penetrasi. Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen,
kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa darah dapat
menyerupai tumor.
2. Laserasi
Jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga abdomen harus di eksplorasi.
Atau terjadi karena trauma penetrasi.
Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat menyebabkan
perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal
berbagai organ.

Trauma abdomen pada isi abdomen, menurut Suddarth & Brunner (2002) terdiri dari:
1. Perforasi organ viseral intraperitoneum
Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera pada dinding abdomen.
2. Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen
Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli bedah.
3. Cedera thorak abdomen
Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri diafragma, atau sayap kanan dan hati
harus dieksplorasi



4. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Abdomen ialah rongga terbesar dalam tubuh. Bentuk lonjong dan meluas dari atas diafragma
sampai pelvis dibawah. Rongga abdomen dilukiskan menjadi dua bagian abdomen yang
sebenarnya, yaitu rongga sebelah atas dan yang lebih besar, dan pelvis yaitu rongga sebelah bawah
dan kecil.
Batasan batasan abdomen. Di atas, diafragma, Di bawah, pintu masuk panggul dari panggul
besar. Di depan dan kedua sisi, otot otot abdominal, tulang tulang illiaka dan iga iga sebelah
bawah. Di belakang, tulang punggung, dan otot psoas dan quadratrus lumborum.
Isi Abdomen. Sebagaian besar dari saluran pencernaan, yaitu lambung, usus halus, dan usus
besar. Hati menempati bagian atas, terletak di bawah diafragma, dan menutupi lambung dan bagian
pertama usus halus. Kandung empedu terletak dibawah hati. Pankreas terletak dibelakang lambung,
dan limpa terletak dibagian ujung pancreas. Ginjal dan kelenjar suprarenal berada diatas dinding
posterior abdomen. Ureter berjalan melalui abdomen dari ginjal. Aorta abdominalis, vena kava
inferior, reseptakulum khili dan sebagaian dari saluran torasika terletak didalam abdomen.
Pembuluh limfe dan kelenjar limfe, urat saraf, peritoneum dan lemak juga dijumpai dalam rongga
ini.


5. PATHOFISIOLOGI
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalulintas,
penganiayaan, kecelakaan olah raga dan terjatuh dari ketinggian), maka beratnya trauma merupakan
hasil dari interaksi antara faktor faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat
trauma yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk) untuk menahan
tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh yang akan
menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini juga karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh
juga penting. Trauma juga tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas
adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya. Viskositas adalah
kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun ada benturan. Toleransi tubuh
menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut.. Beratnya trauma yang terjadi
tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati ketahanan jaringan.
Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif
terhadap permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra abdominal yang
disebabkan beberapa mekanisme :
Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan dari luar seperti
benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar dapat mengakibatkan terjadinya
ruptur dari organ padat maupun organ berongga.
Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae atau struktur tulang
dinding thoraks.
Terjadi gaya akselerasi deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya robek pada organ dan
pedikel vaskuler.




Pohon masalah:

Trauma
(kecelakaan)

Penetrasi & Non-Penetrasi

Terjadi perforasi lapisan abdomen
(kontusio, laserasi, jejas, hematom)

Menekan saraf peritonitis

Terjadi perdarahan jar.lunak dan rongga abdomen Nyeri

Motilitas usus

Disfungsi usus Resiko infeksi

Refluks usus output cairan berlebih

Gangguan cairan Nutrisi kurang dari
dan eloktrolit kebutuhan tubuh

Kelemahan fisik

Gangguan mobilitas fisik

(Sumber : Mansjoer,2001)







6. MANIFESTASI KLINIS
Kasus trauma abdomen ini bisa menimbulkan manifestasi klinis menurut Sjamsuhidayat
(1997), meliputi: nyeri tekan diatas daerah abdomen, distensi abdomen, demam, anorexia, mual dan
muntah, takikardi, peningkatan suhu tubuh, nyeri spontan.
Pada trauma non-penetrasi (tumpul) biasanya terdapat adanya:

Jejas atau ruftur dibagian dalam abdomen
Terjadi perdarahan intra abdominal.
Apabila trauma terkena usus, mortilisasi usus terganggu sehingga fungsi usus tidak normal dan
biasanya akan mengakibatkan peritonitis dengan gejala mual, muntah, dan BAB hitam (melena).
Kemungkinan bukti klinis tidak tampak sampai beberapa jam setelah trauma.
Cedera serius dapat terjadi walaupun tak terlihat tanda kontusio pada dinding abdomen.

Pada trauma penetrasi biasanya terdapat:
Terdapat luka robekan pada abdomen.
Luka tusuk sampai menembus abdomen.
Penanganan yang kurang tepat biasanya memperbanyak perdarahan/memperparah keadaan.
Biasanya organ yang terkena penetrasi bisa keluar dari dalam andomen.

Menurut (Hudak & Gallo, 2001) tanda dan gejala trauma abdomen, yaitu :
1. Nyeri
Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang berat. Nyeri dapat timbul di bagian yang luka
atau tersebar. Terdapat nyeri saat ditekan dan nyeri lepas.

2. Darah dan cairan
Adanya penumpukan darah atau cairan dirongga peritonium yang disebabkan oleh iritasi.
3. Cairan atau udara dibawah diafragma
Nyeri disebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limpa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi
rekumben.
4. Mual dan muntah
5. Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah)
Yang disebabkan oleh kehilangan darah dan tanda-tanda awal shock hemoragi.

7. KOMPLIKASI
Segera : hemoragi, syok, dan cedera.
Lambat : infeksi (Smeltzer, 2001).

8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Foto thoraks
Untuk melihat adanya trauma pada thorak.
2. Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan Hb diperlukan untuk base-line data bila terjadi perdarahan terus
menerus. Demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit. Pemeriksaan leukosit yang melebihi
20.000/mm tanpa terdapatnya infeksi menunjukkan adanya perdarahan cukup banyak kemungkinan
ruptura lienalis. Serum amilase yang meninggi menunjukkan kemungkinan adanya trauma pankreas
atau perforasi usus halus. Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan trauma pada hepar.
3. Plain abdomen foto tegak
Memperlihatkan udara bebas dalam rongga peritoneum, udara bebas retroperineal
dekat duodenum, corpus alineum dan perubahan gambaran usus.
4. Pemeriksaan urine rutin
Menunjukkan adanya trauma pada saluran kemih bila dijumpai hematuri. Urine yang
jernih belum dapat menyingkirkan adanya trauma pada saluran urogenital.
5. VP (Intravenous Pyelogram)
Karena alasan biaya biasanya hanya dimintakan bila ada persangkaan trauma pada
ginjal.
6. Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL)
Dapat membantu menemukan adanya darah atau cairan usus dalam rongga perut.
Hasilnya dapat amat membantu. Tetapi DPL ini hanya alat diagnostik. Bila ada keraguan, kerjakan
laparatomi (gold standard).
1. Indikasi untuk melakukan DPL adalah sebagai berikut :
o Nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya
o Trauma pada bagian bawah dari dada
o Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas
o Pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat, alkohol, cedera otak)
o Pasien cedera abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum tulang belakang)
o Patah tulang pelvis
2. Kontra indikasi relatif melakukan DPL adalah sebagai berikut :
o Hamil
o Pernah operasi abdominal
o Operator tidak berpengalaman
o Bila hasilnya tidak akan merubah penatalaksanaan
7. Ultrasonografi dan CT Scan
Sebagai pemeriksaan tambahan pada penderita yang belum dioperasi dan disangsikan adanya
trauma pada hepar dan retroperitoneum.

9. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Medis :
1. Abdominal paracentesis
Menentukan adanya perdarahan dalam rongga peritonium, merupakan indikasi untuk laparotomi.
2. Pemeriksaan laparoskopi
Mengetahui secara langsung penyebab abdomen akut.
3. Pemasangan NGT
Memeriksa cairan yang keluar dari lambung pada trauma abdomen.
4. Pemberian antibiotik
Mencegah infeksi.
5. Laparotomi

Penatalaksanaan keperawatan:
1. Mulai prosedur resusitasi (memperbaiki jalan napas, pernapasan, sirkulasi) sesuai indikasi.
2. Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan ; gerakkan dapat menyebabkan fragmentasi
bekuan pada pada pembuluh darah besar dan menimbulkan hemoragi masif.
a) Pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan pernapasan serta sistem saraf.
b) Jika pasien koma, bebat leher sampai setelah sinar x leher didapatkan.
c) Gunting baju dari luka.
d) Hitung jumlah luka.
e) Tentukan lokasi luka masuk dan keluar.
3. Kaji tanda dan gejala hemoragi.
4. Kontrol perdarahan dan pertahanan volume darah sampai pembedahan dilakukan.
5. Aspirasi lambung dengan selang nasogastrik. Prosedur ini membantu mendeteksi luka lambung,
mengurangi kontaminasi terhadap rongga peritonium, dan mencegah komplikasi paru karena
aspirasi.
6. Tutupi visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan salin basah untuk mencegah
kekeringan visera.
7. Pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan kepastian adanya hematuria dan pantau haluaran
urine.
8. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok, kehilangan darah, adanya udara
bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau hematuria.

Anda mungkin juga menyukai